dari sunnah ke hadits
Halaman 1 dari 1 • Share
dari sunnah ke hadits
Pada waktu Nabi saw sakit keras, beliau bersabda, "Bawa
kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar
berkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab
Allah itu cukup buat kita." Orang-orang pun bertikai dan
ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian dari
sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."
Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu
Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagai
tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang
menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya," kata Ibnu
Abbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai
tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan
Nabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada
mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh
perintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat
lain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidak
perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa
al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk
Rasulullah saw di luar itu?
Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa
itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji
kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata
al-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan
perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat
perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang
terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu
yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi
ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini
sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu.
Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."
Kata al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu,
karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yang
menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak
ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." Kata
Ibn al-Jawzi. "Umar kuatir sekiranya Nabi saw. menuliskan
dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari
jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."
Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...,"
telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada di
luar al-Qur'an. Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau
bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya
ilahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiran
manusia; dan karena itu tidak mengikat?
Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga.
Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan
satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak
setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian
meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga
kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih
keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits
sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta
kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda
ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan
apa yang diharamkannya."
Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengan
tindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari
Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa
hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia
lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati,
meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu."
Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata,
"Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar.
Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah
hadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara
api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat
Ahli Kitab."
Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar
sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin
Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika
beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.
Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar
merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui
cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,
mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu
ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka
pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.
DARI SUNNAH KE HADITS
Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek
kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal
dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam
Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum
Islam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yang
berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika
gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang
ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi."
Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan
menegaskan:
Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisah
perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan
kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya
yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang
memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam
hingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber
dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan
bersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnah
sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi juga
penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa
sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan
ijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6)
Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran,
hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi
rusak.
TELADAN NABI SAW
|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)
Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai
teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran
individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian
sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi
sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free
market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah,
Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama
di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah.
Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim,
berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr
al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada
opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang
ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi
sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah
ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan
menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar
berkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab
Allah itu cukup buat kita." Orang-orang pun bertikai dan
ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian dari
sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."
Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu
Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagai
tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang
menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya," kata Ibnu
Abbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai
tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan
Nabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada
mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh
perintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat
lain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidak
perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa
al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk
Rasulullah saw di luar itu?
Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa
itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji
kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata
al-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan
perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat
perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang
terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu
yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi
ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini
sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu.
Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."
Kata al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu,
karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yang
menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak
ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." Kata
Ibn al-Jawzi. "Umar kuatir sekiranya Nabi saw. menuliskan
dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari
jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."
Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...,"
telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada di
luar al-Qur'an. Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau
bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya
ilahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiran
manusia; dan karena itu tidak mengikat?
Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga.
Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan
satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak
setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian
meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga
kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih
keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits
sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta
kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda
ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan
apa yang diharamkannya."
Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengan
tindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari
Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa
hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia
lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati,
meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu."
Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata,
"Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar.
Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah
hadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara
api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat
Ahli Kitab."
Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar
sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin
Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika
beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.
Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar
merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui
cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,
mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu
ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka
pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.
DARI SUNNAH KE HADITS
Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek
kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal
dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam
Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum
Islam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yang
berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika
gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang
ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi."
Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan
menegaskan:
Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisah
perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan
kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya
yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang
memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam
hingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber
dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan
bersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnah
sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi juga
penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa
sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan
ijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6)
Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran,
hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi
rusak.
TELADAN NABI SAW
|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)
Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai
teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran
individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian
sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi
sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free
market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah,
Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama
di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah.
Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim,
berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr
al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada
opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang
ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi
sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah
ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan
menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» pergeseran definisi sunnah ke hadits
» Beda Hadits dengan Sunnah
» Hadits 100.000 Adam dari Ibnu Arabi
» Maksud dari hadits أن الله خلق آدم على صورته
» SALIB..mengkaji dari segi hadits dan term basa arab
» Beda Hadits dengan Sunnah
» Hadits 100.000 Adam dari Ibnu Arabi
» Maksud dari hadits أن الله خلق آدم على صورته
» SALIB..mengkaji dari segi hadits dan term basa arab
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik