numpang tanya
Halaman 1 dari 1 • Share
numpang tanya
saya abis ditanyain sama seorang temen...
suatu ketika beliow ini pergi ke masjid utk sholat fardhu berjamaah,setelah selesai sholat,beliow tidak langsung meninggalkan masjid,beberapa menit kemudia ada seseorang yang baru masuk masjid lalu melakukan sholat fardhu yg secara otomatis orang tsb kan terlambat mengikuti sholat berjamaah nih... nah dari pada itu orang sholat sendirian,temen saya yg tadi sudah selesai sholat fardhu secara berjamaah mengikuti orang tadi utk menjadi ma'mum.
berarti kan temen saya tadi sholat fardhu (satu waktu) dua kali.... nah loh...!
bisa kasih pencerahan ndak.? coz temen saya masih ragu,takutnya nanti menjadi bid'ah....
terima kasih
:surban:
suatu ketika beliow ini pergi ke masjid utk sholat fardhu berjamaah,setelah selesai sholat,beliow tidak langsung meninggalkan masjid,beberapa menit kemudia ada seseorang yang baru masuk masjid lalu melakukan sholat fardhu yg secara otomatis orang tsb kan terlambat mengikuti sholat berjamaah nih... nah dari pada itu orang sholat sendirian,temen saya yg tadi sudah selesai sholat fardhu secara berjamaah mengikuti orang tadi utk menjadi ma'mum.
berarti kan temen saya tadi sholat fardhu (satu waktu) dua kali.... nah loh...!
bisa kasih pencerahan ndak.? coz temen saya masih ragu,takutnya nanti menjadi bid'ah....
terima kasih
:surban:
BAKUL KOPI- LETNAN DUA
-
Age : 36
Posts : 757
Location : warkop
Join date : 07.10.11
Reputation : 3
pawitcintaAllah- REGISTERED MEMBER
- Posts : 5
Join date : 21.11.11
Reputation : 1
Re: numpang tanya
BAKUL KOPI wrote:saya abis ditanyain sama seorang temen...
suatu ketika beliow ini pergi ke masjid utk sholat fardhu berjamaah,setelah selesai sholat,beliow tidak langsung meninggalkan masjid,beberapa menit kemudia ada seseorang yang baru masuk masjid lalu melakukan sholat fardhu yg secara otomatis orang tsb kan terlambat mengikuti sholat berjamaah nih... nah dari pada itu orang sholat sendirian,temen saya yg tadi sudah selesai sholat fardhu secara berjamaah mengikuti orang tadi utk menjadi ma'mum.
berarti kan temen saya tadi sholat fardhu (satu waktu) dua kali.... nah loh...!
bisa kasih pencerahan ndak.? coz temen saya masih ragu,takutnya nanti menjadi bid'ah....
terima kasih
bid'ah afa lagi nih gan......?
MEMAHAMI POSISI IMAM DAN MA'MUM DALAM SHALAT BERJAMA'AH
Oleh
Ustadz
Abu Asma Kholid Syamhudi
Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar
Islam. Ia dapat menjadi media pemersatu hati kaum Muslimin. Berkumpulnya kaum
Muslimin di rumah Allah untuk menunaikan ibadah dipimpin oleh seorang imam, yang
tentunya membutuhkan aturan secara lengkap dan jelas. Semua itu diperlukan,
karena sebagai kebutuhan, sehingga kaum Muslimin mengetahui aturan yang jelas
saat berinteraksi dalam beribadah di tempat yang satu. Begitu juga saat
melakukan shalat berjamaah, hendaklah setiap kaum Muslimin mengetahui tentang
hal itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap syariat.
SIAPA YANG
LEBIH BERHAK MENJADI IMAM?
Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya,
maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh
penguasa atau pengurus masjid. Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah
orang yang lebih banyak memiliki hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum
Islam. Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih
pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah.
Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.[1]
Ini semua
berdasarkan pada beberapa hadits di bawah ini:
1). Hadits Abu Sa’id al
Khudri :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ
أَقْرَؤُهُمْ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Apabila mereka tiga orang, maka hendaklah seorang dari mereka menjadi imam
shalat mereka, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik
bacaan al Qur`annya" [HR Muslim 672]
2). Hadits Abu Mas’ud al Anshari, ia
menyatakan :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ
قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ
هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ
سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا
تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ
بِإِذْنِهِ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada kami:
"Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al
Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang
berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama
dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah
kalian menjadi imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan
juga menduduki permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan
izinnya" [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab
Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709]
Namun demikian, hal ini tidak termasuk
syarat sahnya shalat berjamaah, karena seseorang diperbolehkan menjadi imam bagi
orang yang lebih berhak menjadi imam darinya, sebagaimana kisah Nabi. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di belakang Abu Bakar sebagaimana
dijelaskan dalam hadits 'Aisyah, ia berkata :
لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ
فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ
بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي
مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ
فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ
فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ
رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ فَأَرَادَ
أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ
"Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit di akhir
hayatnya, lalu datanglah waktu shalat dan Bilal telah beradzan, maka beliau
berkata: "Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat," lalu ada yang berkata
kepada beliau : "Sungguh Abu Bakr seorang yang lembut hati. Apabila menggantikan
kedudukanmu, ia tidak dapat mengimami orang banyak". Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengulangi lagi (perintahnya) dan merekapun mengulangi (pernyataan
tersebut), lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengulanginya yang ketiga
dan berkata: "Kalian ini seperti wanita-wanita dalam kisah Yusuf[2]. Perintahkan
Abu Bakar agar mengimami orang shalat," lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami
shalat. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak
ringan, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada
dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah)
karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat
untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar"
[HR al Bukhari, kitab al Adzan, hadits 2641]
Hadits ini, secara jelas
menunjukkan bolehnya seseorang mengimami orang yang lebih berhak menjadi imam
darinya. Wallahu a’lam.
SIAPAKAH YANG SAH MENJADI IMAM
Semua orang
yang sah shalatnya, ia dapat menjadi imam atau sah menjadi imam dalam shalat.
Namun ada orang-orang yang dianggap oleh sebagian orang tidak pantas menjadi
imam, padahal mereka sah menjadi imam, di antaranya:
1). Orang buta.
Orang buta memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang melihat. Dia dapat
dijadikan imam dalam shalat. Hal ini didasarkan pada hadits Mahmud bin ar Rabi’
:
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى
"Sesungguhnya ‘Itbaan bin Malik, dahulu mengimami shalat kaumnya"
[Muttafaqun ‘alaihi]
Dan pernyataan Aisyah :
اسْتُخْلِفَ ابْنُ
أُمِّ مَكْتُوْمٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ
"Ibnu Umi
Maktum dijadikan pengganti (Rasulullah) di Madinah mengimami shalat penduduknya"
[HR Ibnu Hibban dan Abu Ya’la. Dikatakan penulis kitab Shahih Fiqhus Sunnah,
bahwa hadits ini shahih li ghairihi]
2). Hamba sahaya atau yang telah
dimerdekakan.
Keabsahannya didasarkan kepada pernyataan Ibnu Umar yang
berbunyi:
لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ
مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ
أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
"Ketika kaum Muhajirun yang awal-awal datang ke al
‘Ushbah, suatu tempat di Quba’; sebelum kedatangan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, yang menjadi imam shalat mereka adalah Saalim maula Abu
Hudzaifah, dan dialah yang terbanyak hafalan al Qur`annya" [HR al Bukhari dalam
Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Imamatul al ‘Abdi wal Maula, no. 651]
3).
Anak kecil yang mumayyiz.
Hal ini didasarkan pada pernyataan Amru bin
Salamah yang berbunyi:
فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ
كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي وَ قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا
قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ
كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ
وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ
قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ أَتَلَقَّى مِنْ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
"Ketika terjadi
penaklukan penduduk kota Makkah, maka setiap kaum bersegera masuk Islam dan
bapak dan kaumku segera masuk Islam. Ketika dating, ia berkata: "Demi Allah, aku
membawa kepada kalian dari sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah
kebenaran," lalu ia berkata,"Lakukanlah shalat ini, pada waktu ini, dan shalat
itu pada waktu itu. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian
beradzan, dan yang mengimami shalat kalian adalah yang paling banyak hafalan al
Qur’annya." Lalu mereka melihat, dan tidak mendapati seorangpun yang lebih
banyak hafalannya dariku, karena aku sering menemui orang yang datang. Maka
mereka menunjukku sebagai imam shalat, padahal usiaku baru enam atau tujuh
tahun" [HR al Bukhari]
4). Orang fasiq yang tidak keluar dari Islam.
Hal ini didasarkan pada dalil naqli dan aqli. Diantaranya:
a.
Keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
يَؤُمُّ
الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
"Hendaknya yang menjadi imam
shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an" [HR Muslim dalam
Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no.
1709].
Hal ini mencakup fasiq, dan yang lainnya.
b. Kekhususan
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada pemimpin zhalim, yang shalat
diluar waktunya:
صَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ
مَعَهُمْ نَافِلَةً
"Shalatlah kalian pada waktunya, dan jadikanlah
shalat kalian bersama mereka sebagai nafilah (sunnah)". [HR Muslim dalam
Shahih-nya, kitab al Masaajid, Bab Karahiyat Ta’khir ash Shalat, no.
1033]
c. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا
فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
"Mereka mengimami kalian shalat; apabila mereka
benar, maka kalian mendapatkan pahalanya; dan apabila mereka salah, kalian tetap
mendapatkan pahalanya, dan dosanya ditanggung oleh mereka". [HR al Bukhari dalam
Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Idza lam Yutim al Imam wa Atamma Man Khalfaha,
no. 653]
d. Amalan para sahabat pada zaman al Hajaj bin Yusuf ats
Tsaqafi, di antaranya Ibnu 'Umar yang shalat di belakang al Hajjaj, sedangkan al
Hajjaj adalah seorang fasiq.
e. Sedangkan dalil aqli, dikatakan, semua
yang shalatnya sah, maka sah juga menjadi imam. Tidak ada dalil yang membedakan
antara keabsahan shalat dengan keabsahan imam. Selama ia masih shalat bagaimana
kita tidak shalat dibelakangnya, karena apabila ia bermaksiat, maka maksiatnya
kembali kepadanya sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyatakan: "Orang fasiq dan mubtadi’, shalatnya sah. Apabila ma'mum shalat di
belakangnya, maka shalatnya tidak batal. Namun dimakruhkan oleh orang yang
memakruhkan shalat di belakangnya, karena amar makruf nahi mungkar wajib. Oleh
karena itu, orang yang menampakkan bid'ah atau kefajiran, ia tidak boleh menjadi
imam rawatib bagi kaum Muslimin, karena ia pantas diberi pelajaran hingga
bertaubat. Apabila memungkinkan, (boleh) memboikotnya hingga ia bertaubat, maka
hal itu baik. Apabila sebagian orang tertentu tidak shalat di belakangnya dan
shalat di belakang orang lain memiliki pengaruh hingga ia bertaubat, atau
dipecat, atau orang-orang berhenti melakukan dosa sepertinya, maka yang seperti
ini baik, apabila meninggalkan shalat di belakangnya memiliki maslahat dan tidak
kehilangan jamaah dan Jum’at. Adapun bila tidak shalat di belakangnya
menyebabkan ma'mum kehilangan Jum’at dan jamaah, maka disini tidak meninggalkan
shalat di belakang mereka, kecuali mubtadi’ yang menyelisihi para sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam"[3]. Demikianlah yang dirajihkan Syaikh Ibnu
'Utsaimin ketika menyatakan, bahwa pendapat yang rajih adalah sah shalat di
belakang orang fasiq. Sehingga, apabila seorang shalat di belakang imam yang
mencukur jenggot atau merokok atau memakan riba atau pezina atau pencuri, maka
shalatnya tetap sah.[4]
5). Orang yang belum diketahui apakah fasiq
ataukah tidak.
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata
: "Seseorang diperbolehkan melakukan shalat lima waktu dan Jum’at serta yang
lainnya, di belakang orang yang belum diketahui kebid'ahan dan kefasikannya,
menurut kesepakatan imam fiqih yang empat dan selain mereka dari imam-imam kaum
Muslimin. Bukan menjadi syarat bagi seorang ma'mum harus mengetahui i’tikad
(keyakinan) imamnya, dan tidak pula mengujian, hingga menanyakan 'apa yang
engkau yakini?'."[5]
Dengan demikian, apabila sah shalat di belakang
orang fasiq, maka shalat di belakang orang yang belum jelas kefasikannya lebih
pantas untuk disahkan.
6). Wanita menjadi imam untuk kaum wanita.
Hal
ini dilakukan sebagian sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya
'Aisyah dan Ummu Salamah, dan tidak ada seorang sahabatpun yang
mengingkarinya.
BAGAIMANA POSISI IMAM DAN MA’MUM?
Agar dapat
melaksanakan shalat berjamaah sesuai dengan syariat Islam, seorang imam maupun
ma'mum, tidak lepas dari keadaan berikut ini :
1). Ma'mum sendirian
bersama imam (dalam hal ini, imam dengan satu orang ma'mum).
Bila seseorang
berma'mum sendirian, maka posisinya berdiri di samping kanan sejajar dengan
imam. Dasarnya adalah, kisah Ibnu Abbas dalam shalat bersama Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yang berbunyi :
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقُمْتُ
فَصَنَعْتُ مِثْلَ مَا صَنَعَ ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ
يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي الْيُمْنَى يَفْتِلُهَا
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ
"Ibnu 'Abbas
berkata: "Lalu aku bangun dan berbuat seperti yang beliau perbuat. Kemudian aku
pergi dan tegak di sampingnya, lalu beliau menempatkan tangan kanannya di
kepalaku dan mengambilnya, dan menarik telinga kananku, lalu shalat dua rakaat,
kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua
rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian witir". [Muttafaqun 'alaihi]
2).
Imam bersama dua orang ma'mum.
Apabila imam mendapatkan ma'mum hanya dua
orang, maka hendaklah kedua ma'mum tersebut berdiri di belakang imam membentuk
satu barisan. Hal ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang
sebagiannya berbunyi:
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى
أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ
جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا
فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
"Kemudian aku datang sampai
berdiri di sebelah kiri Rasulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku
hingga membuatku berdiri di sebalah kanannya. Kemudian datang Jabbaar bin
Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami berdiri di
belakang beliau" [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab az Zuhud wal Raqaiq Wa …,
no. 5328].
3). Imam bersama lebih dari dua orang ma'mum.
Apabila
terdapat lebih dari dua orang ma'mum bersama imam, maka ma'mum berdiri di
belakang imam dalam satu barisan, demikian menurut kesepakatan
ulama.[6]
4). Ma'mum mendapatkan shaf (barisan) shalat sudah penuh,
sehingga ia tidak dapat masuk ke shaf.
Dalam keadaan demikian, maka ma'mum
jangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan), akan tetapi berusaha maju ke
depan hingga berdiri di samping imam, sebagaimana dilakukan Rasulullah -ketika
beliau sakit- bersama Abu Bakar yang ditunjuk menggantikan mengimami shalat.
Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ فَكَانَ
أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
"Lalu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk sejajar Abu Bakar di sampingnya. Waktu itu,
Abu Bakar shalat ikut shalat Rasulullah, dan orang-orang shalat mengikuti shalat
Abu Bakar" [Muttafaqun ‘alaihi]
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah
al Ifta’ (Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia), ketika
menjawab pertanyaan seputar masalah ini menyatakan, apabila seseorang masuk
masjid dan mendapatkan shalat telah ditegakkan, dan shaf telah penuh, maka
hendaklah ia berusaha masuk dalam barisan. Apabila tidak bisa, maka ia masuk
berdiri bersama imam dan berada di sebelah kanannya. Apabila ini juga tidak
bisa, maka hendaknya menunggu sampai datang orang yang menemaninya di shaf
(baru). Jika tidak ada seorang yang menemaninya, maka ia shalat sendirian
setelah selesai shalat berjamaah.[7]
Penjelasan ini menunjukkan, ma'mum
yang dalam keadaan demikian, ia tidak menarik salah seorang ma'mum lainnyanya
sebagaimana banyak terjadi di kalangan kaum Muslimin dewasa ini.
Untuk
itu Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia berfatwa tentang
hal ini: Seorang yang masuk masjid tidak mendapatkan celah dalam barisan (shof)
dan tidak bisa baris disebelah kanan imam dan shalat hampir selesai, maka
menunggu orang lain yang masuk untuk membuat shof (barisan) dengannya. Apabila
tidak mendapatkannya maka hendaknya shalat dengan jamaah lain. Jika juga tidak
ada, maka shalat sendirian setelah imam salam, dan ia tidak berdosa, dengan
dalil firman Allah :
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu" [at Taghabun/64:16]
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Apabila aku perintahkan kalian berbuat sesuatu, maka kerjakanlah
semampu kalian".
Hal ini karena shalat adalah ibadah, dan ibadah itu
harus tauqifiyah. Padahal hadits larangan shalat sendirian di belakang shaf
(barisan) shahih dan bersifat umum.
Hadits yang berbunyi:
أَلاَ
دَخَلْتَ مَعَهُمْ أَوْ ادْتَرَرْتَ رَجُلاً
(Kenapa kamu tidak masuk
berbaris dengan mereka atau menarik seorang?) ini adalah hadits dhaif (lemah).
Demikian juga, apabila orang itu menerima ajakan orang yang manariknya, maka
shaf menjadi tidak penuh (ada celahnya), padahal kita diperintahkan untuk
menyempurnakan dan menutup celah shaf dalam shalat.[8]
5). Wanita
berma'mum dengan seorang imam laki-laki.
Seorang wanita bila berma'mum
kepada seorang laki-laki, maka ia berdiri di belakang shaf laki-laki, walaupun
ia sendirian. Demikian juga bila shalat sendirian bersama imam laki-laki, maka
ia berdiri di belakangnya, dan tidak di sebelah kanannya. Semua ini berdasarkan
hadits-hadits di bawah ini:
a. Hadits Anas yang
berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
"Aku
shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami" [Muttafaqub
‘alaihi]
b. Hadits Anas yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ
فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami Anas
bin Malik dan ibunya atau bibinya, Anas berkata,"Lalu Rasulullah menjadikan aku
berdiri di sebelah kanannya dan wanita di belakang kami." [HR Muslim]
6).
Wanita shalat dengan imam wanita.
Apabila seorang wanita shalat berjamaah
mengimami sesamanya, maka ia berdiri di tengahnya dan tidak maju ke depan.
Dicontohkan 'Aisyah dan Ummu Salamah, dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata
:
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ
مَكْتُوْبَةِ
"Sesungguhnya 'Aisyah mengimami mereka dan berdiri diantara
mereka dalam satu shalat wajib" [HR Abdurrazaq, Al daraquthni dan Al Baihaqi dan
dihukumi penulis Shohih Fiqih Sunnah hadits shohih Lighoriihi]
Juga Abu
Hurairah mengatakan bahwa :
أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ
وَسَطًا
"Sungguh Ummu Salamah mengimami mereka shalat dan berada di
tengah-tengah". [HR Abdurrazaq, ad Daraquthni dan al Baihaqi, dan hadits ini
dihukumi oleh penulis Shahih Fiqih Sunnah sebagai hadits shahih lighairiihi]
7). Shaf (barisan) anak kecil.
Anak kecil yang telah mumayyiz, ia
tidak berbeda dengan orang yang sudah baligh, yaitu berdiri di belakang imam.
Dengan dalil hadits Anas yang berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي
بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ
سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
"Aku shalat bersama seorang anak yatim dirumah kami
dibelakang Nabi n dan ibuku Ummu Sulain dibelakang kami". [Muttafaqub ‘alaihi].
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’, Saudi Arabia
mengatakan: "Yang sesuai Sunnah untuk anak-anak, apabila ia telah mencapai usia
tujuh tahun dan lebih, untuk berdiri di belakang imam sebagaimana orang-orang
yang telah baligh. Apabila yang ada hanya satu, maka ia berdiri di samping kanan
imam, karena sudah jelas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau
shalat di rumah Abu Thalhah, dan menjadikan Anas dan seorang anak yatim di
belakangnya, sedangkan Ummu Sulaim di belakang keduanya. Juga telah ada dalam
riwayat lainnya, bahwa beliau mengimami shalat Anas, dan menjadikannya di
sebelah kanannya".[9]
Sedangkan Syaikh al Albani mengatakan: "Adapun
menjadikan anak-anak di belakang mereka (barisan dewasa), maka dalam
permasalahan ini, aku belum mendapatkan kecuali hadits ini[10], dan hadits ini
lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Sehingga aku memandang bolehnya anak-anak
berdiri bersama orang dewasa, apabila barisannya belum penuh; dan shalatnya anak
yatim bersama Anas di belakang Rasulullah menjadi hujjah dalam permasalahan
ini".
Dengan demikian menjadi jelas kesamaan posisi anak-anak dan orang
dewasa dalam shalat berjamaah bersama imam.
Demikianlah beberapa
permasalahan seputar imam dan posisi imam dan ma'mum, mudah-mudahan hal ini
bermanfaat bagi kita.
Billahit taufiq
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
________
Footnote
[1]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/523.
.
[2]. Maksudnya diserupakan dengan para wanita dalam kisah Nabi Yusuf, yaitu
mereka menyembunyikan hakekat yang ada di hatinnya, dan menampakkan sesuatu yang
lain dari kenyataan yang sesungguhnya.
[3]. Majmu’ Fatawa, 23/354.
[4].
Syarhul Mumti’, 4/308.
[5]. Majmu’ Fatawa, 23/351.
[6]. Shahih Fiqh
Sunnah, 1/529.
[7]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 2601, Jilid 8/6, yang
ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin
Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[8]. Fatawa lajnah Daimah, no. 8498, Jilid
8/9-10, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan
Abdullah bin Qu’ud.
[9]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 1954, Jilid 8/20, yang
ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin
Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[10]. Hadits ini berbunyi (artinya):
Rasulullah menjadikan orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang
mereka, serta wanita di belakang anak-anak.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: numpang tanya
Afwan akhy Ichreza...apakah penjelasannya terlalu panjang atau mungkin aku kelewatan dalam membacanya..tapi koq blum bisa menjawab pertanyaan akhy BAKUL KOPI ??
pawitcintaAllah- REGISTERED MEMBER
- Posts : 5
Join date : 21.11.11
Reputation : 1
Re: numpang tanya
yang ane tahu, kejadian seperti ini juga prnah terjadi di jaman Rasul, tapi Rasul justru tidak melarang..
Pa benar ya??
Pa benar ya??
bidadari- SERSAN DUA
- Posts : 84
Location : flowers city
Join date : 22.09.11
Reputation : 4
Re: numpang tanya
BAKUL KOPI wrote:saya abis ditanyain sama seorang temen...
suatu ketika beliow ini pergi ke masjid utk sholat fardhu berjamaah,setelah selesai sholat,beliow tidak langsung meninggalkan masjid,beberapa menit kemudia ada seseorang yang baru masuk masjid lalu melakukan sholat fardhu yg secara otomatis orang tsb kan terlambat mengikuti sholat berjamaah nih... nah dari pada itu orang sholat sendirian,temen saya yg tadi sudah selesai sholat fardhu secara berjamaah mengikuti orang tadi utk menjadi ma'mum.
berarti kan temen saya tadi sholat fardhu (satu waktu) dua kali.... nah loh...!
bisa kasih pencerahan ndak.? coz temen saya masih ragu,takutnya nanti menjadi bid'ah....
terima kasih
Bismillah..
dipetik dari eramuslim.com
Dibolehkan bagi seorang yang telah melaksanakan shalat berjamaah kemudian kembali melakukan shalat jamaah tersebut untuk menemani orang yang ketinggalan shalat jamaah sebelumnya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri berkata; "Seorang laki-laki masuk ke dalam masjid sedang Rasulullah saw dan para sahabatnya telah melakukan shalat, maka Rasulullah saw pun bersabda: "Barangsiapa ingin bersedekah kepada orang ini hendaklah ia shalat bersamanya, " lalu berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya.
Abu Daud meriwayatkan dari Jabir bin Yazid bin Al-Aswad dari Ayahnya bahwasanya dia pernah shalat bersama Rasulullah saw sementara ketika itu dia masih muda. Tatkala shalat telah selesai dilaksanakan, ada dua orang laki-laki yang berada di salah satu sudut masjid tidak melaksanakan shalat, maka beliau memanggil keduanya dan keduanya pun didatangkan dalam kondisi merinding bulu kuduknya, lalu beliau bersabda: "Apakah yang menghalangi kalian berdua untuk melaksanakan shalat bersama kami?" Mereka menjawab; Kami sudah melaksanakannya di rumah kami. Beliau bersabda: "Janganlah kalian melakukannya lagi, apabila seseorang di antara kalian sudah melaksanakan shalat di rumahnya, lalu mendapatkan imam sedang shalat, maka shalatlah bersamanya, karena yang ini baginya adalah nafilah (sholat sunnah)
Didalam riwayat Tirmidzi disebutkan ; "Ketika beliau saw selesai melakasanakan shalat subuh dan berpaling, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut shalat berjama'ah bersama beliau. Maka beliau pun bersabda: "Bawalah dua orang itu kemari!" maka mereka pun dibawa ke hadapan Nabi sedang urat mereka bergetar. Beliau bersabda: "Apa yang menghalangi kalian untuk shalat bersama kami?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami telah shalat di tempat kami, " beliau bersabda: "Janganlah kalian lakukan, jika kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang melaksanakan shalat berjama'ah maka shalatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi pahala nafilah kalian berdua." Pendapat ini juga dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq." Mereka berkata; "Jika seorang laki-laki telah shalat sendirian kemudian mendapatkan shalat berjama'ah, maka hendaklah ia mengulangi semua shalatnya dengan berjama'ah. Dan jika seorang laki-laki telah shalat maghrib sendirian kemudian mendapatkan shalat berjama'ah, maka mereka berpendapat, "Hendaklah ia shalat bersama mereka dan menggenapkan, sedangkan shalat yang ia lakukan sendirian itulah yang fardlu bagi mereka."
Didalam hadits tersebut tampak jelas bahwa shalat yang kedua dianggap sebagai shalat sunnah sedangkan yang wajib adalah yang pertama baik shalat itu berjamaah atau sendirian disebabkan kemutlakan hadits itu. Didalam hadits disebutkan pemahaman bahwa barangsiapa yang telah melaksanakan shalat di tempatnya lalu dia mendapatkan jamaah tengah melaksanakan shalat maka hendaklah dia melaksanakan shalat bersama mereka, shalat apapun diantara shalat wajib yang lima, inilah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq demikian pula al Hasan dan Zuhri. (Aunul Ma’bud juz II hal 100)
Dengan demikian jika seorang telah melaksanakan shalat zhuhur berjamaah lalu datang seorang lainnya yang tertinggal jamaah pertama dan dirinya—yang telah shalat tadi—ingin menemaninya berjamaah shalat zhuhur maka hendaklah dia tetap berniat shalat wajib zhuhur.
Adapun niat saat mengulangi shalat tersebut maka Ibnu Abidin mengatakan bahwa dia berniat dengan perbuatan yang keduanya itu dengan niat wajib—walaupun perbuatan yang diulanginya itu adalah fardhu (wajib) karena perbuatan pertama yang telah dilakukannya itu adalah fardhu maka pengulangannya, yaitu perbuatan kedua adalah persis seperti yang pertama.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa kewajiban telah gugur dengan perbuatan yang kedua maka telah jelas. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa kewajiban gugur dengan perbuatan pertama maksudnya pengulangan perbuatan kedua adalah keharusan dikarenakan adanya kekurangan didalam perbuatan pertama maka perbuatan pertama adalah kewajiban yang terdapat kekurangan sedangkan perbuatan kedua adalah kewajiban yang sempurna. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 159)
Sedangkan yang paling berhak menjadi imam dalam keadaan diatas adalah yang paling baik bacaan al Qur’annya atau yang paling banyak hafalannya diantara mereka berdua walaupun ia adalah orang yang telah melaksanakan shalat zhuhur bersama jamaah pertama.
Dalil dibolehkannya seorang yang telah melaksanakan shalat berjamaah sebelumnya menjadi imam dalam shalat jamaah yang kedua adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Muadz bin Jabal bahwa dia telah melaksanakan shalat isya akhir bersama Rasulullah saw kemudian kembali pulang kepada kaumnya, lalu shalat mengimami mereka dengan shalat tersebut.
Wallahu A’lam
sumber
Re: numpang tanya
jadi bukan bid'ah donk... dan dibolehkan bukan....?
BAKUL KOPI- LETNAN DUA
-
Age : 36
Posts : 757
Location : warkop
Join date : 07.10.11
Reputation : 3
Re: numpang tanya
tunggu aja komen dari yg lain dulu...mungkin ada tanggpn yg berbeda..
ane mh nyimak aja
ane mh nyimak aja
bidadari- SERSAN DUA
- Posts : 84
Location : flowers city
Join date : 22.09.11
Reputation : 4
Re: numpang tanya
@Admin :
pawitcintaAllah- REGISTERED MEMBER
- Posts : 5
Join date : 21.11.11
Reputation : 1
Re: numpang tanya
kondisi dari yg ditanyakan pak satpam, yaitu teman pak satpam "menemani" sholat dari seseorang yg SEDANG melaksanakan sholat sendirian dgn tujuan mendapatkan fadilah sholat berjamaah.... sedangkan nash yg disampaikan oleh pak admin diatas yaitu tentang hukum mengulangi sholat fardhu utk menemani seseorang yg AKAN melaksanakan sholat dgn tujuan yg sama.... jadi ada kondisi yg berbeda, dan sependek yg saya tahu nash diatas ditujukan utk hukum mengulang sholat fardhu menemani seorang muslim lainnya yg akan melaksanakan sholat, belum jelas bagi saya apakah nash tsb juga berlaku utk seseorang yg menemani seorang muslim lainnya yg sudah memulai dan sedang melaksanakan sholat fardhu dan kemudian menjadi ma'mum bagi orang yg ditemaninya sholat tsb...
bisakah nash tsb juga menjadi nash yg qathi utk pengulangan sholat fardhu utk kondisi seperti yg digambarkan pak satpam diatas ??? jika bisa pertanyaan selanjutnya bagaimana dgn niat dari org yg ditemani oleh temannya pak satpam tsb sehingga bisa berubah menjadi imam sholat secara tidak disengaja padahal sebelumnya tidak berniat seperti itu???
bisakah nash tsb juga menjadi nash yg qathi utk pengulangan sholat fardhu utk kondisi seperti yg digambarkan pak satpam diatas ??? jika bisa pertanyaan selanjutnya bagaimana dgn niat dari org yg ditemani oleh temannya pak satpam tsb sehingga bisa berubah menjadi imam sholat secara tidak disengaja padahal sebelumnya tidak berniat seperti itu???
forever_muslim- SERSAN SATU
- Posts : 181
Join date : 07.10.11
Reputation : 10
Re: numpang tanya
Jadi nash ini merupakan kebolehan yee .... cerah bener Om admin .... Syukron katsirAdmin wrote:BAKUL KOPI wrote:saya abis ditanyain sama seorang temen...
suatu ketika beliow ini pergi ke masjid utk sholat fardhu berjamaah,setelah selesai sholat,beliow tidak langsung meninggalkan masjid,beberapa menit kemudia ada seseorang yang baru masuk masjid lalu melakukan sholat fardhu yg secara otomatis orang tsb kan terlambat mengikuti sholat berjamaah nih... nah dari pada itu orang sholat sendirian,temen saya yg tadi sudah selesai sholat fardhu secara berjamaah mengikuti orang tadi utk menjadi ma'mum.
berarti kan temen saya tadi sholat fardhu (satu waktu) dua kali.... nah loh...!
bisa kasih pencerahan ndak.? coz temen saya masih ragu,takutnya nanti menjadi bid'ah....
terima kasih
Bismillah..
dipetik dari eramuslim.com
Dibolehkan bagi seorang yang telah melaksanakan shalat berjamaah kemudian kembali melakukan shalat jamaah tersebut untuk menemani orang yang ketinggalan shalat jamaah sebelumnya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa'id Al Khudri berkata; "Seorang laki-laki masuk ke dalam masjid sedang Rasulullah saw dan para sahabatnya telah melakukan shalat, maka Rasulullah saw pun bersabda: "Barangsiapa ingin bersedekah kepada orang ini hendaklah ia shalat bersamanya, " lalu berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya.
sumber
ibrahim_kf- KOPRAL
-
Posts : 21
Join date : 16.12.11
Reputation : 0
Re: numpang tanya
nah lohforever_muslim wrote:kondisi dari yg ditanyakan pak satpam, yaitu teman pak satpam "menemani" sholat dari seseorang yg SEDANG melaksanakan sholat sendirian dgn tujuan mendapatkan fadilah sholat berjamaah.... sedangkan nash yg disampaikan oleh pak admin diatas yaitu tentang hukum mengulangi sholat fardhu utk menemani seseorang yg AKAN melaksanakan sholat dgn tujuan yg sama.... jadi ada kondisi yg berbeda, dan sependek yg saya tahu nash diatas ditujukan utk hukum mengulang sholat fardhu menemani seorang muslim lainnya yg akan melaksanakan sholat, belum jelas bagi saya apakah nash tsb juga berlaku utk seseorang yg menemani seorang muslim lainnya yg sudah memulai dan sedang melaksanakan sholat fardhu dan kemudian menjadi ma'mum bagi orang yg ditemaninya sholat tsb...
bisakah nash tsb juga menjadi nash yg qathi utk pengulangan sholat fardhu utk kondisi seperti yg digambarkan pak satpam diatas ??? jika bisa pertanyaan selanjutnya bagaimana dgn niat dari org yg ditemani oleh temannya pak satpam tsb sehingga bisa berubah menjadi imam sholat secara tidak disengaja padahal sebelumnya tidak berniat seperti itu???
BAKUL KOPI- LETNAN DUA
-
Age : 36
Posts : 757
Location : warkop
Join date : 07.10.11
Reputation : 3
Re: numpang tanya
boleh, seperti hal nya yang sudah disampaikan oleh admin insya Allah sudah benar jawabannya! wallahu a'lam :lkj:
Re: numpang tanya
nah loh boleh ternyata...syukron katsir pencerahannya...
GARUDA- REGISTERED MEMBER
-
Posts : 6
Location : Tembung city
Join date : 12.07.12
Reputation : 0
Similar topics
» numpang tanya nih!!!
» Tanya>Apa sih solusinya??? (dari RUANG KHUSUS :: TANYA-JAWAB)
» Mod,mau tanya
» [PEMBERITAHUAN] Ada masalah...???
» Tanya Jawab
» Tanya>Apa sih solusinya??? (dari RUANG KHUSUS :: TANYA-JAWAB)
» Mod,mau tanya
» [PEMBERITAHUAN] Ada masalah...???
» Tanya Jawab
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik