FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

fatwa jihad Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

fatwa jihad Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

fatwa jihad

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

fatwa jihad Empty fatwa jihad

Post by keroncong Wed May 31, 2017 11:37 am

AS akhirnya menyerang Irak. Dunia mengutuk aksi barbarian itu. Menyikapi kecongkakan AS, para ulama Timur Tengah juga mengeluarkan fatwa bahwa jihad menjadi fardu ain ketika AS menyerang Irak. Seperti yang dikemukakan oleh ulama Al-Azhar melalui lembaga risetnya (Majma'ul Buhuts al-Islamiyah bil-Azhar), "Jihad adalah kewajiban individu (fardu ain) bagi seluruh umat Islam ketika AS melancarkan perang terhadap Irak." Fatwa itu juga menyebutkan, "Berdasarkan syariat Islam, jihad merupakan fardu ain dalam kasus ketika musuh Islam menduduki tanah-tanah air kaum muslimin. Kita, dunia Arab dan dunia Islam, akan menghadapi perang Salib baru yang bertujuan untuk mencerabut tanah air, doktrin, dan kemuliaan kita." (islamonline.net).
Para ulama Al-Azhar meyakini bahwa invansi AS ke Irak tidak lepas dari memenuhi kepentingan Israel. Yaitu, "Dikobarkannya perang Irak oleh AS bukan tanpa maksud sedikit pun. Tetapi, ini suatu permulaan dari rangkaian serangan yang akan diarahkan terhadap sisa-sisa dunia Arab. Ini dibuktikan oleh deklarasi kekuatan anti-Islam yang dengan leluasanya akan mampu menundukkan Irak. Kemudian, kawasan Arab akan dirancang untuk memenuhi kepentingan AS dan Israel."
Senada dengan fatwa di atas, DR. Yusuf Qaradhawy menyatakan dalam sebuah khotbah di Qatar, "Jika musuh menyerang sebuah negeri muslim, wajib seluruh penduduk negeri itu berperang dan mengusir mereka. Jika penduduk negeri itu tidak mampu mengusir, kewajiban jatuh kepada tetangganya kaum muslimin, dan begitulah (kewajiban bergulir) seterusnya. fardu ain ini termasuk untuk kaum perempuan dan laki-laki." (eramuslim.com, 10/03/03).
Fatwa di atas menyebutkan bahwa hukum berjihad menjadi fardu ain ketika AS

menyerang Irak. Oleh sebagian penulis, fardu ain di sini dijelaskan bukan seperti kewajiban salat, puasa, zakat yang menimpa kepada setiap mukalaf, melainkan kewajiban yang bisa menimpa kepada orang tertentu, komunitas tertentu, atau penduduk tertentu sesuai dengan tuntutan sampai sebuah kewajiban ditunaikan. Dalam konteks melawan agresor, kewajiban yang harus ditunaikan adalah mengusir musuh. (Kesimpulan dari uraian panjang Dr. Muhammad Khair Haikal dalam Al-Jihad wal-Qital fies-Siyasah Syar'iyyah, II, h. 875 -- 876).
Tentu fatwa fardu ain berjihad melawan AS menarik untuk dikaji. Apa yang melatarbelakangi fatwa tersebut? Adakah fatwa itu memiliki akar-akar referensi yang otoritatif? Atau, ia seperti dituduhkan beberapa pihak: menyerat agama dalam kasus Irak? Tulisan berikut bermaksud mengulas hal tersebut.
Bilamana Jihad Menjadi Fardu Ain?
Dalam kajian fikih disebutkan bahwa hukum asal jihad adalah fardu kifayah. Artinya, dia menjadi kewajiban sebagian muslim di bawah tanggung jawab pemimpin Islam. Tujuannya untuk berdakwah terhadap orang kafir dengan memberikan opsi: berislam atau membayar jizyah. Fardu kifayah ini merupakan perwujudan dari firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 28 -- 29 yang dikenal sebagai ayat terakhir yang turun berkenaan dengan jihad.
Seperti maklum, para ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih banyak menyebutkan adanya marahilu tasyri'il jihad (fase-fase turunnya syariat jihad) dalam Alquran. Diawali dari larangan berperang, izin berperang tetapi tidak wajib, kewajiban memerangi musuh yang menyerang, sampai kewajiban memerangi orang kafir hingga mereka berislam atau membayar jizyah. Oleh ahli fikih, fase terakhir dinyatakan sebagai fardu kifayah.
Berkaitan dengan hal ini, Dr. Abdullah Azzam mengatakan, "Dan serendah-rendah fardu kifayah dalam masalah ini ialah menutup segala kemungkinan penyerangan orang kafir terhadap kaum mukmin untuk menakut-nakuti musuh Allah...."(Azzam, h. 1406).
Namun demikian, para ahli fikih menyebutkan bahwa jihad bisa berubah menjadi fardu ain dalam tiga keadaan:
1. Bila musuh menjajah salah satu negeri muslim, atau musuh telah menggerakkan tentaranya untuk menjajah, atau musuh bermaksud melakukan kejahatan dan agresi terhadap penduduk negeri muslim, terhadap sekelompok penduduk, atau terhadap seorang penduduk dengan misalnya menawan, membunuh, meneror, dan sejenisnya.
2. Bila khalifah atau pemegang kekuasaan syar'i memerintahkan kepada orang mukmin untuk keluar berperang atau yang dikenal dengan istinfarul aam (seruan umum), baik untuk membela negeri muslim yang dijajah maupun untuk perluasan dakwah.
3. Bila dua kelompok pasukan (antara muslim dan kafir) saling bertemu.
Jihad Melawan Agresor Fardu Ain
Seperti tersebut di atas, berjihad melawan agresor adalah salah satu sebab jihad menjadi fardu ain. Dalam konteks inilah, ulama menyerukan fatwa wajibnya berjihad melawan AS. Tidak peduli apa motivasi musuh: agama, minyak, muslim cleansing, atau motivasi lainnya. Yang jelas, bila musuh menjajah salah satu negeri muslim, atau musuh telah menggerakkan tentaranya untuk menjajah, atau musuh bermaksud melakukan kejahatan dan agresi terhadap penduduk negeri muslim, terhadap sekelompok penduduk, atau terhadap seorang penduduk dengan misalnya menawan, membunuh, meneror, dan sejenisnya, ketika itu jihad menjadi fardu ain.
Hal ini berbeda dengan pandangan sebagian pihak yang berupaya mendikotomikan antara perang agama (jihad) dan perang nonagama, seperti yang banyak diopinikan akhir-akhir ini, agresi AS bukanlah atas motivasi agama melainkan ambisi minyak dan kepentingan "non-agama" lainnya. Maksud opini tersebut mudah ditebak, adalah untuk meredam semangat jihad umat Islam. Ekstremnya, "Ngapain jihad ke Irak, di sana bukan perang agama!" Padahal, dari sudut pandang syariat, melawan musuh--baik atas alasan membela agama, jiwa, harta, maupun keluarga--adalah bentuk amal jihad itu sendiri. Hal ini seperti ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid; dan barangsiapa yang terbunuh karena membela darahnya, maka dia syahid; dan barangsiapa terbunuh karena membela agamanya, maka dia syahid; dan barangsiapa terbunuh karena membela keluarganya, maka dia syahid." (HR Tirmidzi dan Nasa'i).
Dasar Kewajiban Melawan Agresor
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al Baqarah: 190).
".... Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah: 194).
".... Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah: 36).
Kewajiban melawan agresor bahkan dinyatakan mencapai kualifikasi ijma' (konsensus ulama), yang dalam jenjang legislasi hukum Islam--ijma'--menempati posisi setelah Alquran dan sunah. Ibnu Taimiyyah berkata, "Adapun jihad untuk membela diri (defensif) adalah seutama-utama kewajiban berjihad membela kemuliaan umat dan Islam dari serangan musuh. Kewajiban ini merupakan ijma' (konsensus ulama). Tidak ada kewajiban dalam Islam setelah beriman yang lebih utama selain kewajiban membela agama dan umat dari serangan musuh yang merusak agama maupun kehidupan umat Islam...." (Azzam, h. 1406).
Untuk menggambarkan betapa tidak terdapat perselisihan antara ulama mengenai kewajiban berjihad melawan agresor, berikut pandangan ulama-ulama dari mazhahib arba'ah (imam yang empat). Dengan uslub (struktur) yang berbeda, mereka bermaksud menyampaikan satu pesan yang sama.
Mazhab Hanafi
Ibnu Abidin menyatakan bahwa jika musuh menyerang sebagian dari wilayah Islam, hukum jihad menjadi fardu ain atas penduduk yang berdekatan dengan wilayah yang diserang. Adapun bagi penduduk yang jauh dari wilayah tersebut, hukum membelanya fardu kifayah selama (pembelaan) mereka tidak diperlukan. Namun, jika mereka diperlukan, karena penduduk yang lebih dekat tidak mampu atau malas untuk berjihad, kewajiban jihad menjadi fardu ain bagi mereka. Jika mereka tetap tidak mampu, fardu ain menimpa atas penduduk yang lebih jauh. Demikian seterusnya sampai kewajiban tersebut menjadi fardu ain atas segenap umat Islam di Timur dan di Barat. (Haasyiatu Ibni Abidin, III, h. 399, 341). Pendapat serupa dikemukakan oleh Al-Kassani, Ibnu Najib, dan Ibnu Hamam.
Mazhab Maliki
Bagi setiap muslim laki-laki maupun wanita wajib hukumnya berjihad menghadapi musuh yang menyerang secara mendadak. Kewajiban tersebut termasuk bagi anak kecil. Meskipun pemilik budak melarang budaknya, suami melarang istrinya dan pemberi utang melarang orang yang diutanginya, tetap kewajiban tersebut tidak bisa gugur bagi mereka hanya karena larangan itu. (Hasyiyatud Dasuuqi, II, h. 174).
Mazhab Syafii
Dalam Nihayatul Muhtaj, Ar-Ramli menyatakan bahwa jika orang kafir memasuki negeri Islam pada sebuah jarak yang tidak diperbolehkan mengqashar salat, penduduk negeri tersebut wajib berjihad membela wilayah mereka dari serangan musuh. Kewajiban ini juga berlaku bagi mereka yang asalnya tidak wajib perang, seperti orang fakir, anak-anak, hamba sahaya, orang yang terlibat utang, dan wanita.
Mazhab Hambali
Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyatakan, "Dan jihad itu wajib dalam tiga keadaan: (1) apabila barisan tentara muslim bertemu dengan barisan tentara kafir di medan perang, (2) apabila orang kafir memasuki (agresi) negeri Islam, (3) bila imam kaum muslimin mengeluarkan perintah jihad."
Ibnu Taimiyah yang berafiliasi ke mazhab Hambali juga menyatakan, "Jika musuh telah menyerang negeri Islam, tidak diragukan lagi kewajiban (jihad) bagi setiap muslim yang dekat dengan negeri tersebut, kemudian yang lebih dekat. Karena, seluruh negara Islam pada hakikatnya adalah satu negara yang tak terpisahkan. Oleh sebab itu, wajib atas setiap muslim pergi berperang menuju wilayah yang diserang dengan tanpa izin orang tua atau yang lainnya. Penjelasan Imam Ahmad dalam masalah ini amat gamblang. (Periksa Al-Ikhtiyarat al-Ilmiyyah li Ibni Taimiyyah, IV, h. 609; atau Azzam, h. 1406).
Upaya "Menapak Tilas"
Dari pemaparan singkat di atas, seruan jihad yang dikumandangkan para ulama dunia saat ini bukanlah hal yang mengada-ada, melainkan memiliki akar-akar referensi yang otoritatatif. Resolusi jihad semacam ini juga bukan kali pertama. Ketika AS menginvansi Afghanistan beberapa waktu lalu, beberapa ulama di penjuru dunia mengemukakan fatwa serupa, antara lain Prof. Dr. Farid Wasil (Mufti Besar Mesir), Syekh Hamud asy-Syu'aiby (sesepuh ulama Saudi), Wazir Akbar Khan (ulama Kabul), Dr. Yusuf Qaradhawy (ulama Mesir), dan Nidhamudin Hamzah (Mufti Pakistan).
Seruan semacam ini pernah juga dilakukan ketika Soviet menginvansi Afghanistan. Dr. Abdullah Azzam bahkan sempat menulis fatwa berjudul, Ad-Difa' an Aradhil Muslimin Ahammu furudhil A'yan (Membela Tanah Air Muslim Kewajiban Setiap Muslim yang Paling Urgen). Inti fatwanya seperti yang ia ringkas dalam mukadimahnya:
"Para ulama salaf maupun khalaf, para ahli fikih, dan para ahli hadis pada setiap abad telah sepakat bahwa bila sejengkal tanah umat Islam telah dirampas oleh orang kafir, pada hari itu hukum jihad menjadi fardu ain atas segenap kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan. Pada waktu itu seorang anak laki-laki berangkat jihad tanpa harus izin orang tuanya, dan seorang istri berangkat berjihad tanpa harus izin suaminya."
Fatwa Syekh Abdullah Azzam ini pernah dibacakan di depan para ulama Timur Tengah, antara lain kepada Syekh Bin Baz (Mufti Saudi Arabia masa itu), Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Umar Seif (Majlis Kibarul Ulama Yaman), Dr. Abdullah Nasih Ulwan, Sa'id Hawwa, Muhammad Najib al-Muthi'i, dan Dr. Hussain Hamid Hassan. Mereka menyatakan sepakat atas fatwa tersebut dan sebagian besar mereka membubuhkan tanda tangan sebagi tanda persetujuan. Fatwa tersebut juga pernah dibacakan di Mina saat jutaan umat Islam tengah menjalankan ibadah haji.
Dengan demikian, apa yang dilakukan para ulama adalah sebentuk "napak tilas" dari para pendahulu mereka, dengan merujuk pada dalil-dalil syar'i. Maka, adalah sebuah tuduhan yang keji pernyataan yang menyatakan bahwa para ulama tersebut mengatasnamakan agama dalam konflik Irak, atau pernyataan bahwa para ulama tengah mengeksploitasi ayat atas nama Tuhan untuk memobilisasi massa dan melegitimasi kekerasan yang semestinya dikutuk. Wallahu a'lam. (Abu Zahrah)
Referensi:
1. Tafsir Al-Qur'an al-Adhim, Ibnu Katsir
2. Fathul Qadir, Imam Syaukani
3. Al-Jami' lie Ahkamil Qur'an, Al-Qurthuby
4. Ahkamul Quran, Ibnul Araby
5. Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyyah
6. Ahammiyatul Jihad, Nafi' al-Ilyani
7. Al-Jihad wal-Qital fies-Siyasah Syar'iyyah, Dr. Muhammad Khair Haikal
8. Ad-Difa' an-Aradhil Muslimin Ahammu Furudhil A'yan, Abdullah Azzam
9. Berbagai Media Massa
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik