taqlid vs ijtihad
Halaman 1 dari 1 • Share
taqlid vs ijtihad
oleh Nurcholish Madjid
Agaknya jalan pikiran 'Umar dari zaman klasik (salaf) Islam
itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para
pemikir Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh
pembaharu modern paling berpengaruh ini "memahami ijtihad
dalam pengertiannya yang luas sebagai penelitian bebas,
menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan
hukum dan norma-norma moral Islam, dan tentang apa yang
paling baik disini dan sekarang." [19]
Berkenaan dengan itu, sungguh menarik pemaparan pemikiran
al-Makki bahwa melakukan ijtihad, dari kalangan generasi
awal Islam, tidak hanya para Sahabat seperti 'Umar dll.,
malah juga Rasulullah sendiri! Menurut al-Makki, selain
selaku Utusan Tuhan yang menerima wahyu parametris, Nabi
juga sering melakukan ijtihad dengan menggunakan metode
analogi atau qiyas. Al-Makki mengatakan bahwa dalam
berijtihad Nabi selalu benar, atau kalaupun salah beliau
akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu yang suci
sehingga kesalahan itu tidak melembaga dan menjadi satu
dengan pola hidup orang banyak. [20] (Dalam hal ini al-Makki
mirip dengan Ibn Taymiyyah yang berpendapat bahwa Nabi
bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan (al-balagh)
wahyu. Jika diluar itu Nabi bisa salah, meskipun amat
jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan). [21]
NILAI SEBUAH IJTIHAD
Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa taqlid dan ijtihad
sama-sama diperlukan dalam masyarakat manapun. Sebab, dengan
mekanisme penerimaan dan penganutan suatu otoritas (taqlid)
kekayaan pengalaman kultural manusia, khususnya pemikiran,
menjadi kumulatif, dan ijtihad diperlukan justru untuk
mengembangkan dan lebih memperkaya pengalaman itu.
Tapi, sebagai sama-sama kegiatan manusiawi yang serba
terbatas, maka taqlid ataupun ijtihad selalu mengandung
persoalan, sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri
bagi tinjauan dan pengujian. Jadi tidak dibenarkan adanya
absolutisme di sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan
membuat suatu sistem pemikiran menjadi tertutup, dan
ketertutupan itu akan menjadi sumber absolutnya. Sesuatu
dari kreasi manusiawi yang diabsolutkan akan secepat itu
pula akan terobsolutkan. Inilah barangkali letak kebenaran
ucapan Karl Mannheim bahwa setiap ideologi (yakni, pemikiran
yang dihayati secara ideologis-absolutistik) cenderung untuk
selalu bakal ditinggalkan zaman.
Maka problema yang dihadapkan kepada setiap orang ialah
bagaimana ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan
sekaligus berkembang dan kreatif tanpa kehilangan
keotentikan dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit,
namun tidak mustahil. Seluruh ide tentang mendekati
(taqarrub) kepada Tuhan mengisyaratkan perlunya manusia
berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan lurus yang sulit
itu, sampai ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi
satu) dengan Kebenaran, dengan izin dan ridla dari Sang
Kebenaran itu sendiri.
Jalan menuju kesana ternyata banyak. Bahkan, dari sudut
pandangan esoterisnya, jalan itu sebanyak jumlah mereka yang
mencarinya dengan sungguh-sungguh. Sebab, pasti memang hanya
usaha yang penuh kesungguhan saja, yaitu ijtihad dan
mujahadah, yang menjadi alasan bagi Sang Kebenaran untuk
menuntun seseorang ke berbagai jalan menuju kepada-Nya. [22]
Dan karena banyaknya jalan menuju Kebenaran itu, maka
seperti ditegaskan Ibn Taymiyyah, Hadlrat al-Syaikh K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dan al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi ibn
"Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, para Sahabat Nabi
dahulu, begitu pula para Imam madzhab sendiri, selalu
toleran satu sama lain, dan saling menghargai pendapat yang
ada di kalangan mereka. [23]
Akhirnya, sebagaimana tercermin dalam sabda Nabi yang amat
terkenal, yang menegaskan bahwa siapa yang berijtihad dan
benar, ia akan mendapat dua pahala, dan siapa yang
berijtihad dan salah, ia masih mendapat satu pahala. Ini
merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan
pertumbuhan. Sebab perkembangan dan pertumbuhan adalah tanda
vitalitas, sedangkan kemandekan berarti kematian. Seperti
dikatakan 'Umar dalam suratnya di atas, niat baik dan
ketulusan hati adalah sumber perlindungan Ilahi dalam usaha
kita mengembangkan masyarakat. [24] Dengan berbekal
ketulusan, kita terus bergerak maju secara dinamis. Dinamika
penting tidak saja karena merupakan unsur vitalitas, tapi ia
juga benar, karena merupakan Sunnat Allah untuk seluruh
ciptaannya, termasuk sejarah manusia. Hanya Dzat Allah yang
kekal abadi, sedangkan seluruh wujud ini berjalan dan terus
berubah. Karena itu tujuan hidup yang benar hanyalah Allah,
sebab Dia-lah Kebenaran Yang Pertama dan yang Akhir. [26]
Dalam dinamika itu tidak perlu takut salah, karena takut
salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.
CATATAN
1. Al-Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki
al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi
Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam
(Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121.
2. QS. 'Ali 'Imran 3:7, "Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan
kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Diantara isinya ayat-ayat
muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran)
Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat
(jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya
terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan
(hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu
dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari
maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi).
Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi
itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam
pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat
itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah
menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian."
3. Ini bisa dipahami dari firman, QS. al-Nisa 4:65, "Tidak,
demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka
mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang
diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang
telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya."
4. Berkenaan dengan "pohon" tradisi intelektual Barat
cabang filsafat eksistensialisme ini, para penganjurnya
mengklaim sebagai berakar pada masa lampau yang jauh,
melintasi zaman, sejak zaman Nabi 'Isa a.s. (khutbahnya di
atas bukit Moria (Zion) -yang kini berdiri Masjid 'Umar atau
Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha itu) sebagaimana
dituturkan dalam Injil Matius 5 dari Perjanjian Baru,
kemudian Job, Eclesiastes, Amos, Micah, dan Zabur dalam
Perjanjian Lama, sampai kepada Heracleitus dari Ephesus di
zaman Yunani kuno. (lihat Maurice Friedman, ed. The Word of
Existentialism: A Critical Reader (Chicago: The University
of Chicago Press, 1964), hal 1728.
5. Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering
diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang
memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf
(al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang
bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari
risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah
wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan
tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama).
6. QS. al-Baqarah 2: 269, "Dia (Tuhan) memberi hikmah
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang
banyak."
7. Ayat-ayat muhkam itu disebut sebagai "mother of the
Book," Induk Kitab Suci" (Umm al-Kitab). Lihat catatan 2 di
atas.
8. Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang
ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja
pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau
participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang
Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23,
"Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk
sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara
berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani
(berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran
itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di
sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab,
mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan
di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of
Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk
suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin
berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup.
(Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah
for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal.
1243, catatan 4276).
Agaknya jalan pikiran 'Umar dari zaman klasik (salaf) Islam
itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para
pemikir Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh
pembaharu modern paling berpengaruh ini "memahami ijtihad
dalam pengertiannya yang luas sebagai penelitian bebas,
menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan
hukum dan norma-norma moral Islam, dan tentang apa yang
paling baik disini dan sekarang." [19]
Berkenaan dengan itu, sungguh menarik pemaparan pemikiran
al-Makki bahwa melakukan ijtihad, dari kalangan generasi
awal Islam, tidak hanya para Sahabat seperti 'Umar dll.,
malah juga Rasulullah sendiri! Menurut al-Makki, selain
selaku Utusan Tuhan yang menerima wahyu parametris, Nabi
juga sering melakukan ijtihad dengan menggunakan metode
analogi atau qiyas. Al-Makki mengatakan bahwa dalam
berijtihad Nabi selalu benar, atau kalaupun salah beliau
akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu yang suci
sehingga kesalahan itu tidak melembaga dan menjadi satu
dengan pola hidup orang banyak. [20] (Dalam hal ini al-Makki
mirip dengan Ibn Taymiyyah yang berpendapat bahwa Nabi
bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan (al-balagh)
wahyu. Jika diluar itu Nabi bisa salah, meskipun amat
jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan). [21]
NILAI SEBUAH IJTIHAD
Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa taqlid dan ijtihad
sama-sama diperlukan dalam masyarakat manapun. Sebab, dengan
mekanisme penerimaan dan penganutan suatu otoritas (taqlid)
kekayaan pengalaman kultural manusia, khususnya pemikiran,
menjadi kumulatif, dan ijtihad diperlukan justru untuk
mengembangkan dan lebih memperkaya pengalaman itu.
Tapi, sebagai sama-sama kegiatan manusiawi yang serba
terbatas, maka taqlid ataupun ijtihad selalu mengandung
persoalan, sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri
bagi tinjauan dan pengujian. Jadi tidak dibenarkan adanya
absolutisme di sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan
membuat suatu sistem pemikiran menjadi tertutup, dan
ketertutupan itu akan menjadi sumber absolutnya. Sesuatu
dari kreasi manusiawi yang diabsolutkan akan secepat itu
pula akan terobsolutkan. Inilah barangkali letak kebenaran
ucapan Karl Mannheim bahwa setiap ideologi (yakni, pemikiran
yang dihayati secara ideologis-absolutistik) cenderung untuk
selalu bakal ditinggalkan zaman.
Maka problema yang dihadapkan kepada setiap orang ialah
bagaimana ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan
sekaligus berkembang dan kreatif tanpa kehilangan
keotentikan dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit,
namun tidak mustahil. Seluruh ide tentang mendekati
(taqarrub) kepada Tuhan mengisyaratkan perlunya manusia
berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan lurus yang sulit
itu, sampai ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi
satu) dengan Kebenaran, dengan izin dan ridla dari Sang
Kebenaran itu sendiri.
Jalan menuju kesana ternyata banyak. Bahkan, dari sudut
pandangan esoterisnya, jalan itu sebanyak jumlah mereka yang
mencarinya dengan sungguh-sungguh. Sebab, pasti memang hanya
usaha yang penuh kesungguhan saja, yaitu ijtihad dan
mujahadah, yang menjadi alasan bagi Sang Kebenaran untuk
menuntun seseorang ke berbagai jalan menuju kepada-Nya. [22]
Dan karena banyaknya jalan menuju Kebenaran itu, maka
seperti ditegaskan Ibn Taymiyyah, Hadlrat al-Syaikh K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dan al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi ibn
"Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, para Sahabat Nabi
dahulu, begitu pula para Imam madzhab sendiri, selalu
toleran satu sama lain, dan saling menghargai pendapat yang
ada di kalangan mereka. [23]
Akhirnya, sebagaimana tercermin dalam sabda Nabi yang amat
terkenal, yang menegaskan bahwa siapa yang berijtihad dan
benar, ia akan mendapat dua pahala, dan siapa yang
berijtihad dan salah, ia masih mendapat satu pahala. Ini
merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan
pertumbuhan. Sebab perkembangan dan pertumbuhan adalah tanda
vitalitas, sedangkan kemandekan berarti kematian. Seperti
dikatakan 'Umar dalam suratnya di atas, niat baik dan
ketulusan hati adalah sumber perlindungan Ilahi dalam usaha
kita mengembangkan masyarakat. [24] Dengan berbekal
ketulusan, kita terus bergerak maju secara dinamis. Dinamika
penting tidak saja karena merupakan unsur vitalitas, tapi ia
juga benar, karena merupakan Sunnat Allah untuk seluruh
ciptaannya, termasuk sejarah manusia. Hanya Dzat Allah yang
kekal abadi, sedangkan seluruh wujud ini berjalan dan terus
berubah. Karena itu tujuan hidup yang benar hanyalah Allah,
sebab Dia-lah Kebenaran Yang Pertama dan yang Akhir. [26]
Dalam dinamika itu tidak perlu takut salah, karena takut
salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.
CATATAN
1. Al-Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki
al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi
Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam
(Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121.
2. QS. 'Ali 'Imran 3:7, "Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan
kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Diantara isinya ayat-ayat
muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran)
Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat
(jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya
terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan
(hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu
dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari
maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi).
Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi
itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam
pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat
itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah
menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian."
3. Ini bisa dipahami dari firman, QS. al-Nisa 4:65, "Tidak,
demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka
mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang
diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang
telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya."
4. Berkenaan dengan "pohon" tradisi intelektual Barat
cabang filsafat eksistensialisme ini, para penganjurnya
mengklaim sebagai berakar pada masa lampau yang jauh,
melintasi zaman, sejak zaman Nabi 'Isa a.s. (khutbahnya di
atas bukit Moria (Zion) -yang kini berdiri Masjid 'Umar atau
Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha itu) sebagaimana
dituturkan dalam Injil Matius 5 dari Perjanjian Baru,
kemudian Job, Eclesiastes, Amos, Micah, dan Zabur dalam
Perjanjian Lama, sampai kepada Heracleitus dari Ephesus di
zaman Yunani kuno. (lihat Maurice Friedman, ed. The Word of
Existentialism: A Critical Reader (Chicago: The University
of Chicago Press, 1964), hal 1728.
5. Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering
diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang
memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf
(al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang
bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari
risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah
wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan
tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama).
6. QS. al-Baqarah 2: 269, "Dia (Tuhan) memberi hikmah
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang
banyak."
7. Ayat-ayat muhkam itu disebut sebagai "mother of the
Book," Induk Kitab Suci" (Umm al-Kitab). Lihat catatan 2 di
atas.
8. Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang
ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja
pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau
participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang
Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23,
"Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk
sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara
berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani
(berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran
itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di
sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab,
mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan
di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of
Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk
suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin
berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup.
(Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah
for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal.
1243, catatan 4276).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: taqlid vs ijtihad
Nabi akan membawa
rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui
ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di
kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar
Al-Muqaddasi).
Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan
pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah
yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat
adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk
membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang
akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama
sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila
benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban
berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.
IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD
Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan oleh
ijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang
satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalan
dengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad yang lain."
Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidak
dapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain,
betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangi
secara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka
ragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaan
dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita
akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai
rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.
Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang
bersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para Imam
Mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat
populer, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan
salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung
kemungkinan benar."
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid
harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits
Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan
dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an
dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u
'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.
8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia
dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
ta'dil tajrih (screening).
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan
deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar
dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
permasalahan yang akan diketahuinya.
MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD.
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.
BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI?
Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan
pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum
yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak
termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih.
Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi
ushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Gema ini digelorakan oleh ulama-ulama
mutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia Islam
diliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya man laisa
lahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengaku
sebagai mujtahid.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad
tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang
memiliki kuncinya (memenuhi persyaratan). Pendapat ini
antara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahan
abad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan oleh
Syekh Al-Maraghy, Rektor Universitas Al-Azhar pada waktu
itu.
Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,
mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Sedangkan golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah
kegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imam
mujtahid kenamaan.
Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari golongan yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu:
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang
semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku;
sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak
kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan
Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak
dapat diketahui bagaimana status hukumnya.
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama
Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam
memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam
3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan
baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya.
Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan
tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.
Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup
antara lain beralasan:
1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah,
munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah
lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu
kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat.
Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl
al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia
harus terikat tidak boleh pindah madzhab.
3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan
membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:
a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat
antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan
istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum
ushuliyyin.
b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah
satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu
hanyalah tahsil al-hasil
c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab
di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl
al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.
d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam
membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang
ijma'.
4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV
Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani
menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak
dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang
rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui
ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di
kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar
Al-Muqaddasi).
Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan
pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah
yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat
adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk
membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang
akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama
sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila
benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban
berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.
IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD
Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan oleh
ijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang
satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalan
dengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad yang lain."
Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidak
dapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain,
betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangi
secara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka
ragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaan
dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita
akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai
rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.
Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang
bersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para Imam
Mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat
populer, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan
salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung
kemungkinan benar."
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid
harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits
Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan
dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an
dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u
'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.
8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia
dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
ta'dil tajrih (screening).
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan
deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar
dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
permasalahan yang akan diketahuinya.
MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD.
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.
BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI?
Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan
pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum
yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak
termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih.
Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi
ushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Gema ini digelorakan oleh ulama-ulama
mutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia Islam
diliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya man laisa
lahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengaku
sebagai mujtahid.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad
tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang
memiliki kuncinya (memenuhi persyaratan). Pendapat ini
antara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahan
abad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan oleh
Syekh Al-Maraghy, Rektor Universitas Al-Azhar pada waktu
itu.
Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,
mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Sedangkan golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah
kegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imam
mujtahid kenamaan.
Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari golongan yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu:
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang
semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku;
sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak
kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan
Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak
dapat diketahui bagaimana status hukumnya.
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama
Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam
memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam
3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan
baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya.
Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan
tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.
Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup
antara lain beralasan:
1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah,
munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah
lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu
kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat.
Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl
al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia
harus terikat tidak boleh pindah madzhab.
3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan
membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:
a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat
antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan
istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum
ushuliyyin.
b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah
satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu
hanyalah tahsil al-hasil
c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab
di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl
al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.
d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam
membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang
ijma'.
4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV
Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani
menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak
dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: taqlid vs ijtihad
Sebelum saya mengambil kesimpulan dengan mempertemukan kedua
pendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasil
keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang
bersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut:
"Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan Sunnah
Rasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa
berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnah
dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya;
dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah
dipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhab
suatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukum
yang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulah
ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika
tidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secara
mutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk
mencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secara
mutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu."
Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi
persyaratan.
2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat
dimana ijtihad boleh dilakukan.
3. Butir pertama hanya berlaku untuk:
a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad
fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy).
b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara
kolektif (ijtihad madzhab jama'iy).
c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif
(ijtihad muthlaq jama'iy).
4. Poin kedua tidak berlaku untuk:
a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab
fardy).
c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq
fardy).
Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangat
bijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antara
dua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapat
yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka
haruslah diartikan untuk:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun
kelompok secara kolektif,
2. Ijtihad madzhab secara kolektif
3. Ijtihad muthlaq secara kolektif,
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup haruslah kita artikan untuk:
1. Ijtihad mutlaq secara perorangan,
2. Ijtihad madzhab secara perorangan.
Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kita
mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dan
sebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secara
mutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetap
terbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masih
tetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalah
bagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunya
tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan
segala macam bentuknya.
Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli
hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar
dapat dilakukan adalah:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun
secara kolektif.
2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum
pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini
dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif.
Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyah
dengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan Bahstul
Matsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,
alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI;
sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalam
menutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqih
yang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sok
berijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilah
persyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yang
dibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2. TAQLID
Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara
langsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan,
daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapun
tidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad
sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggup
melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan
menggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secara
langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macam
tingkatannya.
Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu
tidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum
Islam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalil
atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akan
diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaitu
harus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah muncul
persoalan taqlid.
Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin
dihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda.
Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a
-manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklif
atau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu
'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dan
tidak realistis, hal itu juga akan membawa akibat
terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain,
karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya
tercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil.
Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakan
sistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakan
seseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metode
yang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/sarana
mencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkan
penelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yang
khusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal dengan
ijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapai
konsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar atau
metode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelaku
taqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untuk
mengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewat
nadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa,
meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilah
yang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yang
ditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
Nabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur)
kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka."
Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih,
agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukum
taklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkan
dhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnya
dhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yang
berhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaran
Islam yang berhubungan dengan masalah hukum.
Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy atau
pasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwa
penetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iy
al-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkan
dalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yang
bersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanya
harus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itu
justru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidang
hukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puas
mendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini.
Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan
kita bicarakan dalam tulisan ini.
PENGERTIAN TAQLID
Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada
berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain,
atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana
lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing
yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang
dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang
bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita
seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang
mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah
kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan
pendapat mujtahid/imam tersebut.
Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah
bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu
mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah
ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga
muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang
sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat
Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh
tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam
ketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpun
datang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufuk
penjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini.
Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di
perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini
harus terus kita kembangkan.
Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,
antara lain:
1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang
pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang
dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil.
Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir.
2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak
mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut
al-Qaffal.
3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan
dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.
Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal
seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid.
Beberapa hal itu ialah:
a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi.
b. Beramal berdasarkan ijma'
c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan
kesaksian saksi yang adil.
Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan
ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya
adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad
dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori
taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda,
tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat
orang lain.
pendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasil
keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang
bersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut:
"Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan Sunnah
Rasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa
berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnah
dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya;
dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah
dipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhab
suatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukum
yang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulah
ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika
tidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secara
mutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk
mencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secara
mutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu."
Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi
persyaratan.
2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat
dimana ijtihad boleh dilakukan.
3. Butir pertama hanya berlaku untuk:
a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad
fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy).
b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara
kolektif (ijtihad madzhab jama'iy).
c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif
(ijtihad muthlaq jama'iy).
4. Poin kedua tidak berlaku untuk:
a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab
fardy).
c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq
fardy).
Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangat
bijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antara
dua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapat
yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka
haruslah diartikan untuk:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun
kelompok secara kolektif,
2. Ijtihad madzhab secara kolektif
3. Ijtihad muthlaq secara kolektif,
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup haruslah kita artikan untuk:
1. Ijtihad mutlaq secara perorangan,
2. Ijtihad madzhab secara perorangan.
Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kita
mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dan
sebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secara
mutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetap
terbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masih
tetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalah
bagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunya
tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan
segala macam bentuknya.
Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli
hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar
dapat dilakukan adalah:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun
secara kolektif.
2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum
pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini
dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif.
Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyah
dengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan Bahstul
Matsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,
alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI;
sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalam
menutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqih
yang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sok
berijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilah
persyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yang
dibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2. TAQLID
Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara
langsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan,
daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapun
tidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad
sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggup
melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan
menggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secara
langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macam
tingkatannya.
Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu
tidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum
Islam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalil
atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akan
diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaitu
harus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah muncul
persoalan taqlid.
Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin
dihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda.
Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a
-manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklif
atau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu
'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dan
tidak realistis, hal itu juga akan membawa akibat
terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain,
karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya
tercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil.
Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakan
sistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakan
seseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metode
yang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/sarana
mencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkan
penelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yang
khusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal dengan
ijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapai
konsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar atau
metode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelaku
taqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untuk
mengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewat
nadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa,
meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilah
yang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yang
ditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
Nabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur)
kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka."
Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih,
agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukum
taklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkan
dhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnya
dhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yang
berhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaran
Islam yang berhubungan dengan masalah hukum.
Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy atau
pasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwa
penetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iy
al-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkan
dalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yang
bersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanya
harus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itu
justru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidang
hukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puas
mendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini.
Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan
kita bicarakan dalam tulisan ini.
PENGERTIAN TAQLID
Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada
berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain,
atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana
lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing
yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang
dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang
bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita
seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang
mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah
kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan
pendapat mujtahid/imam tersebut.
Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah
bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu
mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah
ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga
muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang
sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat
Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh
tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam
ketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpun
datang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufuk
penjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini.
Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di
perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini
harus terus kita kembangkan.
Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,
antara lain:
1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang
pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang
dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil.
Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir.
2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak
mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut
al-Qaffal.
3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan
dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.
Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal
seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid.
Beberapa hal itu ialah:
a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi.
b. Beramal berdasarkan ijma'
c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan
kesaksian saksi yang adil.
Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan
ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya
adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad
dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori
taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda,
tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat
orang lain.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: taqlid vs ijtihad
HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID
Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad
baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad.
Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada
kesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidak
menaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya."
Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam
itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar
atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr,
sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabila
kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID
Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka
wajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil
ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid atau
mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus
kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti
Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya,
bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi
persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada
mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.
Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa
ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpa
ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan
bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut
terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam dari
kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk
dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkan
ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazm
dan al-Syaukany.
Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan
bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad
dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di
kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada
beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,
tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia.
Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi
adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan
diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya.
TINGKATAN TAQLID/MUQALLID
Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,
demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:
1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti
taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana
dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat
imam mujtahid.
2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti
yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang
madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian
dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid,
tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.
3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang
dilakukan oleh mujtahid muntasib.
MASALAH TALFIQ
Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita
tidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya,
talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar
hukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab atau
lebih.
Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya
seseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah
boleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabila
seseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satu
mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yang
berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhab
lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya
mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada
tiga pendapat:
1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka
ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak
boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun
sebagian (talfiq).
Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini
dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang
banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman
partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan
eksploitir.
2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja
pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari
kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam
kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang
kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap
batal.
Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi
dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam
kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah
al-Qarafi.
3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah
madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan.
Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga
ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam.
Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat
di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat
Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:
1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah
yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu
mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada
ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya
(QS. al-Nahl: 43).
2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah
disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling
mudah, selama tidak membawa ke dosa.
3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang
awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak
terikat.
Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka
yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang
diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini
dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya
kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan
pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan
menyelesaikan persengketaan."
Contoh Talfiq
a. Dalam Ibadat.
1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu
kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit
dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti
madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak
membatalkan wudlu.
2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian
ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi
sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.
b. Masalah Kemasyarakatan
1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya
harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab
Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti
madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li
(langsung bersetubuh).
2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat,
kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut
berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi
berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang
tidak memandang persoalan mathla'.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk
mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta
menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang
sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa
makan).
2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana
disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para
ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada
tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui
kebenaran dan kesalahannya).
3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya,
apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan
peranan ijtihad.
4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang
tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada
tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana
serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah.
5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita
lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam
kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas
oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita
lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara
kolektif (ijtihad jamma'iy).
6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku
di dunia hukum.
7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan
membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum
furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad.
8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam
ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi.
9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan
tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya
memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong.
10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid
yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran
agama Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Al-Syafi'i, al-Risalah
2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad
3. Al-Juwaini, al-Burhan
4. Al-Ghazali, al-Musthafa
5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul
6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam
7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul
8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul
9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'
10. Ushulus-Sarkhasi
11. Ushulul-Bazdawi
12. Al-Nasafi, al-Manar
13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham
14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul
15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr
16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir
17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul
18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur
19. al-Syathibi, al-Muwafaqat
20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in
Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad
baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad.
Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada
kesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidak
menaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya."
Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam
itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar
atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr,
sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabila
kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID
Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka
wajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil
ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid atau
mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus
kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti
Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya,
bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi
persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada
mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.
Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa
ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpa
ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan
bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut
terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam dari
kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk
dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkan
ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazm
dan al-Syaukany.
Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan
bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad
dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di
kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada
beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,
tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia.
Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi
adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan
diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya.
TINGKATAN TAQLID/MUQALLID
Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,
demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:
1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti
taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana
dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat
imam mujtahid.
2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti
yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang
madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian
dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid,
tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.
3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang
dilakukan oleh mujtahid muntasib.
MASALAH TALFIQ
Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita
tidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya,
talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar
hukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab atau
lebih.
Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya
seseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah
boleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabila
seseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satu
mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yang
berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhab
lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya
mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada
tiga pendapat:
1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka
ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak
boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun
sebagian (talfiq).
Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini
dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang
banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman
partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan
eksploitir.
2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja
pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari
kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam
kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang
kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap
batal.
Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi
dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam
kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah
al-Qarafi.
3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah
madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan.
Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga
ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam.
Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat
di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat
Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:
1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah
yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu
mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada
ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya
(QS. al-Nahl: 43).
2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah
disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling
mudah, selama tidak membawa ke dosa.
3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang
awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak
terikat.
Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka
yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang
diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini
dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya
kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan
pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan
menyelesaikan persengketaan."
Contoh Talfiq
a. Dalam Ibadat.
1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu
kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit
dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti
madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak
membatalkan wudlu.
2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian
ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi
sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.
b. Masalah Kemasyarakatan
1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya
harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab
Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti
madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li
(langsung bersetubuh).
2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat,
kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut
berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi
berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang
tidak memandang persoalan mathla'.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk
mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta
menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang
sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa
makan).
2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana
disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para
ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada
tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui
kebenaran dan kesalahannya).
3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya,
apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan
peranan ijtihad.
4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang
tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada
tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana
serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah.
5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita
lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam
kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas
oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita
lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara
kolektif (ijtihad jamma'iy).
6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku
di dunia hukum.
7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan
membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum
furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad.
8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam
ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi.
9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan
tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya
memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong.
10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid
yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran
agama Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Al-Syafi'i, al-Risalah
2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad
3. Al-Juwaini, al-Burhan
4. Al-Ghazali, al-Musthafa
5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul
6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam
7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul
8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul
9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'
10. Ushulus-Sarkhasi
11. Ushulul-Bazdawi
12. Al-Nasafi, al-Manar
13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham
14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul
15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr
16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir
17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul
18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur
19. al-Syathibi, al-Muwafaqat
20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: taqlid vs ijtihad
Kedua, dengan menghadapkan sosok pemikiran itu pada
kenyataan-kenyataan disini sekarang. Penghadapan ini
diperlukan untuk melihat relevansi suatu sosok pemikiran
historis, karena ia akan berguna untuk kita, disini dan
kini. Seperti tubuh manusia yang memiliki mekanisme
penolakan terhadap benda-benda asing yang tidak cocok dengan
dirinya lewat gejala alergi, ruang dan waktu pun, yang
mengejawantah dalam sistem sosial, memiliki mekanisme
penolakan terhadap sesuatu yang tidak sesuai tanpa
membiarkan diri secara pasif menjadi tawanan ruang dan
waktu, kita tidak bisa dihadapkan pada kebutuhankebutuhan
nyata yang didiktekan dan ditentukan oleh lingkungan kita.
HIKMAH AGAMA
Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain
untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka.
Karena cakupan maknanya yang demikian luas, "hikmah"
diterangkan kedalam berbagai pengertian dan konsep,
diantaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa,
untuk membedakannya dari kata "kebijaksanaan"), ilmu
pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk
menekankan segi kerahasiaan hikmah). [6] Mendasari konsep
itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu mengandung
kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang
tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka disebutkan
bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan
kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]
Jika "hikmah" itu kita hubungkan kembali pada istilah
"muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama,
yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual
yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan
ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan
Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada keterangan dalam
Kitab Suci tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih
tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas makna muhkam itu: [7]
... The Commentators usually understand the verses "of
established meaning" (muhkam) to refer to the categorical
orders of the Shari'at (or the Law), which are plain to
everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider:
"the mother of the Book" must include the very foundation on
which all Law rests, the essence of God's Message, as
distinguished from the various illustrative parables,
allegories, and ordinances.
If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall find that
in a sense the whole of the Qur'an has both "established
meaning" and allegorical meaning. The division is not
between the verses, but between the meanings to be attached
to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is
something immediately applicable, and something eternal and
independent of time and space, - the "Forms of Ideas" in
Plato's Philosophy. The wise man will understand that there
is an "essence" and an illustrative clothing given to the
essence, throught the Book. We must try to understand it as
best we can, but not waste our energies in disputing about
matters beyond our depth.[9]
Sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and
space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik
dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan
universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus
diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri.
Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses
konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama
ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang
bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi)
dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam
hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun
kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai
skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk
suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak
semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar
konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep
fithrah. Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami
seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah
alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah
angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami,
termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang
menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan
tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi
kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung terkait
dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep
atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan bahwa segala
sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur
dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum
alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang
pasti dan tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala
sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral
namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.
Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan
secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah
agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah
menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal,
Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah pesan agama
ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid
al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan
ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama
Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par
excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin:
ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm
(sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan
dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari
penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini
ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale
diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar)
ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian sifat memabukkan
itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia
mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas
negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia
negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara
fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral
agama Islam. [14]
IJTIHAD
Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi gambaran bahwa
masalah taqlid dan ijtihad, lebih dari pada yang dipahami
umum, menyangkut hal-hal yang cukup rumit, mendalam, dan
meluas serta kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik
ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas
yang penuh gengsi, tapi justru karena itu menuntut
persyaratan banyak dan berat. Maka ijtihad bisa dilakukan
hanya oleh orang-orang tertentu yang benar-benar telah
memenuhi syarat itu. Syarat-syarat itu sekarang boleh
kedengaran kuno, namun ia dibuat dengan tujuan menjamin
adanya kewenangan dan tanggung jawab.
Hanya saja, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai
sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang
hampir menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya
tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul dari
obsesi para ulama pada ketertiban dan ketenangan atau
keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya di
masa-masa penuh kekacauan menjelang keruntuhan Baghdad.
Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
dilihat sebagai kelanjutan masa kegelapan (obskurantisme)
dalam pemikiran Islam.
Kini, ijtihad itu diajukan orang sebagai salah satu tema
pokok usaha reformasi atau penyegaran kembali pemahaman
terhadap agama. Melalui tokoh-tokoh pembaharu seperti
Muhammad Abduh dan Sayid Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan
kembali sebagai metode terpenting menghilangkan situasi
anomalous dunia Islam yang kalah dan dijajah oleh dunia
Kristen Barat. (Disebut anomalous, karena selama paling
kurang tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa
berpikir bahwa dunia ini milik mereka, dan hak mengatur
dunia hanya ada pada mereka, sebagai salah satu akibat
penguasaan mereka atas daerah-daerah sentral peradaban
manusia, terutama daerah Nil sampai Ozus, jantung kawan
(Oikoumene).
Para pembaharu mendapati bahwa praktek taqlid yang umum
menguasai orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah
berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah
pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar
terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk
unsur dari budaya asing. [15] Ini dengan mudah dilihat
gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan gejala,
paling untung chauvinisme, paling celaka kecemasan dan
rendah diri. Gejala ini pula yang hari-hari ini dilihat
al-Makki, seorang pemikir Makkah dari madzhab Maliki. Ia
melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya
zaman 'Umar. Sebab, sepanjang penuturannya, 'Umar adalah
seorang yang "berpikiran luas, yang tidak segan-segan
mengambil apa saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun
umat itu kafir. [16] Bahkan 'Umar "tidak memandang semua
perkara bersifat ta'abbudi (bernilai 'ubudiyyah,
devotional), dan tidak memandang baik terhadap sikap jumud
dalam hukum, tetapi mengikuti berbagai pertimbangan
kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros
penetapan hukum (manath al-tasyri') yang diridlai Allah
s.w.t." [17] Pandangan 'Umar ini sejalan dengan, dan
merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada
gunanya berbicara tentang kebenaran namun tidak dapat
dilaksanakan." [18]
kenyataan-kenyataan disini sekarang. Penghadapan ini
diperlukan untuk melihat relevansi suatu sosok pemikiran
historis, karena ia akan berguna untuk kita, disini dan
kini. Seperti tubuh manusia yang memiliki mekanisme
penolakan terhadap benda-benda asing yang tidak cocok dengan
dirinya lewat gejala alergi, ruang dan waktu pun, yang
mengejawantah dalam sistem sosial, memiliki mekanisme
penolakan terhadap sesuatu yang tidak sesuai tanpa
membiarkan diri secara pasif menjadi tawanan ruang dan
waktu, kita tidak bisa dihadapkan pada kebutuhankebutuhan
nyata yang didiktekan dan ditentukan oleh lingkungan kita.
HIKMAH AGAMA
Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain
untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka.
Karena cakupan maknanya yang demikian luas, "hikmah"
diterangkan kedalam berbagai pengertian dan konsep,
diantaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa,
untuk membedakannya dari kata "kebijaksanaan"), ilmu
pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk
menekankan segi kerahasiaan hikmah). [6] Mendasari konsep
itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu mengandung
kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang
tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka disebutkan
bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan
kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]
Jika "hikmah" itu kita hubungkan kembali pada istilah
"muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama,
yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual
yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan
ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan
Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada keterangan dalam
Kitab Suci tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih
tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas makna muhkam itu: [7]
... The Commentators usually understand the verses "of
established meaning" (muhkam) to refer to the categorical
orders of the Shari'at (or the Law), which are plain to
everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider:
"the mother of the Book" must include the very foundation on
which all Law rests, the essence of God's Message, as
distinguished from the various illustrative parables,
allegories, and ordinances.
If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall find that
in a sense the whole of the Qur'an has both "established
meaning" and allegorical meaning. The division is not
between the verses, but between the meanings to be attached
to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is
something immediately applicable, and something eternal and
independent of time and space, - the "Forms of Ideas" in
Plato's Philosophy. The wise man will understand that there
is an "essence" and an illustrative clothing given to the
essence, throught the Book. We must try to understand it as
best we can, but not waste our energies in disputing about
matters beyond our depth.[9]
Sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and
space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik
dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan
universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus
diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri.
Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses
konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama
ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang
bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi)
dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam
hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun
kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai
skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk
suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak
semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar
konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep
fithrah. Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami
seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah
alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah
angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami,
termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang
menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan
tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi
kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung terkait
dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep
atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan bahwa segala
sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur
dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum
alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang
pasti dan tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala
sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral
namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.
Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan
secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah
agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah
menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal,
Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah pesan agama
ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid
al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan
ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama
Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par
excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin:
ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm
(sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan
dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari
penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini
ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale
diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar)
ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian sifat memabukkan
itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia
mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas
negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia
negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara
fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral
agama Islam. [14]
IJTIHAD
Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi gambaran bahwa
masalah taqlid dan ijtihad, lebih dari pada yang dipahami
umum, menyangkut hal-hal yang cukup rumit, mendalam, dan
meluas serta kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik
ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas
yang penuh gengsi, tapi justru karena itu menuntut
persyaratan banyak dan berat. Maka ijtihad bisa dilakukan
hanya oleh orang-orang tertentu yang benar-benar telah
memenuhi syarat itu. Syarat-syarat itu sekarang boleh
kedengaran kuno, namun ia dibuat dengan tujuan menjamin
adanya kewenangan dan tanggung jawab.
Hanya saja, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai
sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang
hampir menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya
tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul dari
obsesi para ulama pada ketertiban dan ketenangan atau
keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya di
masa-masa penuh kekacauan menjelang keruntuhan Baghdad.
Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
dilihat sebagai kelanjutan masa kegelapan (obskurantisme)
dalam pemikiran Islam.
Kini, ijtihad itu diajukan orang sebagai salah satu tema
pokok usaha reformasi atau penyegaran kembali pemahaman
terhadap agama. Melalui tokoh-tokoh pembaharu seperti
Muhammad Abduh dan Sayid Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan
kembali sebagai metode terpenting menghilangkan situasi
anomalous dunia Islam yang kalah dan dijajah oleh dunia
Kristen Barat. (Disebut anomalous, karena selama paling
kurang tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa
berpikir bahwa dunia ini milik mereka, dan hak mengatur
dunia hanya ada pada mereka, sebagai salah satu akibat
penguasaan mereka atas daerah-daerah sentral peradaban
manusia, terutama daerah Nil sampai Ozus, jantung kawan
(Oikoumene).
Para pembaharu mendapati bahwa praktek taqlid yang umum
menguasai orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah
berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah
pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar
terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk
unsur dari budaya asing. [15] Ini dengan mudah dilihat
gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan gejala,
paling untung chauvinisme, paling celaka kecemasan dan
rendah diri. Gejala ini pula yang hari-hari ini dilihat
al-Makki, seorang pemikir Makkah dari madzhab Maliki. Ia
melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya
zaman 'Umar. Sebab, sepanjang penuturannya, 'Umar adalah
seorang yang "berpikiran luas, yang tidak segan-segan
mengambil apa saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun
umat itu kafir. [16] Bahkan 'Umar "tidak memandang semua
perkara bersifat ta'abbudi (bernilai 'ubudiyyah,
devotional), dan tidak memandang baik terhadap sikap jumud
dalam hukum, tetapi mengikuti berbagai pertimbangan
kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros
penetapan hukum (manath al-tasyri') yang diridlai Allah
s.w.t." [17] Pandangan 'Umar ini sejalan dengan, dan
merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada
gunanya berbicara tentang kebenaran namun tidak dapat
dilaksanakan." [18]
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» taqlid vs ijtihad
» menghindari sifat taqlid dan fanatisme kelompok
» ijtihad umar
» ijtihad dalam islam
» ijtihad bukan asal tajdid bukan pula tabdid
» menghindari sifat taqlid dan fanatisme kelompok
» ijtihad umar
» ijtihad dalam islam
» ijtihad bukan asal tajdid bukan pula tabdid
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik