di bawah penjajahan drakula IMF
Halaman 1 dari 1 • Share
di bawah penjajahan drakula IMF
Setelah kurang lebih lima tahun Indonesia dilanda krisis ekonomi dan berada di bawah pengawasan (tekanan IMF) ternyata negeri ini bukan keluar dari krisis, tapi justru beban yang harus dipikulnya malah bertambah berat. Ketika utang para pengusaha Indonesia jatuh tempo, IMF meminta pemerintah untuk menanggung semua beban utang pengusaha tersebut yang jumlahnya kurang lebih 45% dari total utang luar negeri Indonesia, mulailah Indonesia dilanda krisis hebat sampai detik ini.
Secara faktual, beberapa kesalah fatal telah dibuat IMF dalam memberikan resep pengobatan kepada pemerintah Indonesia untuk keluar dari krisis. Demikian juga yang dilakukan selama ini kepada negara penerima kucuran pinjaman. Dari 89 penerima bantuan IMF antara tahun 1965-1995, tercatat sebanyak 48 negara tak lebih makmur dari kondisi sebelumnya. Sebanyak 32 negara lainnya bahkan jatuh lebih miskin ketimbang sebelum menjadi pasien IMF (lihat Republika 1/5/2000). Mengapa? Karena, ia adalah "Drakula Kreditor" yang tidak peduli pada negara pengutang. Yang ada dalam benak para pemilik sahamnya suara adalah bagaimana mereka tidak rugi dan mengeruk keuntungan lebih besar.
Siapakah sebenarnya "Drakula IMF" ini? Walaupun IMF adalah sebuah lembaga keuangan internasional yang beranggotakan 182 negara merdeka, tetapi proses pengambilan keputusan yang diselenggarakan IMF tak ubahnya sebagaimana proses pengambilan keputusan dalam sebuah perusahaan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, proses pengambilan keputusan di IMF dilakukan berdasarkan jumlah kepemilikan saham, yaitu dengan ketentuan 85 persen suara setuju. Padahal, sesuai dengan jumlah kepemilikan sahamnya, negara-negara G-7 yang terdiri dari AS, Inggris, Jepang, Canada, Jerman, Prancis, dan Italia, menguasai 45 persen suara. Dengan demikian, negara-negara kaya ini praktis mendominasi seluruh proses pengambilan keputusan yang dilakukan IMF.
Yang lebih celaka, sebagai pemegang saham utama, AS ternyata menguasai 18 persen suara. Akibatnya, praktis tidak ada keputusan yang dapat diambil tanpa persetujuan AS. Kedua, dengan dominasi peranan negara-negara G-7, khususnya AS, dalam proses pengambilan keputusan di IMF, lembaga tersebut menjadi sulit menghindar dari kepentingan negara-negara kaya itu. Sesuai dengan sifat demokrasi liberal yang terkooptasi oleh kepentingan para pemodal besar, dominasi negara-negara G-7 dalam tubuh IMF hampir sama saja, artinya dengan dominasi kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).
Sebagaimana terjadi pada berbagai pertemuan lembaga-lembaga keuangan atau perdagangan internasional lainnya, seperti WTO, Bank Dunia, ADB, CGI, dan bahkan Paris Club, delegasi negara-negara G-7 hampir selalu berangkat dengan membawa seabrek titipan dari TNC mereka masing-masing. Dengan demikian, agenda-agenda ekonomi IMF sesungguhnya tidak lebih dari agenda terselubung para TNC tersebut.
Sebab itu, tidak aneh jika agenda-agenda IMF cenderung terpusat pada empat hal. Pertama, pengetatan anggaran negara, yaitu untuk menjamin kelancaran pembayaran utang. Kedua, liberalisasi sektor keuangan, yaitu untuk memberi keleluasan kepada para pemodal internasional untuk datang dan pergi sesuka hati mereka. Ketiga, liberalisasi sektor perdagangan, yaitu untuk mempermudah penetrasi produk negara-negara industri maju. Dan keempat, privatisasi BUMN, yaitu untuk memperlemah interfensi negara dan memperkuat dominasi TNC di negara-negara yang bersangkutan, dengan harga murah. (Revrisond Baswir, Republika)
Walaupun telah merdeka selama 57 tahun, ternyata kita sekarang kita berada dalam penjajahan gaya baru, penjajahan IMF. Oleh kaena itu, kita mendukung sikap MPR (walaupun terkesan malu-malu) yang meminta pemerintah untuk mengakhiri ketergantungan dengan dana Moneter Internasional, sekaligus menyesalkan mengapa baru sekarang desakan itu ada, serta mengapa tidak dari detik sekarang kita putus hubungan dengan "penjajah IMF" tetapi harus menunggu tahun 2003? Karena itu, berarti akan menambah daftar kesengsaraan rakyat Indonesia.
Yang lebih penting dari semua itu, kita terbebas dari sistem ekonomi kapitalis yang besandar pada riba --sistem ekonomi yang dicetuskan oleh Yahudi. Karena, membangun ekonomi bangsa dengan sistem ekonomi riba jelas tidak akan membawa berkah "Allah akan menghilangkan (keberkahan harta) riba --manfaat ekonomis versi manusia-- dan menyuburkan shodaqoh" (Al-Baqarah: 276).
Oleh kaena itu, sekiranya kita masih tetap "membandel" dan lebih mempercayai IMF sebagai dewa penyelamat --walaupun sudah jelas kerusakan yang ditimbulkannya--, maka berarti kita telah menantang Allah dan Rasulnya, "Dan jika kalian tidak melakukan itu (berhenti dari praktek riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu." (Al-Baqarah: 279)
Secara faktual, beberapa kesalah fatal telah dibuat IMF dalam memberikan resep pengobatan kepada pemerintah Indonesia untuk keluar dari krisis. Demikian juga yang dilakukan selama ini kepada negara penerima kucuran pinjaman. Dari 89 penerima bantuan IMF antara tahun 1965-1995, tercatat sebanyak 48 negara tak lebih makmur dari kondisi sebelumnya. Sebanyak 32 negara lainnya bahkan jatuh lebih miskin ketimbang sebelum menjadi pasien IMF (lihat Republika 1/5/2000). Mengapa? Karena, ia adalah "Drakula Kreditor" yang tidak peduli pada negara pengutang. Yang ada dalam benak para pemilik sahamnya suara adalah bagaimana mereka tidak rugi dan mengeruk keuntungan lebih besar.
Siapakah sebenarnya "Drakula IMF" ini? Walaupun IMF adalah sebuah lembaga keuangan internasional yang beranggotakan 182 negara merdeka, tetapi proses pengambilan keputusan yang diselenggarakan IMF tak ubahnya sebagaimana proses pengambilan keputusan dalam sebuah perusahaan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, proses pengambilan keputusan di IMF dilakukan berdasarkan jumlah kepemilikan saham, yaitu dengan ketentuan 85 persen suara setuju. Padahal, sesuai dengan jumlah kepemilikan sahamnya, negara-negara G-7 yang terdiri dari AS, Inggris, Jepang, Canada, Jerman, Prancis, dan Italia, menguasai 45 persen suara. Dengan demikian, negara-negara kaya ini praktis mendominasi seluruh proses pengambilan keputusan yang dilakukan IMF.
Yang lebih celaka, sebagai pemegang saham utama, AS ternyata menguasai 18 persen suara. Akibatnya, praktis tidak ada keputusan yang dapat diambil tanpa persetujuan AS. Kedua, dengan dominasi peranan negara-negara G-7, khususnya AS, dalam proses pengambilan keputusan di IMF, lembaga tersebut menjadi sulit menghindar dari kepentingan negara-negara kaya itu. Sesuai dengan sifat demokrasi liberal yang terkooptasi oleh kepentingan para pemodal besar, dominasi negara-negara G-7 dalam tubuh IMF hampir sama saja, artinya dengan dominasi kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).
Sebagaimana terjadi pada berbagai pertemuan lembaga-lembaga keuangan atau perdagangan internasional lainnya, seperti WTO, Bank Dunia, ADB, CGI, dan bahkan Paris Club, delegasi negara-negara G-7 hampir selalu berangkat dengan membawa seabrek titipan dari TNC mereka masing-masing. Dengan demikian, agenda-agenda ekonomi IMF sesungguhnya tidak lebih dari agenda terselubung para TNC tersebut.
Sebab itu, tidak aneh jika agenda-agenda IMF cenderung terpusat pada empat hal. Pertama, pengetatan anggaran negara, yaitu untuk menjamin kelancaran pembayaran utang. Kedua, liberalisasi sektor keuangan, yaitu untuk memberi keleluasan kepada para pemodal internasional untuk datang dan pergi sesuka hati mereka. Ketiga, liberalisasi sektor perdagangan, yaitu untuk mempermudah penetrasi produk negara-negara industri maju. Dan keempat, privatisasi BUMN, yaitu untuk memperlemah interfensi negara dan memperkuat dominasi TNC di negara-negara yang bersangkutan, dengan harga murah. (Revrisond Baswir, Republika)
Walaupun telah merdeka selama 57 tahun, ternyata kita sekarang kita berada dalam penjajahan gaya baru, penjajahan IMF. Oleh kaena itu, kita mendukung sikap MPR (walaupun terkesan malu-malu) yang meminta pemerintah untuk mengakhiri ketergantungan dengan dana Moneter Internasional, sekaligus menyesalkan mengapa baru sekarang desakan itu ada, serta mengapa tidak dari detik sekarang kita putus hubungan dengan "penjajah IMF" tetapi harus menunggu tahun 2003? Karena itu, berarti akan menambah daftar kesengsaraan rakyat Indonesia.
Yang lebih penting dari semua itu, kita terbebas dari sistem ekonomi kapitalis yang besandar pada riba --sistem ekonomi yang dicetuskan oleh Yahudi. Karena, membangun ekonomi bangsa dengan sistem ekonomi riba jelas tidak akan membawa berkah "Allah akan menghilangkan (keberkahan harta) riba --manfaat ekonomis versi manusia-- dan menyuburkan shodaqoh" (Al-Baqarah: 276).
Oleh kaena itu, sekiranya kita masih tetap "membandel" dan lebih mempercayai IMF sebagai dewa penyelamat --walaupun sudah jelas kerusakan yang ditimbulkannya--, maka berarti kita telah menantang Allah dan Rasulnya, "Dan jika kalian tidak melakukan itu (berhenti dari praktek riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu." (Al-Baqarah: 279)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Drakula, Pembantai Muslim yang Dijadikan Cerita Fiksi
» penjajahan oleh kristen eropa
» strategi snouck hurgronje "menderadikalisasi" umat islam era penjajahan
» Di Korsel, Kristen jadi simbol nasionalisme & perlawanan terhadap penjajahan
» Kekuatan Pikiran Bawah Sadar
» penjajahan oleh kristen eropa
» strategi snouck hurgronje "menderadikalisasi" umat islam era penjajahan
» Di Korsel, Kristen jadi simbol nasionalisme & perlawanan terhadap penjajahan
» Kekuatan Pikiran Bawah Sadar
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik