penjajahan oleh kristen eropa
Halaman 1 dari 1 • Share
penjajahan oleh kristen eropa
Penjajahan Eropa dapat dikatakan telah dimulai dengan laporan perjalanan Vasco da Gama, seorang pelaut Portugis, dalam rute perjalanannya keliling Afrika ke India dan India Timur. Vasco da Gama ini diikuti oleh bangsa Perancis, Inggris dan Belanda. Dalam kegiatan ini ada sedikit pemikiran tentang penaklukan terhadap satu wilayah baru tertentu. Perhatian utama perjalanan ekspedisi ilmiah ini adalah perdagangan dan khususnya bangsa Eropa bertujuan hendak menemukan sumber- sumber persediaan rempah-rempah, barang-barang mewah dan benda-benda lain yang harus sampai ke Eropa melalui negeri-negeri Islam Mediteranian timur. Peperangan diperlukan apa bila terjadi perlawanan bersenjata atas para pedagang tersebut. Walaupun demikian, secara perlahan tapi pasti perdagangan ini semakin meningkatkan kemajuannya, maka keterlibatan politik menjadi makin lebih besar. Semenjak abad ke delapan belas, India dan Malaysia berada di bawah kontrol Inggris, sementara India Timur atau Indonesia berada di bawah kontrol Belanda. Terkadang kontrol ini dilakukan lewat perjanjian-perjanjian dengan para pemimpin pribumi, terkadang oleh administrasi pemerintah langsung. Namun harus dicatat bahwa di India sampai tahun 1834 administrasi pemerintah langsung itu bukan di tangan kekuasaan Inggris, melainkan apa yang pada mulanya menjadi usaha komersial The East India Company (Perusahaan/ Perdagangan India Timur).
Pendudukan Perancis atas Algeria semenjak tahun 1830 dan seterusnnya, kontrol parsialnya atas Tunisia dan pendudukan Italia atas Lybia pada tahun 1912, terutama bukan karena alasan-alasan komersial melainkan secara langsung membawa kepada kolonisasi. Mandat-mandat yang diberikan setelah Perang tahun 1914-1918 juga dapat dipandang sebagai bentuk koloni; namun masa-masa kolonialisme ini dengan jelas hanya dianggap sebagai warga penduduk sebagian terbesar "koloni-koloni" yang memberi dampak kepada kesadaran politik. Sebagian koloni yang terdahulu ini mendapatkan kemerdekaan formal sebelum pecah Perang Dunia II dan pada dekade itu dan seterusnya hampir semuanya masih tersisa, yang juga menjadi anggota PBB. Kendatipun demikian, wilayah pendudukan ini segera menemukan dirinya bahwa kolonialisme politik lalu berganti dengan kolonialisme ekonomi. Oleh karena dunia sudah menjadi jaringan akrab masyarakat ekonomi, maka para pemegang tampuk kekuatan ekonomi yang besar dapat mengontrol urusan-urusan di sebagian terbesar dunia ini.
Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh refleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi ini adalah mengapa umat Islam Asia Timur tidak menanggapi dengan mengirimkan kapal-kapal ke Eropa untuk tujuan perdagangan. Ada saudagar-saudagar muslim dengan keahlian komersialnya dan ada pula pelaut-pelaut muslim dengan pengalaman yang sudah lama di samudera Indonesia. Apabila ketrampilan pembuatan kapal dan ketrampilan navigasional yang diperlukan, maka secara pasti hampir dapat dipelajari dengan cepat. Apakah barang-barang yang harus diberikan oleh Eropa tidak merupakan kecenderungan menyeluruh untuk mengabsahkan pelayaran? Sementara pada saat bangsa Eropa membawa barang-barang dagangannya ke Asia Selatan harus diterima. Apakah ada stabilitas politik yang memadai, agar para saudagar makin berkurang sandaran politik yang mereka butuhkan? Atau apakah kegagalan orang Islam untuk pergi ke Eropa ini benar-benar menjadikan kombinasi faktor faktor tersebut? Apapun alasan-alasan yang dibuat, itu masih pula menyisakan kenyataan bahwa perdagangan antara Eropa dan Asia Selatan itu seluruhnya berada di tangan bangsa Eropa.
Masalah lain adalah sikap personal para penjajah itu. Diperintah oleh orang-orang asing adalah selalu tidak enak, namun tingkat ketidakenakan ini dapat naik atau turun oleh karena sikap-sikap para penguasa yang memerintah. Ada kemiripan antara sikap golongan kolonialis muslim -- tepatnya pemikiran Spanyol -- dan golongan kolonialis Eropa. Pada kedua kasus ini ada kultur para penguasa yang superior dan kedua kasus penguasa kolonialis ini juga merasa dirinya sebagai manusia yang superior terhadap rakyatnya yang dikuasai. Boleh jadi umat Islam telah mewarisi kebanggaan Arab kuno karena memiliki suku bangsa yang besar dan dapat mengembangkan kesukuan besar ini bagi superioritas Islam sebagai agama. Sikap para penjajah Eropa ini telah dianalisis secara mendalam oleh Edward Said pada bukunya yang berbicara tentang Orientalism. [2] Pernyataan-pernyataannya tentang orientalisme yang akan dibicarakan pada bab yang akan datang, bahkan akan menghadiran superioritas para penjajah seperti yang tampak pada ucapan dan tulisan-tulisan A.J. Balfour dan Lord Cromer sekitar tahun 1910 berkenaan dengan kontrol Inggris atas negeri Mesir. Mereka mengasumsikan superioritas Inggris merupakan keharusan yang tak perlu dipersoalkan, dan berdasarkan landasan stereotipe yang bertentangan terhadap perkataan "Oriental" (yang meliputi bangsa Mesir) sebagai yang mempunyai semua bentuk kelemahan: tidak ada kemampuan bagi pemerintah sendiri; degradasi moral dan sosial; tidak mampu berfikir logis atau tidak mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas; ketidakcermatan secara umum; dan lain-lain.
Dalam rangka menciptakan suasana agar administrator bangsa Eropa itu merasakan dan memikirkan persoalan-persoalan yang berkembang di atas, agaknya sulit bagi bangsa Eropa untuk bersahabat akrab dengan bangsa Timur atas dasar persamaan hak dan kedudukan. Boleh jadi hal inilah yang menjadi intisari persoalan keluhan umat Islam dan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika, sehingga mereka harus berjuang menghadapi para penjajah Eropa itu. Bangsa Timur diperlakukan sebagai bangsa yang "lemah tanpa hukum" dan sebagai bangsa manusia yang tidak sama martabat dan derajatnya. Memang benar bahwa bangsa Eropa itu sangat unggul dalam aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap aspek-aspek kehidupan material, namun sama sekali tidak unggul di bidang moral. Oleh karena itu, oriental harus dianggap sebagai bangsa yang rendah secara moral. Dalam hal ini bangsa Eropa tidak benar dan sahih, sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki secara pasti nyaris memiskinkan kesadaran akan berbagai nilai-nilai fundamental yang akan timbul pada hubungan hubungan manusia.
Sementara itu, Edward Said masih memperlihatkan sikap-sikap bangsa Eropa yang ditampilkan pada orientalisme dan khususnya pada kajian Islam, maka orang-orang barat sadar akan unsur kesalahan yang mendasari seluruh sikap-sikap tersebut. Thomas Merton dengan artikelnya yang cerdas berjudul "Cargo Cults of the South Pacific", menganalisis hubungan hubungan antara administrator-administrator penjajah kulit putih dan penduduk primitif Laut Selatan yang pribumi, didapatkan kelemahan pada ruh dan jiwa peradaban barat. Dia berharap agar kita dapat menggunakan pemahaman gerakan-gerakan seperti pelaksanaan terhadap cargo tersebut:
Membantu mengantarkan diri kita dari takhyul superioritas kulit putih yang mengerikan ini. Namun malahan kita merasa harus menjawab dan memang kita berkeinginan untuk membantu bangsa kulit hitam saudara kita itu. Namun bantuan itu diwujudkan dalam terma-terma arogan, sia-sia dan hanya memuaskan diri sendiri, semaunya sendiri. Satu-satunya harapan adalah kita hendak menolong bangsa kulit hitam agar benar-benar seperti kita, walaupun di saat yang sama mustahil dapat menjadi sama persis seperti kita. Lalu kita menempatkannya pada persembunyian yang tak akan mungkin diketahui dan kemudian harus merasa kasihan mengapa dia pedih menderita. Semua bangsa manusia yang bukan kulit putih, adalah bangsa manusia yang serba kekurangan, sama-sama amat rindu akan pembalasan yang sahih kepada bangsa kulit putih, disimbolisasi oleh makan bersama, duduk di meja yang sama, mengakui satu sama lain sebagai bangsa manusia yang saling memberi pada makanan yang sama.
Memang benar berbagai umat Islam yang kesemuanya berada pada tingkat peradaban yang lebih tinggi ketimbang para pengikut pemujaan cargo, agar jurang pemisah antara mereka dan para penjajah itu banyak berkurang; sebaliknya tanggapan mereka terhadap sikap penjajah itu adalah sama. Hal ini akan dilihat kembali dalam hubungan dengan kebangkitan kembali Islam.
Pendudukan Perancis atas Algeria semenjak tahun 1830 dan seterusnnya, kontrol parsialnya atas Tunisia dan pendudukan Italia atas Lybia pada tahun 1912, terutama bukan karena alasan-alasan komersial melainkan secara langsung membawa kepada kolonisasi. Mandat-mandat yang diberikan setelah Perang tahun 1914-1918 juga dapat dipandang sebagai bentuk koloni; namun masa-masa kolonialisme ini dengan jelas hanya dianggap sebagai warga penduduk sebagian terbesar "koloni-koloni" yang memberi dampak kepada kesadaran politik. Sebagian koloni yang terdahulu ini mendapatkan kemerdekaan formal sebelum pecah Perang Dunia II dan pada dekade itu dan seterusnya hampir semuanya masih tersisa, yang juga menjadi anggota PBB. Kendatipun demikian, wilayah pendudukan ini segera menemukan dirinya bahwa kolonialisme politik lalu berganti dengan kolonialisme ekonomi. Oleh karena dunia sudah menjadi jaringan akrab masyarakat ekonomi, maka para pemegang tampuk kekuatan ekonomi yang besar dapat mengontrol urusan-urusan di sebagian terbesar dunia ini.
Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh refleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi ini adalah mengapa umat Islam Asia Timur tidak menanggapi dengan mengirimkan kapal-kapal ke Eropa untuk tujuan perdagangan. Ada saudagar-saudagar muslim dengan keahlian komersialnya dan ada pula pelaut-pelaut muslim dengan pengalaman yang sudah lama di samudera Indonesia. Apabila ketrampilan pembuatan kapal dan ketrampilan navigasional yang diperlukan, maka secara pasti hampir dapat dipelajari dengan cepat. Apakah barang-barang yang harus diberikan oleh Eropa tidak merupakan kecenderungan menyeluruh untuk mengabsahkan pelayaran? Sementara pada saat bangsa Eropa membawa barang-barang dagangannya ke Asia Selatan harus diterima. Apakah ada stabilitas politik yang memadai, agar para saudagar makin berkurang sandaran politik yang mereka butuhkan? Atau apakah kegagalan orang Islam untuk pergi ke Eropa ini benar-benar menjadikan kombinasi faktor faktor tersebut? Apapun alasan-alasan yang dibuat, itu masih pula menyisakan kenyataan bahwa perdagangan antara Eropa dan Asia Selatan itu seluruhnya berada di tangan bangsa Eropa.
Masalah lain adalah sikap personal para penjajah itu. Diperintah oleh orang-orang asing adalah selalu tidak enak, namun tingkat ketidakenakan ini dapat naik atau turun oleh karena sikap-sikap para penguasa yang memerintah. Ada kemiripan antara sikap golongan kolonialis muslim -- tepatnya pemikiran Spanyol -- dan golongan kolonialis Eropa. Pada kedua kasus ini ada kultur para penguasa yang superior dan kedua kasus penguasa kolonialis ini juga merasa dirinya sebagai manusia yang superior terhadap rakyatnya yang dikuasai. Boleh jadi umat Islam telah mewarisi kebanggaan Arab kuno karena memiliki suku bangsa yang besar dan dapat mengembangkan kesukuan besar ini bagi superioritas Islam sebagai agama. Sikap para penjajah Eropa ini telah dianalisis secara mendalam oleh Edward Said pada bukunya yang berbicara tentang Orientalism. [2] Pernyataan-pernyataannya tentang orientalisme yang akan dibicarakan pada bab yang akan datang, bahkan akan menghadiran superioritas para penjajah seperti yang tampak pada ucapan dan tulisan-tulisan A.J. Balfour dan Lord Cromer sekitar tahun 1910 berkenaan dengan kontrol Inggris atas negeri Mesir. Mereka mengasumsikan superioritas Inggris merupakan keharusan yang tak perlu dipersoalkan, dan berdasarkan landasan stereotipe yang bertentangan terhadap perkataan "Oriental" (yang meliputi bangsa Mesir) sebagai yang mempunyai semua bentuk kelemahan: tidak ada kemampuan bagi pemerintah sendiri; degradasi moral dan sosial; tidak mampu berfikir logis atau tidak mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas; ketidakcermatan secara umum; dan lain-lain.
Dalam rangka menciptakan suasana agar administrator bangsa Eropa itu merasakan dan memikirkan persoalan-persoalan yang berkembang di atas, agaknya sulit bagi bangsa Eropa untuk bersahabat akrab dengan bangsa Timur atas dasar persamaan hak dan kedudukan. Boleh jadi hal inilah yang menjadi intisari persoalan keluhan umat Islam dan bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika, sehingga mereka harus berjuang menghadapi para penjajah Eropa itu. Bangsa Timur diperlakukan sebagai bangsa yang "lemah tanpa hukum" dan sebagai bangsa manusia yang tidak sama martabat dan derajatnya. Memang benar bahwa bangsa Eropa itu sangat unggul dalam aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap aspek-aspek kehidupan material, namun sama sekali tidak unggul di bidang moral. Oleh karena itu, oriental harus dianggap sebagai bangsa yang rendah secara moral. Dalam hal ini bangsa Eropa tidak benar dan sahih, sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki secara pasti nyaris memiskinkan kesadaran akan berbagai nilai-nilai fundamental yang akan timbul pada hubungan hubungan manusia.
Sementara itu, Edward Said masih memperlihatkan sikap-sikap bangsa Eropa yang ditampilkan pada orientalisme dan khususnya pada kajian Islam, maka orang-orang barat sadar akan unsur kesalahan yang mendasari seluruh sikap-sikap tersebut. Thomas Merton dengan artikelnya yang cerdas berjudul "Cargo Cults of the South Pacific", menganalisis hubungan hubungan antara administrator-administrator penjajah kulit putih dan penduduk primitif Laut Selatan yang pribumi, didapatkan kelemahan pada ruh dan jiwa peradaban barat. Dia berharap agar kita dapat menggunakan pemahaman gerakan-gerakan seperti pelaksanaan terhadap cargo tersebut:
Membantu mengantarkan diri kita dari takhyul superioritas kulit putih yang mengerikan ini. Namun malahan kita merasa harus menjawab dan memang kita berkeinginan untuk membantu bangsa kulit hitam saudara kita itu. Namun bantuan itu diwujudkan dalam terma-terma arogan, sia-sia dan hanya memuaskan diri sendiri, semaunya sendiri. Satu-satunya harapan adalah kita hendak menolong bangsa kulit hitam agar benar-benar seperti kita, walaupun di saat yang sama mustahil dapat menjadi sama persis seperti kita. Lalu kita menempatkannya pada persembunyian yang tak akan mungkin diketahui dan kemudian harus merasa kasihan mengapa dia pedih menderita. Semua bangsa manusia yang bukan kulit putih, adalah bangsa manusia yang serba kekurangan, sama-sama amat rindu akan pembalasan yang sahih kepada bangsa kulit putih, disimbolisasi oleh makan bersama, duduk di meja yang sama, mengakui satu sama lain sebagai bangsa manusia yang saling memberi pada makanan yang sama.
Memang benar berbagai umat Islam yang kesemuanya berada pada tingkat peradaban yang lebih tinggi ketimbang para pengikut pemujaan cargo, agar jurang pemisah antara mereka dan para penjajah itu banyak berkurang; sebaliknya tanggapan mereka terhadap sikap penjajah itu adalah sama. Hal ini akan dilihat kembali dalam hubungan dengan kebangkitan kembali Islam.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: penjajahan oleh kristen eropa
mo bicara agama apa politik?
untuk kristen membicarakan keduanya sekaligus tidak relevan
relevannya di islam karena antara agama dan politik jadi satu
untuk kristen membicarakan keduanya sekaligus tidak relevan
relevannya di islam karena antara agama dan politik jadi satu
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: penjajahan oleh kristen eropa
SEGOROWEDI wrote:mo bicara agama apa politik?
untuk kristen membicarakan keduanya sekaligus tidak relevan
relevannya di islam karena antara agama dan politik jadi satu
kata siapa kristen sekuler.....memisahkan agama & negara?
trus gold, gospel, & Glory itu mo dikemanain om?
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: penjajahan oleh kristen eropa
ichreza wrote:
kata siapa kristen sekuler.....memisahkan agama & negara?
trus gold, gospel, & Glory itu mo dikemanain om?
Yesus kan bukan pemimpin politik, kek muhammad.
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: penjajahan oleh kristen eropa
SEGOROWEDI wrote:ichreza wrote:
kata siapa kristen sekuler.....memisahkan agama & negara?
trus gold, gospel, & Glory itu mo dikemanain om?
Yesus kan bukan pemimpin politik, kek muhammad.
yakin nieeeh..... alkitab ga ada muatan politisnya?
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: penjajahan oleh kristen eropa
hakul yakin..
membingkai perilaku berpolitik bukan bertujuan politik
kek buku/ajaran/pengajar sebelah
membingkai perilaku berpolitik bukan bertujuan politik
kek buku/ajaran/pengajar sebelah
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: penjajahan oleh kristen eropa
SEGOROWEDI wrote:hakul yakin..
membingkai perilaku berpolitik bukan bertujuan politik
kek buku/ajaran/pengajar sebelah
sejarah kekristenan juga melawati masa2 sulit, ketika tuhan menjadi gelandangan PASCA penyaliban hingga tahun 325 M, karena ada 2 kubu berseteru, nah, 2 kubu berseteru ini mengapa disatukan oleh kasiar Romawi bernama Konstantin beragama Pagan? Mengapa bukan utusan tuhan yang se Iman yang menyembah Yesus atau menyembah Allah?
Mengapa harus Konsantin yang menyatukan, bahkan MELANTIK YESUS dengan ketok palu menjadi TUHAN? apakah tidak ada INTRIK POLITIK didalamnya, Wed?
~~~OMONG KOSONG~~~
Sombrero- SERSAN MAYOR
-
Age : 23
Posts : 535
Location : JAKARTA
Join date : 06.07.12
Reputation : 5
Re: penjajahan oleh kristen eropa
nih, salah satu profil misionaris : http://id.wikipedia.org/wiki/Franciscus_Georgius_Josephus_van_Lith#Politik
Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarekat Islam, pimpinan teman dekat Van Lith, K.H. Agus Salim. Memang ia tidak pernah jadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.
itu berarti misi penjajahan tidak berhubungan dengan misi kekristenan
nieh ada lagi
Di ibu negeri saya, yaitu Belanda, semakin kurang orang bergereja dan beribadah pada hari minggu. Salah satu alasan untuk hal itu adalah bahwa banyak orang tidak tertarik lagi pada kebaktian-kebaktian di gereja, meskipun mereka beriman dan percaya kepada Allah. Alasan lain berhubungan dengan apa yang disebut sekularisasi: banyak orang tidak beragama lagi, karena kehilangan kepercayaan kepada Allah. Akibatnya pengaruh gereja dalam masyarakat merosot dan berkurang. Di Belanda gereja sebagai institusi tidak berwibawa lagi dan tidak mempunyai kekuasaan untuk menuntut orang menjalani kehidupan mereka sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Kristiani. Gereja tidak lagi merupakan pusat masyarakat dan kehidupan rohani dianggap sebagai hal pribadi saja. Dalam masyarakat nilai-nilai rohani tidak berperan lagi. Perkembangan ini sulit dapat dimengerti orang Indonesia. Pernah para zendeling datang dari Belanda dan menyebarluaskan Injil Yesus Kristus di sini. Akibatnya di tanah air ini ribuan gereja didirikan dan jemaat dibentuk. Karena itu negeri Belanda dianggap sebagai negeri kristiani. Tetapi sambil di Indonesia pada waktu sekarang banyak gedung gereja dibangun dan diperbesar, di Belanda beberapa gereja dibongkar. Tentu hal itu menyedihkan. Tetapi hal itu tidak sekedar negatif. Ada sisi positif juga. Salah satu hal yang positif adalah bahwa sekarang toleransi gereja terhadap orang yang beragama lain atau tidak beragama jauh lebih besar daripada pada masa lampau. Hal positif lain: minoritas yang masih bergereja tidak melakukan itu secara rutinitas atau formalitas saja. Kepedulian sisa orang yang masih beribadah besar sekali. Dan hal positif terakhir: gereja lebih terbuka bagi persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan dan ketidakadilan dalam dunia ini dan situasi para pengungsi yang datang ke Belanda. Ketika gereja masih berwibawa dan berkuasa dalam masyarakat, maka seringkali gereja buta dan tertutup untuk kebutuhan-kebutuhan sosial. Hanya hal-hal rohani ditekankan.
Rupanya situasi di Indonesia berbeda sekali dengan situasi di Belanda. Gereja (dan mesjid) selalu penuh. Jutaan orang bergereja dan beribadah. Nilai-nilai agamawi dan rohani dianggap sebagai nilai yang terpenting, baik dalam kehidupan pribadi, maupun dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat. Di sini persoalan bukan apakah nilai-nilai agamawi terpenting, tetapi nilai-nilai agamawi mana yang terpenting, karena manusia berbeda agama.
Para pendeta berwibawa dan bisa mempengaruhi perilaku etis dan sosial warga jemaat mereka. Dengan perkataan lain: institusi-institusi agamawi berperan penting dalam masyarakat Indonesia, dan kewibawaan mereka terbukti dengan fakta bahwa begitu banyak orang bergereja dan beribadah setiap hari jumat atau minggu.
Itu hal yang positif, karena betul bahwa nilai-nilai rohani dan agamawi penting. Tetapi ada sisi lain juga. Sisi yang kurang positif dan mungkin terkait erat dengan kewibawaan dan kekuasaan yang besar dari gereja sebagai institusi. Karena kalau nilai-nilai rohani dianggap begitu penting dan ditekankan selalu ada risiko bahwa hal-hal sosial diabaikan dan gereja tidak terlalu terlibat dalam hal seperti ketidakadilan sosial dan kemiskinan. Apa yang menonjol dalam kuliah-kuliah saya tentang nabi-nabi dalam Perjanjian Lama adalah bahwa beberapa mahasiswa mengajukan pendapat bahwa gereja mereka mengabaikan hal-hal sosial dan hanya berfokus kepada hal-hal rohani. Salah satu mahasiswa menulis: "Realitas yang terjadi adalah kurangnya kepedulian gereja terhadap gejala-gejala sosial. Gereja (baik lembaga maupun individu) cenderung lebih sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri. Tidak memeliki rasa tanggungjawab terhadap kondisi-kondisi sosial, sehingga tidak sensitif melihat gejolak-gejolak sosial". Mahasiswa yang lain menulis: "Apa yang diberitakan oleh Yeremia pada zamannya, masih bisa kita saksikan dalam kehidupan orang-orang kristen di masa kini. Kita kurang peduli terhadap orang atau sesama yang menderita dan membutuhkan perto-longan, karena yang kita utamakan adalah pembangunan sarana ibadah (gedung, kursi, kantor jemaat dll.), yang kita anggap sebagai rumah Tuhan."
Apakah berdasarkan situasi di Belanda dan di Indonesia kita harus menarik kesimpulan bahwa kalau nilai-nilai rohani ditekankan secara otomatis persoalan-persoalan sosial diabaikan atau sebaliknya? Karl Marx, seorang filosof menarik kesimpulan itu. Dia berpendapat bahwa fungsi ibadah dan agama adalah menutupi mata untuk penderitaan dan ketidakadilan sosial. Saya setuju dengan Marx bahwa seringkali kenyataan agama masing-masing demikian. Tetapi saya tidak sependapat bahwa itu esensi agama dan ibadah. Pada hakikatnya ibadah dan kepedulian sosial tidak bersaing. Menurut saya dalam alkitab kedua hal itu terkait erat. Misalnya dalam kitab Keluaran. Ketika Musa dipanggil Allah mengatakan kepadanya: "apabila engkau telah membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini" (Kel. 3: 12). Kemudian Musa mengatakan kepada firaun: "Beginilah firman Tuhan: biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku" (Kel. 4:23). Ibadah itu dilaksanakan setelah pembebasan dari Mesir, ketika bangsa Israel tiba di gunung Sinai. Di sana mereka menerima kesepuluh firman Tuhan. Rupanya beribadah kepada Allah dan mengikuti kesepuluh firman itu saling terkait.
Dalam kesepuluh firman Tuhan ketiga aturan pertama berhubungan dengan relasi antara kita sebagai manusia dan Tuhan Allah. Dengan kata lain: aturan itu menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku kita terhadap Tuhan. Ini aturan-aturan ini tentang kekudusan manusia. Keenam aturan yang terakhir berhubungan dengan relasi manusia dengan sesamanya. Ini aturan-aturan tentang keadilan sosial. Kedua jenis aturan ini terkait erat. Tidak mungkin melayani Tuhan dan mengabaikan aturan-aturan tentang relasi dengan sesamanya. Dan relasi yang baik dengan sesamanya akibat hubungan yang baik dengan Tuhan. Keterkaitan itu jelas dari aturan keempat tentang hari Sabat. Aturan itu merupakan jembatan antara aturan tentang kekudusan dan keadilan.
Apa yang menarik: hari Sabat adalah hari ibadah Israel! Pada hari Sabat orang Yahudi bergereja/bersinagoge. Dan justru dalam aturan tentang perintah untuk beribadah umat Allah sekaligus diperintahkan hak istirahat bagi sesamanya! "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat; hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu". Pada hari itu kita diundang untuk memuji Tuhan, dengan kata lain: untuk beribadah. Tetapi jelas hal itu mempunyai konsekwensi sosial karena kita diperintahkan juga: "Jangan melakukan sesuatu pekerjaan [pada hari Sabat], engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu". Rupanya beribadah kepada Allah berarti juga: memberikan hak kepada sesamaku untuk beristirahat. Demikian kekudusan dan keadilan sosial saling terkait.
Mungkin itu hal penting baik bagi masyarakat Belanda, maupun bagi gereja-gereja Indonesia. Menurut saya pada dasarnya nilai-nilai masyarakat seperti solidaritas, toleransi dan keadilan sosial sebaik-baiknya terjamin kalau berakar dalam nilai-nilai rohani. Itu sisi pertama. Sisi lain adalah bahwa melayani Tuhan tanpa kepedulian sosial berarti memisahkan apa yang dikaitkan Allah. Hal itu dilarang dalam alkitab (Mt. 19: 6). Mengapa seringkali ibadah dan kepedulian sosial muncul sebagai saingan kalau sebenarnya mereka sahabat?
Penulis adalah dosen Perjanjian Lama di STT Intim dan utusan dari Gereja Belanda sejak Tahun 2001
Sumber: http://www.oaseonline.org/artikel/ed2hlm30-31.html
itu berarti agama Kristen bukan produk dari penjajah Belanda karena di Belanda sendiri Kekristenan tidaklah fanatik
Ia pun diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Sarekat Islam, pimpinan teman dekat Van Lith, K.H. Agus Salim. Memang ia tidak pernah jadi anggota Dewan Rakyat. Tetapi, atas kegiatannya di bidang pendidikan ditunjuk menjadi anggota Dewan Pendidikan Hindia Belanda dan anggota Komisi Peninjauan Kembali Ketatanegaraan Hindia Belanda.
itu berarti misi penjajahan tidak berhubungan dengan misi kekristenan
nieh ada lagi
Di ibu negeri saya, yaitu Belanda, semakin kurang orang bergereja dan beribadah pada hari minggu. Salah satu alasan untuk hal itu adalah bahwa banyak orang tidak tertarik lagi pada kebaktian-kebaktian di gereja, meskipun mereka beriman dan percaya kepada Allah. Alasan lain berhubungan dengan apa yang disebut sekularisasi: banyak orang tidak beragama lagi, karena kehilangan kepercayaan kepada Allah. Akibatnya pengaruh gereja dalam masyarakat merosot dan berkurang. Di Belanda gereja sebagai institusi tidak berwibawa lagi dan tidak mempunyai kekuasaan untuk menuntut orang menjalani kehidupan mereka sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Kristiani. Gereja tidak lagi merupakan pusat masyarakat dan kehidupan rohani dianggap sebagai hal pribadi saja. Dalam masyarakat nilai-nilai rohani tidak berperan lagi. Perkembangan ini sulit dapat dimengerti orang Indonesia. Pernah para zendeling datang dari Belanda dan menyebarluaskan Injil Yesus Kristus di sini. Akibatnya di tanah air ini ribuan gereja didirikan dan jemaat dibentuk. Karena itu negeri Belanda dianggap sebagai negeri kristiani. Tetapi sambil di Indonesia pada waktu sekarang banyak gedung gereja dibangun dan diperbesar, di Belanda beberapa gereja dibongkar. Tentu hal itu menyedihkan. Tetapi hal itu tidak sekedar negatif. Ada sisi positif juga. Salah satu hal yang positif adalah bahwa sekarang toleransi gereja terhadap orang yang beragama lain atau tidak beragama jauh lebih besar daripada pada masa lampau. Hal positif lain: minoritas yang masih bergereja tidak melakukan itu secara rutinitas atau formalitas saja. Kepedulian sisa orang yang masih beribadah besar sekali. Dan hal positif terakhir: gereja lebih terbuka bagi persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan dan ketidakadilan dalam dunia ini dan situasi para pengungsi yang datang ke Belanda. Ketika gereja masih berwibawa dan berkuasa dalam masyarakat, maka seringkali gereja buta dan tertutup untuk kebutuhan-kebutuhan sosial. Hanya hal-hal rohani ditekankan.
Rupanya situasi di Indonesia berbeda sekali dengan situasi di Belanda. Gereja (dan mesjid) selalu penuh. Jutaan orang bergereja dan beribadah. Nilai-nilai agamawi dan rohani dianggap sebagai nilai yang terpenting, baik dalam kehidupan pribadi, maupun dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat. Di sini persoalan bukan apakah nilai-nilai agamawi terpenting, tetapi nilai-nilai agamawi mana yang terpenting, karena manusia berbeda agama.
Para pendeta berwibawa dan bisa mempengaruhi perilaku etis dan sosial warga jemaat mereka. Dengan perkataan lain: institusi-institusi agamawi berperan penting dalam masyarakat Indonesia, dan kewibawaan mereka terbukti dengan fakta bahwa begitu banyak orang bergereja dan beribadah setiap hari jumat atau minggu.
Itu hal yang positif, karena betul bahwa nilai-nilai rohani dan agamawi penting. Tetapi ada sisi lain juga. Sisi yang kurang positif dan mungkin terkait erat dengan kewibawaan dan kekuasaan yang besar dari gereja sebagai institusi. Karena kalau nilai-nilai rohani dianggap begitu penting dan ditekankan selalu ada risiko bahwa hal-hal sosial diabaikan dan gereja tidak terlalu terlibat dalam hal seperti ketidakadilan sosial dan kemiskinan. Apa yang menonjol dalam kuliah-kuliah saya tentang nabi-nabi dalam Perjanjian Lama adalah bahwa beberapa mahasiswa mengajukan pendapat bahwa gereja mereka mengabaikan hal-hal sosial dan hanya berfokus kepada hal-hal rohani. Salah satu mahasiswa menulis: "Realitas yang terjadi adalah kurangnya kepedulian gereja terhadap gejala-gejala sosial. Gereja (baik lembaga maupun individu) cenderung lebih sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri. Tidak memeliki rasa tanggungjawab terhadap kondisi-kondisi sosial, sehingga tidak sensitif melihat gejolak-gejolak sosial". Mahasiswa yang lain menulis: "Apa yang diberitakan oleh Yeremia pada zamannya, masih bisa kita saksikan dalam kehidupan orang-orang kristen di masa kini. Kita kurang peduli terhadap orang atau sesama yang menderita dan membutuhkan perto-longan, karena yang kita utamakan adalah pembangunan sarana ibadah (gedung, kursi, kantor jemaat dll.), yang kita anggap sebagai rumah Tuhan."
Apakah berdasarkan situasi di Belanda dan di Indonesia kita harus menarik kesimpulan bahwa kalau nilai-nilai rohani ditekankan secara otomatis persoalan-persoalan sosial diabaikan atau sebaliknya? Karl Marx, seorang filosof menarik kesimpulan itu. Dia berpendapat bahwa fungsi ibadah dan agama adalah menutupi mata untuk penderitaan dan ketidakadilan sosial. Saya setuju dengan Marx bahwa seringkali kenyataan agama masing-masing demikian. Tetapi saya tidak sependapat bahwa itu esensi agama dan ibadah. Pada hakikatnya ibadah dan kepedulian sosial tidak bersaing. Menurut saya dalam alkitab kedua hal itu terkait erat. Misalnya dalam kitab Keluaran. Ketika Musa dipanggil Allah mengatakan kepadanya: "apabila engkau telah membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini" (Kel. 3: 12). Kemudian Musa mengatakan kepada firaun: "Beginilah firman Tuhan: biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku" (Kel. 4:23). Ibadah itu dilaksanakan setelah pembebasan dari Mesir, ketika bangsa Israel tiba di gunung Sinai. Di sana mereka menerima kesepuluh firman Tuhan. Rupanya beribadah kepada Allah dan mengikuti kesepuluh firman itu saling terkait.
Dalam kesepuluh firman Tuhan ketiga aturan pertama berhubungan dengan relasi antara kita sebagai manusia dan Tuhan Allah. Dengan kata lain: aturan itu menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku kita terhadap Tuhan. Ini aturan-aturan ini tentang kekudusan manusia. Keenam aturan yang terakhir berhubungan dengan relasi manusia dengan sesamanya. Ini aturan-aturan tentang keadilan sosial. Kedua jenis aturan ini terkait erat. Tidak mungkin melayani Tuhan dan mengabaikan aturan-aturan tentang relasi dengan sesamanya. Dan relasi yang baik dengan sesamanya akibat hubungan yang baik dengan Tuhan. Keterkaitan itu jelas dari aturan keempat tentang hari Sabat. Aturan itu merupakan jembatan antara aturan tentang kekudusan dan keadilan.
Apa yang menarik: hari Sabat adalah hari ibadah Israel! Pada hari Sabat orang Yahudi bergereja/bersinagoge. Dan justru dalam aturan tentang perintah untuk beribadah umat Allah sekaligus diperintahkan hak istirahat bagi sesamanya! "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat; hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu". Pada hari itu kita diundang untuk memuji Tuhan, dengan kata lain: untuk beribadah. Tetapi jelas hal itu mempunyai konsekwensi sosial karena kita diperintahkan juga: "Jangan melakukan sesuatu pekerjaan [pada hari Sabat], engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu". Rupanya beribadah kepada Allah berarti juga: memberikan hak kepada sesamaku untuk beristirahat. Demikian kekudusan dan keadilan sosial saling terkait.
Mungkin itu hal penting baik bagi masyarakat Belanda, maupun bagi gereja-gereja Indonesia. Menurut saya pada dasarnya nilai-nilai masyarakat seperti solidaritas, toleransi dan keadilan sosial sebaik-baiknya terjamin kalau berakar dalam nilai-nilai rohani. Itu sisi pertama. Sisi lain adalah bahwa melayani Tuhan tanpa kepedulian sosial berarti memisahkan apa yang dikaitkan Allah. Hal itu dilarang dalam alkitab (Mt. 19: 6). Mengapa seringkali ibadah dan kepedulian sosial muncul sebagai saingan kalau sebenarnya mereka sahabat?
Penulis adalah dosen Perjanjian Lama di STT Intim dan utusan dari Gereja Belanda sejak Tahun 2001
Sumber: http://www.oaseonline.org/artikel/ed2hlm30-31.html
itu berarti agama Kristen bukan produk dari penjajah Belanda karena di Belanda sendiri Kekristenan tidaklah fanatik
Pembela Kristen- SERSAN MAYOR
-
Posts : 349
Join date : 29.01.12
Reputation : 4
Re: penjajahan oleh kristen eropa
SEGOROWEDI wrote:hakul yakin..
membingkai perilaku berpolitik bukan bertujuan politik
kek buku/ajaran/pengajar sebelah
paus itu apa y??pemimpin negara..pemimpin agama... ato apa ya???
satria bergitar- LETNAN DUA
-
Age : 38
Posts : 1396
Location : Karawang
Join date : 08.12.11
Reputation : 59
Re: penjajahan oleh kristen eropa
Sombrero wrote:SEGOROWEDI wrote:hakul yakin..
membingkai perilaku berpolitik bukan bertujuan politik
kek buku/ajaran/pengajar sebelah
sejarah kekristenan juga melawati masa2 sulit, ketika tuhan menjadi gelandangan PASCA penyaliban hingga tahun 325 M, karena ada 2 kubu berseteru, nah, 2 kubu berseteru ini mengapa disatukan oleh kasiar Romawi bernama Konstantin beragama Pagan? Mengapa bukan utusan tuhan yang se Iman yang menyembah Yesus atau menyembah Allah?
Mengapa harus Konsantin yang menyatukan, bahkan MELANTIK YESUS dengan ketok palu menjadi TUHAN? apakah tidak ada INTRIK POLITIK didalamnya, Wed?
~~~OMONG KOSONG~~~
ngoceh apaan ini?
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: penjajahan oleh kristen eropa
satria bergitar wrote:
paus itu apa y??pemimpin negara..pemimpin agama... ato apa ya???
pemimpin agama
emang ada parpol di vatikan?
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: penjajahan oleh kristen eropa
SEGOROWEDI wrote:satria bergitar wrote:
paus itu apa y??pemimpin negara..pemimpin agama... ato apa ya???
pemimpin agama
emang ada parpol di vatikan?
munafik klo gereja nggak puya tujuan politik..... lha trus prtai katolik & pds itu apa??
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Di Korsel, Kristen jadi simbol nasionalisme & perlawanan terhadap penjajahan
» Penganiayaan Kristen oleh Yahudi VS Penganiayaan Kristen oleh Muslim
» kematian yang teramat tragis orang2 yg dianggap suci oleh kristen
» Jika Muslim Tak Menghargai Pahlawan Kristen, Maka Pahlawan Muslim Juga Tak Akan Dihargai Oleh Kristen
» Realita genosida oleh kristen
» Penganiayaan Kristen oleh Yahudi VS Penganiayaan Kristen oleh Muslim
» kematian yang teramat tragis orang2 yg dianggap suci oleh kristen
» Jika Muslim Tak Menghargai Pahlawan Kristen, Maka Pahlawan Muslim Juga Tak Akan Dihargai Oleh Kristen
» Realita genosida oleh kristen
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik