Menjawab tuduhan kafir bahwa leluhur Muhammad penyembah berhala
Halaman 1 dari 1 • Share
Menjawab tuduhan kafir bahwa leluhur Muhammad penyembah berhala
Pembuktian Bahwa Abdul Muthalib adalah beragama Avrahamic karena
bertuhankan Allah yang Maha Esa. Jika Abdul Muthalib beragama Ibrahim
maka Abdullah pun demikian karena tidak pernah terdengar dalam berbagai
kisah-kisah sejarah maupun hadist serta ALQuran yang mengungkapkan
bahwa Abdul Muthalib Sang Perawat Bait Tuhan menyembah batu berhala
seperti yang dilakukan oleh kabilah-kabilah lainnya. As Sirah An
Nabawiyah Fi Dhu’l Al Mashadir Al Ashliyah
Meskipun pada waktu hegemoni paganisme di masyarakat Arab sedemikian
kuat, tetapi masih ada beberapa orang yang dikenal sebagai Al Hanafiyun
atau Al Hunafa’. Mereka tetap berada dalam agama yang hanif,
menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya serta menunggu datangnya
kenabian.
Diantara mereka adalah Qiss bin Sa’idah Al lyaadi, Zaid bin ‘Amru bin
Nufail, Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Abu Qais bin Abi
Anas, Khalid bin Sinan, An Nabighah Adz Dzubyani, Zuhair bin Abi
Salma, Ka’ab bin Luai bin Ghalib, Umair bin Haidab Al Juhani, ‘Adi bin
Zaid Al ‘Ibadi, penyair Zuhair bin Abi Salma, Abdullah Al Qudhaa’i,
Ubaid bin Al Abrash Al Asadi, Utsman bin Al Huwairits, Amru bin Abasah
Al Sulami, Aktsam bin Shaifi bin Rabaah dan Abdul Muthalib kakek
Rasulullah Berikut ini adalah kisah Abdul Muthalib yang dikhabarkan
oleh Allahyarham Buya Hamka dalam Tafsir AlAzhar:
“Tidakkah engkau perhatikan?” (pangkal ayat 1). Atau tidaklah engkau
mendengar berita: “Bagaimana Tuhan engkau berbuat terhadap orang-orang
yang mempunyai gajah?” (ujung ayat 1).
Pertanyaan Allah seperti ini adalah untuk memperkuat berita penting
itu, yang ditujukan mulanya kepada Nabi SAW namun maksudnya ialah
untuk ummat yang percaya seumumnya.
Kisah orang-orang yang mempunyai gajah ini adalah tersebut dengan
selengkapnya di dalam kitab Sirah Ibnu Hisham, pencatat riwayat hidup
Nabi Muhammad SAW yang terkenal.
Ketika itu Tanah Arab bahagian Selatan adalah di bawah kekuasaan
Kerajaan Habsyi. Najasyi (Negus) menanam wakilnya di Arabia Selatan
itu bernama Abrahah. Sebagaimana kita ketahui, Kerajaan Habsyi adalah
pemeluk Agama Kristen. Untuk menunjukkan jasanya kepada Rajanya,
Abrahah sebagai Wakil Raja atau Gubernur telah mendirikan sebuah
gereja di Shan’aa diberinya nama Qullais.
Dibuatnya gereja itu sangat indahnya sehingga jaranglah akan
tandingnya di dunia di masa itu. Setelah selesai dikirimnyalah berita
kepada Najasyi: “Telah aku dirikan sebuah gereja, ya Tuanku! Dan aku
percaya belumlah ada raja-raja sebelum Tuanku mendirikan gereja
semegah ini. Namun hatiku belumlah puas orang Arab yang selama ini
berhaji ke Makkah, aku palingkan hajinya ke gereja Tuanku itu.”
Berita isi surat yang pongah ini sampai ke telinga bangsa Arab,
sehingga mereka gelisah. Maka bangkitlah marah seorang pemuka Arab
karena tempat mereka berhaji akan dialihkan dengan kekerasan. Menurut
Ibnu Hisyam orang itu ialah dari kabilah Bani Faqim in ‘Adiy. Maka
pergilah dia sembunyi-sembunyi ke gereja itu, dia masuk ke dalam, dan
di tengah-tengah gereja megah itu diberakinya. Setelah itu dia pun
segera pulang ke negerinya.
Berita ini disampaikan orang kepada Abrahah. Lalu dia bertanya:
“Siapakah yang membuat pekerjaan kotor ini?” Ada orang menjawab: “Yang
berbuat kotor ini adalah orang yang membela rumah yang mereka hormati
itu, tempat mereka tiap tahun naik haji, di Makkah. Setelah dia
mendengar maksud Paduka Tuan hendak memalingkan haji orang Arab dari
rumah yang mereka sucikan kepada gereja ini orang itu marah lalu dia
masuk ke dalam gereja ini dan diberakinya, untuk membuktikan bahwa
gereja ini tidaklah layak buat pengganti rumah mereka yang di Makkah
itu.”
Sangatlah murka Abrahah melihat perbuatan itu, dan bersumpahlah dia;
akan segera berangkat ke Makkah, untuk meruntuhkan rumah itu!
Dikirimnya seorang utusan kepada Bani Kinanah, mengajak mereka
mempelopori naik haji ke gereja yang didirikannya itu. Tetapi sesampai
utusan itu ke negeri Bani Kinanah dia pun mati dibunuh orang.
Itu pun menambah murka dan sakit hati Abrahah. Maka disuruhnyalah
tentara Habsyinya bersiap. Setelah siap mereka pun berangkat menuju
Makkah. Dia sendiri mengendarai seekor gajah, diberinya nama Mahmud.
Setelah tersiar berita tentara di bawah pimpinan Abrahah telah keluar
hendak pergi meruntuh Ka’bah sangatlah mereka terkejut dan seluruh
kabilah-kabilah Arab itu pun merasalah bahwa mempertahankan Ka’bah
dari serbuan itu adalah kewajiban mereka. Salah seorang pemuka Arab di
negeri Yaman bernama Dzu Nafar menyampaikan seruan kepada kaumnya dan
Arab tetangganya supaya bersiap menangkis dan menghadang serbuan ini.
Mengajak berjihad mempertahankan Baitullah Al-Haram.
Banyaklah orang datang menggabungkan diri kepada Dzu Nafar itu melawan
Abrahah. Tetapi karena kekuatan tidak seimbang, Dzu Nafar kalah dan
tertawan. Tatkala Abrahah hendak membunuh tawanan itu berdatang
sembahlah dia: “Janganlah saya Tuan bunuh. Barangkali ada faedahnya
bagi tuan membiarkan saya tinggal hidup.” Karena permohonannya itu
tidaklah jadi Dzu Nafar dibunuh dan tetaplah Dzu Nafar dibelenggu.
Abrahah memang seorang yang suka memaafkan.
Abrahah pun meneruskan perjalanannya. Sesampai di negeri orang
Khats’am tampil pula pemimpin Arab bernama Nufail bin Habib
Al-Khats’amiy memimpin dua kabilah Khats’am, yaitu Syahran dan Nahis
dan beberapa kabilah lain yang mengikutinya. Mereka pun berperang pula
melawan Abrahah, tetapi Nufail pun kalah dan tertawan pula. Ketika
dia akan dibunuh dia pun berdatang sembah: “Tak usah saya tuan bunuh,
bebaskanlah saya supaya saya menjadi petunjuk jalan tuan di
negeri-negeri Arab ini.” Dua kabilah ini, Syahran dan Nahis adalah
turut perintah Tuan. Permintaannya itu pun dikabulkan oleh Abrahah dan
tetaplah dia berjalan di samping Abrahah menjadi penunjuk jalan,
sehingga sampailah tentara itu di Thaif.
Sampai di Thaif pemuka Tsaqif yang bernama Mas’ud bin Mu’attib bersama
beberapa orang pemuka lain datang menyongsong kedatangan Abrahah, lalu
mereka menyatakan ketundukan.
Dia berkata: “Wahai Raja! Kami adalah hambasahaya Tuan, kami tunduk
takluk ikut perintah, tidak ada kami bermaksud melawan Tuan. Di negeri
ini memang ada pula sebuah rumah yang kami puja dan muliakan (yang
dimaksudnya ialah berhala yang bernama Al-Laata). Namun kami percaya
bukanlah berhala kami ini yang Tuan maksud akan diruntuhkan. Yang Tuan
maksud tentulah Ka’bah yang di Makkah. Kami bersedia memberikan
penunjuk jalan buat Tuan akan menuju negeri Makkah itu.” Lalu mereka
berikan seorang penunjuk jalan bernama Abu Raghaal! Lantaran itu
Abrahah pun melanjutkan perjalanan dengan Abu Raghaal sebagai penunjuk
jalan, sampai mereka dapat istirahat di satu tempat bernama
Mughammis, suatu tempat sudah dekat ke Makkah dalam perjalanan dari
Thaif.
Sesampai mereka berhenti di Mughammis itu tiba-tiba matilah Abu
Raghaal si penunjuk jalan itu. Kubur Abu Raghaal itu ditandai oleh
orang Arab, maka setiap yang lalu lintas di dekat situ melempari kubur
itu.
Setelah Abrahah berhenti dengan tentaranya di Mughammis itu
diutusnyalah seorang utusan dari bangsa Habsyi ke negeri Makkah. Nama
utusan itu Aswad bin Maqfud. Dia pergi dengan naik kuda. Setelah dia
sampai di wilayah Makkah dirampasinyalah harta-benda penduduk Tihamah
dari Quraisy dan Arab yang lain. Termasuk 200 ekor unta kepunyaai
Abdul Muthalib bin Hasyim, yang ketika itu menjadi orang yang dituakan
dan disegani dalam kalangan Quraisy. Melihat perbuatan dan perampasan
yang dilakukan oleh patroli Abrahah yang bernama Aswad bin Maqfud itu
naik darahlah orang Quraisy, orang Kinanah dan Kabilah Huzail yang
semuanya hidup dikeliling Makkah yang berpusat kepada Ka’bah, sehingga
mereka pun telah menyatakan bersiap hendak berperang melawan Abrahah.
Tetapi setelah mereka musyawaratkan dengan seksama, mereka pun
mendapat kesimpulan bahwa tidaklah seimbang kekuatan mereka hendak
melawan dengan besarnya angkatan perang musuh. Sebab itu perang
tidaklah dijadikan.
Lalu Abrahah mengirim lagi perutusannya di bawah pimpinan Hunathah
Al-Himyariy ke Makkah, hendak mencari hubungan dengan pemuka-pemuka
Makkah dan ketua-ketuanya. Lalu utusan itu menyampaikan pesan Abrahah:
“Kami datang ke mari bukanlah untuk memerangi kalian. Kedatangan kami
hanyalah semata-mata hendak menghancurkan rumah ini.
Kalau kalian tidak mencoba melawan kami, selamatlah nyawa dan darah
kalian.” Dan Abrahah berpesan pula: “Kalian memang penduduk Makkah
tidak hendak melawan kami, suruhlah salah seorang ketua Makkah datang
menghadapnya ke Mughammis!” Hunathah itu pun datanglah ke Makkah
menyampaikan titah raja yang tegas itu. Setelah orang yang ditemuinya
menyatakan bahwa pemimpin dan ketua mereka ialah Abdul Muthalib bin
Hasyim.
Lalu datanglah dia menuju Abdul Muthalib dan menyampaikan titah raja
yang tegas itu. Mendengar pesan raja itu berkatalah Abdul Muthalib:
“Demi Allah tidaklah kami bermaksud hendak berperang dengan dia.
Kekuatan kami tidak cukup untuk memeranginya. Rumah ini adalah Rumah
Allah, Bait Allah Al-Haram, dan Rumah Khalil Allah Ibrahim.
Kalau Allah hendak mempertahankan rumah-Nya dari diruntuhkan, itulah
urusan Allah sendiri. Kalau dibiarkannya rumah-Nya diruntuh orang,
apalah akan daya kami. Kami tak kuat mempertahankannya.”
Berkata Hunathah: “Kalau begitu tuan sendiri harus datang menghadap baginda. Saya diperintahkan mengiringkan Tuan.”
“Baiklah”, kata Abdul Muthalib. Maka beliau pun pergilah bersama
Hunathah menghadap Raja. Beliau diiringkan oleh beberapa orang
puteranya sehingga sampailah mereka ke tempat perhentian laskar itu.
Lalu dinyatakannya keadaan Dzu Nafar yang tertawan itu, sebab dia
adalah sahabat lamanya, sehingga dia pun diizinkan menemuinya dan
masuk ke dalam tempat tahanannya.
Dia bertanya kepada Dzu Nafar: “Hai Dzu Nafar! Adakah pendapat yang
dapat engkau berikan kepadaku tentang kemusykilan yang aku hadapi
ini?”
Dzu Nafar menjawab: “Tidak ada pendapat yang dapat diberikan oleh
seorang yang dalam tawanan raja, yang menunggu akan dibunuh saja,
entah pagi entah petang. Tak ada nasihat yang dapat saya berikan. Cuma
ada satu! Yaitu pawang gajah selalu menjaga gajah raja itu, Unais
namanya. Dia adalah sahabatku. Saya akan mengirim berita kepadanya
tentang halmu dan saya akan memesan bahwa engkau sahabatku supaya dia
pun mengerti bahwa engkau ini orang penting. Moga-moga dengan
perantaraannya engkau dapat menghadap raja. Supaya engkau dapat
menumpahkan perasaanmu di hadapannya, dan supaya Unais pun dapat
memujikan engkau di hadapan baginda. Moga-moga dia sanggup.”
“Baiklah”, kata Abdul Muthalib.
Lalu Dzu Nafar mengirim orang kepada Unais pengawal gajah raja. Kepada
Unais itu Dzu Nafar memesankan siapa Adbul Muthalib. Bahwa dia adalah
ketua orang Quraisy, yang empunya sumur Zamzam yang terkenal itu,
yang memberi makan orang yang terlantar di tanah rendah dan memberi
makan binatang buas di puncak-puncak bukit. Untanya 200 ekor dirampas
hamba-hamba raja, dia mohon izin menghadap baginda, dan engkau
usahakanlah supaya pertemuan itu berhasil.
“Saya sanggupi”, kata Unais. Maka Unais pun datanglah menghadap raja
mempersembahkan darihal Abdul Muthali itu: “Daulat Tuanku, beliau
adalah Ketua Quraisy.”
Dia telah berdiri di hadapan pintu Tuanku, ingin menghadap. Dialah
yang menguasai Zamzam di Makkah. Dialah yang memberi makanan manusia
di tanah rendah dan memberi makanan binatang buas di puncak
gunung-gunung. Beri izinlah dia masuk, Tuanku. Biarlah dia
menyampaikan apa yang terasa di hatinya.”
“Suruhlah dia masuk”, titah Raja.
Abdul Muthalib adalah seorang yang rupawan, berwajah menarik dan
berwibawa, besar dan jombang. Baru saja dia masuk, ada sesuatu yang
memaksa Abrahah berdiri menghormatinya dan menjemputnya ke pintuk
khemah. Abrahah merasa tidaklah layak orang ini akan duduk di bawah
dari kursinya.
Sebab itu baginda sendirilah yang turun dari kursi dan sama duduk di
atas hamparan itu berdekat dengan Abdul Muthalib. Kemudian itu
bertitahlah baginda kepada penterjemah: “Suruh katakanlah apa
hajatnya!”
Abdul Muthalib menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Maksud
kedatanganku ialah memohonkan kepada raja agar unta kepunyaanku, 200
ekor banyaknya, yang dirampas oleh hambasahaya baginda, dipulangkan
kepadaku.”
Raja menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Katakan kepadanya:
Mulai dia masuk aku terpesona melihat sikap dan rupanya, yang
menunjukkan dia seorang besar dalam kaumnya. Tetapi setelah kini dia
mengemukakan soal untanya 200 ekor yang dirampas oleh orang-orangku,
dan dia tidak membicarakan sama-sekali, tidak ada reaksinya
sama-sekali tentang rumah agamanya dan rumah agama nenek-moyangnya
yang aku datang sengaja hendak meruntuhkannya, menjadi sangat kecil
dia dalam pandanganku.” Abdul Muthalib menjawab:
“Saya datang ke mari mengurus unta itu, karena yang empunya unta itu
ialah aku sendiri. Adapun soal rumah itu, memang sengaja tidak saya
bicarakan. Sebab rumah itu ada pula yang empunya, yaitu Allah. Itu
adalah urusan Allah.” Dengan sombong Abrahah menjawab: “Allah itu
sendiri tidak akan dapat menghambat maksudku!”
Abdul Muthalib menjawab: “Itu terserah Tuan, aku datang ke mari hanya mengurus untaku.”
Unta yang 200 ekor itu pun disuruh dikembalikan oleh Abrahah. Abdul
Muthalib pun segeralah kembali ke Makkah, memberitahukan kepada penduduk
Makkah pertemuannya dengan Abrahah. Lalu dia memberi nasihat supaya
seluruh penduduk Makkah segera meninggalkan Makkah, mengelakkan diri ke
puncak-puncak bukit keliling Makkah atau ke lurah-lurah, agar jangan
sampai terinjak terlindis oleh tentara yang akan datang mengamuk.
Setelah itu, dengan diiringkan oleh beberapa pemuka Quraisy, Abdul
Muthalib pergi ke pintu Ka’bah dipegangnya teguh-teguh gelang pada
pintunya lalu mereka berdoa bersama-sama menyeru Allah, memohon
pertolongan, dan agar Allah memberikan pembalasannya kepada Abrahah dan
tentaranya. Sambil memegang gelang pintu Ka’bah itu dia bermohon:
Ya Tuhanku! Tidak ada yang aku harap selain Engkau! Ya Tuhanku!
Tahanlah mereka dengan benteng Engkau! Sesungguhnya siapa yang memusuhi
rumah ini adalah musuh Engkau. Mereka tidak akan dapat menaklukkan
kekuatan Engkau.
Setelah selesai bermunajat kepada Tuhan dengan memegang gelang pintu
Ka’bah itu, Abdul Muthalib bersama orang-orang yang mengiringkannya
pun mengundurkan diri, lalu pergi ke lereng-lereng bukit, dan di
sanalah mereka berkumpul menunggu apakah yang akan diperbuat Abrahah
terhadap negeri Makkah bilamana dia masuk kelak. Setelah pagi besoknya
bersiaplah Abrahah hendak memasuki Makkah dan dipersiapkanlah gajahnya.
Gajah itu diberinya nama Mahmud. Dan Abrahah pun telah bersiap-siap
hendak pergi meruntuhkan Ka’bah, dan kalau sudah selesai pekerjaannya
itu kelak dia bermaksud hendak segera pulang ke Yaman.
Setelah dihadapkannya gajahnya itu menuju Makkah, mendekatlah orang
tawanan yang dijadikan penunjuk jalan itu, dari Kabilah Khats’am yang
bernama Nufail bin Habib itu. Dia dekati gajah tersebut, lalu
dipegangnya telinga gajah itu dengan lemah-lembutnya dan dia berbisik:
“Kalau engkau hendak dihalau berjalan hendaklah engkau tengkurup
saja, hai Mahmud! Lebih cerdik bila engkau pulang saja ke tempat
engkau semula di negeri Yaman. Sebab engkau sekarang hendak dikerahkan
ke Baladillah Al-Haram (Tanah Allah yang suci lagi bertuah).”
Selesai bisikannya itu dilepaskannyalah telinga gajah itu. Dan sejak
mendengar bisikan itu gajah tersebut terus tengkurup, tidak mau
berdiri. Nufail bin Habib pun pergilah berjalan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu, menuju sebuah bukit.
Maka datanglah masa akan berangkat. Gajah disuruh berdiri tidak mau
berdiri. Dipukul kepalanya dengan tongkat penghalau gajah yang agak
runcing ujungnya, supaya dia segera berdiri. Namun dia tetap duduk tak
mau bergerak. Diambil pula tongkat lain, ditonjolkan ke dalam
mulutnya supaya dia berdiri, namun dia tidak juga mau berdiri. Lalu
ditarik kendalinya dihadapkan ke negeri Yaman; dia pun segera berdiri,
bahkan mulai berjalan kencang.
Lalu dihadapkan pula ke Syam. Dengan gembira dia pun berjalan cepat
menuju Syam. Lalu dihadapkan pula ke Timur, dia pun berjalan kencang.
Kemudian dihadapkan dia ke Makkah, dia pun duduk kembali, tidak mau
bergerak, Padahal Abrahah sudah siap, tentaranya pun sudah siap.
Dalam keadaan yang demikian itu, demikian uraian Ibnu Hisyam dalam
Siirahnya nampaklah di udara beribu-ribu ekor burung terbang menuju
mereka. Datangnya dari jurusan laut. Burung itu membawa tiga butir
batu; sebutir di mulutnya dan dua butir digenggamnya dengan kedua
belah kakinya. Dengan serentak burung-burung itu menjatuhkan batu yang
di bawanya itu ke atas diri tentara-tentara yang banyak itu. Mana
yang kena terpekik kesakitan karena saking panasnya. Berpekikan dan
berlarianlah mereka, tumpang siur tidak tentu arah, karena takut akan
ditimpa batu kecil-kecil itu yang sangat panas membakar itu. Lebih
banyak kena daripada yang tidak kena.
Semua menjadi kacau-balau dan ketakutan. Mana yang kena terkaparlah
jatuh, dan yang tidak sampai kena hendak segera lari kembali ke Yaman.
Mereka cari Nufail bin Habib untuk menunjuki jalan menuju Yaman, namun
dia tidak mau lagi, malahan dia bersyair: “Kemana akan lari, Allahlah
yang mengejar, Asyram (Abrahah) yang kalah, bukan dia yang menang.”
Kucar-kacirlah mereka pulang. Satu demi satu mana yang kena lontaran
batu itu jatuh. Dan yang agak tegap badannya masih melanjutkan pelarian
menuju negerinya, namun di tengah jalan mereka berjatuhan juga.
Adapun Abrahah sendiri yang tidak terlepas dari lontaran batu itu
masih sempat naik gajahnya menuju Yaman, namun di tengah jalan
penyakitnya bertambah membahayakan. Terkelupas kulitnya, gugur
dagingnya, sehingga sesampainya di negeri Yaman boleh dikatakan sudah
seperti anak ayam menciap-ciap. Lalu mati dalam kehancuran.
Maka terkenallah tahun itu dengan nama “Tahun Gajah”. Menurut
keterangan Nabi SAW sendiri dalam sebuah Hadis yang shahih, beliau
dilahirkan adalah dalam tahun gajah itu. Demikianlah disebutkan oleh
Al-Mawardi di dalam tafsirnya. Dan tersebut pula di dalam kitab
I’lamun Nubuwwah, Nabi SAW dilahirkan 12 Rabiul Awwal, 50 hari saja
sesudah kejadian bersejarah kehancuran tentara bergajah itu.
Setelah Nabi kita SAW berusia 40 tahun dan diangkat Allah menjadi
Rasul SAW masih didapati dua orang peminta-minta di Makkah, keduanya
buta matanya. Orang itu adalah sisa dari pengasuh-pengasuh gajah yang
menyerang Makkah itu.
“Bukankah telah Dia jadikan daya upaya mereka itu pada sia-sia?” (ayat
2). Usaha yang begitu sombong dan besar, jawaban Abrahah kepada Abdul
Muthalib, bahwa Allah sendiri tidak akan sanggup bertahan kalau dia
datang menyerang. Segala maksudnya hendak menghancurkan itu sia-sia
belaka, dan gagal belaka.
Tersebut dalam riwayat bahwa Abdul Muthalib yang tengah meninjau dari
atas bukit-bukit Makkah apa yang akan dilakukan oleh tentara bergajah
itu melihat burung berduyun-duyun menuju tentara yang hendak menyerbu
Makkah itu.
Kemudian hening tidak ada gerak apa-apa. Lalu diperintahnya anaknya
yang paling bungsu, Abdullah (ayah Nabi kita Muhammad SAW) pergi
melihat-lihat apa yang telah kejadian, ada apa dengan burung-burung
itu dan ke mana perginya.
Maka dilakukannyalah perintah ayahnya dan dia pergi melihat-lihat
dengan mengendarai kudanya. Tidak beberapa lamanya dia pun kembali
dengan memacu kencang kudanya dan menyingsingkan kainnya. Setelah
dekat, dengan tidak sabar orang-orang bertanya: “Ada apa, Abdullah?”
Abdullah menjawab: “Hancur-lebur semua!” Lalu diceriterakannya apa yang
dilihatnya, “Bangkai bergelimpangan dan ada yang masih menarik-narik
nafas akan mati dan sisanya telah lari menuju negerinya.”
Maka berangkatlah Abdul Muthalib dengan pemuka-pemuka Quraisy itu
menuju tempat tersebut, tidak berapa jauh dari dalam kota Makkah.
Mereka dapati apa yang telah diceriterakan Abdullah bin Abdul Muthalib
itu. Bahkan 200 ekor unta Abdul Muthalib dan harta-benda yang lain,
dan harta-benda yang ditinggalkan, kucar-kacir oleh tentara yang
hancur itu.
Baik kuda-kuda kendaraan, ataupun pakaian-pakaian perang yang
mahal-mahal, alat senjata peperangan, pedangnya, perisainya dan
tombaknya dan emas perak banyak sekali. Maka sepakatlah kepala-kepala
Quraisy itu memberikan kelebihan pembahagian yang banyak untuk Abdul
Muthalib, sebab dia dipandang sebagai pemimpin yang bijaksana. Dengan
keahliannya dapat menghadapi musuh yang begitu besar dan begitu
sombong. Sebagai kita katakan tadi, 50 hari sesudah kejadian itu, Nabi
Muhammad SAW pun lahirlah ke dunia.
Tetapi ayahnya dalam perjalanan ke Yatsrib, kampung dari keluarga
ayahnya. Di sana dia meninggal sebelum puteranya lahir. Berkata Ibnu
Ishaq: “Setelah penyerangan orang Habsyi terhadap Makkah itu digagalkan
dan dihancurkan oleh Allah sendiri, bertambah penghargaan dan
penghormatan bangsa Arab kepada Quraisy. Sehingga mereka katakan:
‘Orang Quraisy itu ialah Keluarga Allah. Allah berperang untuk
mereka.’”
“Dan Dia telah mengirimkan ke atas mereka burung berduyun-duyun.” (ayat
3). Burung-burung itu berduyun datang dari laut. Ahli-ahli tafsir
bicara macam-macam tentang keadaan burung itu. Namun apa jenis burung
tidak penting kita perkajikan. Sembarang burung pun dapat dipergunakan
Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya. Sedangkan tikus bisa merusakkan
sebuah negeri dengan menyuruh tikus itu memakan padi yang sedang mulai
masak di sawah. Sedangkan belalang berduyun-duyun beratus ribu dapat
membuat satu negeri jadi lapar, apatah lagi burung berduyun-duyun
(ababil).
“Yang melempari mereka dengan batu siksaan?” (ayat 4). Batu yang
mengandung azab, batu yang mengandung penyakit. Ada tafsir mengatakan
bahwa batu itu telah direndang terlebih dahulu dengan api neraka.
Syaikh Muhammad Abduh mencoba mentakwilkan bahwa batu itu membawa
bibit penyakit cacar. Menurut keterangan Ikrimah sejak waktu itulah
terdapat penyakit cacar di Tanah Arab. Ibnu Abbas mengatakan juga
bahwa sejak waktu itu adanya penyakit cacar di Tanah Arab.
Dapat saja kita menerima penafsiran ini jika kita ingat bahwa membawa
burung atau binatang dari satu daerah ke daerah yang lain, walaupun
satu ekor, hendaklah terlebih dahulu diperiksakan kepada doktor,
kalau-kalau burung itu membawa hama penyakit yang dapat menular.
Demikian juga dengan tumbuh-tumbuhan. Demikian seekor burung,
bagaimana kalau beribu burung?
“Lalu Dia jadikan mereka seperti daun kayu yang dimakan ulat.” (ayat
5). Laksana daun kayu dimakan ulat, memang adalah satu perumpamaan
yang tepat buat orang yang diserang penyakit cacar (ketumbuhan),
seluruh badan akan ditumbuhi oleh bisul yang panas, malahan sampai ada
yang tumbuh dalam mata. Telapak kaki yang begitu tebal pun tidak
terlepas, dan muka pun akan coreng-moreng dari bekasnya. Sebagai yang
telah penulis alami (1923).
Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya: “Hikayat tentara bergajah ini
adalah satu mu’jizat lagi dari Nabi kita, walaupun beliau waktu itu
belum lahir.” Dan tidak ada orang yang akan dapat melupakan bahwa
nenek-kandungnya mengambil peranan penting pada kejadian ini.
Dari kisah diatas tergambar jelaslah bahwa Abdul Muthalib menganut
ajaran yang hanif sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Ibrahim.
Begitu pula dengan Abdullah yang merupakan putra kesayangan dari Abdul
Muthalib sudah barang tentu mengikut ajaran yang dianut oleh
Ayahandanya yang merupakan pembesar Quraisy yang termasyur keseluruh
penjuru. Apatah lagi Siti Aminah yang merupakan wanita shalihah dan
istri dari Abdullah bin Abdul Muthalib sudah barang tentu mengikut
ajaran yang dianut suaminya.
bertuhankan Allah yang Maha Esa. Jika Abdul Muthalib beragama Ibrahim
maka Abdullah pun demikian karena tidak pernah terdengar dalam berbagai
kisah-kisah sejarah maupun hadist serta ALQuran yang mengungkapkan
bahwa Abdul Muthalib Sang Perawat Bait Tuhan menyembah batu berhala
seperti yang dilakukan oleh kabilah-kabilah lainnya. As Sirah An
Nabawiyah Fi Dhu’l Al Mashadir Al Ashliyah
Meskipun pada waktu hegemoni paganisme di masyarakat Arab sedemikian
kuat, tetapi masih ada beberapa orang yang dikenal sebagai Al Hanafiyun
atau Al Hunafa’. Mereka tetap berada dalam agama yang hanif,
menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya serta menunggu datangnya
kenabian.
Diantara mereka adalah Qiss bin Sa’idah Al lyaadi, Zaid bin ‘Amru bin
Nufail, Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Abu Qais bin Abi
Anas, Khalid bin Sinan, An Nabighah Adz Dzubyani, Zuhair bin Abi
Salma, Ka’ab bin Luai bin Ghalib, Umair bin Haidab Al Juhani, ‘Adi bin
Zaid Al ‘Ibadi, penyair Zuhair bin Abi Salma, Abdullah Al Qudhaa’i,
Ubaid bin Al Abrash Al Asadi, Utsman bin Al Huwairits, Amru bin Abasah
Al Sulami, Aktsam bin Shaifi bin Rabaah dan Abdul Muthalib kakek
Rasulullah Berikut ini adalah kisah Abdul Muthalib yang dikhabarkan
oleh Allahyarham Buya Hamka dalam Tafsir AlAzhar:
“Tidakkah engkau perhatikan?” (pangkal ayat 1). Atau tidaklah engkau
mendengar berita: “Bagaimana Tuhan engkau berbuat terhadap orang-orang
yang mempunyai gajah?” (ujung ayat 1).
Pertanyaan Allah seperti ini adalah untuk memperkuat berita penting
itu, yang ditujukan mulanya kepada Nabi SAW namun maksudnya ialah
untuk ummat yang percaya seumumnya.
Kisah orang-orang yang mempunyai gajah ini adalah tersebut dengan
selengkapnya di dalam kitab Sirah Ibnu Hisham, pencatat riwayat hidup
Nabi Muhammad SAW yang terkenal.
Ketika itu Tanah Arab bahagian Selatan adalah di bawah kekuasaan
Kerajaan Habsyi. Najasyi (Negus) menanam wakilnya di Arabia Selatan
itu bernama Abrahah. Sebagaimana kita ketahui, Kerajaan Habsyi adalah
pemeluk Agama Kristen. Untuk menunjukkan jasanya kepada Rajanya,
Abrahah sebagai Wakil Raja atau Gubernur telah mendirikan sebuah
gereja di Shan’aa diberinya nama Qullais.
Dibuatnya gereja itu sangat indahnya sehingga jaranglah akan
tandingnya di dunia di masa itu. Setelah selesai dikirimnyalah berita
kepada Najasyi: “Telah aku dirikan sebuah gereja, ya Tuanku! Dan aku
percaya belumlah ada raja-raja sebelum Tuanku mendirikan gereja
semegah ini. Namun hatiku belumlah puas orang Arab yang selama ini
berhaji ke Makkah, aku palingkan hajinya ke gereja Tuanku itu.”
Berita isi surat yang pongah ini sampai ke telinga bangsa Arab,
sehingga mereka gelisah. Maka bangkitlah marah seorang pemuka Arab
karena tempat mereka berhaji akan dialihkan dengan kekerasan. Menurut
Ibnu Hisyam orang itu ialah dari kabilah Bani Faqim in ‘Adiy. Maka
pergilah dia sembunyi-sembunyi ke gereja itu, dia masuk ke dalam, dan
di tengah-tengah gereja megah itu diberakinya. Setelah itu dia pun
segera pulang ke negerinya.
Berita ini disampaikan orang kepada Abrahah. Lalu dia bertanya:
“Siapakah yang membuat pekerjaan kotor ini?” Ada orang menjawab: “Yang
berbuat kotor ini adalah orang yang membela rumah yang mereka hormati
itu, tempat mereka tiap tahun naik haji, di Makkah. Setelah dia
mendengar maksud Paduka Tuan hendak memalingkan haji orang Arab dari
rumah yang mereka sucikan kepada gereja ini orang itu marah lalu dia
masuk ke dalam gereja ini dan diberakinya, untuk membuktikan bahwa
gereja ini tidaklah layak buat pengganti rumah mereka yang di Makkah
itu.”
Sangatlah murka Abrahah melihat perbuatan itu, dan bersumpahlah dia;
akan segera berangkat ke Makkah, untuk meruntuhkan rumah itu!
Dikirimnya seorang utusan kepada Bani Kinanah, mengajak mereka
mempelopori naik haji ke gereja yang didirikannya itu. Tetapi sesampai
utusan itu ke negeri Bani Kinanah dia pun mati dibunuh orang.
Itu pun menambah murka dan sakit hati Abrahah. Maka disuruhnyalah
tentara Habsyinya bersiap. Setelah siap mereka pun berangkat menuju
Makkah. Dia sendiri mengendarai seekor gajah, diberinya nama Mahmud.
Setelah tersiar berita tentara di bawah pimpinan Abrahah telah keluar
hendak pergi meruntuh Ka’bah sangatlah mereka terkejut dan seluruh
kabilah-kabilah Arab itu pun merasalah bahwa mempertahankan Ka’bah
dari serbuan itu adalah kewajiban mereka. Salah seorang pemuka Arab di
negeri Yaman bernama Dzu Nafar menyampaikan seruan kepada kaumnya dan
Arab tetangganya supaya bersiap menangkis dan menghadang serbuan ini.
Mengajak berjihad mempertahankan Baitullah Al-Haram.
Banyaklah orang datang menggabungkan diri kepada Dzu Nafar itu melawan
Abrahah. Tetapi karena kekuatan tidak seimbang, Dzu Nafar kalah dan
tertawan. Tatkala Abrahah hendak membunuh tawanan itu berdatang
sembahlah dia: “Janganlah saya Tuan bunuh. Barangkali ada faedahnya
bagi tuan membiarkan saya tinggal hidup.” Karena permohonannya itu
tidaklah jadi Dzu Nafar dibunuh dan tetaplah Dzu Nafar dibelenggu.
Abrahah memang seorang yang suka memaafkan.
Abrahah pun meneruskan perjalanannya. Sesampai di negeri orang
Khats’am tampil pula pemimpin Arab bernama Nufail bin Habib
Al-Khats’amiy memimpin dua kabilah Khats’am, yaitu Syahran dan Nahis
dan beberapa kabilah lain yang mengikutinya. Mereka pun berperang pula
melawan Abrahah, tetapi Nufail pun kalah dan tertawan pula. Ketika
dia akan dibunuh dia pun berdatang sembah: “Tak usah saya tuan bunuh,
bebaskanlah saya supaya saya menjadi petunjuk jalan tuan di
negeri-negeri Arab ini.” Dua kabilah ini, Syahran dan Nahis adalah
turut perintah Tuan. Permintaannya itu pun dikabulkan oleh Abrahah dan
tetaplah dia berjalan di samping Abrahah menjadi penunjuk jalan,
sehingga sampailah tentara itu di Thaif.
Sampai di Thaif pemuka Tsaqif yang bernama Mas’ud bin Mu’attib bersama
beberapa orang pemuka lain datang menyongsong kedatangan Abrahah, lalu
mereka menyatakan ketundukan.
Dia berkata: “Wahai Raja! Kami adalah hambasahaya Tuan, kami tunduk
takluk ikut perintah, tidak ada kami bermaksud melawan Tuan. Di negeri
ini memang ada pula sebuah rumah yang kami puja dan muliakan (yang
dimaksudnya ialah berhala yang bernama Al-Laata). Namun kami percaya
bukanlah berhala kami ini yang Tuan maksud akan diruntuhkan. Yang Tuan
maksud tentulah Ka’bah yang di Makkah. Kami bersedia memberikan
penunjuk jalan buat Tuan akan menuju negeri Makkah itu.” Lalu mereka
berikan seorang penunjuk jalan bernama Abu Raghaal! Lantaran itu
Abrahah pun melanjutkan perjalanan dengan Abu Raghaal sebagai penunjuk
jalan, sampai mereka dapat istirahat di satu tempat bernama
Mughammis, suatu tempat sudah dekat ke Makkah dalam perjalanan dari
Thaif.
Sesampai mereka berhenti di Mughammis itu tiba-tiba matilah Abu
Raghaal si penunjuk jalan itu. Kubur Abu Raghaal itu ditandai oleh
orang Arab, maka setiap yang lalu lintas di dekat situ melempari kubur
itu.
Setelah Abrahah berhenti dengan tentaranya di Mughammis itu
diutusnyalah seorang utusan dari bangsa Habsyi ke negeri Makkah. Nama
utusan itu Aswad bin Maqfud. Dia pergi dengan naik kuda. Setelah dia
sampai di wilayah Makkah dirampasinyalah harta-benda penduduk Tihamah
dari Quraisy dan Arab yang lain. Termasuk 200 ekor unta kepunyaai
Abdul Muthalib bin Hasyim, yang ketika itu menjadi orang yang dituakan
dan disegani dalam kalangan Quraisy. Melihat perbuatan dan perampasan
yang dilakukan oleh patroli Abrahah yang bernama Aswad bin Maqfud itu
naik darahlah orang Quraisy, orang Kinanah dan Kabilah Huzail yang
semuanya hidup dikeliling Makkah yang berpusat kepada Ka’bah, sehingga
mereka pun telah menyatakan bersiap hendak berperang melawan Abrahah.
Tetapi setelah mereka musyawaratkan dengan seksama, mereka pun
mendapat kesimpulan bahwa tidaklah seimbang kekuatan mereka hendak
melawan dengan besarnya angkatan perang musuh. Sebab itu perang
tidaklah dijadikan.
Lalu Abrahah mengirim lagi perutusannya di bawah pimpinan Hunathah
Al-Himyariy ke Makkah, hendak mencari hubungan dengan pemuka-pemuka
Makkah dan ketua-ketuanya. Lalu utusan itu menyampaikan pesan Abrahah:
“Kami datang ke mari bukanlah untuk memerangi kalian. Kedatangan kami
hanyalah semata-mata hendak menghancurkan rumah ini.
Kalau kalian tidak mencoba melawan kami, selamatlah nyawa dan darah
kalian.” Dan Abrahah berpesan pula: “Kalian memang penduduk Makkah
tidak hendak melawan kami, suruhlah salah seorang ketua Makkah datang
menghadapnya ke Mughammis!” Hunathah itu pun datanglah ke Makkah
menyampaikan titah raja yang tegas itu. Setelah orang yang ditemuinya
menyatakan bahwa pemimpin dan ketua mereka ialah Abdul Muthalib bin
Hasyim.
Lalu datanglah dia menuju Abdul Muthalib dan menyampaikan titah raja
yang tegas itu. Mendengar pesan raja itu berkatalah Abdul Muthalib:
“Demi Allah tidaklah kami bermaksud hendak berperang dengan dia.
Kekuatan kami tidak cukup untuk memeranginya. Rumah ini adalah Rumah
Allah, Bait Allah Al-Haram, dan Rumah Khalil Allah Ibrahim.
Kalau Allah hendak mempertahankan rumah-Nya dari diruntuhkan, itulah
urusan Allah sendiri. Kalau dibiarkannya rumah-Nya diruntuh orang,
apalah akan daya kami. Kami tak kuat mempertahankannya.”
Berkata Hunathah: “Kalau begitu tuan sendiri harus datang menghadap baginda. Saya diperintahkan mengiringkan Tuan.”
“Baiklah”, kata Abdul Muthalib. Maka beliau pun pergilah bersama
Hunathah menghadap Raja. Beliau diiringkan oleh beberapa orang
puteranya sehingga sampailah mereka ke tempat perhentian laskar itu.
Lalu dinyatakannya keadaan Dzu Nafar yang tertawan itu, sebab dia
adalah sahabat lamanya, sehingga dia pun diizinkan menemuinya dan
masuk ke dalam tempat tahanannya.
Dia bertanya kepada Dzu Nafar: “Hai Dzu Nafar! Adakah pendapat yang
dapat engkau berikan kepadaku tentang kemusykilan yang aku hadapi
ini?”
Dzu Nafar menjawab: “Tidak ada pendapat yang dapat diberikan oleh
seorang yang dalam tawanan raja, yang menunggu akan dibunuh saja,
entah pagi entah petang. Tak ada nasihat yang dapat saya berikan. Cuma
ada satu! Yaitu pawang gajah selalu menjaga gajah raja itu, Unais
namanya. Dia adalah sahabatku. Saya akan mengirim berita kepadanya
tentang halmu dan saya akan memesan bahwa engkau sahabatku supaya dia
pun mengerti bahwa engkau ini orang penting. Moga-moga dengan
perantaraannya engkau dapat menghadap raja. Supaya engkau dapat
menumpahkan perasaanmu di hadapannya, dan supaya Unais pun dapat
memujikan engkau di hadapan baginda. Moga-moga dia sanggup.”
“Baiklah”, kata Abdul Muthalib.
Lalu Dzu Nafar mengirim orang kepada Unais pengawal gajah raja. Kepada
Unais itu Dzu Nafar memesankan siapa Adbul Muthalib. Bahwa dia adalah
ketua orang Quraisy, yang empunya sumur Zamzam yang terkenal itu,
yang memberi makan orang yang terlantar di tanah rendah dan memberi
makan binatang buas di puncak-puncak bukit. Untanya 200 ekor dirampas
hamba-hamba raja, dia mohon izin menghadap baginda, dan engkau
usahakanlah supaya pertemuan itu berhasil.
“Saya sanggupi”, kata Unais. Maka Unais pun datanglah menghadap raja
mempersembahkan darihal Abdul Muthali itu: “Daulat Tuanku, beliau
adalah Ketua Quraisy.”
Dia telah berdiri di hadapan pintu Tuanku, ingin menghadap. Dialah
yang menguasai Zamzam di Makkah. Dialah yang memberi makanan manusia
di tanah rendah dan memberi makanan binatang buas di puncak
gunung-gunung. Beri izinlah dia masuk, Tuanku. Biarlah dia
menyampaikan apa yang terasa di hatinya.”
“Suruhlah dia masuk”, titah Raja.
Abdul Muthalib adalah seorang yang rupawan, berwajah menarik dan
berwibawa, besar dan jombang. Baru saja dia masuk, ada sesuatu yang
memaksa Abrahah berdiri menghormatinya dan menjemputnya ke pintuk
khemah. Abrahah merasa tidaklah layak orang ini akan duduk di bawah
dari kursinya.
Sebab itu baginda sendirilah yang turun dari kursi dan sama duduk di
atas hamparan itu berdekat dengan Abdul Muthalib. Kemudian itu
bertitahlah baginda kepada penterjemah: “Suruh katakanlah apa
hajatnya!”
Abdul Muthalib menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Maksud
kedatanganku ialah memohonkan kepada raja agar unta kepunyaanku, 200
ekor banyaknya, yang dirampas oleh hambasahaya baginda, dipulangkan
kepadaku.”
Raja menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Katakan kepadanya:
Mulai dia masuk aku terpesona melihat sikap dan rupanya, yang
menunjukkan dia seorang besar dalam kaumnya. Tetapi setelah kini dia
mengemukakan soal untanya 200 ekor yang dirampas oleh orang-orangku,
dan dia tidak membicarakan sama-sekali, tidak ada reaksinya
sama-sekali tentang rumah agamanya dan rumah agama nenek-moyangnya
yang aku datang sengaja hendak meruntuhkannya, menjadi sangat kecil
dia dalam pandanganku.” Abdul Muthalib menjawab:
“Saya datang ke mari mengurus unta itu, karena yang empunya unta itu
ialah aku sendiri. Adapun soal rumah itu, memang sengaja tidak saya
bicarakan. Sebab rumah itu ada pula yang empunya, yaitu Allah. Itu
adalah urusan Allah.” Dengan sombong Abrahah menjawab: “Allah itu
sendiri tidak akan dapat menghambat maksudku!”
Abdul Muthalib menjawab: “Itu terserah Tuan, aku datang ke mari hanya mengurus untaku.”
Unta yang 200 ekor itu pun disuruh dikembalikan oleh Abrahah. Abdul
Muthalib pun segeralah kembali ke Makkah, memberitahukan kepada penduduk
Makkah pertemuannya dengan Abrahah. Lalu dia memberi nasihat supaya
seluruh penduduk Makkah segera meninggalkan Makkah, mengelakkan diri ke
puncak-puncak bukit keliling Makkah atau ke lurah-lurah, agar jangan
sampai terinjak terlindis oleh tentara yang akan datang mengamuk.
Setelah itu, dengan diiringkan oleh beberapa pemuka Quraisy, Abdul
Muthalib pergi ke pintu Ka’bah dipegangnya teguh-teguh gelang pada
pintunya lalu mereka berdoa bersama-sama menyeru Allah, memohon
pertolongan, dan agar Allah memberikan pembalasannya kepada Abrahah dan
tentaranya. Sambil memegang gelang pintu Ka’bah itu dia bermohon:
Ya Tuhanku! Tidak ada yang aku harap selain Engkau! Ya Tuhanku!
Tahanlah mereka dengan benteng Engkau! Sesungguhnya siapa yang memusuhi
rumah ini adalah musuh Engkau. Mereka tidak akan dapat menaklukkan
kekuatan Engkau.
Setelah selesai bermunajat kepada Tuhan dengan memegang gelang pintu
Ka’bah itu, Abdul Muthalib bersama orang-orang yang mengiringkannya
pun mengundurkan diri, lalu pergi ke lereng-lereng bukit, dan di
sanalah mereka berkumpul menunggu apakah yang akan diperbuat Abrahah
terhadap negeri Makkah bilamana dia masuk kelak. Setelah pagi besoknya
bersiaplah Abrahah hendak memasuki Makkah dan dipersiapkanlah gajahnya.
Gajah itu diberinya nama Mahmud. Dan Abrahah pun telah bersiap-siap
hendak pergi meruntuhkan Ka’bah, dan kalau sudah selesai pekerjaannya
itu kelak dia bermaksud hendak segera pulang ke Yaman.
Setelah dihadapkannya gajahnya itu menuju Makkah, mendekatlah orang
tawanan yang dijadikan penunjuk jalan itu, dari Kabilah Khats’am yang
bernama Nufail bin Habib itu. Dia dekati gajah tersebut, lalu
dipegangnya telinga gajah itu dengan lemah-lembutnya dan dia berbisik:
“Kalau engkau hendak dihalau berjalan hendaklah engkau tengkurup
saja, hai Mahmud! Lebih cerdik bila engkau pulang saja ke tempat
engkau semula di negeri Yaman. Sebab engkau sekarang hendak dikerahkan
ke Baladillah Al-Haram (Tanah Allah yang suci lagi bertuah).”
Selesai bisikannya itu dilepaskannyalah telinga gajah itu. Dan sejak
mendengar bisikan itu gajah tersebut terus tengkurup, tidak mau
berdiri. Nufail bin Habib pun pergilah berjalan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu, menuju sebuah bukit.
Maka datanglah masa akan berangkat. Gajah disuruh berdiri tidak mau
berdiri. Dipukul kepalanya dengan tongkat penghalau gajah yang agak
runcing ujungnya, supaya dia segera berdiri. Namun dia tetap duduk tak
mau bergerak. Diambil pula tongkat lain, ditonjolkan ke dalam
mulutnya supaya dia berdiri, namun dia tidak juga mau berdiri. Lalu
ditarik kendalinya dihadapkan ke negeri Yaman; dia pun segera berdiri,
bahkan mulai berjalan kencang.
Lalu dihadapkan pula ke Syam. Dengan gembira dia pun berjalan cepat
menuju Syam. Lalu dihadapkan pula ke Timur, dia pun berjalan kencang.
Kemudian dihadapkan dia ke Makkah, dia pun duduk kembali, tidak mau
bergerak, Padahal Abrahah sudah siap, tentaranya pun sudah siap.
Dalam keadaan yang demikian itu, demikian uraian Ibnu Hisyam dalam
Siirahnya nampaklah di udara beribu-ribu ekor burung terbang menuju
mereka. Datangnya dari jurusan laut. Burung itu membawa tiga butir
batu; sebutir di mulutnya dan dua butir digenggamnya dengan kedua
belah kakinya. Dengan serentak burung-burung itu menjatuhkan batu yang
di bawanya itu ke atas diri tentara-tentara yang banyak itu. Mana
yang kena terpekik kesakitan karena saking panasnya. Berpekikan dan
berlarianlah mereka, tumpang siur tidak tentu arah, karena takut akan
ditimpa batu kecil-kecil itu yang sangat panas membakar itu. Lebih
banyak kena daripada yang tidak kena.
Semua menjadi kacau-balau dan ketakutan. Mana yang kena terkaparlah
jatuh, dan yang tidak sampai kena hendak segera lari kembali ke Yaman.
Mereka cari Nufail bin Habib untuk menunjuki jalan menuju Yaman, namun
dia tidak mau lagi, malahan dia bersyair: “Kemana akan lari, Allahlah
yang mengejar, Asyram (Abrahah) yang kalah, bukan dia yang menang.”
Kucar-kacirlah mereka pulang. Satu demi satu mana yang kena lontaran
batu itu jatuh. Dan yang agak tegap badannya masih melanjutkan pelarian
menuju negerinya, namun di tengah jalan mereka berjatuhan juga.
Adapun Abrahah sendiri yang tidak terlepas dari lontaran batu itu
masih sempat naik gajahnya menuju Yaman, namun di tengah jalan
penyakitnya bertambah membahayakan. Terkelupas kulitnya, gugur
dagingnya, sehingga sesampainya di negeri Yaman boleh dikatakan sudah
seperti anak ayam menciap-ciap. Lalu mati dalam kehancuran.
Maka terkenallah tahun itu dengan nama “Tahun Gajah”. Menurut
keterangan Nabi SAW sendiri dalam sebuah Hadis yang shahih, beliau
dilahirkan adalah dalam tahun gajah itu. Demikianlah disebutkan oleh
Al-Mawardi di dalam tafsirnya. Dan tersebut pula di dalam kitab
I’lamun Nubuwwah, Nabi SAW dilahirkan 12 Rabiul Awwal, 50 hari saja
sesudah kejadian bersejarah kehancuran tentara bergajah itu.
Setelah Nabi kita SAW berusia 40 tahun dan diangkat Allah menjadi
Rasul SAW masih didapati dua orang peminta-minta di Makkah, keduanya
buta matanya. Orang itu adalah sisa dari pengasuh-pengasuh gajah yang
menyerang Makkah itu.
“Bukankah telah Dia jadikan daya upaya mereka itu pada sia-sia?” (ayat
2). Usaha yang begitu sombong dan besar, jawaban Abrahah kepada Abdul
Muthalib, bahwa Allah sendiri tidak akan sanggup bertahan kalau dia
datang menyerang. Segala maksudnya hendak menghancurkan itu sia-sia
belaka, dan gagal belaka.
Tersebut dalam riwayat bahwa Abdul Muthalib yang tengah meninjau dari
atas bukit-bukit Makkah apa yang akan dilakukan oleh tentara bergajah
itu melihat burung berduyun-duyun menuju tentara yang hendak menyerbu
Makkah itu.
Kemudian hening tidak ada gerak apa-apa. Lalu diperintahnya anaknya
yang paling bungsu, Abdullah (ayah Nabi kita Muhammad SAW) pergi
melihat-lihat apa yang telah kejadian, ada apa dengan burung-burung
itu dan ke mana perginya.
Maka dilakukannyalah perintah ayahnya dan dia pergi melihat-lihat
dengan mengendarai kudanya. Tidak beberapa lamanya dia pun kembali
dengan memacu kencang kudanya dan menyingsingkan kainnya. Setelah
dekat, dengan tidak sabar orang-orang bertanya: “Ada apa, Abdullah?”
Abdullah menjawab: “Hancur-lebur semua!” Lalu diceriterakannya apa yang
dilihatnya, “Bangkai bergelimpangan dan ada yang masih menarik-narik
nafas akan mati dan sisanya telah lari menuju negerinya.”
Maka berangkatlah Abdul Muthalib dengan pemuka-pemuka Quraisy itu
menuju tempat tersebut, tidak berapa jauh dari dalam kota Makkah.
Mereka dapati apa yang telah diceriterakan Abdullah bin Abdul Muthalib
itu. Bahkan 200 ekor unta Abdul Muthalib dan harta-benda yang lain,
dan harta-benda yang ditinggalkan, kucar-kacir oleh tentara yang
hancur itu.
Baik kuda-kuda kendaraan, ataupun pakaian-pakaian perang yang
mahal-mahal, alat senjata peperangan, pedangnya, perisainya dan
tombaknya dan emas perak banyak sekali. Maka sepakatlah kepala-kepala
Quraisy itu memberikan kelebihan pembahagian yang banyak untuk Abdul
Muthalib, sebab dia dipandang sebagai pemimpin yang bijaksana. Dengan
keahliannya dapat menghadapi musuh yang begitu besar dan begitu
sombong. Sebagai kita katakan tadi, 50 hari sesudah kejadian itu, Nabi
Muhammad SAW pun lahirlah ke dunia.
Tetapi ayahnya dalam perjalanan ke Yatsrib, kampung dari keluarga
ayahnya. Di sana dia meninggal sebelum puteranya lahir. Berkata Ibnu
Ishaq: “Setelah penyerangan orang Habsyi terhadap Makkah itu digagalkan
dan dihancurkan oleh Allah sendiri, bertambah penghargaan dan
penghormatan bangsa Arab kepada Quraisy. Sehingga mereka katakan:
‘Orang Quraisy itu ialah Keluarga Allah. Allah berperang untuk
mereka.’”
“Dan Dia telah mengirimkan ke atas mereka burung berduyun-duyun.” (ayat
3). Burung-burung itu berduyun datang dari laut. Ahli-ahli tafsir
bicara macam-macam tentang keadaan burung itu. Namun apa jenis burung
tidak penting kita perkajikan. Sembarang burung pun dapat dipergunakan
Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya. Sedangkan tikus bisa merusakkan
sebuah negeri dengan menyuruh tikus itu memakan padi yang sedang mulai
masak di sawah. Sedangkan belalang berduyun-duyun beratus ribu dapat
membuat satu negeri jadi lapar, apatah lagi burung berduyun-duyun
(ababil).
“Yang melempari mereka dengan batu siksaan?” (ayat 4). Batu yang
mengandung azab, batu yang mengandung penyakit. Ada tafsir mengatakan
bahwa batu itu telah direndang terlebih dahulu dengan api neraka.
Syaikh Muhammad Abduh mencoba mentakwilkan bahwa batu itu membawa
bibit penyakit cacar. Menurut keterangan Ikrimah sejak waktu itulah
terdapat penyakit cacar di Tanah Arab. Ibnu Abbas mengatakan juga
bahwa sejak waktu itu adanya penyakit cacar di Tanah Arab.
Dapat saja kita menerima penafsiran ini jika kita ingat bahwa membawa
burung atau binatang dari satu daerah ke daerah yang lain, walaupun
satu ekor, hendaklah terlebih dahulu diperiksakan kepada doktor,
kalau-kalau burung itu membawa hama penyakit yang dapat menular.
Demikian juga dengan tumbuh-tumbuhan. Demikian seekor burung,
bagaimana kalau beribu burung?
“Lalu Dia jadikan mereka seperti daun kayu yang dimakan ulat.” (ayat
5). Laksana daun kayu dimakan ulat, memang adalah satu perumpamaan
yang tepat buat orang yang diserang penyakit cacar (ketumbuhan),
seluruh badan akan ditumbuhi oleh bisul yang panas, malahan sampai ada
yang tumbuh dalam mata. Telapak kaki yang begitu tebal pun tidak
terlepas, dan muka pun akan coreng-moreng dari bekasnya. Sebagai yang
telah penulis alami (1923).
Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya: “Hikayat tentara bergajah ini
adalah satu mu’jizat lagi dari Nabi kita, walaupun beliau waktu itu
belum lahir.” Dan tidak ada orang yang akan dapat melupakan bahwa
nenek-kandungnya mengambil peranan penting pada kejadian ini.
Dari kisah diatas tergambar jelaslah bahwa Abdul Muthalib menganut
ajaran yang hanif sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Ibrahim.
Begitu pula dengan Abdullah yang merupakan putra kesayangan dari Abdul
Muthalib sudah barang tentu mengikut ajaran yang dianut oleh
Ayahandanya yang merupakan pembesar Quraisy yang termasyur keseluruh
penjuru. Apatah lagi Siti Aminah yang merupakan wanita shalihah dan
istri dari Abdullah bin Abdul Muthalib sudah barang tentu mengikut
ajaran yang dianut suaminya.
satria bergitar- LETNAN DUA
-
Age : 38
Posts : 1396
Location : Karawang
Join date : 08.12.11
Reputation : 59
Similar topics
» Menjawab tuduhan pembunuhan atas perintah Nabi
» umat penyembah berhala
» Menjawab Tuduhan Allah Menciptakan Bumi Datar : Quran & SAINS
» menjawab tuduhan/fitnah seputar pembantaian Umm Qarfah
» menjawab tuduhan miring terhadap syariat islam
» umat penyembah berhala
» Menjawab Tuduhan Allah Menciptakan Bumi Datar : Quran & SAINS
» menjawab tuduhan/fitnah seputar pembantaian Umm Qarfah
» menjawab tuduhan miring terhadap syariat islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik