takdir
Halaman 1 dari 1 • Share
takdir
Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menggantikan Khalifah IV,
Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah
seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan,
"Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia
memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,
"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai
Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri,
tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi,
tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber
dari-Mu (HR Bukhari).
Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala
sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia
sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh
banyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa
itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan
pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis
Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam
Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).
Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima oleh
kebanyakan ulama. Ada yang demikian menggebu menolaknya
sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan
la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa
saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia
kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum
kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah
sendiri menegaskan,
"Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang
hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).
Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya
sendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini juga
disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah.
Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah
"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS
Al-Shaffat [37]: 96).
Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang
kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya
bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali
dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).
Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjung
habis di antara para teolog. Masing-masing menjadikan
Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang
mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.
Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan
kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam
berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di
atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya
Yang jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidak
pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para
teolog itu. Mereka sepenuhnya yakin tentang takdir Allah
yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi
sedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi mereka
menyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalah
sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah.
Sikap Nabi dan para sahabat tersebut lahir, karena mereka
tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demi
ayat, atau sepotong-sepotong terlepas dari konteksnya,
tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah Saw.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: takdir
Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dengan nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia di bawah (tidak lepas dari) kehendak Allah.
Firman Allah:
"Artinya : (Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." [At-Takwir: 28-29]
"Artinya : Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka." [Al-Qashash : 68]
"Artinya : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (Surga), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam)." [Yunus : 25]
Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu aspek dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak diciptakanNya. Padahal Allah-lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar (taqdir)nya.
Sekarang, kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah ditakdirkan Allah tersesat dan tidak mendapat petunjuk?
Jawabnya: bahwa Allah menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat.
Firman Allah:
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." [Ash-Shaff : 5]
"Artintya : (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membantu, mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya" [Al-Maidah : 13]
Di sini Allah menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk.
Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu berdalih bahwa Allah telah menghendakinya demikian? Apa tak lebih patut baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa "Allah telah menunjukkan kepadaku jalan kebenaran?".
Pantaskah dia menjadi seorang jabari [1] kalau tersesat dan qadari [2] kalau berbuat kebaikan?
Sungguh tak pantas bagi seseorang menjadi jabari ketika berada dalam kesesatan dan kemaksiaatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat kepada Allah dia mengatakan: "Ini sudah takdirku, dan tak mungkin aku dapat keluar dari ketentuan dan takdir Allah"; tetapi ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh taufik dari Allah untuk berbuat ketaatan dan kebaikan dia mengatakan: "Ini kuperoleh dari diriku sendiri." Dengan demikian dia menjadi qadari dalam segi ketaatan dan menjadi jabari dalam segi kemaksiatan.
Ini tidak boleh sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan.
Masalah hidayah sama halnya dengan masalah rizki dan menuntut ilmu. Sebagaimana kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan rizki yang menjadi bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk mencari rizki ke kanan dan ke kiri, di daerahnya sendiri atau di luar daerahnya. Tidak duduk saja di rumah seraya berkata: "Kalau sudah ditakdirkan rizkiku tentu akan datang dengan sendirinya." Bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki tersebut. Padahal rizki ini disebutkan bersamaan amal perbuatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud:
"Sesungguhnya kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian beruah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula, kemudian berubah segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu: rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah termasuk orang celaka atau bahagia."
Jadi, rizki ini pun telah dicatat seperti hanya amal perbuatan, baik ataupun buruk, juga telah dicatat.
Kalau begitu, mengapa Anda pergi ke sana kemari untuk mencari rizki dunia tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akhirat dan mendapatkan kebahagiaan Surga? Padahal kedua-duanya adalah sama, tidak ada perbedaannya.
Jika Anda mau berusaha mencari rizki untuk mempertahankan kelansungan hidup anda, sehingga kalau Anda kalau sakit pergi ke manapun mencari dokter ahli yang dapat mengobati penyakit Anda, padahal Anda tahu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah maupun berkurang, Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata: "Sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit, karena kalaupun aku ditakdirkan panjang umur akan tetap hidup." Bahakan Anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit Anda dengan takdir Allah. Jika demikian, mengapa usaha Anda di jalan akhirat dan dalam amal shalih tidak seperti usaha Anda untuk kepentingan dunia?
Sebagaimana telah kami kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah yang tersembunyi, tak mungkin Anda paat mengetahuinya. Sekarang Anda berada di antara dua jalan; jalan yang membawa Anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan; dan jalan yang dapat membawa Anda kepada kehancuran, penyesalan dan kehinaan. Sekarang Anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih, tak ada seorang pun yang akan merintangi Anda untuk melalui jalan yang kanan atau yang kiri. Anda dapat pergi ke manapun sesuka hati Anda. Lalu mengapa Anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih bahwa "Itu sudah takdirku?" Apa tidak lebih patut jika Anda memilih jalan kanan dan mengatakan bahwa "Itulah takdirku?"
Untuk lebih jelasnya, apabila Anda mau bepergian ke suatu tempat dan di hadapan Anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman; sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mngerikan. Tentu saja Anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu pula dengan yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun, kadangkala hawa nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal. Padahal, sebagai seorang mukmin seyogyanya akalnyalah yang harus lebih berperan dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang menggunakan akalnya, maka akal itu -menurut pengertian sebenarnya- akan melindungi pemiliknya dari yang membahayakan dan membawanya kepada yang bermanfaat dan membahagiakan.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak dan pilihan dalam perbuatan yang dilakukannya secara sadar, bukan terpaksa. Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka diapun begitu pula dalam usahanya menuju akhirat. Bahkan jalan menuju akhirat lebih jelas. Karena Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur'an dan melalui sabda RasulNya shalallahu 'alaihi wassalam, maka jalan menuju akhirat tentu saja lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk kepentingan dunia.
Namun, kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak terjamin hasilnya tapi meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah, dan Allah tidak akan menyalahi janjiNya.
Pembaca yang budiman.
Inilah yang menjadi ketetapan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah. Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani bahwa kehendak Allah tidak lepas dari hikmah kebijaksanaanNya, bukan kehendak mutlak dan absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanaanNya. Karena di antara asma Allah adalah Al-Hakim yang artinya Pemutus Yang Bijaksana, yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusanNya.
Allah dengan sifat hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa yang dikehendakiNya yang menurut pengetahuanNya menginginkan al-haq dan hatinya berada dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmahNya pula, Dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkaitan erat dengan akibatnya.
[Disalin dari kitab Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Darul Haq, Cetakan Rabi’ul Awwal 1420H/Juni 1999M]
_________
Foote Note
[1]. Jabari, ialah orang yang berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam
perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan keinginan.
[2]. Qadari, ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan
dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir.
Firman Allah:
"Artinya : (Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." [At-Takwir: 28-29]
"Artinya : Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka." [Al-Qashash : 68]
"Artinya : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (Surga), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam)." [Yunus : 25]
Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu aspek dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak diciptakanNya. Padahal Allah-lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar (taqdir)nya.
Sekarang, kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah ditakdirkan Allah tersesat dan tidak mendapat petunjuk?
Jawabnya: bahwa Allah menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat.
Firman Allah:
"Artinya : Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik." [Ash-Shaff : 5]
"Artintya : (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membantu, mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya" [Al-Maidah : 13]
Di sini Allah menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk.
Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu berdalih bahwa Allah telah menghendakinya demikian? Apa tak lebih patut baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa "Allah telah menunjukkan kepadaku jalan kebenaran?".
Pantaskah dia menjadi seorang jabari [1] kalau tersesat dan qadari [2] kalau berbuat kebaikan?
Sungguh tak pantas bagi seseorang menjadi jabari ketika berada dalam kesesatan dan kemaksiaatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat kepada Allah dia mengatakan: "Ini sudah takdirku, dan tak mungkin aku dapat keluar dari ketentuan dan takdir Allah"; tetapi ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh taufik dari Allah untuk berbuat ketaatan dan kebaikan dia mengatakan: "Ini kuperoleh dari diriku sendiri." Dengan demikian dia menjadi qadari dalam segi ketaatan dan menjadi jabari dalam segi kemaksiatan.
Ini tidak boleh sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan.
Masalah hidayah sama halnya dengan masalah rizki dan menuntut ilmu. Sebagaimana kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan rizki yang menjadi bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk mencari rizki ke kanan dan ke kiri, di daerahnya sendiri atau di luar daerahnya. Tidak duduk saja di rumah seraya berkata: "Kalau sudah ditakdirkan rizkiku tentu akan datang dengan sendirinya." Bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki tersebut. Padahal rizki ini disebutkan bersamaan amal perbuatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud:
"Sesungguhnya kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian beruah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula, kemudian berubah segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu: rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah termasuk orang celaka atau bahagia."
Jadi, rizki ini pun telah dicatat seperti hanya amal perbuatan, baik ataupun buruk, juga telah dicatat.
Kalau begitu, mengapa Anda pergi ke sana kemari untuk mencari rizki dunia tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akhirat dan mendapatkan kebahagiaan Surga? Padahal kedua-duanya adalah sama, tidak ada perbedaannya.
Jika Anda mau berusaha mencari rizki untuk mempertahankan kelansungan hidup anda, sehingga kalau Anda kalau sakit pergi ke manapun mencari dokter ahli yang dapat mengobati penyakit Anda, padahal Anda tahu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah maupun berkurang, Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata: "Sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit, karena kalaupun aku ditakdirkan panjang umur akan tetap hidup." Bahakan Anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit Anda dengan takdir Allah. Jika demikian, mengapa usaha Anda di jalan akhirat dan dalam amal shalih tidak seperti usaha Anda untuk kepentingan dunia?
Sebagaimana telah kami kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah yang tersembunyi, tak mungkin Anda paat mengetahuinya. Sekarang Anda berada di antara dua jalan; jalan yang membawa Anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan; dan jalan yang dapat membawa Anda kepada kehancuran, penyesalan dan kehinaan. Sekarang Anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih, tak ada seorang pun yang akan merintangi Anda untuk melalui jalan yang kanan atau yang kiri. Anda dapat pergi ke manapun sesuka hati Anda. Lalu mengapa Anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih bahwa "Itu sudah takdirku?" Apa tidak lebih patut jika Anda memilih jalan kanan dan mengatakan bahwa "Itulah takdirku?"
Untuk lebih jelasnya, apabila Anda mau bepergian ke suatu tempat dan di hadapan Anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman; sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mngerikan. Tentu saja Anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu pula dengan yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun, kadangkala hawa nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal. Padahal, sebagai seorang mukmin seyogyanya akalnyalah yang harus lebih berperan dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang menggunakan akalnya, maka akal itu -menurut pengertian sebenarnya- akan melindungi pemiliknya dari yang membahayakan dan membawanya kepada yang bermanfaat dan membahagiakan.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak dan pilihan dalam perbuatan yang dilakukannya secara sadar, bukan terpaksa. Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka diapun begitu pula dalam usahanya menuju akhirat. Bahkan jalan menuju akhirat lebih jelas. Karena Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur'an dan melalui sabda RasulNya shalallahu 'alaihi wassalam, maka jalan menuju akhirat tentu saja lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk kepentingan dunia.
Namun, kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak terjamin hasilnya tapi meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah, dan Allah tidak akan menyalahi janjiNya.
Pembaca yang budiman.
Inilah yang menjadi ketetapan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah. Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengimani bahwa kehendak Allah tidak lepas dari hikmah kebijaksanaanNya, bukan kehendak mutlak dan absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanaanNya. Karena di antara asma Allah adalah Al-Hakim yang artinya Pemutus Yang Bijaksana, yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusanNya.
Allah dengan sifat hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa yang dikehendakiNya yang menurut pengetahuanNya menginginkan al-haq dan hatinya berada dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmahNya pula, Dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkaitan erat dengan akibatnya.
[Disalin dari kitab Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Darul Haq, Cetakan Rabi’ul Awwal 1420H/Juni 1999M]
_________
Foote Note
[1]. Jabari, ialah orang yang berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam
perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan keinginan.
[2]. Qadari, ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan
dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir.
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Re: takdir
tidak semua hal terjadi karena kehendak Tuhan
manusia diberi otak dan akal budi memang untuk menghendaki, memutuskan dan melakukan banyak hal dalam hidup dan kehidupannya
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: takdir
takdir itu tentang jenis kelamin, jodoh, rejeki dan mau atau ajalnya....
sedangkan tentang keimanan setiap manusia itu PILIHAN alias free will, yang lalu Allah tetapkan takdirnya sebelum manusia diberi raga rohnya, lalu dilahirkan ke bumi, karena Allah itu Maha Tahu, tapi bukan berarti memilihkan.
sedangkan tentang keimanan setiap manusia itu PILIHAN alias free will, yang lalu Allah tetapkan takdirnya sebelum manusia diberi raga rohnya, lalu dilahirkan ke bumi, karena Allah itu Maha Tahu, tapi bukan berarti memilihkan.
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: takdir
Ngatur suka2 juga boleh.
jaya- LETNAN SATU
-
Posts : 1967
Kepercayaan : Lain-lain
Location : London
Join date : 21.07.13
Reputation : 8
Re: takdir
ngomong apa. nieh gak jelas...asal posting, nyampah...
Mutiaraa- LETNAN DUA
-
Posts : 1445
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 20.01.14
Reputation : 29
Re: takdir
حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنِي سُمَيٌّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ وَمِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ وَمِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ
قَالَ عَمْرٌو فِي حَدِيثِهِ قَالَ سُفْيَانُ أَشُكُّ أَنِّي زِدْتُ وَاحِدَةً مِنْهَا
Telah menceritakan kepadaku ‘Amr An Naqid dan Zuhair bin Harb mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah telah menceritakan kepadaku Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam pernah berdoa untuk berlindung dari takdir buruk, kesialan, dan cacian musuh (karena kemalangan diri), dan dari ujian yang memayahkan. Amru mengatakan dalam haditsnya; “Sufyan berkata; ‘Saya merasa ragu bahwasanya saya telah menambah salah satu kata dalam hadits tersebut.’”
Taqdir itu adalah skenario kehidupan. Peran saja. Hati manusia tidak pernah ditaqdirkan.
sebab itu TAKUT dan HARAP adalah Keseimbangan yang hakiki. dan ketidakpastian semestinya memposisikan manusia untuk bergantung, berharap dan memohon pada Allah.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ سُوءِ الْقَضَاءِ وَمِنْ دَرَكِ الشَّقَاءِ وَمِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ وَمِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ
قَالَ عَمْرٌو فِي حَدِيثِهِ قَالَ سُفْيَانُ أَشُكُّ أَنِّي زِدْتُ وَاحِدَةً مِنْهَا
Telah menceritakan kepadaku ‘Amr An Naqid dan Zuhair bin Harb mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah telah menceritakan kepadaku Sumayya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam pernah berdoa untuk berlindung dari takdir buruk, kesialan, dan cacian musuh (karena kemalangan diri), dan dari ujian yang memayahkan. Amru mengatakan dalam haditsnya; “Sufyan berkata; ‘Saya merasa ragu bahwasanya saya telah menambah salah satu kata dalam hadits tersebut.’”
Taqdir itu adalah skenario kehidupan. Peran saja. Hati manusia tidak pernah ditaqdirkan.
sebab itu TAKUT dan HARAP adalah Keseimbangan yang hakiki. dan ketidakpastian semestinya memposisikan manusia untuk bergantung, berharap dan memohon pada Allah.
crescent-star- SERSAN MAYOR
-
Posts : 403
Kepercayaan : Islam
Location : jabar
Join date : 29.01.14
Reputation : 5
Similar topics
» Tak ada Yg Salah dengan Takdir
» Perjalanan Jatah, Nasib & Takdir
» bersabarlah terhadap takdir Allah
» beriman kepada takdir Allah
» hikmah dibalik beriman kepada takdir
» Perjalanan Jatah, Nasib & Takdir
» bersabarlah terhadap takdir Allah
» beriman kepada takdir Allah
» hikmah dibalik beriman kepada takdir
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik