Tafsir al fatehah
Halaman 1 dari 1 • Share
Tafsir al fatehah
Al-istiti'adzah berarti permohonan kepada Allah SWT dari setiap yang jahat. Al-'iyadzah (permohonan pertolongan) dalam usaha menolak kejahatan, sedangkan al-layadzu (permohonan pertolongan) dalam upaya memperoleh kebaikan.
A'udzubillahiminasysyaithonirrajim berarti, aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjaka apa yang Dia larang, karena setan itu tidak ada yang bisa mencegahnya untuk menggoda kecuali Allah.
Oleh karena itu, Allah SWT menyuruh manusia agar menarik dan membujuk hati setan jenis manusia dengan cara menyodorkan suatu yang baik kepadanya supaya dengan demikian dia berubah tabiatnya dari kebiasannya mengganggu orang lain. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari setan jenis jin, karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan, sebab tabiatnya jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakannya.
Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat Alquran. Pertama, firman-Nya dalam surat Al-A'raf ayat 199 yang artinya, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh."
Makna di atas berkenaan dengan muamalah terhadap musuh dari kalangan manusia.
Kemudian, Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-A'raf: 200). Berlindung kepada allah maksudnya adalah membaca a'udzubillahiminasysyaithonirrajim.
Dalam surat Al-Mukminun Allah SWT berfirman yang artinya, "Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah: 'Ya Rabb-ku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabb-ku, dari kedatangan mereka kepadaku." (Al-Mukminun: 96 -- 98).
Dan dalam surat Fushshilat ayat 34 -- 36 Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Dalam bahasa Arab, kata syaitan(setan) berasal dari kata syathan, berarti jauh. Jadi, syaitan itu tabiatnya jauh dari tabiat manusia, dan dengan kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaitan itu berasal dari kata syata (terbakar), karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna pertama yang lebih benar.
Menurut Sibawaih, bangsa Arab bisa mengatakan tasyaithana fulan, jika fulan itu berbuat seperti perbuatan setan. Jika katasyaitan itu berasal dari kata syatha, tentu mereka mengatakan tasyaith yang berarti jauh. Oleh karena itu, mereka menyebut syaithan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia, maupun hewan. Berkenaan dengan hal itu Allah berfirman yang artinya, "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tia nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang ndah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan." (Al-An'am: 112).
Dalam buku Musnad Imam Ahmad, disebutkan hadis dari Abu Dzar ra, Rasulullah saw bersabda yang artinya, "Wahai Abu Dzar, mohonlah engkau kepada Allah perlindungan dari setan-setan dari jenis manusia dan jin." Lalu kutanyakan, "Apakah ada setan dari jenis manusia?" "Ya," jawab beliau.
Dalam sahih Muslim diriwayatkan dari Abu Dzar, katanya, Rasulullah saw bersabda, "Yang memotong salat itu adalah wanita, keledai, dan anjing hitam." Kemudian kutanyakan, "Ya Rasulullah, mengapa anjing hitam dan bukan anjing merah atau kuning?" Beliau menjawab, "Anjing hitam itu adalah setan."
Ar-rojim adalah berwazan fa'il (subjek), tetapi bermakna maf'ul (objek) berarti bahwa setan itu terkutuk dan terusir dari semua kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala." (Al-Mulk: 5).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 1
Bismillaahirahmaaniahiim (Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Para sahabat membuka Kitabullah dengan membacanya. Dan para ulama telah sepekat bahwa Bismillaahirahmaaniahiim adalah salah satu ayat dari surat an-Naml. Tetapi, mereka berbeda pendapat apakah basmalah itu ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat ataukah meupakan bagian dai awal masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya. Ataukah merupakan salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat Al-Fatihah saja dan bukan surat-surat lainnya. Ataukah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat itu hanya untuk pemisah antara surat semata dan bukan meupakan ayat. Ada beberrapa pendapat di kalangan para ulama, baik salaf maupun khalaf, dan bukan di sini tempat untuk menjelaskan itu semua.
Dalam kitab Sunan Abu Dawud diiwayatkan dengan isnad sahih, dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah surat Alquran sehingga turun kepadanya, bismillaahirahmaaniahiim.
Hadis di atas juga diriwayatkan al-Hakim Abu Abdillah an-Nisaburi dalam kitab al-Mustadrak.
Termasuk yang menyatakan bahwa basmalah adalah ayat dai setiap surat kecuali at-Taubah yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, Abu Hurairah, Ali. Dari kalangan tabi'in: Atha', Thawus, Sa'id bin Jubair, Makhul, dan az-Zuhri.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak, Imam Syafi'i, Ahmad bin Hanbal (menurut satu riwayat). Ishak bin Rahawaih, Abu Ibaid al-Qasim bin Salam ra.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah beserta para pengikutnya bependapat bahwa basmalah itu bukan temasuk ayat Al-Fatihah, tidak juga surat-surat lainnya. Namun, menurut Dawud, basmalah teletak pada awal setiap surat dan bukan bagian dainya. Demikian pula menurut satu riwayat dai Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengenai bacaan basmalah secara jahr (dengan suara keras), termasuk bagian dai pebedaan pendapat di atas. Mereka yang bependapat bahwa basmalah itu bukan ayat Al-Fatihah, maka ia tidak membacanya secara jahr. Demikian juga yang mengatakan bahwa basmalah adalah suatu ayat yang ditulis pada awal setiap surat.
Mereka yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bagian pertama dari setiap surat masih berbeda pendapat. Imam Syafi'i berpendapat bahwa basmalah itu dibaca secara jahr besama Al-Fatihah dan juga surat Alquran lainnya. Inilah mazhab beberapa sahabat dan tabi'in serta para imam, baik salaf maupun khalaf.
Dalam kitab sahih al-Bukhari, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan dari Nabi saw, maka ia menjawab, "Bacaan beiau itu (kalimat demi kalimat) sesuai dengan panjang pendeknya. Kemudian Anas membaca bismillaahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan bagian-bagian yang perlu dipanjangkan)."
Dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, sahih Ibnu Khuzaimah, dan Mustadrak al-Hakim yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra, katanya, "Rasulullah saw memutus bacaannya, bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahirabbil'alamin, arrahmanirrahim, malikiyaumiddin."
Ad-Daraquthni mengatakan, isnad hadis ini sahih.
Ulama lainnya berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca secara jahr di dalam salat. Inilah riwayat yang benar dari empat Khulafa 'ur-Rasyidin, Abdullah bin Mughaffal, beberapa golongan ulama salaf maupun khalaf. Hal ini juga menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal.
Menurut Imam Malik, basmalah tidak dibaca sama sekali, baik secara jahr maupun sirri. Mereka mendasarkan pada hadis yang terdapat dalam kitab sahih Muslim, dari Aisyah ra, katanya Rasulullah saw membuka salat dengan takbir dan bacaan alhamdulillahirabbil'alamin.
Juga hadis dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ia menceritakan, "Aku pernah salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua membuka salat dengan bacaan alhamdulillahirabbil'alamin."
Menurut riwayat Muslim, "Mereka tidak menyebutkan bismillahirrahmanirrahim pada awal bacaan dan tidak juga pada akhirnya."
Hal senada juga terdapat dalam kitab Sunan, diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal ra.
Demikianlah dasar-dasar pengambilan pendapat para imam mengenai masalah ini, dan tidak terjadi perbedaan pendapat, karena mereka telah sepakat bahwa salat bagi orang yang menjahrkan atau yang mensirrikan basmalah adalah sah. Segala puji bagi Allah SWT.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Keutamaan Basmalah
Membaca "basmalah" disunahkan pada saat mengawali setiap pekerjaan. Disunahkan juga pada saat hendak masuk ke kamar kecul (toilet). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadis. Selain itu, basmalah juga disunnahkan untuk dibaca di awal wudhu, sebagaimana diriwayatkan oleh hadis marfu' dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab sunan, dari Abu Hurairah, Sa'id bin Zaid dan Abu Sa'id, Nabi saw bersabda yang artinya, "Tidak sempurna wudhu bagi orang yang tidak membaca nama Allah padanya." (Hadis ini Hasan).
Juga disunnahkan dibaca pada saat hendak makan, berdasarkan hadis dalam Sahih Muslim, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepada Umar bin Abi Salamah: "Ucapkan 'bismillah', makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu."
Meski demikian, di antara ulama ada yang mewjibkannya. Disunnahkan pula membaca ketika hendak berijma' (melakukan hubungan badan), berdasarkan hadis dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya, "Seandainya seseorang di antara kalian apabila hendak mencampuri istrinya membaca, 'Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami', jika Allah menakdirkan anak melalui hubungan keduanya, maka anak itu tidak akan diganggu setan selamanya."
Kata "Allah" merupakan nama untuk Rabb. Dikatakan bahwa Allah adalah al-ismul-a'zham (nama yang paling agung), karena nama itu menyandang segala macam sifat, sebagaimana firman Allah yang artinya, "Dialah Allah yang tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 22).
Dengan demikian, semua nama-nama yang baik itu menjadi sifat-Nya. Dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Sesungguhnya Allah itu mempunyai 99 nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang dapat menguasainya, maka ia akan masuk surga."
Mengenai daftar nama yang sesuai dengan jumlah bilangan ini diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Namun, antara kedua riwayat itu terdapat perbedaan tambahan dan pengurangan. (Maksudnya disebutkan di dalam riwayat Tirmizi nama-nama yang tidak disebutkan di dalam riwayat Ibnu Majah, demikian juga sebaliknya, pent).
Nama Allah merupakan nama yang tidak diberikan kepada siapa pun selain diri-Nya, yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab tidak diketahui dari kata apa nama-Nya itu berasal. Maka, di antara para ahli nahwu ada yang menyatakan bahwa nama itu (Allah) adalah ismun jamid, yaitu nama yang tidak mempunyai kata dasar.
Al-Qurthubi mengutip hal itu dari sejumlah ulama yang di antaranya adalah Imam Syafi'i, al-Khathabi, Imamul Haramain, al-Ghazali, dan lain-lain.
Dari al-Khalil dan Sibawaih diriwayatkan bahwa "alif" dan "lam" dalam kata "Allah" merupakan suatu yang lazim (tak terpisahkan). Al-Khathabi mengatakan, "Tidaklah anda menyadari bahwa anda dapat menyerupakan 'ya Allah' dan tidak dapat menyerukan, 'ya ar-Rahman'." Kalau hal itu bukan dari asal kata, maka tidak boleh memasukkan huruf nida' (seruan) terhadap "alif" dan "lam". Ada juga yang berpendapat bahwa kata Allah itu mempunyai kata dasar.
Ar-rahmanirrahim merupakan dua nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-rahmah. Ar-rahman lebih menunjukkan makna yang lebih daripada kata ar-rahim.
Dalam pernyataan Ibnu Jarir, dapat dipahami adanya kecenderungan mengenai hal ini. Sedangkan dalam tafsir sebagian ulama salaf terdapat ungkapan yang menunjukkan hal tersebut.
Al-Qurthubi mengatakan, dalil yang menunjukkan bahwa nama ini musytaq adalah hadis riwayat at-Tirmizi, dari Abdurrahman bin Auf ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Allah Ta'ala berfirman: 'Aku adalah ar-Rahman, Aku telah menciptakan rahim (rahm-kerabat). Aku telah menjadikan untuknya nama dari nama-Ku. Barangsiapa menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya maka Aku pun memutuskannya'."
Ini merupakan nash bahwa nama tersebut adalah musytaq, karena itu tidak diterima pendapat yang menyalahi yang menentang.
Abu Ali al-Farisi mengatakan, ar-rahman merupakan nama yang bersifat umum dalam segala macam bentuk rahmat, dikhususkan bagi Allah SWT semata. Sedangkan ar-rahim, dimaksudkan bagi orang-orang yang beriman. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan Dialah yang Maha Penyanyang kepada orang-orang yang beriman." (Al-Ahzab: 43).
Ibnu al-Mubarak mengatakan ar-Rahman yaitu jika dimintai, Dia akan memberi. Sedangkan ar-Rahim yaitu jika permohonan tidak diajukan kepada-Nya, Dia akan murka. Sebagaimana dalam hadis riwayat at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Shalih al-Farisi al-Khuzui, dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya."
Nama "ar-Rahman" hanya dikhususkan untuk Allah semata, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman-Nya yang artinya, "Katakanlah: 'Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai al-Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik)'." (Al-Israa': 110).
Oleh karena itu, ketika dengan sombongnya Musailamah al-Kadzdzab menyebut dirinya dengan sebutan rahman al-yamamah, maka Allah pun memakaikan padanya pakaian kebohongan dan membongkarnya, sehingga ia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah si pendusta).
Sedangkan mengenai "ar-Rahim", Allah Ta'ala pernah menyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya, yang dalam firman-Nya Allah menyebutkan yang artinya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At-Taubah: 128).
Sebagaimana Dia juga pernah menyebut selain diri-Nya dengan salah satu dari nama-nama-Nya, sebagaimana firman-Nya yang ertinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari seteter air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia sami'an (mendengar) dan bashiran (melihat)." Al-Insan: 2).
Dapat disimpulkan bahwa di antara nama-nama Allah itu ada yang disebutkan untuk selain diri-Nya, tetapu ada juga yang tidak disebutkan untuk selain dri-Nya, misalnya nama Allah, ar-Rahman, al-Khaliq, ar-Razzaq, dan lain-lainya.
Oleh karena itu, Dia memulai dengan nama Allah, dan menyifati-Nya dengan ar-Rahman, karena ar-Rahman itu lebih khusus daripada ar-Rahim.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 2
Alhamdulillahirabbil'alamin (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam)
Al-qurra' as-sab'ah (tujuh ahli qira'ah) membacanya dengan memberi harakat dhammah pada huruf dal pada kalimat alhamdulillah, yang merupakan mubtada' dan khabar.
Abu Ja'far bin Jarir mengatakan, alhamdulillah berarti syukur kepada Allah SWT semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak ada seorang pun selain Dia yang mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya. Selain itu, pemberian rezeki kepada mereka di dunia, serta pelimpahan berbagai nikmat dalam kehidupan yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai peringatan dan seruan kepada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala puji, baik di awal maupun di akhir.
Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan, alhamdulillah merupakan pujian yang disampaikan Allah untuk diri-Nya sendiri. Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka memuji-Nya. Seolah-olah Dia mengatakan, "Ucapkanlah alhamdulillah."
Lebih lanjut Ibnu Jarir menyebutkan, telah dikenal di kalangan para ulama mutaakhirin bahwa al-hamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat-sifat baik yang berkenan dengan dirinya maupun berkenan dengan pihak lain. Adapun asy-syukur tiada lain kecuali dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan lainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan, sebagaiamana diungkapkan oleh seorang penyair yang artinya:
"Nikmat paling berharga, yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam.
Yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini."
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, al-hamdu ataukah asy-syukuru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Alhamdu lebih umum daripada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan dengan pihak lain, misalnya Anda katakan, "Aku memujinya (al-hamdu) karena sifatnya yang kesatria dan karena kedermawanannya." Tetapi, juga lebih khusus karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih umum daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui ucapan, perbuatan, dan juga niat, tetapi lebih khusus karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterima kasih kepadanya atas sifatnya yang kesatria. Namun, bisa dikatakan aku berterima kasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya kepadaku.
Demikian itulah yang disimpulkan sebagian ulama mutaakhirin, wallahua'lam.
Diriwayatkan dari al-Aswad bin Sari, katanya, aku berkata kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, maukan engkau aku puji dengan berbagai pujian seperti yang aku sampaikan untuk Rabb-ku, Allah Tabaraka wa Ta'ala." Maka beliau bersabda, "Adapun, (sesungguhnya) Rabb-mu menyukai pujian (al-hamdu)." (HR Imam Ahmad dan Nasa'i).
Diriwayatkan Abu Isa, at-Tirmizi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik zikir adalah kalimat Laa ilaaha illaa Allah, dan sebaik-baik doa adalah alhamdulillah."
Menurut at-Tirmizi, hadis ini hasan gharib. Dan diriwayatkan Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra, katanya, Rasulullah saw bersabda, "Allah tidak menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan, alhamdulillah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik daripada yang diambil-Nya."
Alif dan lam pada kata alhimdu dimaksudkan untuk melengkapi bahwa segala macam jenis dan bentuk pujian itu hanya untuk Allah semata.
Arrabb adalah pemilik, penguasa, dan pengendali. Menurut bahasa, kata rabb ditujukan kepada tuan dan kepada yang berbuat untuk perbaikan. Semuanya itu benar bagi Allah Ta'ala. Kata ar-rabb tidak digunakan untuk selain dari Allah kecuali jika dibenarkan tambahan dengan kata lain setelahnya, misalnya rabbuddar (pemilik rumah). Sedangkan kata ar-rabb (secara mutlak), maka hal itu hanya boleh digunakan untuk Allah SWT.
Ada yang mengatakan, bahwa ar-rabb itu merupakan nama yang agung (al-ismul a'zham). Sedangkan al'alamin adalah bentuk jamak dari kata 'alamun yang berarti segala sesuatu yang ada selain Allah SWT. 'Alamun merupakan jamak yang tidak memiliki mufrad (bentuk tunggal) dari kata itu. Al'awalim berarti berbagai macam makhluk yang ada di langit, bumi, daratan, lautan. Dan setiap angkatan (pada suatu kurun/zaman) atau generasi disebut juga alam.
Bisyr bin Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq dari adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas, "Alhamdulillahirabbil 'alamin. Artinya, segala puji bagi Allah pemilik seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di antara keduanya ini adalah kepunyaan-Nya, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui."
Az-Zajjaj mengatakan, al'alam berarti semua yang diciptakan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Sedangkan al-Qurthubi mengatakan, apa yang dikatakan az-Zajjaj itulah yang benar, karena mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat).
Menurut penulis (Ibnu Katsir) al'alam berasal dari kata al'alamatu, karena alam merupakan bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta keesaan-Nya. Sebagaimana Ibnu al-Mu'taz pernah mengatakan, "Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang bisa mendurhakain Rabb, atau mengingkari-Nya, padalah terdapat dalam segala sesuatu, ayat untuk-Nya yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa."
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 3
Arrahmairahim (Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
Arrahmanirahim, mengenai pembahasannya telah dikemukan dalam pembahasan basmalah, sehingga tidak perlu diulangi lagi.
Al-Qurthubi mengatakan, Allah menyifati diri-Nya dengan ar-rahman dan ar-rahim setelah rabbul 'alamin, untuk meyelingi anjuran (targhib) sesudah peringatan (tahib). Sebagaimana difirmankan-Nya yang artinya, "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih." (Al-Hajj: 49 -- 50).
Juga fiman-Nya, "Sesungguhnya Rabb-mu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-An'am: 165).
Kata al-Quthubi selanjutnya, "Ar-Rabb merupakan peringatan, sedangkan ar-Rahman ar-Rahim meupakan anjuran. Dalam sahih Muslim disebutkan hadis yang diiwayatkan dari Abu Hurairah, katanya, Rasulullah saw bersabda yang artinya, " Seandainya seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada pada sisi Allah, niscaya tidak seorang pun yang bersemangat dalam (meraih) surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk mendapatkan rahmat-Nya."
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
A'udzubillahiminasysyaithonirrajim berarti, aku memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjaka apa yang Dia larang, karena setan itu tidak ada yang bisa mencegahnya untuk menggoda kecuali Allah.
Oleh karena itu, Allah SWT menyuruh manusia agar menarik dan membujuk hati setan jenis manusia dengan cara menyodorkan suatu yang baik kepadanya supaya dengan demikian dia berubah tabiatnya dari kebiasannya mengganggu orang lain. Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari setan jenis jin, karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan, sebab tabiatnya jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakannya.
Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat Alquran. Pertama, firman-Nya dalam surat Al-A'raf ayat 199 yang artinya, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh."
Makna di atas berkenaan dengan muamalah terhadap musuh dari kalangan manusia.
Kemudian, Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-A'raf: 200). Berlindung kepada allah maksudnya adalah membaca a'udzubillahiminasysyaithonirrajim.
Dalam surat Al-Mukminun Allah SWT berfirman yang artinya, "Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah: 'Ya Rabb-ku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabb-ku, dari kedatangan mereka kepadaku." (Al-Mukminun: 96 -- 98).
Dan dalam surat Fushshilat ayat 34 -- 36 Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Dalam bahasa Arab, kata syaitan(setan) berasal dari kata syathan, berarti jauh. Jadi, syaitan itu tabiatnya jauh dari tabiat manusia, dan dengan kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaitan itu berasal dari kata syata (terbakar), karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna pertama yang lebih benar.
Menurut Sibawaih, bangsa Arab bisa mengatakan tasyaithana fulan, jika fulan itu berbuat seperti perbuatan setan. Jika katasyaitan itu berasal dari kata syatha, tentu mereka mengatakan tasyaith yang berarti jauh. Oleh karena itu, mereka menyebut syaithan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia, maupun hewan. Berkenaan dengan hal itu Allah berfirman yang artinya, "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tia nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang ndah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan." (Al-An'am: 112).
Dalam buku Musnad Imam Ahmad, disebutkan hadis dari Abu Dzar ra, Rasulullah saw bersabda yang artinya, "Wahai Abu Dzar, mohonlah engkau kepada Allah perlindungan dari setan-setan dari jenis manusia dan jin." Lalu kutanyakan, "Apakah ada setan dari jenis manusia?" "Ya," jawab beliau.
Dalam sahih Muslim diriwayatkan dari Abu Dzar, katanya, Rasulullah saw bersabda, "Yang memotong salat itu adalah wanita, keledai, dan anjing hitam." Kemudian kutanyakan, "Ya Rasulullah, mengapa anjing hitam dan bukan anjing merah atau kuning?" Beliau menjawab, "Anjing hitam itu adalah setan."
Ar-rojim adalah berwazan fa'il (subjek), tetapi bermakna maf'ul (objek) berarti bahwa setan itu terkutuk dan terusir dari semua kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala." (Al-Mulk: 5).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 1
Bismillaahirahmaaniahiim (Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Para sahabat membuka Kitabullah dengan membacanya. Dan para ulama telah sepekat bahwa Bismillaahirahmaaniahiim adalah salah satu ayat dari surat an-Naml. Tetapi, mereka berbeda pendapat apakah basmalah itu ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat ataukah meupakan bagian dai awal masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya. Ataukah merupakan salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat Al-Fatihah saja dan bukan surat-surat lainnya. Ataukah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat itu hanya untuk pemisah antara surat semata dan bukan meupakan ayat. Ada beberrapa pendapat di kalangan para ulama, baik salaf maupun khalaf, dan bukan di sini tempat untuk menjelaskan itu semua.
Dalam kitab Sunan Abu Dawud diiwayatkan dengan isnad sahih, dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah surat Alquran sehingga turun kepadanya, bismillaahirahmaaniahiim.
Hadis di atas juga diriwayatkan al-Hakim Abu Abdillah an-Nisaburi dalam kitab al-Mustadrak.
Termasuk yang menyatakan bahwa basmalah adalah ayat dai setiap surat kecuali at-Taubah yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu az-Zubair, Abu Hurairah, Ali. Dari kalangan tabi'in: Atha', Thawus, Sa'id bin Jubair, Makhul, dan az-Zuhri.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak, Imam Syafi'i, Ahmad bin Hanbal (menurut satu riwayat). Ishak bin Rahawaih, Abu Ibaid al-Qasim bin Salam ra.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah beserta para pengikutnya bependapat bahwa basmalah itu bukan temasuk ayat Al-Fatihah, tidak juga surat-surat lainnya. Namun, menurut Dawud, basmalah teletak pada awal setiap surat dan bukan bagian dainya. Demikian pula menurut satu riwayat dai Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengenai bacaan basmalah secara jahr (dengan suara keras), termasuk bagian dai pebedaan pendapat di atas. Mereka yang bependapat bahwa basmalah itu bukan ayat Al-Fatihah, maka ia tidak membacanya secara jahr. Demikian juga yang mengatakan bahwa basmalah adalah suatu ayat yang ditulis pada awal setiap surat.
Mereka yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bagian pertama dari setiap surat masih berbeda pendapat. Imam Syafi'i berpendapat bahwa basmalah itu dibaca secara jahr besama Al-Fatihah dan juga surat Alquran lainnya. Inilah mazhab beberapa sahabat dan tabi'in serta para imam, baik salaf maupun khalaf.
Dalam kitab sahih al-Bukhari, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan dari Nabi saw, maka ia menjawab, "Bacaan beiau itu (kalimat demi kalimat) sesuai dengan panjang pendeknya. Kemudian Anas membaca bismillaahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan bagian-bagian yang perlu dipanjangkan)."
Dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, sahih Ibnu Khuzaimah, dan Mustadrak al-Hakim yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra, katanya, "Rasulullah saw memutus bacaannya, bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahirabbil'alamin, arrahmanirrahim, malikiyaumiddin."
Ad-Daraquthni mengatakan, isnad hadis ini sahih.
Ulama lainnya berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca secara jahr di dalam salat. Inilah riwayat yang benar dari empat Khulafa 'ur-Rasyidin, Abdullah bin Mughaffal, beberapa golongan ulama salaf maupun khalaf. Hal ini juga menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal.
Menurut Imam Malik, basmalah tidak dibaca sama sekali, baik secara jahr maupun sirri. Mereka mendasarkan pada hadis yang terdapat dalam kitab sahih Muslim, dari Aisyah ra, katanya Rasulullah saw membuka salat dengan takbir dan bacaan alhamdulillahirabbil'alamin.
Juga hadis dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, ia menceritakan, "Aku pernah salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka semua membuka salat dengan bacaan alhamdulillahirabbil'alamin."
Menurut riwayat Muslim, "Mereka tidak menyebutkan bismillahirrahmanirrahim pada awal bacaan dan tidak juga pada akhirnya."
Hal senada juga terdapat dalam kitab Sunan, diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal ra.
Demikianlah dasar-dasar pengambilan pendapat para imam mengenai masalah ini, dan tidak terjadi perbedaan pendapat, karena mereka telah sepakat bahwa salat bagi orang yang menjahrkan atau yang mensirrikan basmalah adalah sah. Segala puji bagi Allah SWT.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Keutamaan Basmalah
Membaca "basmalah" disunahkan pada saat mengawali setiap pekerjaan. Disunahkan juga pada saat hendak masuk ke kamar kecul (toilet). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadis. Selain itu, basmalah juga disunnahkan untuk dibaca di awal wudhu, sebagaimana diriwayatkan oleh hadis marfu' dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab sunan, dari Abu Hurairah, Sa'id bin Zaid dan Abu Sa'id, Nabi saw bersabda yang artinya, "Tidak sempurna wudhu bagi orang yang tidak membaca nama Allah padanya." (Hadis ini Hasan).
Juga disunnahkan dibaca pada saat hendak makan, berdasarkan hadis dalam Sahih Muslim, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepada Umar bin Abi Salamah: "Ucapkan 'bismillah', makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu."
Meski demikian, di antara ulama ada yang mewjibkannya. Disunnahkan pula membaca ketika hendak berijma' (melakukan hubungan badan), berdasarkan hadis dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya, "Seandainya seseorang di antara kalian apabila hendak mencampuri istrinya membaca, 'Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami', jika Allah menakdirkan anak melalui hubungan keduanya, maka anak itu tidak akan diganggu setan selamanya."
Kata "Allah" merupakan nama untuk Rabb. Dikatakan bahwa Allah adalah al-ismul-a'zham (nama yang paling agung), karena nama itu menyandang segala macam sifat, sebagaimana firman Allah yang artinya, "Dialah Allah yang tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 22).
Dengan demikian, semua nama-nama yang baik itu menjadi sifat-Nya. Dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Sesungguhnya Allah itu mempunyai 99 nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang dapat menguasainya, maka ia akan masuk surga."
Mengenai daftar nama yang sesuai dengan jumlah bilangan ini diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Namun, antara kedua riwayat itu terdapat perbedaan tambahan dan pengurangan. (Maksudnya disebutkan di dalam riwayat Tirmizi nama-nama yang tidak disebutkan di dalam riwayat Ibnu Majah, demikian juga sebaliknya, pent).
Nama Allah merupakan nama yang tidak diberikan kepada siapa pun selain diri-Nya, yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab tidak diketahui dari kata apa nama-Nya itu berasal. Maka, di antara para ahli nahwu ada yang menyatakan bahwa nama itu (Allah) adalah ismun jamid, yaitu nama yang tidak mempunyai kata dasar.
Al-Qurthubi mengutip hal itu dari sejumlah ulama yang di antaranya adalah Imam Syafi'i, al-Khathabi, Imamul Haramain, al-Ghazali, dan lain-lain.
Dari al-Khalil dan Sibawaih diriwayatkan bahwa "alif" dan "lam" dalam kata "Allah" merupakan suatu yang lazim (tak terpisahkan). Al-Khathabi mengatakan, "Tidaklah anda menyadari bahwa anda dapat menyerupakan 'ya Allah' dan tidak dapat menyerukan, 'ya ar-Rahman'." Kalau hal itu bukan dari asal kata, maka tidak boleh memasukkan huruf nida' (seruan) terhadap "alif" dan "lam". Ada juga yang berpendapat bahwa kata Allah itu mempunyai kata dasar.
Ar-rahmanirrahim merupakan dua nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-rahmah. Ar-rahman lebih menunjukkan makna yang lebih daripada kata ar-rahim.
Dalam pernyataan Ibnu Jarir, dapat dipahami adanya kecenderungan mengenai hal ini. Sedangkan dalam tafsir sebagian ulama salaf terdapat ungkapan yang menunjukkan hal tersebut.
Al-Qurthubi mengatakan, dalil yang menunjukkan bahwa nama ini musytaq adalah hadis riwayat at-Tirmizi, dari Abdurrahman bin Auf ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Allah Ta'ala berfirman: 'Aku adalah ar-Rahman, Aku telah menciptakan rahim (rahm-kerabat). Aku telah menjadikan untuknya nama dari nama-Ku. Barangsiapa menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya maka Aku pun memutuskannya'."
Ini merupakan nash bahwa nama tersebut adalah musytaq, karena itu tidak diterima pendapat yang menyalahi yang menentang.
Abu Ali al-Farisi mengatakan, ar-rahman merupakan nama yang bersifat umum dalam segala macam bentuk rahmat, dikhususkan bagi Allah SWT semata. Sedangkan ar-rahim, dimaksudkan bagi orang-orang yang beriman. Berkenaan dengan hal ini, Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan Dialah yang Maha Penyanyang kepada orang-orang yang beriman." (Al-Ahzab: 43).
Ibnu al-Mubarak mengatakan ar-Rahman yaitu jika dimintai, Dia akan memberi. Sedangkan ar-Rahim yaitu jika permohonan tidak diajukan kepada-Nya, Dia akan murka. Sebagaimana dalam hadis riwayat at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Shalih al-Farisi al-Khuzui, dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya."
Nama "ar-Rahman" hanya dikhususkan untuk Allah semata, tidak diberikan kepada selain diri-Nya, sebagaimana firman-Nya yang artinya, "Katakanlah: 'Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai al-Asma'ul-husna (nama-nama yang terbaik)'." (Al-Israa': 110).
Oleh karena itu, ketika dengan sombongnya Musailamah al-Kadzdzab menyebut dirinya dengan sebutan rahman al-yamamah, maka Allah pun memakaikan padanya pakaian kebohongan dan membongkarnya, sehingga ia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah si pendusta).
Sedangkan mengenai "ar-Rahim", Allah Ta'ala pernah menyebutkan kata itu untuk selain diri-Nya, yang dalam firman-Nya Allah menyebutkan yang artinya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At-Taubah: 128).
Sebagaimana Dia juga pernah menyebut selain diri-Nya dengan salah satu dari nama-nama-Nya, sebagaimana firman-Nya yang ertinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari seteter air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia sami'an (mendengar) dan bashiran (melihat)." Al-Insan: 2).
Dapat disimpulkan bahwa di antara nama-nama Allah itu ada yang disebutkan untuk selain diri-Nya, tetapu ada juga yang tidak disebutkan untuk selain dri-Nya, misalnya nama Allah, ar-Rahman, al-Khaliq, ar-Razzaq, dan lain-lainya.
Oleh karena itu, Dia memulai dengan nama Allah, dan menyifati-Nya dengan ar-Rahman, karena ar-Rahman itu lebih khusus daripada ar-Rahim.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 2
Alhamdulillahirabbil'alamin (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam)
Al-qurra' as-sab'ah (tujuh ahli qira'ah) membacanya dengan memberi harakat dhammah pada huruf dal pada kalimat alhamdulillah, yang merupakan mubtada' dan khabar.
Abu Ja'far bin Jarir mengatakan, alhamdulillah berarti syukur kepada Allah SWT semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak ada seorang pun selain Dia yang mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya. Selain itu, pemberian rezeki kepada mereka di dunia, serta pelimpahan berbagai nikmat dalam kehidupan yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai peringatan dan seruan kepada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala puji, baik di awal maupun di akhir.
Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan, alhamdulillah merupakan pujian yang disampaikan Allah untuk diri-Nya sendiri. Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka memuji-Nya. Seolah-olah Dia mengatakan, "Ucapkanlah alhamdulillah."
Lebih lanjut Ibnu Jarir menyebutkan, telah dikenal di kalangan para ulama mutaakhirin bahwa al-hamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat-sifat baik yang berkenan dengan dirinya maupun berkenan dengan pihak lain. Adapun asy-syukur tiada lain kecuali dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan lainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan, sebagaiamana diungkapkan oleh seorang penyair yang artinya:
"Nikmat paling berharga, yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam.
Yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini."
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, al-hamdu ataukah asy-syukuru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Alhamdu lebih umum daripada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri dan dengan pihak lain, misalnya Anda katakan, "Aku memujinya (al-hamdu) karena sifatnya yang kesatria dan karena kedermawanannya." Tetapi, juga lebih khusus karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih umum daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui ucapan, perbuatan, dan juga niat, tetapi lebih khusus karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterima kasih kepadanya atas sifatnya yang kesatria. Namun, bisa dikatakan aku berterima kasih kepadanya atas kedermawanan dan kebaikannya kepadaku.
Demikian itulah yang disimpulkan sebagian ulama mutaakhirin, wallahua'lam.
Diriwayatkan dari al-Aswad bin Sari, katanya, aku berkata kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, maukan engkau aku puji dengan berbagai pujian seperti yang aku sampaikan untuk Rabb-ku, Allah Tabaraka wa Ta'ala." Maka beliau bersabda, "Adapun, (sesungguhnya) Rabb-mu menyukai pujian (al-hamdu)." (HR Imam Ahmad dan Nasa'i).
Diriwayatkan Abu Isa, at-Tirmizi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Sebaik-baik zikir adalah kalimat Laa ilaaha illaa Allah, dan sebaik-baik doa adalah alhamdulillah."
Menurut at-Tirmizi, hadis ini hasan gharib. Dan diriwayatkan Ibnu Majah dari Anas bin Malik ra, katanya, Rasulullah saw bersabda, "Allah tidak menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan, alhamdulillah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik daripada yang diambil-Nya."
Alif dan lam pada kata alhimdu dimaksudkan untuk melengkapi bahwa segala macam jenis dan bentuk pujian itu hanya untuk Allah semata.
Arrabb adalah pemilik, penguasa, dan pengendali. Menurut bahasa, kata rabb ditujukan kepada tuan dan kepada yang berbuat untuk perbaikan. Semuanya itu benar bagi Allah Ta'ala. Kata ar-rabb tidak digunakan untuk selain dari Allah kecuali jika dibenarkan tambahan dengan kata lain setelahnya, misalnya rabbuddar (pemilik rumah). Sedangkan kata ar-rabb (secara mutlak), maka hal itu hanya boleh digunakan untuk Allah SWT.
Ada yang mengatakan, bahwa ar-rabb itu merupakan nama yang agung (al-ismul a'zham). Sedangkan al'alamin adalah bentuk jamak dari kata 'alamun yang berarti segala sesuatu yang ada selain Allah SWT. 'Alamun merupakan jamak yang tidak memiliki mufrad (bentuk tunggal) dari kata itu. Al'awalim berarti berbagai macam makhluk yang ada di langit, bumi, daratan, lautan. Dan setiap angkatan (pada suatu kurun/zaman) atau generasi disebut juga alam.
Bisyr bin Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq dari adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas, "Alhamdulillahirabbil 'alamin. Artinya, segala puji bagi Allah pemilik seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di antara keduanya ini adalah kepunyaan-Nya, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui."
Az-Zajjaj mengatakan, al'alam berarti semua yang diciptakan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Sedangkan al-Qurthubi mengatakan, apa yang dikatakan az-Zajjaj itulah yang benar, karena mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat).
Menurut penulis (Ibnu Katsir) al'alam berasal dari kata al'alamatu, karena alam merupakan bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta keesaan-Nya. Sebagaimana Ibnu al-Mu'taz pernah mengatakan, "Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang bisa mendurhakain Rabb, atau mengingkari-Nya, padalah terdapat dalam segala sesuatu, ayat untuk-Nya yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa."
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 3
Arrahmairahim (Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)
Arrahmanirahim, mengenai pembahasannya telah dikemukan dalam pembahasan basmalah, sehingga tidak perlu diulangi lagi.
Al-Qurthubi mengatakan, Allah menyifati diri-Nya dengan ar-rahman dan ar-rahim setelah rabbul 'alamin, untuk meyelingi anjuran (targhib) sesudah peringatan (tahib). Sebagaimana difirmankan-Nya yang artinya, "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih." (Al-Hajj: 49 -- 50).
Juga fiman-Nya, "Sesungguhnya Rabb-mu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-An'am: 165).
Kata al-Quthubi selanjutnya, "Ar-Rabb merupakan peringatan, sedangkan ar-Rahman ar-Rahim meupakan anjuran. Dalam sahih Muslim disebutkan hadis yang diiwayatkan dari Abu Hurairah, katanya, Rasulullah saw bersabda yang artinya, " Seandainya seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada pada sisi Allah, niscaya tidak seorang pun yang bersemangat dalam (meraih) surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk mendapatkan rahmat-Nya."
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam asy-Syafi'i
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Re: Tafsir al fatehah
Al-Fatihah
Abu Bakar bin al-Anbari meriwayatkan dari Qatadah,
ia menuturkan, surat-surat dalam Alquran yang turun di Madinah adalah surat
Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisaa', Al-Maidah, Bara'ah, Ar-Ra'ad, An-Nahl,
Al-Hajj, An-Nuur, Al-Ahzab, Muhammad, Al-Hujurat, Ar-Rahman, Al-Hadid,
Al-Mujadalah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, Ash-Shaff, Al-Jumu'ah, Al-Munafiqun,
At-Taghabun, Ath-Thalaq, dan ayat "Yaa ayyuhannabiyyu lima tuharrimu"
sampai pada ayat kesepuluh, Az-Zalzalah, dan An-Nashr. Semua surat di atas
diturunkan di Madinah, dan surat-surat yang lainnya diturunkan di Mekah.
Jumlah ayat di dalam Alquran ada 6000 ayat. Telah
terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah yang lebih dari enam ribu tersebut.
Di antaranya ada yang menyatakan tidak lebih dari enam ribu tersebut. Di
antaranya ada yang menyatakan tidak lebih dari jumlah itu, ada pula yang
menyatakan jumlahnya 6236. Demikian disebutkan oleh Abu Amr al-Dani dalam
kitabnya al-Bayan.
Mengenai jumlah kata, menurut al-Fadhl bin Syadzan
dari Atha' bin Yasar sebanyak 77.439 kata. Adapun mengenai hurufnya, Salam Abu
Muhammad al-Hamami mengatakan, al-Hajjaj (al-Hajjaj bin Yusuf-pent.) pernah
mengumpulkan para qurra' (ahli bacaan Alquran), huffadz (para penghafal
Alquran), dan kuttab (para penulis Alquran), lalu ia mengatakan,
"Beritahukan kepadaku mengenai Alquran secara keseluruhan, berapa
hurufnya?" Setelah dihitung, mereka sepakat bahwa jumlahnya 340.740 huruf.
Kemudian Hajjaj mengatakan, "Sekarang beritahukan kepadaku mengenai
pertengahan Alquran." Dan ternyata pertengahan Alquran itu adalah huruf
"Fa" dalam kalimat "walyatalathof" pada surat Al-Kahfi.
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti kata
surat, dari kata apa ia diambil? Ada yang berpendapat bahwa kata
"al-suuroh" itu berasal dari kata "al-ibaanah" (kejelasan)
dan "al-irtifaa'" (ketinggian).
Seorang penyair, an-Nabighah, mengatakan,
"Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Allah telah memberimu kedudukan yang
tinggi, yang engkau melihat setiap raja di hadapannya merasa bimbang."
Dengannya pembaca berpindah dari satu tingkatan ke
tingkatan lainnya. Ada yang mengatakan, karena kemuliaan dan ketinggiannya
laksana pagar negeri. Ada juga yang mengatakan disebut surat karena ia potongan
dan bagian dari Alquran yang berasal dari kata "asraaru alinaa", yang
berarti sisa dari bagian kata yang asalnya berhamzah, kemudian hamzah tersebut
diganti menjadi (dhammah) wawu karena huruf sebelumnya berdhammah. Ada juga
yang mengatakan, disebut surat karena kelengkapan dan kesempurnaannya, karena
bangsa Arab menyebut unta yang sempurna dengan surat. Menurut penulis, boleh
juga berasal dari rangkuman dan liputan terhadap ayat-ayat yang dikandungnya,
seperti halnya pagar negeri disebut demikian karena meliputi rumah dan tempat
tinggal penduduknya.
Jama' "al-surah" adalah
"suwarun". Ada juga yang menjama'nya dengan kata "suuraat"
dan "suwaraat". Adapun ayat merupakan tanda pemutus kalimat
sebelumnya dengan yang sesudahnya, artinya terpisah dan tersendiri dari lainnya.
Allah I berfirman, "Inna ayatu mulkihi (sesungguhnya ayat (tanda)
kekuasaan-Nya)." (Al-Baqarah: 248).
An-Nabighah berkata, "Aku membayangkan
ciri-cirinya, maka aku pun mengenalnya. Setelah berlalu enam tahun dan sekarang
yang ketujuh."
Ada juga yang menyatakan disebut ayat karena ia
merupakan kumpulan dan kelompok huruf-huruf Alquran. Sebagaimana dikatakan,
mereka keluar dengan ayatnya, yaitu dengan kelompoknya.
Seorang penyair mengatakan, "Kami keluar dari
Nagbain, tiada kampung seperti kami. Dengan membawa serta kelompok kami, kami
menggiring ternak unta."
Ada juga yang menyatakan, disebut
"aayatun?" karena ia merupakan suatu keajaiban yang tak sanggup
manusia berbicara sepertinya. Sibawaih mengatakan, kata itu berasal dari kata
"ayayatun", seperti "akmaatun" dan "syajaratun"
lalu huruf "ya" yang satu berubah menjadi alif, sehingga menjadi
" aayatun". Jama'nya adalah "ayyun" atau
"ayatun".
Adapun yang dimaksud kalimat (kata) itu adalah satu
lafaz saja, tetapi bisa juga terdiri dari dua huruf, misalnya "maa",
"laa", dan lain sebagainya. Atau, bahkan lebih dari dua huruf, dan
paling banyak adalah sepuluh huruf, misalnya "fa asqainakumuhu. Dan,
terkadang satu kalimah menjadi ayat. Abu Amr ad-Daani mengatakan, "aku
tidak mengetahui satu kalimah merupakan satu ayat, kecuali firman Allah
"mudammataan" yang terdapat dalam surat Ar-Rahman."
Al-Qurthubi mengatakan, "Para ulama sepakat
bahwa di dalam Alquran tidak terdapat sedikit pun suatu susunan kata yang
a'jamiy (non Arab). Dan, mereka sepakat bahwa di dalam Alquran itu terdapat
beberapa nama asing (non-Arab) misalnya lafazh Ibrahim.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. (QS. 1: 1).
Disebut Al-Fatihah artinya pembukaan kitab secara
tertulis. Dengan Al-Fatihah itu dibuka bacaan di dalam salat.
Anas bin Malik menyebutkan, Al-Fatihah itu disebut
juga Ummul Kitab menurut jumhurul ulama. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan
al-Tirmidzi dari Abu Hurairah, ia menuturkan, Rasulullah bersabda, "alhamdulillahi rabbil
"alamin" adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab, as-Sab'ul Matsani (tujuh
ayat yang dibaca berulang-ulang), dan Alquranul Azhim."
Surat ini disebut juga dengan sebutan al-Hamdu dan
ash-Shalah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw, dari Rabbnya, Dia
berfirman, "Aku membagi salat antara diriku dengan hamba-Ku menjadi dua
bagian. Jika seorang hamba mengucapkan, 'alhamdulillahi rabbil 'alamin', maka
Allah berfirman, Aku telah dipuji oleh hamba-Ku."
Al-Fatihah disebut Ash-Shalah, karena Al-Fatihah itu
sebagai syarat sahnya salat. Selain itu, Al-Fatihah disebut juga Asy-Syifa'.
Berdasarkan hadis riwayat ad-Darimi dari Abu Sa'id, sebagai hadis marfu',
"Fatihatul kitab itu merupakan syifa' (penyembuh) dari setiap racun."
Juga disebut ar-Ruqyah. Berdasarkan hadis Abu Sa'id,
yaitu ketika menjampi (ruqyah) seseorang yang terkena sengatan, maka Rasulullah
saw bersabda, "Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah itu adalah
ruqyah."
Surat Al-Fatihah diturunkan di Mekkah (Makkiyah).
Demikian dikatakan Ibnu Abbas, Qatadah, dan Abu al-'Aliyah. Tetapi, ada juga
yang berpendapat bahwa surat ini turun di Madinah (Madaniyah). Inilah pendapat
Abu Hurairah, Mujahid, Atha' bin Yasar, dan az-Zuhri. Ada yang berpendapat,
surat Al-Fatihah turun dua kali, sekali turun di Mekah dan yang sekali lagi di
Madinah.
Pendapat pertama lebih serupa dengan firman Allah, "Dan Sesungguhnya Kami telah berikan
kepadamu sab'an minal matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)."
(Al-Hijr: 87). Wallahu a'lam.
Dan surat ini, secara sepakat, terdiri dari tujuh
ayat. Hanya saja terdapat perbedaan pada masalah basmalah, apakah sebagai ayat
yang berdiri sendiri pada awal surat Al-Fatihah, sebagaimana menurut kebanyakan
para qurra' Kufah, dan pendapat segolongan sahabat dan tabi'in, atau bukan
sebagai ayat pertama dari surat tersebut, sebagaimana yang dikatakan para
qurra' dan ahli fiqih Madinah. Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat, yang
insya Allah akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya.
Mereka mengatakan, surat Al-Fatihah terdiri dari 25
kata dan 113 huruf. Al-Bukhari mengatakan dalam awal kitab tafsir,
"Disebut Ummul Kitab, karena Al-Fatihah ditulis pada permulaan Alquran dan
mulai dibaca pada permulaan
salat. Ada juga yang berpendapat, disebut demikian
karena seluruh makna Alquran kembali kepada apa yang dikandungnya."
Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menyebut
"umm" untuk semua yang mencakup atau mendahului sesuatu jika
mempunyai hal-hal lain yang mengikutinya dan ia sebagai pemuka yang
meliputinya. Seperti umm al-ra's, sebutan untuk kulit yang mengandung otak. Mereka
menyebut bendera dan panji tempat berkumpulnya pasukan dengan umm.
Dzu ar-Rummah mengatakan, "Pada ujung tombak
itu terdapat panji kami, yang menjadi lambang bagi kami, sebagai pedoman segala
urusan, yang sedikitpun tak kan kami meng-khianatinya."
Maksudnya tombak. Mekah disebut umm al-Qura karena
keberadaannya terlebih dahulu dan sebagai penghulu bagi kota-kota lain. Ada
juga yang berpendapat karena bumi terbentang darinya.
Dan, benar disebut as-Sab'ul Matsani karena dibaca
berulang-ulang dalam salat, pada setiap rakaat, meskipun kata al-Matsani
memiliki makna lain, sebagaimana akan dijelaskan pada tempatnya, insya Allah.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id bin
al-Muallat, katanya, "Aku pernah mengerjakan salat, lalu Rasulullah saw
memanggilku, tetapi aku tidak menjawabnya, hingga aku menyelesaikan salat.
Setelah itu, aku mendatangi beliau, maka beliau pun bertanya, 'Apa yang menghalangimu
datang kepadaku?' Maka aku menjawab, 'Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tadi
sedang mengerjakan salat'. Lalu beliau bersabda, 'Bukankah Allah Ta'ala telah
berfirman, 'Wahai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyerumu kepada
yang memberi kehidupan kepadamu'. ( Al-Anfal: 24). Dan, setelah itu beliau
bersabda, 'Akan aku ajarkan kepadamu suatu surat yang paling agung di dalam
Alquran sebelum engkau keluar dari masjid ini'. Maka, beliau pun menggandeng
tanganku. Dan, ketika beliau hendak keluar dari masjid, aku katakan, 'Ya
Rasulullah, engkau tadi telah berkata akan mengajarkan kepadaku surat yang
paling agung di dalam Alquran'. Kemudian beliau menjawab, 'Benar', "Al
hamdulillahi rabbil 'alamin", ia adalah as-Sab'ul Matsani dan Alquran
al-Azhim yang telah diturunkan kepadaku."
Demikian pula yang diriwayatkan al-Bukhari, Abu
Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, melalui beberapa jalan dari Syu'bah, para
ulama menjadikan hadis ini dan semisalnya sebagai dalil keutamaan dan kelebihan
sebagian ayat dan surat atas yang lainnya, sebagaimana disebutkan banyak ulama,
di antaranya Ishak bin Rahawaih, Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Ibnu al-Haffar
seorang penganut mazhab Maliki.
Sementara, sekelompok lainnya berpendapat bahwasanya
tidak ada keutamaan suatu ayat atau surat atas yang lainnya, karena semuanya
merupakan firman Allah Ta'ala. Supaya hal itu tidak menimbulkan dugaan adanya
kekurangan pada ayat yang lainnya, meski semuanya itu memiliki keutamaan.
Pendapat ini dinukil oleh al-Qurthubi dari al-Asy'ari, Abu Bakar al-Baqillani,
Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti, Abu Hayyan, Yahya bin Yahya, dan sebuah riwayat
dari Imam Malik.
Ada hadis riwayat al-Bukhari dalam kitab Fadhailul Qur'an, dari Abu Sa'id
al-Kudri, katanya, "Kami pernah berada dalam suatu perjalanan, lalu kami
singgah, tiba-tiba seorang budak wanita datang seraya berkata,
"Sesungguhnya kepala suku kami tersengat, dan orang-orang kami sedang
tidak berada di tempat, apakah di antara kalian ada yang bisa memberi
ruqyah?" Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri bersamanya, yang kami
tidak pernah menyangkanya punya ruqyah. Kemudian orang itu membacakan ruqyah,
maka kepala sukunya itu pun sembuh. Lalu, ia (kepala suku) menyuruhnya diberi
tiga puluh ekor kambing, sedang kami diberi minum susu. Setelah ia kembali,
kami bertanya kepadanya, "Apakah engkau memang pandai dan biasa
meruqyah?" Maka ia pun menjawab, "Aku tidak meruqyah, kecuali dengan
ummul kitab (Al-Fatihah)." "Jangan berbuat apa pun sehingga kita
datang dan bertanya kepada Rasulullah saw," sahut kami. Sesampai di
Madinah kami menceritakan hal itu kepada Nabi saw, maka beliau pun bersabda,
"Dari mana dia tahu bahwa surat Al-Fatihah itu sebagai ruqyah (jampi),
bagi-bagilah kambing-kambing itu dan berikan satu bagian kepadaku." Demikian
pula riwayat Muslim dan Abu Dawud.
Hadis lainnya, riwayat Muslim dalam kitab sahih
an-Nasa'i dalam kitab sunan dari Ibnu Abbas, katanya, "Ketika Rasulullah
saw sedang bersama malaikat Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar suara dari atas.
Maka, Jibril mengarahkan pendangannya ke langit seraya berkata, "Itulah
pintu telah dibuka dari langit yang belum pernah terbuka sebelumnya." Ibnu
Abbas melanjutkan, "Dari pintu itu turun malaikat dan kemudian menemui
Nabi saw seraya berkata, 'Sampaikanlah berita gembira kepada umatmu mengenai
dua cahaya. Kedua cahaya itu telah diberikan kepadamu, yang belum pernah sama
sekali diberikan kepada seorang nabi pun sebelum dirimu, yaitu fatihatul kitab
dan beberapa ayat terakhir surat Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf
saja darinya melainkan akan diberi (pahala) kepadamu'."
Lafaz hadis di atas berasal dari al-Nasa'i. Lafaz
yang sama juga diriwayatkan Muslim. Muslim juga meriwayatkan hadis dari Abu
Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, "Barangsiapa yang mengerjakan salat
tanpa membaca ummul Qur'an, maka salatnya itu tidak sempurna… tidak sempurna…
tidak sempurna."
Dikatakan kepada Abu Hurairah, "Kami berada di
belakang imam." Maka Abu Hurairah berkata, "Bacalah Al-Fatihah itu di
dalam hatimu, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Allah Ta'al
berfirman, 'Aku telah membagi salat dua
bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta'.
Jika ia mengucapkan, 'alhamdulillahi rabbil
'alamin', maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah memuji-Ku'. Dan jika ia
mengucapkan, ' Arrahmanirrahimi', maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah
menyanjung-Ku'. Jika ia mengucapkan, 'Malikiyaumiddin', maka Allah berfirman,
'Hamba-Ku telah memuliakan-Ku'. Dan pernah Abu Hurairah menuturkan, 'Hamba-Ku
telah berserah diri kepada-Ku'. Jika ia mengucapkan, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka
nasta'in', maka Allah berfirman, 'Inilah bagian diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk
hamba-Ku apa yang ia minta'. Dan jika ia mengucapkan, 'Ihdinashirathalmaustqim
shirathaladzina an'amta 'alaihim ghairil maghdhubi 'alaihim waladholin', maka
Allah berfirman, 'Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula yang apa yang ia
minta'."
(Demikian pula diriwayatkan an-Nasa'i).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Penjelasan mengenai hadis tersebut yang khusus
tentang Al-Fatihah (lihat kajian sebelum ini), terdiri dari beberapa hal:
pertama, disebutkan dalam hadis tersebut kata salat, dan maksudnya adalah bacaan,
seperti firman Allah, "Janganlah
engkau mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula merendahkannya serta
carilah jalan tengah di antara keduanya itu." (Al-Isra': 110).
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih dari Ibnu
Abbas. Demikian pula firman Allah dalam hadis ini, "Aku telah membagi salat dua bagian di antara diriku dengan
hamba-Ku. Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi
hamba-Ku apa yang ia minta."
Kemudian Dia jelaskan pembagian itu secara rinci
dalam bacaan Al-Fatihah. Hal itu menunjukkan keagungan bacaan Al-Fatihah dalam
salat merupakan rukun utama. Apabila disebutkan kata ibadah dalam satu bagian,
sedangkan yang dimaksud satu bagian lainnya, artinya bacaan Al-Fatihah.
Sebagaimana disebutnya kata bacaan sedang maksudnya adalah salat itu sendiri,
dalam firman-Nya, "Dan dirikanlah
salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."
(Al-Isra: 78). Sebagaimana secara jelas disebutkan di dalam kitab sahih Bukhari
dan Muslim, "Salat Subuh itu
disaksikan oleh malaikat malam dan malaikat siang." Semuanya itu
menunjukkan bahwa menurut kesepakatan para ulama, bacaan Al-Fatihah dalam salat
merupakan suatu hal yang wajib. Namun demikian, mereka berbeda pendapat
mengenai apakah selain Al-Fatihah ada surat tertentu yang harus dibaca, atau
cukup Al-Fatihah saja? Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Menurut Abu
Hanifah, para pengikutnya, dan juga yang lainnya, bahwasanya bacaan Alquran itu
tidak ditentukan, tetapi surat atau ayat apa pun yang dibaca, maka akan memperoleh
pahala. Mereka berhujjah dengan keumuman firman Allah Ta'ala, "Maka bacalah olehmu apa yang mudah
bagimu dari Alquran."
(
Al-Muzzammil: 20).
Dan hadis yang terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah ra mengenai kisah orang yang ku-rang baik dalam
mengerjakan salatnya, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, "Jika engkau mengerjakan salat, maka
bertakbirlah, lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Alquran."
Menurut mereka, Rasulullah memerintahkannya untuk
membaca yang mudah dari Alquran dan beliau tidak menentukan bacaan Al-Fatihah
atau surat lainnya. Hal itu yang menjadi pendapat kami.
Kedua, diharuskan membaca Al-Fatihah dalam salat,
dan tanpa Al-Fatihah maka salatnya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik,
Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, para sahabat mereka, serta jumhurul ulama.
Pendapat mereka ini didasarkan pada hadis yang disebutkan sebelumnya, di mana
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa
mengerjakan suatu salat, lalu ia tidak membaca ummul kitab di dalamnya, maka
salatnya itu terputus." (HR Muslim, al-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Abu
Dawud, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw).
Selain itu, mereka juga mendasarkannya pada hadis
yang terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, dari az-Zuhri, dari
Mahmud bin az-Rabi', dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata, Rasulullah saw
bersabda, "Tidak sah salat bagi
orang yang tidak membaca 'fatihatul kitab'."
Dan diriwayatkan dalam sahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, "Tidak sah salat yang di dalamnya tidak dibacakan ummul
Quran."
Hadis-hadis mengenai hal ini sangat banyak, dan
terlalu panjang jika kami kemukakan di sini tentang perdebatan mereka. Dan kami
telah kemukakan pendapat mereka masing-masing dalam hal ini. Kemudian, Imam
Syafi'i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa bacaan Al-Fatihah wajib
dilakukan pada setiap rakaat dalam salat. Sedang ulama lainnya menyatakan,
bacaan Al-Fatihah itu hanya pada sebagian besar rakaat. Hasan Al-Bashri dan
mayoritas ulama Bashrah mengatakan, bacaan Al-Fatihah itu hanya wajib dalam
satu rakaat saja pada seluruh salat, berdasarkan pada kemutlakan hadis
Rasulullah saw, dimana beliau bersabda, "Tidak sah salat bagi orang yang
tidak membaca 'fatihatul kitab'."
Sedangkan Abu Hanifah dan para sahabatnya,
ats-Tsauri, serta al-Auza'i berpendapat, bacaan Al-Fatihah itu bukan suatu hal
yang ditentukan (diwajibkan), bahkan jika seseorang membaca selain Al-Fatihah,
maka ia tetap mendapatkan pahala. Hal itu didasarkan pada firman Allah,
"Maka bacalah olehmu apa yang mudah bagimu dari Alquran."
(Al-Muzzammil: 20). Wallahu a'lam.
Ketiga, Apakah makmum juga berkewajiban membaca
Al-Fatihah? Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama, setiap makmum tetap berkewajiban
membaca Al-Fatihah sebagaimana imam. Hal itu didasarkan pada keumuman hadis di
atas.
Pendapat kedua, tidak ada kewajiban membaca
Al-Fatihah atau surat lainnya bagi makmum sama sekali, baik dalam salat jahr
(bacaan yang dikeraskan) maupun salat sirri (tidak dikeraskan). Hal itu
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Musnad, dari Jabir bin Abdullah,
bahwa Nabi saw bersabda, "Barangsiapa
salat bersama seorang imam, maka bacaan imam itu berarti bacaan untuk makmum
juga." Namun, hadis ini memiliki kelemahan dalam isnadnya. Dan
diriwayatkan Imam Malik dari Wahab bin Kaisan, dari Jabir. Juga diriwayatkan
dari beberapa jalan dan tidak satupun berasal dari Nabi saw. Wallahu a'lam.
Pendapat ketiga, Al-Fatihah wajib dibaca oleh makmum
dalam salat sirri, dan tidak wajib baginya membaca dalam salat jahri. Hal itu
sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Sahih Muslim, dari Abu Musa al-Asy'ari, katanya, Rasulullah saw
bersabda, "Sesungguhnya imam itu
dijadikan sebagai panutan. Jika ia bertakbir, maka hendaklah kalian bertakbir.
Dan jika ia membaca (Al-Fatihah atau surat Alquran), maka simaklah oleh
kalian…." (Dan seterusnya).
Demikian pula diriwayatkan oleh para penyusun kitab as-Sunan, yaitu Abu Dawud, an-Nasa'i dan
Ibnu Majah yang berasal dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, "Jika imam membaca (Al-Fatihah atau
surat Alquran), maka simaklah oleh kalian." Hadis ini telah dinyatakan
sahih oleh Muslim bin Hajjaj. Kedua hadis di atas menunjukkan kesahihan
pendapat ini yang merupakan Qaulun qadim (pendapat lama) Imam Syafi'i
rahimahullahu, dan satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu. Dan
maksud dari pengangkatan masalah-masalah tersebut di sini adalah untuk
menjelaskan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengan surat Al-Fatihah dan tidak
berkenaan dengan surat-surat lainnya.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Allah SWT berifman yang artinya, "Jika kamu membaca Alquran, maka hendaklah
kamu minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. sesungguhnya
setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal
kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) itu hanyalah atas orang-orang
yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya
dengan Allah." (An-Nahl: 98 -- 100).
Yang masyhur menurut jumhurul ulama bahwa isti'adzah
dilakukan sebelum membaca Alquran guna mengusir godaan setan. Menurut mereka,
ayat yang berbunyi, (yang artinya) "Jika
kamu hendak membaca Alquran, maka hendaklah kamu minta perlindungan kepada
Allah dari setan yang terkutuk," artinya jika kamu hendak membaca.
Sebagaimana firman-Nya, (yang artinya) "Jika kamu hendak mendirikan salat,
maka basuhlah wajah dari kedua tangnmu." (Al-Maidah: 6), artinya jika
kalian bermaksud mendirikan salat.
Penafsiran seperti itu didasarkan pada beberapa
hadis dari Rasulullah saw. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri,
katanya, jika Rasulullah saw hendak mendirikan salat malam, maka beliau membuka
salatnya dan bertakbir seraya mengucapkan, "Subhaanaka Allaahumma
wabihamdika wa tabaa raka....................." (Maha Suci Engkau, ya
Allah, dan puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu. Tidak
ada ilah yang haq melainkan Engkau). Kemudian beliau mengucapkan, "Laa
ilaha illallaah" (tidak ada ilah yang haq kecuali Allah) sebanyak tiga
kali. Setelah itu beliau mengucapkan, "Aku berlindung kepada Allah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan,
tipuan, dan hembusannya."
Hadis ini diriwayatkan juga oleh empat penyusun
kitab as-Sunan dari riwayat Ja'far
bin Sulaiman, dari Ali bin Ali ar-Rifa'i, at-Tirmizi mengatakan baha hadis ini
merupakan yang paling masyhur dalam masalah ini. Dan, kata al-hamz ditafsirkan
sebagai cekikan (sampai mati), an-nafkh sebagai kesombongan, dan an-nafts
sebagai syair.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad ra
katanya, "Ada dua orang yang saling mencela di hadapan Rasulullah saw,
sedang kami duduk di hadapan beliau. Salah seorang dari keduanya mencela
lainnya dalam keadaan marah dengan wajah yang merah padam. Maka Rasulullah saw
bersabda, 'Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalimat yang jika ia
mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Jika ia
mengucapkan, 'A'uudzubillaahiminasysyaithoonirrajiimi'."
Kemudian para sahabat berkata kepada orang itu,
"Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw?"
Orang itu menyahut, "Sesungguhnya aku bukanlah orang yang tewas."
Hadis di atas juga diriwayatkan bersama Imam Muslim,
Abu Dawud, dan an-Nasa'i, melalui beberapa jalan dari al-A'masy.
Catatan:
1. Jumhurul ulama berpendapat
bahwa isti'adzah itu sunnah hukumnya dan bukan suatu kewajiban, sehingga berdoa
bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasannya ia
tidak membaca ta'awudz dalam mengerjakan salat wajib.
2. Dalam kitab al-Imla', Imam
asy-Syafi'i mengatakan, "Dianjurkan membaca ta'awudz dengan jahr, tetapi
jika dibaca dengan sirri juga tidak apa-apa." Sedangkan dalam kitab al-Umm, beliau mengatakan, diberikan
pilihan, boleh membaca ta'awudz, boleh juga tidak. Dan jika orang yang memohon
perlindungan itu membaca a'uudzubillaahiminasysyaithoonirrajiimi,
maka cukuplah baginya.
3. Menurut Abu Hanifah dan
Muhammad, ta'awudz itu dibaca di dalam salat untuk membaca Alquran. Sedangkan
Abu Yususf berpendapat, bahwa ta'awudz itu justru dibaca untuk salat.
Berdasarkan
hal ini, seorang makmum hendaklah membaca ta'awudz dalam salat Ied setelah
takbiratul Ihram dan sebelum membaca takbir-takbir Ied. Dan menurut jumhurul
ulama, ta'awudz itu dibaca setelah takbir sebelum membaca Al-Fatihah atau surat
Alquran.
Di antara manfaat ta'awudz adalah untuk menyucikan
dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faedah dan buruk.
Ta'awudz ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah. Artinya, memohon
pertolongan kepada Allah sekaligus memberikan pengakuan atas kekuasann-Nya,
kelemahan sebagai hamba, dan ketidakberdayaannya dalam melawan musuh yang
sesungguhnya (setan), yang bersifat batiniyah, yang tidak ada orang yang mampu
menolak dan mengusirnya kecuali Allah yang telah menciptakannya.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu
tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai penjaga."
(Al-Isra': 65).
Dan, para malaikan telah turun untuk memerangi musuh
dari kalangan manusia. Barangsiapa yang dibunuh oleh musuh yang bersifat
lahiriyah yang berasal dari kalangan manusia, maka ia meninggal sebagai syahid. Barangsiapa dibunuh oleh musuh
yang bersifat batiniah, maka sebagai tharid.
Dan barangsiapa yang dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka ia akan
mendapatkan pahala, dan barangsiapa dikalahkan oleh musuh batini (setan), maka
ia tertipu atau menanggung dosa. Karena, setan dapat melihat manusia, sedangkan
manusia tidak dapat melihatnya, maka ia memohon perlindungan kepada Rabb yang
melihat setan, sedang setan itu tidak melihat-Nya.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
(Pembukaan)
Surat Makiyyah;
Surat Ke-1; 7 ayat
Pendahuluan
Surat Makiyyah;
Surat Ke-1; 7 ayat
Pendahuluan
Abu Bakar bin al-Anbari meriwayatkan dari Qatadah,
ia menuturkan, surat-surat dalam Alquran yang turun di Madinah adalah surat
Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisaa', Al-Maidah, Bara'ah, Ar-Ra'ad, An-Nahl,
Al-Hajj, An-Nuur, Al-Ahzab, Muhammad, Al-Hujurat, Ar-Rahman, Al-Hadid,
Al-Mujadalah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, Ash-Shaff, Al-Jumu'ah, Al-Munafiqun,
At-Taghabun, Ath-Thalaq, dan ayat "Yaa ayyuhannabiyyu lima tuharrimu"
sampai pada ayat kesepuluh, Az-Zalzalah, dan An-Nashr. Semua surat di atas
diturunkan di Madinah, dan surat-surat yang lainnya diturunkan di Mekah.
Jumlah ayat di dalam Alquran ada 6000 ayat. Telah
terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah yang lebih dari enam ribu tersebut.
Di antaranya ada yang menyatakan tidak lebih dari enam ribu tersebut. Di
antaranya ada yang menyatakan tidak lebih dari jumlah itu, ada pula yang
menyatakan jumlahnya 6236. Demikian disebutkan oleh Abu Amr al-Dani dalam
kitabnya al-Bayan.
Mengenai jumlah kata, menurut al-Fadhl bin Syadzan
dari Atha' bin Yasar sebanyak 77.439 kata. Adapun mengenai hurufnya, Salam Abu
Muhammad al-Hamami mengatakan, al-Hajjaj (al-Hajjaj bin Yusuf-pent.) pernah
mengumpulkan para qurra' (ahli bacaan Alquran), huffadz (para penghafal
Alquran), dan kuttab (para penulis Alquran), lalu ia mengatakan,
"Beritahukan kepadaku mengenai Alquran secara keseluruhan, berapa
hurufnya?" Setelah dihitung, mereka sepakat bahwa jumlahnya 340.740 huruf.
Kemudian Hajjaj mengatakan, "Sekarang beritahukan kepadaku mengenai
pertengahan Alquran." Dan ternyata pertengahan Alquran itu adalah huruf
"Fa" dalam kalimat "walyatalathof" pada surat Al-Kahfi.
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti kata
surat, dari kata apa ia diambil? Ada yang berpendapat bahwa kata
"al-suuroh" itu berasal dari kata "al-ibaanah" (kejelasan)
dan "al-irtifaa'" (ketinggian).
Seorang penyair, an-Nabighah, mengatakan,
"Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Allah telah memberimu kedudukan yang
tinggi, yang engkau melihat setiap raja di hadapannya merasa bimbang."
Dengannya pembaca berpindah dari satu tingkatan ke
tingkatan lainnya. Ada yang mengatakan, karena kemuliaan dan ketinggiannya
laksana pagar negeri. Ada juga yang mengatakan disebut surat karena ia potongan
dan bagian dari Alquran yang berasal dari kata "asraaru alinaa", yang
berarti sisa dari bagian kata yang asalnya berhamzah, kemudian hamzah tersebut
diganti menjadi (dhammah) wawu karena huruf sebelumnya berdhammah. Ada juga
yang mengatakan, disebut surat karena kelengkapan dan kesempurnaannya, karena
bangsa Arab menyebut unta yang sempurna dengan surat. Menurut penulis, boleh
juga berasal dari rangkuman dan liputan terhadap ayat-ayat yang dikandungnya,
seperti halnya pagar negeri disebut demikian karena meliputi rumah dan tempat
tinggal penduduknya.
Jama' "al-surah" adalah
"suwarun". Ada juga yang menjama'nya dengan kata "suuraat"
dan "suwaraat". Adapun ayat merupakan tanda pemutus kalimat
sebelumnya dengan yang sesudahnya, artinya terpisah dan tersendiri dari lainnya.
Allah I berfirman, "Inna ayatu mulkihi (sesungguhnya ayat (tanda)
kekuasaan-Nya)." (Al-Baqarah: 248).
An-Nabighah berkata, "Aku membayangkan
ciri-cirinya, maka aku pun mengenalnya. Setelah berlalu enam tahun dan sekarang
yang ketujuh."
Ada juga yang menyatakan disebut ayat karena ia
merupakan kumpulan dan kelompok huruf-huruf Alquran. Sebagaimana dikatakan,
mereka keluar dengan ayatnya, yaitu dengan kelompoknya.
Seorang penyair mengatakan, "Kami keluar dari
Nagbain, tiada kampung seperti kami. Dengan membawa serta kelompok kami, kami
menggiring ternak unta."
Ada juga yang menyatakan, disebut
"aayatun?" karena ia merupakan suatu keajaiban yang tak sanggup
manusia berbicara sepertinya. Sibawaih mengatakan, kata itu berasal dari kata
"ayayatun", seperti "akmaatun" dan "syajaratun"
lalu huruf "ya" yang satu berubah menjadi alif, sehingga menjadi
" aayatun". Jama'nya adalah "ayyun" atau
"ayatun".
Adapun yang dimaksud kalimat (kata) itu adalah satu
lafaz saja, tetapi bisa juga terdiri dari dua huruf, misalnya "maa",
"laa", dan lain sebagainya. Atau, bahkan lebih dari dua huruf, dan
paling banyak adalah sepuluh huruf, misalnya "fa asqainakumuhu. Dan,
terkadang satu kalimah menjadi ayat. Abu Amr ad-Daani mengatakan, "aku
tidak mengetahui satu kalimah merupakan satu ayat, kecuali firman Allah
"mudammataan" yang terdapat dalam surat Ar-Rahman."
Al-Qurthubi mengatakan, "Para ulama sepakat
bahwa di dalam Alquran tidak terdapat sedikit pun suatu susunan kata yang
a'jamiy (non Arab). Dan, mereka sepakat bahwa di dalam Alquran itu terdapat
beberapa nama asing (non-Arab) misalnya lafazh Ibrahim.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang. (QS. 1: 1).
Disebut Al-Fatihah artinya pembukaan kitab secara
tertulis. Dengan Al-Fatihah itu dibuka bacaan di dalam salat.
Anas bin Malik menyebutkan, Al-Fatihah itu disebut
juga Ummul Kitab menurut jumhurul ulama. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan
al-Tirmidzi dari Abu Hurairah, ia menuturkan, Rasulullah bersabda, "alhamdulillahi rabbil
"alamin" adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab, as-Sab'ul Matsani (tujuh
ayat yang dibaca berulang-ulang), dan Alquranul Azhim."
Surat ini disebut juga dengan sebutan al-Hamdu dan
ash-Shalah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw, dari Rabbnya, Dia
berfirman, "Aku membagi salat antara diriku dengan hamba-Ku menjadi dua
bagian. Jika seorang hamba mengucapkan, 'alhamdulillahi rabbil 'alamin', maka
Allah berfirman, Aku telah dipuji oleh hamba-Ku."
Al-Fatihah disebut Ash-Shalah, karena Al-Fatihah itu
sebagai syarat sahnya salat. Selain itu, Al-Fatihah disebut juga Asy-Syifa'.
Berdasarkan hadis riwayat ad-Darimi dari Abu Sa'id, sebagai hadis marfu',
"Fatihatul kitab itu merupakan syifa' (penyembuh) dari setiap racun."
Juga disebut ar-Ruqyah. Berdasarkan hadis Abu Sa'id,
yaitu ketika menjampi (ruqyah) seseorang yang terkena sengatan, maka Rasulullah
saw bersabda, "Dari mana engkau tahu bahwa Al-Fatihah itu adalah
ruqyah."
Surat Al-Fatihah diturunkan di Mekkah (Makkiyah).
Demikian dikatakan Ibnu Abbas, Qatadah, dan Abu al-'Aliyah. Tetapi, ada juga
yang berpendapat bahwa surat ini turun di Madinah (Madaniyah). Inilah pendapat
Abu Hurairah, Mujahid, Atha' bin Yasar, dan az-Zuhri. Ada yang berpendapat,
surat Al-Fatihah turun dua kali, sekali turun di Mekah dan yang sekali lagi di
Madinah.
Pendapat pertama lebih serupa dengan firman Allah, "Dan Sesungguhnya Kami telah berikan
kepadamu sab'an minal matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang)."
(Al-Hijr: 87). Wallahu a'lam.
Dan surat ini, secara sepakat, terdiri dari tujuh
ayat. Hanya saja terdapat perbedaan pada masalah basmalah, apakah sebagai ayat
yang berdiri sendiri pada awal surat Al-Fatihah, sebagaimana menurut kebanyakan
para qurra' Kufah, dan pendapat segolongan sahabat dan tabi'in, atau bukan
sebagai ayat pertama dari surat tersebut, sebagaimana yang dikatakan para
qurra' dan ahli fiqih Madinah. Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat, yang
insya Allah akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya.
Mereka mengatakan, surat Al-Fatihah terdiri dari 25
kata dan 113 huruf. Al-Bukhari mengatakan dalam awal kitab tafsir,
"Disebut Ummul Kitab, karena Al-Fatihah ditulis pada permulaan Alquran dan
mulai dibaca pada permulaan
salat. Ada juga yang berpendapat, disebut demikian
karena seluruh makna Alquran kembali kepada apa yang dikandungnya."
Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menyebut
"umm" untuk semua yang mencakup atau mendahului sesuatu jika
mempunyai hal-hal lain yang mengikutinya dan ia sebagai pemuka yang
meliputinya. Seperti umm al-ra's, sebutan untuk kulit yang mengandung otak. Mereka
menyebut bendera dan panji tempat berkumpulnya pasukan dengan umm.
Dzu ar-Rummah mengatakan, "Pada ujung tombak
itu terdapat panji kami, yang menjadi lambang bagi kami, sebagai pedoman segala
urusan, yang sedikitpun tak kan kami meng-khianatinya."
Maksudnya tombak. Mekah disebut umm al-Qura karena
keberadaannya terlebih dahulu dan sebagai penghulu bagi kota-kota lain. Ada
juga yang berpendapat karena bumi terbentang darinya.
Dan, benar disebut as-Sab'ul Matsani karena dibaca
berulang-ulang dalam salat, pada setiap rakaat, meskipun kata al-Matsani
memiliki makna lain, sebagaimana akan dijelaskan pada tempatnya, insya Allah.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Keutamaan
Al-Fatihah
Al-Fatihah
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id bin
al-Muallat, katanya, "Aku pernah mengerjakan salat, lalu Rasulullah saw
memanggilku, tetapi aku tidak menjawabnya, hingga aku menyelesaikan salat.
Setelah itu, aku mendatangi beliau, maka beliau pun bertanya, 'Apa yang menghalangimu
datang kepadaku?' Maka aku menjawab, 'Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tadi
sedang mengerjakan salat'. Lalu beliau bersabda, 'Bukankah Allah Ta'ala telah
berfirman, 'Wahai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyerumu kepada
yang memberi kehidupan kepadamu'. ( Al-Anfal: 24). Dan, setelah itu beliau
bersabda, 'Akan aku ajarkan kepadamu suatu surat yang paling agung di dalam
Alquran sebelum engkau keluar dari masjid ini'. Maka, beliau pun menggandeng
tanganku. Dan, ketika beliau hendak keluar dari masjid, aku katakan, 'Ya
Rasulullah, engkau tadi telah berkata akan mengajarkan kepadaku surat yang
paling agung di dalam Alquran'. Kemudian beliau menjawab, 'Benar', "Al
hamdulillahi rabbil 'alamin", ia adalah as-Sab'ul Matsani dan Alquran
al-Azhim yang telah diturunkan kepadaku."
Demikian pula yang diriwayatkan al-Bukhari, Abu
Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, melalui beberapa jalan dari Syu'bah, para
ulama menjadikan hadis ini dan semisalnya sebagai dalil keutamaan dan kelebihan
sebagian ayat dan surat atas yang lainnya, sebagaimana disebutkan banyak ulama,
di antaranya Ishak bin Rahawaih, Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Ibnu al-Haffar
seorang penganut mazhab Maliki.
Sementara, sekelompok lainnya berpendapat bahwasanya
tidak ada keutamaan suatu ayat atau surat atas yang lainnya, karena semuanya
merupakan firman Allah Ta'ala. Supaya hal itu tidak menimbulkan dugaan adanya
kekurangan pada ayat yang lainnya, meski semuanya itu memiliki keutamaan.
Pendapat ini dinukil oleh al-Qurthubi dari al-Asy'ari, Abu Bakar al-Baqillani,
Abu Hatim Ibnu Hibban al-Busti, Abu Hayyan, Yahya bin Yahya, dan sebuah riwayat
dari Imam Malik.
Ada hadis riwayat al-Bukhari dalam kitab Fadhailul Qur'an, dari Abu Sa'id
al-Kudri, katanya, "Kami pernah berada dalam suatu perjalanan, lalu kami
singgah, tiba-tiba seorang budak wanita datang seraya berkata,
"Sesungguhnya kepala suku kami tersengat, dan orang-orang kami sedang
tidak berada di tempat, apakah di antara kalian ada yang bisa memberi
ruqyah?" Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri bersamanya, yang kami
tidak pernah menyangkanya punya ruqyah. Kemudian orang itu membacakan ruqyah,
maka kepala sukunya itu pun sembuh. Lalu, ia (kepala suku) menyuruhnya diberi
tiga puluh ekor kambing, sedang kami diberi minum susu. Setelah ia kembali,
kami bertanya kepadanya, "Apakah engkau memang pandai dan biasa
meruqyah?" Maka ia pun menjawab, "Aku tidak meruqyah, kecuali dengan
ummul kitab (Al-Fatihah)." "Jangan berbuat apa pun sehingga kita
datang dan bertanya kepada Rasulullah saw," sahut kami. Sesampai di
Madinah kami menceritakan hal itu kepada Nabi saw, maka beliau pun bersabda,
"Dari mana dia tahu bahwa surat Al-Fatihah itu sebagai ruqyah (jampi),
bagi-bagilah kambing-kambing itu dan berikan satu bagian kepadaku." Demikian
pula riwayat Muslim dan Abu Dawud.
Hadis lainnya, riwayat Muslim dalam kitab sahih
an-Nasa'i dalam kitab sunan dari Ibnu Abbas, katanya, "Ketika Rasulullah
saw sedang bersama malaikat Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar suara dari atas.
Maka, Jibril mengarahkan pendangannya ke langit seraya berkata, "Itulah
pintu telah dibuka dari langit yang belum pernah terbuka sebelumnya." Ibnu
Abbas melanjutkan, "Dari pintu itu turun malaikat dan kemudian menemui
Nabi saw seraya berkata, 'Sampaikanlah berita gembira kepada umatmu mengenai
dua cahaya. Kedua cahaya itu telah diberikan kepadamu, yang belum pernah sama
sekali diberikan kepada seorang nabi pun sebelum dirimu, yaitu fatihatul kitab
dan beberapa ayat terakhir surat Al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf
saja darinya melainkan akan diberi (pahala) kepadamu'."
Lafaz hadis di atas berasal dari al-Nasa'i. Lafaz
yang sama juga diriwayatkan Muslim. Muslim juga meriwayatkan hadis dari Abu
Hurairah, dari Nabi, beliau bersabda, "Barangsiapa yang mengerjakan salat
tanpa membaca ummul Qur'an, maka salatnya itu tidak sempurna… tidak sempurna…
tidak sempurna."
Dikatakan kepada Abu Hurairah, "Kami berada di
belakang imam." Maka Abu Hurairah berkata, "Bacalah Al-Fatihah itu di
dalam hatimu, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Allah Ta'al
berfirman, 'Aku telah membagi salat dua
bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta'.
Jika ia mengucapkan, 'alhamdulillahi rabbil
'alamin', maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah memuji-Ku'. Dan jika ia
mengucapkan, ' Arrahmanirrahimi', maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah
menyanjung-Ku'. Jika ia mengucapkan, 'Malikiyaumiddin', maka Allah berfirman,
'Hamba-Ku telah memuliakan-Ku'. Dan pernah Abu Hurairah menuturkan, 'Hamba-Ku
telah berserah diri kepada-Ku'. Jika ia mengucapkan, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka
nasta'in', maka Allah berfirman, 'Inilah bagian diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk
hamba-Ku apa yang ia minta'. Dan jika ia mengucapkan, 'Ihdinashirathalmaustqim
shirathaladzina an'amta 'alaihim ghairil maghdhubi 'alaihim waladholin', maka
Allah berfirman, 'Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula yang apa yang ia
minta'."
(Demikian pula diriwayatkan an-Nasa'i).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Penjelasan
tentang Al-Fatihah
tentang Al-Fatihah
Penjelasan mengenai hadis tersebut yang khusus
tentang Al-Fatihah (lihat kajian sebelum ini), terdiri dari beberapa hal:
pertama, disebutkan dalam hadis tersebut kata salat, dan maksudnya adalah bacaan,
seperti firman Allah, "Janganlah
engkau mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula merendahkannya serta
carilah jalan tengah di antara keduanya itu." (Al-Isra': 110).
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih dari Ibnu
Abbas. Demikian pula firman Allah dalam hadis ini, "Aku telah membagi salat dua bagian di antara diriku dengan
hamba-Ku. Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi
hamba-Ku apa yang ia minta."
Kemudian Dia jelaskan pembagian itu secara rinci
dalam bacaan Al-Fatihah. Hal itu menunjukkan keagungan bacaan Al-Fatihah dalam
salat merupakan rukun utama. Apabila disebutkan kata ibadah dalam satu bagian,
sedangkan yang dimaksud satu bagian lainnya, artinya bacaan Al-Fatihah.
Sebagaimana disebutnya kata bacaan sedang maksudnya adalah salat itu sendiri,
dalam firman-Nya, "Dan dirikanlah
salat Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."
(Al-Isra: 78). Sebagaimana secara jelas disebutkan di dalam kitab sahih Bukhari
dan Muslim, "Salat Subuh itu
disaksikan oleh malaikat malam dan malaikat siang." Semuanya itu
menunjukkan bahwa menurut kesepakatan para ulama, bacaan Al-Fatihah dalam salat
merupakan suatu hal yang wajib. Namun demikian, mereka berbeda pendapat
mengenai apakah selain Al-Fatihah ada surat tertentu yang harus dibaca, atau
cukup Al-Fatihah saja? Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Menurut Abu
Hanifah, para pengikutnya, dan juga yang lainnya, bahwasanya bacaan Alquran itu
tidak ditentukan, tetapi surat atau ayat apa pun yang dibaca, maka akan memperoleh
pahala. Mereka berhujjah dengan keumuman firman Allah Ta'ala, "Maka bacalah olehmu apa yang mudah
bagimu dari Alquran."
(
Al-Muzzammil: 20).
Dan hadis yang terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah ra mengenai kisah orang yang ku-rang baik dalam
mengerjakan salatnya, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, "Jika engkau mengerjakan salat, maka
bertakbirlah, lalu bacalah apa yang mudah bagimu dari Alquran."
Menurut mereka, Rasulullah memerintahkannya untuk
membaca yang mudah dari Alquran dan beliau tidak menentukan bacaan Al-Fatihah
atau surat lainnya. Hal itu yang menjadi pendapat kami.
Kedua, diharuskan membaca Al-Fatihah dalam salat,
dan tanpa Al-Fatihah maka salatnya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik,
Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, para sahabat mereka, serta jumhurul ulama.
Pendapat mereka ini didasarkan pada hadis yang disebutkan sebelumnya, di mana
Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa
mengerjakan suatu salat, lalu ia tidak membaca ummul kitab di dalamnya, maka
salatnya itu terputus." (HR Muslim, al-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Abu
Dawud, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw).
Selain itu, mereka juga mendasarkannya pada hadis
yang terdapat dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, dari az-Zuhri, dari
Mahmud bin az-Rabi', dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata, Rasulullah saw
bersabda, "Tidak sah salat bagi
orang yang tidak membaca 'fatihatul kitab'."
Dan diriwayatkan dalam sahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban, dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, "Tidak sah salat yang di dalamnya tidak dibacakan ummul
Quran."
Hadis-hadis mengenai hal ini sangat banyak, dan
terlalu panjang jika kami kemukakan di sini tentang perdebatan mereka. Dan kami
telah kemukakan pendapat mereka masing-masing dalam hal ini. Kemudian, Imam
Syafi'i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa bacaan Al-Fatihah wajib
dilakukan pada setiap rakaat dalam salat. Sedang ulama lainnya menyatakan,
bacaan Al-Fatihah itu hanya pada sebagian besar rakaat. Hasan Al-Bashri dan
mayoritas ulama Bashrah mengatakan, bacaan Al-Fatihah itu hanya wajib dalam
satu rakaat saja pada seluruh salat, berdasarkan pada kemutlakan hadis
Rasulullah saw, dimana beliau bersabda, "Tidak sah salat bagi orang yang
tidak membaca 'fatihatul kitab'."
Sedangkan Abu Hanifah dan para sahabatnya,
ats-Tsauri, serta al-Auza'i berpendapat, bacaan Al-Fatihah itu bukan suatu hal
yang ditentukan (diwajibkan), bahkan jika seseorang membaca selain Al-Fatihah,
maka ia tetap mendapatkan pahala. Hal itu didasarkan pada firman Allah,
"Maka bacalah olehmu apa yang mudah bagimu dari Alquran."
(Al-Muzzammil: 20). Wallahu a'lam.
Ketiga, Apakah makmum juga berkewajiban membaca
Al-Fatihah? Mengenai hal ini terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama, setiap makmum tetap berkewajiban
membaca Al-Fatihah sebagaimana imam. Hal itu didasarkan pada keumuman hadis di
atas.
Pendapat kedua, tidak ada kewajiban membaca
Al-Fatihah atau surat lainnya bagi makmum sama sekali, baik dalam salat jahr
(bacaan yang dikeraskan) maupun salat sirri (tidak dikeraskan). Hal itu
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Musnad, dari Jabir bin Abdullah,
bahwa Nabi saw bersabda, "Barangsiapa
salat bersama seorang imam, maka bacaan imam itu berarti bacaan untuk makmum
juga." Namun, hadis ini memiliki kelemahan dalam isnadnya. Dan
diriwayatkan Imam Malik dari Wahab bin Kaisan, dari Jabir. Juga diriwayatkan
dari beberapa jalan dan tidak satupun berasal dari Nabi saw. Wallahu a'lam.
Pendapat ketiga, Al-Fatihah wajib dibaca oleh makmum
dalam salat sirri, dan tidak wajib baginya membaca dalam salat jahri. Hal itu
sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Sahih Muslim, dari Abu Musa al-Asy'ari, katanya, Rasulullah saw
bersabda, "Sesungguhnya imam itu
dijadikan sebagai panutan. Jika ia bertakbir, maka hendaklah kalian bertakbir.
Dan jika ia membaca (Al-Fatihah atau surat Alquran), maka simaklah oleh
kalian…." (Dan seterusnya).
Demikian pula diriwayatkan oleh para penyusun kitab as-Sunan, yaitu Abu Dawud, an-Nasa'i dan
Ibnu Majah yang berasal dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, "Jika imam membaca (Al-Fatihah atau
surat Alquran), maka simaklah oleh kalian." Hadis ini telah dinyatakan
sahih oleh Muslim bin Hajjaj. Kedua hadis di atas menunjukkan kesahihan
pendapat ini yang merupakan Qaulun qadim (pendapat lama) Imam Syafi'i
rahimahullahu, dan satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu. Dan
maksud dari pengangkatan masalah-masalah tersebut di sini adalah untuk
menjelaskan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengan surat Al-Fatihah dan tidak
berkenaan dengan surat-surat lainnya.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Tafsir
Isti'adzah dan Hukum-hukumnya
Isti'adzah dan Hukum-hukumnya
Allah SWT berifman yang artinya, "Jika kamu membaca Alquran, maka hendaklah
kamu minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. sesungguhnya
setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakal
kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) itu hanyalah atas orang-orang
yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya
dengan Allah." (An-Nahl: 98 -- 100).
Yang masyhur menurut jumhurul ulama bahwa isti'adzah
dilakukan sebelum membaca Alquran guna mengusir godaan setan. Menurut mereka,
ayat yang berbunyi, (yang artinya) "Jika
kamu hendak membaca Alquran, maka hendaklah kamu minta perlindungan kepada
Allah dari setan yang terkutuk," artinya jika kamu hendak membaca.
Sebagaimana firman-Nya, (yang artinya) "Jika kamu hendak mendirikan salat,
maka basuhlah wajah dari kedua tangnmu." (Al-Maidah: 6), artinya jika
kalian bermaksud mendirikan salat.
Penafsiran seperti itu didasarkan pada beberapa
hadis dari Rasulullah saw. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri,
katanya, jika Rasulullah saw hendak mendirikan salat malam, maka beliau membuka
salatnya dan bertakbir seraya mengucapkan, "Subhaanaka Allaahumma
wabihamdika wa tabaa raka....................." (Maha Suci Engkau, ya
Allah, dan puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu. Tidak
ada ilah yang haq melainkan Engkau). Kemudian beliau mengucapkan, "Laa
ilaha illallaah" (tidak ada ilah yang haq kecuali Allah) sebanyak tiga
kali. Setelah itu beliau mengucapkan, "Aku berlindung kepada Allah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan,
tipuan, dan hembusannya."
Hadis ini diriwayatkan juga oleh empat penyusun
kitab as-Sunan dari riwayat Ja'far
bin Sulaiman, dari Ali bin Ali ar-Rifa'i, at-Tirmizi mengatakan baha hadis ini
merupakan yang paling masyhur dalam masalah ini. Dan, kata al-hamz ditafsirkan
sebagai cekikan (sampai mati), an-nafkh sebagai kesombongan, dan an-nafts
sebagai syair.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad ra
katanya, "Ada dua orang yang saling mencela di hadapan Rasulullah saw,
sedang kami duduk di hadapan beliau. Salah seorang dari keduanya mencela
lainnya dalam keadaan marah dengan wajah yang merah padam. Maka Rasulullah saw
bersabda, 'Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalimat yang jika ia
mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Jika ia
mengucapkan, 'A'uudzubillaahiminasysyaithoonirrajiimi'."
Kemudian para sahabat berkata kepada orang itu,
"Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw?"
Orang itu menyahut, "Sesungguhnya aku bukanlah orang yang tewas."
Hadis di atas juga diriwayatkan bersama Imam Muslim,
Abu Dawud, dan an-Nasa'i, melalui beberapa jalan dari al-A'masy.
Catatan:
1. Jumhurul ulama berpendapat
bahwa isti'adzah itu sunnah hukumnya dan bukan suatu kewajiban, sehingga berdoa
bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasannya ia
tidak membaca ta'awudz dalam mengerjakan salat wajib.
2. Dalam kitab al-Imla', Imam
asy-Syafi'i mengatakan, "Dianjurkan membaca ta'awudz dengan jahr, tetapi
jika dibaca dengan sirri juga tidak apa-apa." Sedangkan dalam kitab al-Umm, beliau mengatakan, diberikan
pilihan, boleh membaca ta'awudz, boleh juga tidak. Dan jika orang yang memohon
perlindungan itu membaca a'uudzubillaahiminasysyaithoonirrajiimi,
maka cukuplah baginya.
3. Menurut Abu Hanifah dan
Muhammad, ta'awudz itu dibaca di dalam salat untuk membaca Alquran. Sedangkan
Abu Yususf berpendapat, bahwa ta'awudz itu justru dibaca untuk salat.
Berdasarkan
hal ini, seorang makmum hendaklah membaca ta'awudz dalam salat Ied setelah
takbiratul Ihram dan sebelum membaca takbir-takbir Ied. Dan menurut jumhurul
ulama, ta'awudz itu dibaca setelah takbir sebelum membaca Al-Fatihah atau surat
Alquran.
Di antara manfaat ta'awudz adalah untuk menyucikan
dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandung faedah dan buruk.
Ta'awudz ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah. Artinya, memohon
pertolongan kepada Allah sekaligus memberikan pengakuan atas kekuasann-Nya,
kelemahan sebagai hamba, dan ketidakberdayaannya dalam melawan musuh yang
sesungguhnya (setan), yang bersifat batiniyah, yang tidak ada orang yang mampu
menolak dan mengusirnya kecuali Allah yang telah menciptakannya.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu
tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai penjaga."
(Al-Isra': 65).
Dan, para malaikan telah turun untuk memerangi musuh
dari kalangan manusia. Barangsiapa yang dibunuh oleh musuh yang bersifat
lahiriyah yang berasal dari kalangan manusia, maka ia meninggal sebagai syahid. Barangsiapa dibunuh oleh musuh
yang bersifat batiniah, maka sebagai tharid.
Dan barangsiapa yang dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka ia akan
mendapatkan pahala, dan barangsiapa dikalahkan oleh musuh batini (setan), maka
ia tertipu atau menanggung dosa. Karena, setan dapat melihat manusia, sedangkan
manusia tidak dapat melihatnya, maka ia memohon perlindungan kepada Rabb yang
melihat setan, sedang setan itu tidak melihat-Nya.
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
kukukaki- PRAJURIT
-
Posts : 13
Join date : 15.12.11
Reputation : 0
Re: Tafsir al fatehah
Al-Fatihah: 4
Malikiyaumiddin
(Yang menguasai hari pembalasan)
Sebagian qura'
membaca malikiyaumiddin dengan
meniadakan alif setelah huuf mim. Sementara, yang lainnya membacanya
dengan menggunakan alif setelah mim. Kedua bacaan itu benar, dan
mutawatir dalam qira'at sab'ah.
Malik berasal dari kata al-milk (kepemilikan), sebagaimana
fiman-Nya yang artinya,
"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya. Dan
hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan." (Maryam: 40).
Sedangkan malik
berasal dari kata al-mulk,
sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-Mukmin ayat 16:lamanil mulkul yauma lillahil wahidil qahhar ("Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah yang
Maha Kuasa lagi Maha Mengalahkan.").
Pengkhususan kerajaan pada hari pembalasan tersebut
tidak menafikannya dari yang lain (kerajaan dunia), karena telah disampaikan
sebelumnya bahwa Dia adalah Rabb semesta alam. Dan yang demikian itu jelas
bersifat umum di dunia maupun di akhirat. Ditambahkannya kata yaumiddin (hari pembalasan), karena pada
hari itu tidak ada seorang pun yang dapat mengaku sesuatu dan tidak juga dapat
berbicara kecuali dengan seizin-Nya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Pada
hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak
berkata-kata kecuali siapa yang diberi izin kepadanya oleh Rabb yang Maha
Pemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar." (An-Naba': 38).
Hari pembalasan berarti hari perhitungan bagi semua
makhluk, disebut juga sebagai hari kiamat. Mereka diberi balasan sesuai dengan
amalnya. Jika amalnya baik maka balasannya pun baik. Jika amalnya buruk, maka
balasannya pun buruk kecuali orang yang dimaafkan.
Pada hakikatnya al-malik
adalah nama Allah, sebagaimana firman-Nya, Huwallahulladzi
lailaha illahuwal malikul quddus salam yang artinya, "Dialah Allah yang tiada ilah [yang berhak disembah] selain Dia,
Raja, yang Maha Suci, lagi Maha Sejahtera." (Al-Hasyr: 23).
Dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim,
diriwayatkan hadis marfu' dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Julukan yang paling hina di sisi Allah
adalah seseorang yang menjuluki dirinya Malikul Amlak (raja diraja). Karena
tidak ada malik (raja) yang sebenarnya kecuali Allah."
Dalam kitab yang sama, juga dari Abu Hurairah,
Rasulullah saw bersabda, "Allah
(pada hari kiamat) akan menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan-Nya,
lalu berfirman, Aku adalah raja, di manakah rajha-raja bumi, di manakah mereka
yang merasa aperkasa, dan di mana orang-orang yang sombong?"
Dalam Alquran disebutkan, "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah yang
Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (Al-Mukmin: 16).
Adapun penyebutan malik (raja) selain kepada-Nya di dunia hanyalah secara majaz
(kiasan) belaka, tidak pada hakikatnya, sebagaiamana Allah SWT pernah
mengemukakan, "Sesungguhnya Allah
telah mengangkat Thalut menjadi raja bagi kalian." (Al-Baqarah: 247).
Kata ad-din berarti pembalasan atau perhitungan. Allah SWT berfirman,
"Pada hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut
semestinya." (An-Nuur: 25).
Dia juga berfirman, "Apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk
diberi pembalasan." (Ash-Shaffat: 53).
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, "Orang cerdik adalah yang mau
mengoreksi dirinya dan berbuat untuk (kehidupan) setelah kematian."
(HR at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Artinya, ia akan senantiasa menghitung-hitung
dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab, "Hisablah
(uatlah perhitungan untuk) diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab, dan
timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan bersiaplah untuk
menghadapi hari yang besar untuk diperlihatkannya (amal seseorang), yang mana
semua amal kalian tidak tersembunyi dari-Nya."
Allah berfirman, "Pada
hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatu pun dari keadaan
kalian yang tersembunyi (bagi-Nya)." (Al-Haaqqah: 18).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 5
Iyyakana'budu
wa iyya kanasta'in (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan)
Para ahli qira'at
sab'ah dan jumhurul ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya' pada kata iyyaka dibaca dengan memfathahkan huruf nun yang pertama, menurut bacaan seluruh ahli qira'at. Menurut
bahasa, kata ibadah berarti tuntuk patuh. Sedangkan menurut syariat, ibadah
berarti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.
Didahulukannya maf'ul
(objek), yaitu kata iyyaka, dan
(setelah itu) diulangi lagi, adalah dengan tujuan untuk mendpatkan perhatian
dan juga sebagai pembatasan. Artinya, "Kami tidak beribadah kecuali
kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu." Dan inilah
puncak kesempurnaan ketaatan. Dan dien (agama) itu secara keseluruhan kembali
kepada kedua makna di atas.
Yang demikian itu seperti kata sebagian ulama salaf,
bahwa surat Al-Fatihah adalah rahasia Alquran, dan rahasia Al-Fatihah terletak
pada ayat Iyyakana'budu wa iyya
kanasta'in (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan).
Penggalan pertama, yakni "Hanya kepada-Mu kami
beribadah" merupakan pernyataan lepas dari kemusyrikan. Sedangkan pada
penggalan kedua, yaitu, "Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan"
merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekutan serta berserah diri kepada
Allah SWT.
Makna seperti ini tidk hanya terdapat dalam satu
ayat Alquran saja, seperti firman-Nya, "Maka
beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu
tidak lali dari apa yang kamu kerjakan." (Huud: 123).
Dalam ayat tersebut (Al-Fatihah: 5) terjadi
perubahan bentuk dari ghaib (orang
ketiga) kepada mukhathab (orang
kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf kaf pada kata iyyaka.
Yang demikian itu memang selaras karena ketika seorang hamba memuji kepada
Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. oleh karena
itu, Dia berfirman, "Iyyakana'budu
wa iyya kanasta'in."
Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pada
awal-awal surat Al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah SWT yang
memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung,
serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.
Dalam shahih Muslim, diriwayatkan dari al-'Ala' bn
Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, "Aku
telah membagi salat dua bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku apa
yang ia minta. Jika ia mengucapkan, 'Segala puji bagi Allah, Rabb semesta
alam', maka Allah berfirman, 'Hambaku telah memuji-Ku'. Dan jika ia
mengucapkan, 'Yang menguasai hari pembalasan', maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku
telah memulikan-Ku'. Jika ia mengucapkan, 'Hanya kepada Engkaulah kami
beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan', maka Allah
berfirman, 'Inilah bagian antara hamba-Ku dan diri-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang
ia minta'. Dan jika ia mengucapkan,'"Yaitu jalan orang-orang yang telah
Engkau enugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai
(Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nashrani)', maka Allah
berfirman, "Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia
minta'."
Iyya kana'budu didahulukan dari wa iyya kanasta'in, karena ibadah
kepada-Nya memrupakan tujuan, sedangkan permohonan pertolongan merupakan sarana
untuk beribadah. Yang terpenting lebih didahuukan dari sekedar penting, wallahu
a'lam.
Jika ditanyakan, lalu apa makna huruf nun pada firman Allah SWT, "Iyyakana'budu wa iyya
kanasta'in," jika nun itu
dimaksudkan sebagai bentuk jama', padahal orang yang mengucpkan hanya satu
orng, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan
kondisi?
Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa yang
dimaksudkan dengan huruf nun (kami)
itu adalah untuk memberitahukan mengenai jenis hamba, dan orang yang salat
merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang melakukannya secara
berjamaah. Atau, imam dalam salat memberitahukan tentang dirinya sendiri dan
juga saudara-saudaranya yang beriman tentang ibadah, yang untuk tujuan inilah mereka
diciptakan.
Ibadah merupakan maqam
(kedudukan) yang sangat agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia,
karena keberpihakannya kepada Allah Ta'ala saja, dan Dia telh menyebut
Rasul-Nya sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang mulia. Firman Allah,
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam." (Al-isra': 1).
Allah telah menyebutkan Muhammad saw sebagai seorang
hamba ketika menurunkan Alquran kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya
dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia membimbingnya untuk
senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat
pendustaan orang-orang yang menentangnya, Dia berfirman, "Dan Kami
sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka
ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara
orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu
yang diyakini (ajal)." (Al-Hijr: 97 -- 99).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 6
Ihdinashshirathal
mustaqim (Tujukilah kami jalan yang lurus)
Para jumhurul ulama membacnya dengan memakai huruf
"shod". Ada pula yang membaca dengan huruf "za" (azzirath). Al-Farra' mengatakan,
"Hal ini merupakan bahasa Bani Udzrah dan Bani Kalab."
Setelah menyampaikan pujian kepada Allah SWT, dan
hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diikuti
dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya, "Setengah
untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia
minta."
Yang demikian itu merupakan keadaan yang amat
sempurna bagi seorang yang mengajukan permintaan. Pertama, ia memuji Rabb yang
akan diajukan permintaan kepada-Nya dan kemudian memohon keperluannya sendiri
dan keperluan saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang yang beriman,
melalui ucapannya, "Ihdinashshirathal
mustaqim" (Tunjukkanlah kami ke
jalan yang lurus).
Karena, yang demikian itu akan lebih memudahkan
pemberian apa yang dihajatkan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Untuk itu Allah
Tabaraka wa Ta'ala membimbing kitya agar senantiasa melakukannya, sebab yang
demikian itu lebih sempurna.
Permohonan juga dapat diajukan dengan cara
memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut.
Sebagaimana yang diucapkan Musa as, "Ya
Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku." (Al-Qashash: 24).
Permintaan itu bisa di dahului sebelumnya dengan
menyebutkan sifat-sifat yang akan diminati, seperti ucapan Dzun Nun (Nabi Yunus
as), Tidak ada ilah selain Emngkau. Maha
suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim."
(Al-Anbiya: 87).
Tetapi, terkadang hanya dengan memuji kepada-Nya,
ketika meminta, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair: Apakah aku
harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malumu Sesungguhnya
rasa malu merupakan adat kebiasaanmu Jika suatu hari seseorang memberikan
pujian kepadamu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan Kata hidayah pada
ayat ini berarti bimbingan dan taufik. Terkadang kata hidayah (muta
addi/transitfi) dengan sendirinya (tanpa huruf lain yang berfungsi sebagai
pelengkapnya), seperti pada firman-Nya di sini, "Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus." Dalam ayat
tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, berikanlah taufik
kepada kami, berikanlah rezeki kepada kami, atau berikanlah anugerah kepada
kami.
Sebagaiamana yang ada pada firman-Nya, "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya
dua jalan." (Al-Balad: 10). Artinya, kami telah menjelaskan kepadanya
jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Selain itu, dapat juga menjadi muta addi'
(transitif) dengan memakai kata "ila", sebagaimana firman-Nya, "Allah telah memilihnya dan
menunjukkannya kepada jalan yang lurus." (An-Nahl: 121).
Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah dengan
pengertian bimbingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya, Dan sesungguhnya engkau (Rasulullah saw)
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (Asy-Syura':
52).
Terkadang kata hidayah menjadi muta addi dengan
memakai kata "li" sebagaimana yang diucapkan oleh para penghuni
surga, "Segala puji bagi Allah yang
telah menunjuki kami kepada surga ini." (Al-A'raf: 43), Artinya, Allah
memberikan taufik kepada kami untuk memperoleh surga ini dan Dia jadikan kami
sebagai penghuninya.
Sedangkan mengenai firman-Nya, "Syirathal mustaqim", Imam Abu Ja'far bin Jarir
mengatakan, ahlut tafsir secara keseluruhan sepakat bahwa ash-shirathal mustaqim itu adalah jalan yang terang dan lurus.
Kemudian terjadi perbedaan ungkapan para mufassir,
baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dalam menafsirkan kata ash-shirath, meskipun pada prinsipnya
kembali kepada satu makna, yaitu mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
Jika ditanyakan, mengapa seorang mukmin meminta
hidayah pada setiap saat, baik pada waktu mengerjakan salat maupun di luar
salat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu
termasuk tahshilul bashil (berusha
memperoleh sesuatu yang sudah ada)?
Jawabnya adalah tidak. Kalau bukan karena dia perlu
memohon hidayah siang dan malam hari, niscaya Allah SWT tidak akan membimbing
ke arah itu. Sebab, seornag hamba senantiasa membutuhkan Allah setiap saat dan
situasi agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan kelangsungan
hidayah, karena ia tidak kuasa membarikan manfaat atau mudharat kepada dirinya
sendiri kecuali Allah menghendaki.
Oleh karena itu, Allah SWT selalu membimbingnya agar
ia senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat dan supaya Dia memberikan
pertolongan, keteguhan, dan taufik.
Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi Allah
taufik untuk memohon kepada Allah. Sebab, Allah telah menjamin akan mengabulkan
permohonan seseorang jika ia memohon kepada-Nya, apalagi permohonan orang yang
dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya pada tengah malam dan
siang hari. Firman Allah SWT, "Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya." (An-Nisa': 136).
Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang
beriman untuk tetap beriman. Dan, hal itu bukan termasuk tahshilul hashil, karena maksudnya adalah ketetapan, kelangsungan,
dan kesinambungan amal yang dapat membantu kepada hal tersebut.
Allah SWT juga berfirman memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan (doa):
"Ya Rabb kami, jangan Engkau jadikan
hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,
dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau
Maha Pemberi (karunia)." (Ali Imran: 8).
Abu Bakar ash-Shidiq pernah membaca ayat ini dalam
rekaat ketiga pada salat Maghrib secara sirri (tidak keras) setelah selesai
membaca Al-Fatihah.
Dengan demikian, makna firman-Nya, "Ihdinashshirathal mustaqim"
adalah "Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang
lurus itu dan jangan Engkau simpangkan ke jalan yang lainnya."
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka
Imam asy-Syafi'i
Al-Fatihah: 7
Shirathalladzina
an'amta 'alaihim ghairilmaghdhubi'alaihim waladhdhalin ([Yaitu] jalan
orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan [jalan]
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) merela yang sesat."
Firman-Nya, "Shirathalladzina
an'amta 'alaihim" (Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka) adalah sebagai tafsir dari firman-Nya, jalan
yang lurus. Dan merupakan badal (kata
benda) menurut para ahli nahwu dan boleh pula sebagai athaf bayan (kata benda yang mengikuti kata benda sebelumnya),
wallahu a'lam.
Orang orang yang diberikan nikmat oleh Allah SWT itu
adalah orang-orang yang tersebut dalam surat An-Nisa', Dia berfirman, "Dan barangsiapa yang menaati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqun, orang-orang yang mati
syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (An-Nisa':
69 -- 70).
Dan, firman-Nya, "ghairilmaghdhubi'alaihim
waladhdhalin" (bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan
mereka yang sesat). Jumhur ulama membaca "ghairi" dengan memberikan kasrah pada hurup ra', yang kedudukannya sebagai naat
(sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan, dibaca juga dengan memakai harakat fathah di atasnya, yang menunjukkan haal (keadaan). Itu adalah bacaan
Rasulullah saw, Umat bin Khaththab, dan riwayat dari Ibnu Katsir. Dzul haal adalah dhamir dalam kata "'alaihim",
sedangkan 'amil ialah lafaz "an'amta".
Artinya, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus,
yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepadanya. Yaitu,
mereka yang memperoleh hidayah, istiqamah, dan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
Bukannya jalan orang-orang yang mendapat murka, yang kehendak mereka telah
rusak, sehingga meskipun mereka telah mengetahui kebenaran, namun menyimpang
darinya. Bukan juga jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang tidak
memiliki ilmu pengetahuan, sehingga mereka berada dalam kesesatan serta tidak
mendapatkan jalan menuju kebenaran.
Pembicaraan di sini dipertegas dengan kata "la" (bukan), guna menunjukkan
bahwa di sana terdapat dua jalan yang rusak, yaitu jalan orang-orang Yahudi dan
jalan orang-orang Nasrani. Juga untuk membedakan antara kedua jalan itu agar
setiap orang menjauhkan diri darinya.
Jalan orang-orang ayang beriman itu mencakup
pengetahuan akan kebenaran dan pengamalannya, sementara itu orng-orang Yahudi
tidak memiliki amal, sedangkan orang-orang Nasrani tidak memiliki ilmu (agama).
Oleh karena itu, kemurkaan bagi orang-orang Yahudi, sedangkan kesesatan bagi
orang-orang Nasrani. Karena orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya itu
berhak mendapatkan kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu.
Sedang orang Nasrani ketika hendak menuju kepada
sesuatu, mereka tidak memperoleh petunjuk kepada jalannya, hal itu karena
mereka tidak menempuhnya melalui jalan yang sebenarnya, yaitu mengikuti
kebenaran, maka mereka pun masing-masing tersesat. Orang Yahudi dan Nasrani
adalah sesat dan mendapat murka. Namun, sifat Yahudi yang paling khusus adalah
mendapat kemurkaan, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala mengenai diri
mereka (orang-orang Yahudi), "Yaitu orang-orang yang dilaknat dan dimurkai
Allah." (Al-Maidah: 60).
Adapun sifat Nasrani yang paling khusus adalah
kesesatan, sebagaimana firman-Nya mengenai ihwal mereka, "Orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan
Muhammad saw) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka
tersesat dari jalan lurus." (Al-Maidah: 77).
Masalah ini banyak disebutkan dalam hadis dan atsar,
dan hal itu cukup jelas.
Catatan:
1. Surat yang terdiri dari tujuh ayat ini mengandung pujian, pemuliaan, dan
pengagungan kepada Allah SWT melalui penyebutan asmaul husna milik-Nya, disertai adanya sifat-sifat yang maha
sempurna. Jug mencakup penyebutan tempat kembali manusia, yaitu hari pembalasan.
Selain itu berisi bimbingan kepada para hamba-Nya agar mereka memohon dan
tunduk kepada-Nya serta melepaskan upaya dan kekuatan diri mereka untuk
selanjutnya secara tulus ikhlas mengabdi kepada-Nya, meng-Esakan dan
menyucikan-Nya dari sekutu atau tandingan. Juga berisi bimbingan agar mereka
memohon petunjuk kepada-Nya ke jalan yang lurus, yaitu agama yng benar serta
menetapkan mereka pada jalan tersebut, sehingga ditetapkan bagi mereka untuk
menyeberangi jalan yan tampak konkret pada hari kiamat kelak menuju ke surga di
sisi para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.
Surat Al-Fatihah ini juga mengandung targhib (anjuran) untuk mengerjakan amal
saleh agar mereka dapat bergabung bersama-sama dengan orang yang beramal saleh
pada hari kiamat kelak. Serta, mengingatkan agar mereka tidak menempuh jalan
kebatilan supaya mereka tidak digiring bersama penempuh jalan tersebut pada
hari kiamat, yaitu mereka yang dimurkai dan tersesat.
2. Seusai membaca Al-Fatihah dusunnahkan bagi
seseorang untuk mengucapkan amin.
Seperti ucapan yasin. Boleh juga
mengucapkan amin dengan alif dibaca pendek, artinya adalah
"ya Allah kabulkanlah". Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam
Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi, dari Wail bin Hujur, katanya aku pernah
mendengar Nabi saw membaca, "Ghairilmaghdhubi'alaihim
waladhdhalin", lalu beliau mengucapkan, "Amin" dengan memanjangkan suaranya.
Adapun menurut riwayat Abu Dawud, dan beliau
mengangkat suaranya. At-Tirmidzi mengatakan, hadis ini hasan. Hadis ini
diriwayatkan juga dari Ali, Ibnu Mas'ud, dan lain-lainnya.
Dari Abu Hurairah, katanya, apabila Rasulullah saw
membaca, "Ghairilmaghdhubi'alaihim
waladhdhalin", mak beliau mengucapkan, "Amin." Sehigga, terdengar oleh orang-orang yang di
belakangnya pada barisan pertama. Hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu
Majah menambahkan pada hadis tersebut dengan kalimat, "Sehingga masjid
bergetar karenanya." Serta (hadis ini pun diriwayatkan oleh)
ad-Daruquthni, ia mengatakan, hadis ini berisnad hasan.
Sahabat kami dan lain-lainnya mengatakan, "Disunnahkan juga mengucapkan 'amin'
bagi orang yang membacanya di luar salat. Dan lebih ditekankan bagi orang yang
mengerjakan salat, baik ketika munfarid (sendiri) maupun sebagai imam atau
makmum, serta dalam keadaan apa pun, berdasarkan hadis dalam kitab sahih
al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasuullah saw bersabda,
"Jika seorang imam mengucapkan amin, mak ucapkanlah amin, sesungguhnya
barangsiapa yang ucapan aminnya bertepatan dengan aminnya malaikat, maka akan
diberikan ampunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu."
Menurut riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian
mengucapkan amin di dalam salat, dan malaikat di langit juga mengucapkan amin,
lalu masing-masing ucapan amin dari keduanya saling bertepatan, maka akan
diberikan amunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu."
Ada yang mengatakan, artinya, barangsiapa yang waktu
mengucapkan aminnya bersamaan dengan amin yang diucapkan malaikat. Ada juga
yang berpendapat bahwa maksudnya, bersamaan dalam pengucpannya. Dan ada yang
berpendapat, kebersamaan itu dalam ha keikhlasan.
Dalam sahih Muslim diriwayatkan hadis marfu' dari Abu Musa, bahwa Rasulullah
saw bersabda, "Jika seorang imam
telah membacakan waladh dhallin, maka ucapkan, 'Amin'. Niscaya Allah
mengabulkan permohonan kalian."
Mayoritas ulama mengatakan bahwa makna amin itu adalah ya Allah perkenankanlah
untuk kami.
Para sahabat Imam Malik berpendapat, seorang imam
tidak perlu mengucapkan amin, cukup makmum saja yang mengucapkannya. Berdasarkan
pada hadis riwayat Imam Malik dari Sami, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah,
bahw Rasulullah saw pernah bersabda, "Jika
seorang imam telah membaca waladh dhallin, maka ucapkan, 'Amin'."
Mereka juga menggunakan hadis dari Abu Musa
a-Asy'ari yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah sw bersabda, "Jika ia telah membaca waladh dhallin,
maka ucapkan, 'Amin'."
Dan kami kemukakan di atas dalam hadis dalam
muttafaq 'alaih, "Jika seorang imam
telah mengucapkan, 'Amin', maka ucapkanlah, 'Amin'."
Dan Rasulullah saw sendiri mengucapkan amin ketika
beliau selesai membaca ghairilmaghdhubi'alaihim
waladhdhalin.
Para sahabat kami telah berbeda pendapat mengenai jahr (suara keras) bagi makmum dalam
mengucapkan amin dalam jahrnya.
Kesimpulan perbedaan pendapat itu, bahwa jika seorang imam lupa mengucapkan amin, maka makmum harus serempak
mengucapkannya dengan suara keras. Dan jika sang imam telah mengucapkannya
dengan suara keras, (menurut) pendapat yang baru menyatakan bahwa para makmum
tidak mengucapkannya dengan suara keras.
(Pendapat) yang terakhir ini juga merupakan pendapat
Abu Hanifah dan sebuah riwayat dari Imam Malik, karena amin itu merupakan salah satu bentuk zikir sehingga tidak perlu
dikeraskan sebagaimana halnya zikir-zikir salat lainnya. Sedangkan pendapat
yang lama menyatakan bahwa para makmum juga perlu mengucapkannya dengan suara
keras. Hal itu merupakan pendapat Imam Ahmad dan Hanbal dan sebuah riwayat yang
lain dari Imam Malik seperti yang telah disebutkan di atas, berdasarkan hadis, "Sehingga masjid bergetar
(karenanya)."
Sumber: Terjemahan
Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam
asy-Syafi'i
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
kukukaki- PRAJURIT
-
Posts : 13
Join date : 15.12.11
Reputation : 0
Re: Tafsir al fatehah
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda : "Demi (Allah) yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah Allah menurunkan satu suratpun yang semisal dengan Surat Al-Fatihah, baik itu di Taurat, Injil maupun di Al-Qur'an".
Surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan termasuk surah Makkiyah, menurut pendapat Abdullah bin Abbas, Qatadah, dan Abul Aliyah.
Dinamakan Al-Fatihah yang berarti 'Pembuka', karena surat ini merupakan pembuka (permulaan) dari Al-Qur'an secara tulisan.
Dinamakan juga dengan Ummul Qur'an (induk Al-Qur'an), karena seluruh Al-Qur'an berkisar pada pokok-pokok yang dikandungnya.
Dinamakan juga dengan Ash-Shalah, karena ia merupakan rukun shalat. Shalat tidak sah tanpanya. Dinamakan dengan Asy-Syifaa', yang berarti obat, karena Al-Fatihah bisa dijadikan obat untuk dua jenis penyakit, dhahir maupun batin, dan masih ada lagi beberapa nama lainnya untuk surat Al-Fatihah ini.
TAFSIR AYAT
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaa'iry, dalam Aisaru At-Tafaasir-nya menjelaskan makna ayat-ayat dari surat yang mulia ini. Beliau menulis, Allah SWT memberitahukan bahwa segala macam pujian, baik itu berupa sifat keagungan atau kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Sebab, Dia-lah Rabb dari segala sesuatu, Pencipta dan Pemiliknya. Kewajiban kita adalah memujiNya.
Kemudian Allah SWT mengagungkan diriNya sendiri, bahwa Dia-lah yang menguasai segala yang ada di hari kiamat. Pada hari itu, tidak seorang pun berkuasa atas orang lain. Dia (Allah SWT)-lah satu-satunya pemilik dan Penguasa.
Selanjutnya Allah SWT mengajarkan kepada kita, suatu cara agar permintaan dan doa kita diterima/dikabulkan. Dengan kata lain, Allah SWT berfirman : "Pujilah Allah dan agungkanlah Ia, serta konsistenlah dengan hanya beribadah dan meminta pertolongan kepadaNya, bukan kepada yang lain."
Lalu dengan pengajaran dari Allah SWT, seorang hamba akan meminta kepada Allah SWT untuk dirinya dan saudara-saudaranya, agar hidayah yang Allah SWT berikan kepada mereka dilanggengkan, sehingga tidak terputus. Akhirnya, setelah mereka meminta ditunjukkan kepada 'jalan yang lurus', Allah SWT menjelaskan, yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberi nikmat, yang itu merupakan manhaj (konsep) yang lurus, yang akan mengantarkan seorang hamba kepada keridhaan Allah SWT dan jannahNya. Jalan itu adalah Islam, yang tegak berdiri di atas pondasi iman, ilmu dan amal, disertai dengan menjauhi kemusyrikan dan kemaksiatan. Jalan itu bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai oleh Allah SWT dan bukan pula jalan mereka yang sesat.
Ibnu Katsir r.a. menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang disebut oleh Allah SWT dalam surat An-Nisaa' ayat 69. Mereka adalah para nabi, shiddiqiin, syuhada dan shalihiin.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang mendapatkan murka adalah orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai, karena mereka tahu akan kebenaran, tetapi mereka berpaling darinya.
Adapun orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Mereka bodoh dan beribadah menurut kemauan mereka sendiri, tanpa ilmu. Sebenarnya, baik Yahudi maupun Nasrani, semuanya sama-sama mendapat murka dan tersesat. Hanya saja, sifat khusus 'mendapatkan murka' diperuntukkan bagi Yahudi, karena mereka tidak mau beramal, dan sifat khusus 'tersesat' disandangkan kepada orang-orang Nasrani, karena tidak mau berilmu. Maka kalau kita tidak mau berilmu atau beramal, berarti sejenis dengan Nasrani atau Yahudi. Na'udzu billah....
KANDUNGAN AYAT
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah r.a. menyatakan bahwa surat Al-Fatihah ini memuat pokok-pokok dienul Islam secara global tapi sempurna. Ada tiga hal pokok, yatiu:
Tauhid
Melalui surat ini, Allah SWT 'mengenalkan diri' kepada makhluk-makhlukNya dengan lima nama, yaitu Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, dan Al-Malik.
Allah
Nama 'Allah' adalah nama yang mewakili seluruh Al-Asmaa' Al-Husna (nama-nama baik yang berjumlah 99, yang Allah SWT sifatkan kepada diriNya sendiri) dan Ash-Shifat Al-Ulya (sifat yang tinggi/mulya). Nama ini menunjukkan IlahiyahNya. Sifat Ilahiyah adalah sifat kesempurnaan yang jauh dari tasybih (penyerupaan), tamtsil (permisalan), kekurangan dan cacat. Seluruh asmaa' al-husna adalah perincian dari sifat ini. Nama 'Allah' menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Al-Ma'luuh, yang diibadahi. Semua beribadah kepadaNya dengan penuh ketundukan dan kecintaan dan pengagungan.
Ar-Rabb
Ar-Rabb artinya penguasa, yang mengatur segalanya. Secara khusus, semua sifat fi'il (perbuatan) dan qudrah (kekuasaan) dan segala yang berkenaan dengan kepengaturan alam berhubungan eerat dengan nama Ar-Rabb. Allah SWT adalah Rabb segala sesuatu. Penciptanya dan yang Maha Mampu untuk melakukan apa saja. Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari rububiyyah-Nya.
Ar-Rahmaan
Nama 'Ar-Rahmaan' adalah pecahan kata 'rahmah', untuk menunjukkan intensitas yang sangat. Selanjutnya, nama Ar-Rahmaan menunjukkan bahwa segala sifat ihan, kasih, sayang, lembut, derma, pemurah dan baik, ada pada Allah SWT. Sifat rahmaan Allah SWT yang dikandung oleh nama Ar-Rahmaan ini berlaku untuk semua makhluk, yang beriman maupun yang kafir. Rahmah di sini meliputi segala hal yang berkenaan dengan penghidupan/kelangsungan hidup.
Ar-Rahiim
Seperti halnya 'Ar-Rahmaan', Ar-Rahiim adalah pecahan kata 'rahmah'. Bedanya, sifat rahmah Allah SWT yang terkandung dalam nama ini dikhususkan untuk mereka yang berima saja, di akherat.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ahzaab : 43 yang artinya : "Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman."
Al-Malik
Al-Malik artinya raja atau penguasa. Penguasa atas segalanya. Dikhususkannya hari pembalasan sebagai milik atau kekuasaan Allah SWT dalam surat ini, bukanlah berarti dunia tidak termasuk milik/kekuasaan Allah SWT. Sebenarnya Allah SWT yang menguasai hari dunia dan hari pembalasan. Adapun pengkhususan di sini, karena pada hari pembalasan nanti, tidak ada seorang pun yang akan mengaku-aku/mendakwakan diri sebagai pemilik/penguasanya. Juga, pada hari itu tidak ada seorang pun yang berbicara, kecuali telah mendapat ijin dariNya.
Seorang yang membaca dan memahami makna surat ini, mau tidak mau dia telah mengitsbatkan (menetapkan) tiga jenis tauhid, rububiyah, uluhiyah, dan asma' wa ash-shifat. Ketika ia membaca : "Al-Hamdu lillahi rabbil aalamiin", berarti ia telah memuji Allah SWT. Pujian yang mencakup keagungan dan ketinggian sifat-sifat Allah SWT. Pujian yang berkenaan dengan asma' wa ash-shifat tanpa ta'wil, tamtsil dan takyif (menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi). Pun surat ini memuat bebarapa asma yang semuanya menunjukkan sifat seperti tersebut di atas.
Lalu seseorang yang memuji, pastilah seseorang yang mencintai dan ridha. Orang yang membaca 'alhamdu lillah rabbil aalamiin' secara tidak langsung menyatakan cinta dan keridhaannya kepada Allah SWT. Cinta adalah asas dibangunnya tauhid uluhiyyah. Juga ayat 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin'. Seseorang yang membacanya sama saja telah berikrar, selalu akan berkonsisten dalam beribadah kepadaNya dan akan minta pertolongan hanya kepadaNya. Yang tersisa tinggallah perbuatan, yang akan membuktikan benar atau tidak pengakuan/ucapannya tersebut. Adapun tauhid rububiyah, seseorang yang mengingkarinya tidak akan membaca surat ini, kecuali hanya sebatas batang lehernya saja.
Tentang hari akhir
Ayat 'Maaliki yaumiddin' menunjukkan bahwa setelah berakhhirnya kehidupan di dunia ini, akan ada pembalasan. Di sana, hanya Allah-lah yang berkuasa dan akan menghakimi seluruh manusia dengan keputusan yang paling adil. Keputusan berkenaan dengan pembalasan atas segala amal yang telah diperbuat oleh manusia. Amal yang baik akan diabalas dengan kebaikan dan perbuatan dosa akan dibalas dengan siksaan, kecuali bagi yang mendapatkan maghfirah (ampunan) dariNya.
Tentang kenabian
Surat Al-Fatihah ini mengitsbatkan kenabian dari berbagai arah, diantaranya:
Eksistensi Allah SWT sebagai Rabbul aalamiin. Maka, tidaklah pantas bagi Allah SWT untuk membiarkan begitu saja hamba-hambaNya, tanpa memberitahu hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akherat. Jika Allah SWT membiarkan mereka tanpa mengutus nabi, tentulah sifat rububiyyah tidak ada padaNya.
Allah SWT adalah Al-Ma'luuh (yang diibadahi). Hamba-hambaNya tidak akan pernah tahu bagaimana cara beribadah kepadaNya, kecuali melalui para rasulNya.
Disebutkannya keberadaan hari pembalasan atas amal. Tentunya Allah SWT tidak akan mengadzab seseorang pun jika belum menyampaikan hujjah melalui lisan para rasulNya.
Terklasifikasikannya hamba-hambaNya menjadi orang-orang yang diberi nikmat dan orang-orang yang sesat. Klasifikasi ini sangatlah berkaitan dengan tersampaikannya kebenaran. Sebagian hambaNya mau mendengar dan mengamalkannya, sebagian yang lain mendengar tetapi tidak mau mengamalkannya, dan sebagian lagi beramal semaunya, tanpa mau mendengar kebenaran. Yang pasti, kebenaran telah disampaikan oleh para rasul Allah SWT.
MEMBACA AMIN
Disunnahkan bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah --di dalam maupun di luar shalat--, untuk membaca 'amiin', apabila telah menyelesaikannya. Kata 'amiin' berarti 'Ya Allah, kabulkanlah.
Surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan termasuk surah Makkiyah, menurut pendapat Abdullah bin Abbas, Qatadah, dan Abul Aliyah.
Dinamakan Al-Fatihah yang berarti 'Pembuka', karena surat ini merupakan pembuka (permulaan) dari Al-Qur'an secara tulisan.
Dinamakan juga dengan Ummul Qur'an (induk Al-Qur'an), karena seluruh Al-Qur'an berkisar pada pokok-pokok yang dikandungnya.
Dinamakan juga dengan Ash-Shalah, karena ia merupakan rukun shalat. Shalat tidak sah tanpanya. Dinamakan dengan Asy-Syifaa', yang berarti obat, karena Al-Fatihah bisa dijadikan obat untuk dua jenis penyakit, dhahir maupun batin, dan masih ada lagi beberapa nama lainnya untuk surat Al-Fatihah ini.
TAFSIR AYAT
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaa'iry, dalam Aisaru At-Tafaasir-nya menjelaskan makna ayat-ayat dari surat yang mulia ini. Beliau menulis, Allah SWT memberitahukan bahwa segala macam pujian, baik itu berupa sifat keagungan atau kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Sebab, Dia-lah Rabb dari segala sesuatu, Pencipta dan Pemiliknya. Kewajiban kita adalah memujiNya.
Kemudian Allah SWT mengagungkan diriNya sendiri, bahwa Dia-lah yang menguasai segala yang ada di hari kiamat. Pada hari itu, tidak seorang pun berkuasa atas orang lain. Dia (Allah SWT)-lah satu-satunya pemilik dan Penguasa.
Selanjutnya Allah SWT mengajarkan kepada kita, suatu cara agar permintaan dan doa kita diterima/dikabulkan. Dengan kata lain, Allah SWT berfirman : "Pujilah Allah dan agungkanlah Ia, serta konsistenlah dengan hanya beribadah dan meminta pertolongan kepadaNya, bukan kepada yang lain."
Lalu dengan pengajaran dari Allah SWT, seorang hamba akan meminta kepada Allah SWT untuk dirinya dan saudara-saudaranya, agar hidayah yang Allah SWT berikan kepada mereka dilanggengkan, sehingga tidak terputus. Akhirnya, setelah mereka meminta ditunjukkan kepada 'jalan yang lurus', Allah SWT menjelaskan, yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberi nikmat, yang itu merupakan manhaj (konsep) yang lurus, yang akan mengantarkan seorang hamba kepada keridhaan Allah SWT dan jannahNya. Jalan itu adalah Islam, yang tegak berdiri di atas pondasi iman, ilmu dan amal, disertai dengan menjauhi kemusyrikan dan kemaksiatan. Jalan itu bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai oleh Allah SWT dan bukan pula jalan mereka yang sesat.
Ibnu Katsir r.a. menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang disebut oleh Allah SWT dalam surat An-Nisaa' ayat 69. Mereka adalah para nabi, shiddiqiin, syuhada dan shalihiin.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang mendapatkan murka adalah orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai, karena mereka tahu akan kebenaran, tetapi mereka berpaling darinya.
Adapun orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Mereka bodoh dan beribadah menurut kemauan mereka sendiri, tanpa ilmu. Sebenarnya, baik Yahudi maupun Nasrani, semuanya sama-sama mendapat murka dan tersesat. Hanya saja, sifat khusus 'mendapatkan murka' diperuntukkan bagi Yahudi, karena mereka tidak mau beramal, dan sifat khusus 'tersesat' disandangkan kepada orang-orang Nasrani, karena tidak mau berilmu. Maka kalau kita tidak mau berilmu atau beramal, berarti sejenis dengan Nasrani atau Yahudi. Na'udzu billah....
KANDUNGAN AYAT
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah r.a. menyatakan bahwa surat Al-Fatihah ini memuat pokok-pokok dienul Islam secara global tapi sempurna. Ada tiga hal pokok, yatiu:
Tauhid
Melalui surat ini, Allah SWT 'mengenalkan diri' kepada makhluk-makhlukNya dengan lima nama, yaitu Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, dan Al-Malik.
Allah
Nama 'Allah' adalah nama yang mewakili seluruh Al-Asmaa' Al-Husna (nama-nama baik yang berjumlah 99, yang Allah SWT sifatkan kepada diriNya sendiri) dan Ash-Shifat Al-Ulya (sifat yang tinggi/mulya). Nama ini menunjukkan IlahiyahNya. Sifat Ilahiyah adalah sifat kesempurnaan yang jauh dari tasybih (penyerupaan), tamtsil (permisalan), kekurangan dan cacat. Seluruh asmaa' al-husna adalah perincian dari sifat ini. Nama 'Allah' menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Al-Ma'luuh, yang diibadahi. Semua beribadah kepadaNya dengan penuh ketundukan dan kecintaan dan pengagungan.
Ar-Rabb
Ar-Rabb artinya penguasa, yang mengatur segalanya. Secara khusus, semua sifat fi'il (perbuatan) dan qudrah (kekuasaan) dan segala yang berkenaan dengan kepengaturan alam berhubungan eerat dengan nama Ar-Rabb. Allah SWT adalah Rabb segala sesuatu. Penciptanya dan yang Maha Mampu untuk melakukan apa saja. Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari rububiyyah-Nya.
Ar-Rahmaan
Nama 'Ar-Rahmaan' adalah pecahan kata 'rahmah', untuk menunjukkan intensitas yang sangat. Selanjutnya, nama Ar-Rahmaan menunjukkan bahwa segala sifat ihan, kasih, sayang, lembut, derma, pemurah dan baik, ada pada Allah SWT. Sifat rahmaan Allah SWT yang dikandung oleh nama Ar-Rahmaan ini berlaku untuk semua makhluk, yang beriman maupun yang kafir. Rahmah di sini meliputi segala hal yang berkenaan dengan penghidupan/kelangsungan hidup.
Ar-Rahiim
Seperti halnya 'Ar-Rahmaan', Ar-Rahiim adalah pecahan kata 'rahmah'. Bedanya, sifat rahmah Allah SWT yang terkandung dalam nama ini dikhususkan untuk mereka yang berima saja, di akherat.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ahzaab : 43 yang artinya : "Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman."
Al-Malik
Al-Malik artinya raja atau penguasa. Penguasa atas segalanya. Dikhususkannya hari pembalasan sebagai milik atau kekuasaan Allah SWT dalam surat ini, bukanlah berarti dunia tidak termasuk milik/kekuasaan Allah SWT. Sebenarnya Allah SWT yang menguasai hari dunia dan hari pembalasan. Adapun pengkhususan di sini, karena pada hari pembalasan nanti, tidak ada seorang pun yang akan mengaku-aku/mendakwakan diri sebagai pemilik/penguasanya. Juga, pada hari itu tidak ada seorang pun yang berbicara, kecuali telah mendapat ijin dariNya.
Seorang yang membaca dan memahami makna surat ini, mau tidak mau dia telah mengitsbatkan (menetapkan) tiga jenis tauhid, rububiyah, uluhiyah, dan asma' wa ash-shifat. Ketika ia membaca : "Al-Hamdu lillahi rabbil aalamiin", berarti ia telah memuji Allah SWT. Pujian yang mencakup keagungan dan ketinggian sifat-sifat Allah SWT. Pujian yang berkenaan dengan asma' wa ash-shifat tanpa ta'wil, tamtsil dan takyif (menanyakan bagaimana hal itu bisa terjadi). Pun surat ini memuat bebarapa asma yang semuanya menunjukkan sifat seperti tersebut di atas.
Lalu seseorang yang memuji, pastilah seseorang yang mencintai dan ridha. Orang yang membaca 'alhamdu lillah rabbil aalamiin' secara tidak langsung menyatakan cinta dan keridhaannya kepada Allah SWT. Cinta adalah asas dibangunnya tauhid uluhiyyah. Juga ayat 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin'. Seseorang yang membacanya sama saja telah berikrar, selalu akan berkonsisten dalam beribadah kepadaNya dan akan minta pertolongan hanya kepadaNya. Yang tersisa tinggallah perbuatan, yang akan membuktikan benar atau tidak pengakuan/ucapannya tersebut. Adapun tauhid rububiyah, seseorang yang mengingkarinya tidak akan membaca surat ini, kecuali hanya sebatas batang lehernya saja.
Tentang hari akhir
Ayat 'Maaliki yaumiddin' menunjukkan bahwa setelah berakhhirnya kehidupan di dunia ini, akan ada pembalasan. Di sana, hanya Allah-lah yang berkuasa dan akan menghakimi seluruh manusia dengan keputusan yang paling adil. Keputusan berkenaan dengan pembalasan atas segala amal yang telah diperbuat oleh manusia. Amal yang baik akan diabalas dengan kebaikan dan perbuatan dosa akan dibalas dengan siksaan, kecuali bagi yang mendapatkan maghfirah (ampunan) dariNya.
Tentang kenabian
Surat Al-Fatihah ini mengitsbatkan kenabian dari berbagai arah, diantaranya:
Eksistensi Allah SWT sebagai Rabbul aalamiin. Maka, tidaklah pantas bagi Allah SWT untuk membiarkan begitu saja hamba-hambaNya, tanpa memberitahu hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akherat. Jika Allah SWT membiarkan mereka tanpa mengutus nabi, tentulah sifat rububiyyah tidak ada padaNya.
Allah SWT adalah Al-Ma'luuh (yang diibadahi). Hamba-hambaNya tidak akan pernah tahu bagaimana cara beribadah kepadaNya, kecuali melalui para rasulNya.
Disebutkannya keberadaan hari pembalasan atas amal. Tentunya Allah SWT tidak akan mengadzab seseorang pun jika belum menyampaikan hujjah melalui lisan para rasulNya.
Terklasifikasikannya hamba-hambaNya menjadi orang-orang yang diberi nikmat dan orang-orang yang sesat. Klasifikasi ini sangatlah berkaitan dengan tersampaikannya kebenaran. Sebagian hambaNya mau mendengar dan mengamalkannya, sebagian yang lain mendengar tetapi tidak mau mengamalkannya, dan sebagian lagi beramal semaunya, tanpa mau mendengar kebenaran. Yang pasti, kebenaran telah disampaikan oleh para rasul Allah SWT.
MEMBACA AMIN
Disunnahkan bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah --di dalam maupun di luar shalat--, untuk membaca 'amiin', apabila telah menyelesaikannya. Kata 'amiin' berarti 'Ya Allah, kabulkanlah.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Tafsir al fatehah
1 Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2 Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3 Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4 Yang menguasai di Hari Pembalasan.
5 Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
6 Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7 (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
---
jika ada umat islam yang pergi ke dukun, pakai jimat, pelarisan, pesugihan, atau melakukan lelakon ilmu hitam, ataupun hal-hal lain yang berhubungan dengan kuasa-kuasa gelap ataupun jin-jin, maka apakah itu sesuai dengan ayat 5.
2 Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3 Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4 Yang menguasai di Hari Pembalasan.
5 Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
6 Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7 (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
---
jika ada umat islam yang pergi ke dukun, pakai jimat, pelarisan, pesugihan, atau melakukan lelakon ilmu hitam, ataupun hal-hal lain yang berhubungan dengan kuasa-kuasa gelap ataupun jin-jin, maka apakah itu sesuai dengan ayat 5.
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Similar topics
» tafsir al fatehah 6
» tafsir ibn katsir, tafsir yang terbaik
» Tafsir QS 3:31-32
» tafsir al an'am 158
» Tafsir QS nuh 10-12
» tafsir ibn katsir, tafsir yang terbaik
» Tafsir QS 3:31-32
» tafsir al an'am 158
» Tafsir QS nuh 10-12
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik