FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Empty paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah

Post by keroncong Tue May 01, 2012 11:26 am

Pada dasarnya spiritual manusia menghendaki petunjuk yang
dapat memenuhi tuntutan batiniahnya. Tuntutan tersebut tidak
lain adalah berupa ide-ide eskatologis yang transendental,
yang tidak mungkin dipecahkan secara rasional. Tentunya
pemecahan kebutuhan tersebut haruslah melalui berita-berita
langit yang dikenal sebagai wahyu. Dalam kaitan ini, G. G.
Anawati, seorang spesialis terkenal dalam bidang pemikiran
Islam, dari Kairo menjelaskan:

Pada hakikatnya agama itu terdiri dari wahyu dan tafsirnya.
Wahyu adalah pasti dan tetap, karena ia merupakan pernyataan
kehendak Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak. Sedangkan
tafsir yang merupakan tanggapan nurani manusia terhadap
wahyu. Berabad-abad wahyu bertahan tanpa mengalami perubahan
sedikit pun, sedangkan tafsir dalam perjalanan masa sering
mendapat tekanan baik dari luar maupun dari dalam, dan pada
setiap tahapan sejarah memberikan cirinya pada masyarakat.1

Dalam al-Quran, memang banyak digunakan kata "wahyu" dalam
bentuk kata benda atau dalam bentuk kata kerja untuk
berbagai pernyataan. Apabila term wahyu ini dikembalikan
kepada pengertian teologi Islam, tentunya dapat diambil dua
pengertian dasar yaitu: Wahyu Syari'ah dan wahyu bukan
Syari'ah atau identik dengan istilah ilham. Pengertian wahyu
yang kedua inilah sering oleh sementara kelompok dalam Islam
menganggapnya sebagai wahyu yang masih tetap akan turun,
walau sepeninggal Nabi Muhammad. Anggapan tersebut tidak
hanya sampai di situ saja, akan tetapi, mereka memfungsikan
ilham tersebut dan meyakininya sebagai wahyu Syari'ah.

A. AL-QURAN DAN PAHAM KEWAHYUAN UMMAT ISLAM

Mayoritas ummat Islam sepakat bahwa wahyu Syari'ah yang
diturunkan oleh Tuhan hanya untuk para rasul, agar diajarkan
kepada ummat mereka masing-masing. Apabila kerasulan itu
sudah diakhiri dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW., maka
tentunya setiap Muslim harus yakin bahwa wahyu Syari'ah itu
tidak akan turun lagi. Dan yang bisa berkembang bukanlah
wahyu itu, tetapi interpretasi atau tafsirnya, wahyu yang
masih bersifat global itu perlu ditafsirkan dan
diaktualisasikan penafsirannya sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan zaman.

Mengenai al-Quran, ummat Islam pada prinsipnya menerima
Kitab Suci tersebut untuk dijadikan pedoman dan rujukan
dalam pelbagai persoalan keagamaan dan ilmu pengetahuan dan
disamping itu, ia diyakini sebagai yang memiliki nilai
kebenaran normatif mutlak, sedangkan hadis Nabi, menduduki
ranking kedua sesudah al-Quran. Golongan Sunni yang
merupakan mayoritas ummat Islam, telah menerima konsensus
para sahabat di zaman Khalifah Usman, yang telah berhasil
mendewakan kembali al-Quran dalam bentuk yang seragam yang
dikenal dengan Mushaf al-Quran. Mushaf ini, dijadikan
standar bagi penulisan al-Quran selanjutnya, sesudah ummat
Islam dihadapkan pada tantangan besar yang akan membawa
mereka pada perpecahan karena persengketaan mengenai Kitab
Sucinya, sebagai yang dialami oleh ummat-ummat sebelum
Islam.

Barangkali perlu dipahami, bahwa sebelum pekerjaan besar
tersebut dimulai oleh Khalifah 'Usman, pada umumnya para
sahabat Nabi telah memiliki mushaf yang mereka tulis
sendiri. Kadang-kadang pada mushaf mereka itu banyak
dijumpai kalimat dalam ayat-ayat tertentu terdapat perbedaan
antara satu dengan lainnya. Seperti mushaf 'Ali ibn Abi
Talib, mushaf Ibn Mas'ud, mushaf Ibn 'Abbas, dan lain
sebagainya. Dr. Subhi Salih menjelaskan dalam kitabnya,
Mabahis fi 'Ulumil-Quran, bahwa Ibn Mas'ud adalah salah
seorang sahabat yang paling segan membakar mushaf
pribadinya, sesudah Mushaf 'Usmani diterima sebagai mushaf
standar oleh ummat Islam saat itu, sampai Allah mengilhamkan
kepadanya untuk kembali kepada pendapat 'Usman yang
hakikatnya merupakan pendapat ummat, di mana Mushaf standar
tersebut, ditulis oleh sebuah team ahli yang ditunjuk oleh
Khalifah dapat memperkokoh persatuan dan melenyapkan
sebab-sebab perselisihan.2 Untuk itu, terlebih dahulu akan
dibahas mengenai:

1. AL-QURAN SEBAGAI MUJIZAT NABI MUHAMMAD

Al-Quran sebagai firman atau wahyu Allah, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Kata "wahyu" adalah kata benda, dan bentuk kata kerjanya
adalah auha-yuhi, arti kata wahyu adalah pemberitahuan
secara tersembunyi dan cepat.3 Selanjutnya dijelaskan bahwa
pengertian wahyu sebagai ilham, banyak dipakai dalam
al-Qur-an dengan berbagai ungkapan seperti contoh-contoh di
bawah ini:

a. Kata "wahyu" dapat bermakna ilham secara fitri atau
kodrati, sebagaimana Allah mengilhamkan kepada Nabi Musa
a.s., sebagaimana juga Allah mengilhamkan kepada kaum
Hawari, lihat S. al-Qasas: 7; dan S. Al-Ma'idah: 111.

b. Kata "wahyu" bermakna ilham yang bersifat instinktif
untuk binatang, sebagaimana Allah mengilhamkan kepada
sejenis lebah, lihat S. an-Nahl: 68.

c. Juga bisa bermakna perintah Allah kepada Malaikat Jibril,
untuk mengerjakan perintah itu dengan cepat seperti dalam
firman-Nya S. al-Anfal: 12, dan S. an-Najm: 10.

d. Arti wahyu bisa berupa isyarat cepat atau dengan jalan
memberi tanda disertai dengan isyarat seperti apa yang
dilakukan oleh Nabi Zakariyya kepada kaumnya, lihat S.
Maryam: 11.

e. Bisa berarti pula ilham syaitan yang berupa perintah
melakukan tipu daya, atau untuk melakukan sesuatu perbuatan
yang bertentangan dengan kehendak Allah atau agama, seperti
dalam firman Allah S. al-An'am: 112, 121.4

Demikian arti kata wahyu yang dipergunakan dalam berbagai
risalah yang berupa syari'at, seperti yang biasa kita pahami
selama ini, juga memiliki arti yang lain sebagaimana yang
dijelaskan diatas. Dalam hubungan ini, Muhammad 'Abduh
berpendapat bahwa pengertian wahyu dalam istilah mesti
berbeda dengan ilham. Wahyu, demikian Muhammad 'Abduh,
adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dari hadapan
Allah, baik dengan perantara maupun tidak, baik dengan suara
atau tidak, tetapi ia yakin bahwa ia (wahyu) itu datang dari
Allah. Berbeda dengan ilham, yaitu perasaan yang diyakini
oleh jiwa yang menggerakkannya kepada sesuatu yang dicari,
tanpa disadari dari mana datangnya.5 Tentunya Muhammad
'Abduh, sepaham dengan golongan Sunni, bahwa wahyu sebagai
yang dimaksudkan diatas, tidak akan turun lagi sesudah Nabi
Muhammad wafat.

Penjelasan diatas, secara tegas menunjukkan kepada kita,
bahwa pengertian wahyu haruslah dibedakan dengan pengertian
ilham, demikian umumnya paham kewahyuan kaum Sunni. Bagi
mereka, wahyu itu, hanya untuk para nabi dan rasul Allah,
dan tidak mungkin lagi turun sesudah Rasulullah Muhammad
SAW. Dan untuk manusia biasa, hanyalah diberi ilham atau
kasysyaf dalam teori kaum Sufi, dimana seseorang, apabila
dia telah mencapai kebersihan jiwa, maka dia dapat melihat
apa yang tak terlihat oleh orang biasa. Oleh sebab itu,
kiranya dapat disimpulkan bahwa ilham atau kasysyaf, tidak
sampai ke derajat wahyu atau ke tingkat kenabian. Dengan
demikian, untuk memahami al-Quran guna memimpin ummat, tidak
diperlukan lagi wahyu sebagaimana paham Syi'ah dan
Ahmadiyah. Sebab Allah telah menegaskan dalam firman-Nya, S.
al-Qiyamah: 19. "Kemudian menjadi kewajiban Kami
(menerangkan) penjelasannya." Maksudnya, jika al-Quran itu
dibaca dengan sungguh-sungguh dan direnungkan maknanya, maka
Allah akan mengilhamkan maksud ayat yang dibacanya itu,
sekiranya Allah menghendakinya.

Adapun kemukjizatan al-Quran, para ahli teologi Islam
sepakat bahwa al-Quran adalah merupakan mukjizat yang paling
besar dan abadi bagi Nabi Muhammad SAW. Sebab terbukti
sampai hari ini belum ada seorang pun yang mampu menjawab
tantangan al-Quran baik secara keseluruhan maupun hanya
sepuluh surah, bahkan diturunkan menjadi satu surah saja.
Dengan demikian, kenyataan seperti itu membuktikan akan
kebenaran risalah dan pengakuan Nabi Muhammad sebagai utusan
Allah.

Memang al-Quran disamping susunan ayat-ayatnya yang puitis,
gaya bahasa dan paramasastranya yang tinggi, juga ungkapan
kalimatnya yang padat dan berisi yang mengungkapkan berbagai
informasi bagi ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku atas
semua ciptaan-Nya. Kenyataan yang demikian ini, tidak
mungkin bisa dicipta oleh manusia yang ummi (tidak mengenal
tulis-baca) sebagai yang dialami oleh Rasulullah.

Dalam kaitan kemukjizatan ini, an-Nazzam, seorang tokoh
Muktazilah, sebagaimana pula halnya al-Murtada dari golongan
Syi'ah sependapat, bahwa kemukjizatan al-Quran itu adalah
bis-Sarfah. Arti sarfah disini menurut an-Nazzam yaitu
Allahtelah memalingkan orang-orang Arab untuk menentang
al-Quran sekalipun mereka mampu melakukannya. Dan sarfah ini
terjadi secara luar biasa. Akan tetapi, sarfah dalam
pengertian al-Murtada adalah Allah telah mencabut
pengetahuan mereka untuk menentang al-Quran dengan
mendatangkan al-Quran tandingan.6 Tampaknya pendapat diatas,
oleh sementara pakar Muslim ditolak, sedangkan argumen
sarfah tersebut tertolak pula oleh pemyataan al-Quran S.
al-Isra': 88, yaitu bahwa yang ditentang itu adalah untuk
mencipta karya semisal al-Quran, tidak hanya pada bangsa
manusia saja, tetapi juga dari bangsa jin, sekalipun mereka
harus bekerja sama dalam menjawab tantangan itu.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Empty Re: paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah

Post by keroncong Tue May 01, 2012 11:26 am

2. PAHAM KEWAHYUAN UMMAT ISLAM

Pada dasarnya paham kewahyuan ummat Islam adalah senada,
baik dari golongan Khawarij, Murji'ah, Syi'ah Zaidiyyah,
Muktazilah, Ahlu Sunnah, dan golongan al-Maturidiyyah,
selain Syi'ah Imamiyah dan sekte-sekte Syi'ah lainnya yang
ekstrem, disamping aliran Ahmadiyah. Tentunya kita ingin
bertanya mengapa di kalangan ummat Islam sampai terjadi
demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dicari
faktor-faktor penyebabnya, motivasi-motivasi yang
tersembunyi, dan situasi intern ummat Islam sendiri pada
saat itu.

Barangkali perlu dijelaskan disini, bahwa sebelum adanya
usaha penulisan al-Quran kembali dalam bentuk seragam
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah 'Usman ibn
'Aff'an, sehingga muncullah Mushaf al-Quran yang diakui dan
diterima oleh ummat Islam dan dijadikan sebagai mushaf
standar untuk seluruh ummat Islam, memang harus diakui
adanya beberapa mushaf yang ditulis oleh beberapa orang
sahabat Nabi, yang berbeda satu dengan yang lain. Seperti
mushaf 'Umar ibn Khattab, mushaf 'Ali ibn Abi Talib, mushaf
'A'isyah, Hafsah, mushaf 'Abdullah ibn 'Abbas, dan Ibn
Mas'ud, dan lain sebagainya Sebagai ilustrasi adanya
perbedaan-perbedaan dalam mushaf-mushaf tersebut, dengan
mushaf 'Usmani, adalah sebagai berikut. Coba bandingkan
antara mushaf yang kita miliki sekarang dengan mushaf-mushaf
lainnya seperti pada mushaf 'Umar terdapat kalimat:

[Tulisan Arab]

Pada mushaf 'A'isyah terdapat kalimat:

[Tulisan Arab]

Dan pada mushaf 'Abdullah ibn Masud, seperti:

[Tulisan Arab]

Dalam perbedaan-perbedaan tersebut diatas, tampaknya mushaf
Ibn Mas'ud, lebih banyak daripada mushaf-mushaf sahabat yang
lain, apabila dibandingkan dengan teks al-Quran yang kita
miliki sekarang yaitu mushaf-mushaf 'Usmani, demikian
Sya'ban.7 Oleh sebab itu, di kala mushaf-mushaf sahabat itu
dikumpulkan untuk dimusnahkan oleh Khalifah 'Usman, agar
nantinya tidak menimbulkan ketegangan dan permusuhan intern
ummat Islam, sesudah Mushaf 'Usmani yang disepakati sebagai
mushaf standar untuk seluruh ummat Islam, maka yang paling
keras reaksinya terhadap rencana Khalifah tersebut adalah
Ibn Mas'ud, dan ia enggan membakar mushaf pribadinya.
Seandainya 'Abdullah ibn Mas'ud tersebut, tetap
mempertahankan pendiriannya, tentu ia merupakan kendala
utama bagi terwujudnya kesatuan ummat Islam.

B. PAHAM KEWAHYUAN KAUM SYI'AH

Kaum Syi'ah yang dimaksud disini adalah lebih dikhususkan
kepada golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Mengingat aliran
ini, sangat besar pengaruhnya dan tampak mau berkembang di
Indonesia, Syi'ah Isna 'Asyariyyah ini sekarang berpusat di
Iran, dengan keberhasilan mereka mendirikan negara Republik
Islam Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini, sesudah
ia dapat merebut kekuasaan Sah Iran, Riza Pahlevi pada 11
Februari 1979.

Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa saat terbentuknya
paham Syi'ah, tampak lebih banyak ditentukan oleh masalah
politik. Kekalahan yang bertubi-tubi, banyak imam-imam
mereka yang menjadi korban kekerasan politik dinasti
Umayyah, dan gerakan-gerakan perlawanan mereka dapat
ditumpas. Dalam kondisi yang demikian itulah golongan ini
menjadi antipati terhadap Bani Umayyah yang pada hakikatnya
mereka dipandang sebagai golongan Sunni. Di sisi lain, juga
berakibat timbulnya sikap yang eksklusivistik pada aliran
Syi'ah ini, dan sikap seperti ini, tampak sangat menonjol
dalam doktrin-doktrinnya yang kontroversial.

1. HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN KEIMAMAN

Paham kewahyuan Syi'ah, rupanya tidak bisa terlepas dari
masalah keimaman, Keimaman bagi mereka merupakan sesuatu
yang paling fundamental dalam ajaran Syi'ah, karena itu,
status keimaman bagi kaum Syi'ah tidak jauh berbeda dengan
status kenabian. Setiap imam Syi'ah, dalam hal ini adalah
Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dipandang ma'sum yakni terjaga atau
suci dari dosa. Para imam itu, bagi kaum Syi'ah selalu
diyakini sebagai tokoh yang senantiasa mendapat bimbingan
wahyu dari Tuhan, sebagaimana halnya dengan Syi'ah yang
gullah atau ekstrem, seperti Syi'ah Mufaddiliyyah, Syi'ah
al-Qariyyah yang beranggapan bahwa wahyu dan nabi itu tidak
pernah terhenti sampai hari kiamat. Menurut aliran
al-Mufaddiliyyah, apabila sifat ketuhanan telah menyatu
dalam diri seseorang, maka dia adalah nabi, namun jika ia
menyeru kepada manusia untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya,
maka dia adalah rasul. Akan tetapi, bagi golongan
al-Qariyyah beranggapan, bahwa orang yang belum mencapai
derajat insan Kamil (manusia sempurna), kadang-kadang ia
dapat juga menerima wahyu, yaitu wahyu ta'lim (wahyu
pengajaran).8 Konsep wahyu ta'lim ini senada dengan konsep
kewahyuan golongan Ahmadiyah yang dikenal dengan wakyu
muhaddas, wahyu walayah atau wahyu tajdid yaitu wahyu yang
diperoleh secara berdialog dengan Tuhan, wahyu kewalian atau
wahyu pembaharuan.

2. HUBUNGANNYA DENGAN SIKAP SYI'AH YANG EKSKLUSIVISTIK

Sikap seperti ini boleh jadi karena kaum Syi'ah selalu
mengkultuskan para imam mereka. Sikap merasa benar sendiri
tersebut rupanya didorong keinginan hak-hak legitimasi
kekhilafahan. Karena itulah kaum Syi'ah tidak segan-segan
menuduh kaum Sunni, suka memanipulasikan hadis-hadis dan
ayat-ayat al-Quran yang menyangkut kepentingan Ahlul-Bait
Nabi, maksudnya adalah 'Ali ibn Abi Talib. Sangat boleh jadi
sikap yang eksklusivistik tersebut bermula dari rasa
fanatisme kelompok. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima
kebenaran dari pihak lain, dan tentunya mereka akan
mempertahankan paham mereka sekalipun keliru atau menyimpang
dari prinsip-prinsip keislaman. Selain itu, mereka juga
memakai dalil-dalil atau bukti-bukti baik rasional maupun
tekstual yang mungkin sulit diterima oleh pihak lain.

Dalam hubungan ini, sikap antipati kaum Syi'ah terhadap
golongan Bani Umayyah yang semula berpangkal pada masalah
khilafah, namun kemudian berkembang pada masalah-masalah
lain diluar masalah politik. Sebagai akibat praktis dari
sikap yang bermusuhan tadi, kaum Syi'ah yang datang
kemudian, tidak mau lagi mengakui kekhilafahan Abu Bakr,
'Umar, dan 'Usman. Ketiga Khalifah tersebut dalam pandangan
kaum Syi'ah dianggap sebagai penyerobot-penyerobot hak-hak
Ahlul-Bait, yaitu hak 'Ali untuk menjadi Khalifah pertama.
Oleh sebab itu, usaha penulisan kembali al-Quran dimasa Abu
Bakr kemudian disempurnakan penulisannya kembali dalam
bentuknya yang seragam oleh Khalifah 'Usman, dan hasilnya
telah diterima dan diakui oleh suluruh ummat Islam, demikian
pula telah diakui juga oleh 'Ali ibn Abi Talib, namun bagi
pengikut Syi'ah tetap tidak mau menerima dan mengakui
sebagai mushaf satu-satunya yang harus diyakini
keotentikannya. Penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf
'Usmani ini rupanya merupakan bukti nyata dari rencana
global Ibn Saba' yang berpura-pura memihak 'Ali ibn Abi
Talib, untuk meruntuhkan kejayaan Islam dari dalam dengan
memecah-belah ummat Islam dan dengan meracuni akidah mereka.

Penolakan kaum Syi'ah diatas, berbeda dengan sikap 'Ali
sendiri yang mengakui dan memuji akan kebenaran dan
kemuliaan usaha 'Usman dalam mengantisipasi perpecahan
diantara ummat Islam dengan mengatakan: "Seandainya aku yang
menjadi khalifah, tentu akan aku lakukan sebagaimana yang
dilakukan Usman.9 Yaitu mengadakan penulisan kembali
al-Quran dalam bentuk yang seragam sebagai yang telah
diupayakan oleh Khalifah Ketiga. Dengan demikian, penolakan
kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani tampak lebih
diorientasikan pada kepentingan politik mereka terhadap
golongan Sunni. Bahkan mereka, demikian ad-Dihlawi,
melemparkan tuduhan-tuduhan kepada tokoh tokoh dan para
pemimpin Sunni seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sebagai
telah memanipulasi surah-surah dan ayat-ayat al-Quran,
terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan
Ahlul-Bait seperti Surah al-Walayah dan sebagainya.10 Untuk
itu, perlu disini disajikan sebuah contoh dari Surah Walayah
yang diyakini kaum Syi'ah, bahwa surah itu sengaja dibuang
oleh kaum Sunni, karena mereka, demikian tuduhan Syi'ah,
menganggap surah tersebut memuat keutamaan 'Ali ibn Abi
Talib. Dalam Kitab Quran versi Syi'ah Persia, Surah Walayah
ini dicantumkan, dan dikutip oleh ad-Dihlawi dalam sebuah
bukunya yang berjudul: Mukhtasar at-Tuhfah al-Isna
'Asyariyyah halaman 33 adalah sebagai berikut:

[Tulisan Arab]

Dari kenyataan-kenyataan diatas, dapat diduga bahwa
penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani ini
dikarenakan para penulisnya bukan dari "pihak 'Ali ibn Abi
Talib." Jika kaum Syi'ah menerima mushaf tersebut, berarti
mereka harus mengakui eksistensi kekhilafahan sebelum 'Ali,
dan yang demikian itu, bagi Syi'ah berarti kekalahannya dan
kemenangan di pihak kaum Sunni. Dan sebagai konsekuensi
penolakan tersebut, maka sebagai alternatif terakhir ialah
kaum Syi'ah harus berpegang pada mushaf 'Ali ibn Abi Talib,
atau yang dikenal dengan "mushaf Fatimah." Kemudian, apakah
mereka sudah merasa puas dengan penolakan itu? Tidak, mereka
juga membuat kedustaan lain selain pada al-Quran.
Al-Kulaini, demikian nama seorang tokoh Syi'ah yang mereka
sejajarkan dengan al-Bukhari, dalam meriwayatkan hadis-hadis
dari imam-imam Syi'ah sebenarnya hanya rekayasa al-Kulaini
sendiri dengan mencatut beberapa nama dari keturunan 'Ali
ibn Abi Talib, dalam meriwayatkan "hadis-hadis" versi
Syi'ah, dan ia mengatakan bahwa dirinya telah meriwayatkan
(hadis} dari Hisyam ibn Salim dan 'Abdullah: "Sesungguhnya
al-Quran yang dibawa oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.,
adalah 17.000 ayat. Demikian pula hadis yang diriwayatkannya
dari Hakam ibn 'Utaibah, ia berkata: 'Ali Zainal Abidin ibn
Husain telah membaca sebuah ayat al-Quran yang berbunyi
demikian:

[Tulisan Arab]

"Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus seorang rasul dan nabi
tidak pula mengutus seorang muhaddas sebelum kamu Muhammad
..."11

Selanjutnya ia berkata: "Ali ibn Abi Talib adalah seorang
muhaddas." Disini 'Ali, oleh kaum Syi'ah dianggap sebagai
seorang yang dapat berdialog langsung dengan Tuhan,
karenanya ia mendapat wahyu muhaddas, sebagaimana keyakinan
orang Ahmadiyah terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Jelaslah disini
bahwa penggunaan istilah wahyu muhaddas oleh Ahmadiyah,
rupanya telah lebih dahulu digunakan oleh golongan Syi'ah.
Dengan demikian jelaslah bagi kita, betapa besar pengaruh
ajaran Syi'ah ke dalam aliran Ahmadiyah dan pengaruh
tersebut tampak lebih dominan terutama dalam masalah
kewahyuan dan kenabian. Pengaruh tersebut, sangat boleh jadi
lewat ajaran kaum Sufi Syi'ah di daerah dimana Mirza Ghulam
Ahmad tinggal atau dibesarkan.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Empty Re: paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah

Post by keroncong Tue May 01, 2012 11:27 am

Pemusnahan mushaf-mushaf pribadi di kalangan sahabat Nabi,
dan hanya Mushaf 'Usmani saja yang diakui sebagai mushaf
standar rupanya mendorong kaum Syi'ah untuk mempertahankan
mushaf 'Ali, kemudian mushaf 'Ali tersebut, mereka tambah
ayat-ayatnya menjadi 17.000 ayat. Sesudah itu mereka
melemparkan tuduhan terhadap lawan-lawan politiknya Seorang
pengarang kitab Faslul-Kitab fi Isbati Kitabi Rabbil-Arbab,
yang bernama Husain ibn Muhammad Taqi an-Nuri at-Tabarisi,
menuduh para pembesar sahabat seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan
'Usman, telah mengubah al-Quran dengan menghilangkan
sebagian dari surah-surah dan ayat-ayatnya yang berkenaan
dengan keutamaan Ahlul Bait, juga mengenai perintah untuk
mengikuti Ahlul-Bait, serta larangan memusuhinya. Sebagai
yang dicontohkan dalam Surah al-Insyirah, dimana salah satu
ayatnya menurut mereka dibuang oleh kaum Sunni, yaitu ayat:
[kata-kata Arab].

Disamping itu mereka juga berkeyakinan bahwa dalam Mushaf
'Usmani ada surah yang panjang yang dibuang, yang mereka
namakan sebagai Surah al-Walayah.12

Paham kewahyuan Syi'ah tersebut menunjukkan kepada kita
betapa menyimpangnya pemahaman mereka tentang al-Quran,
apabila dibandingkan dengan pemahaman kaum Sunni. Karena
sikap mereka yang eksklusif inilah yang mendorong mereka
menghalalkan cara-cara yang telah diharamkan oleh Islam,
yaitu dengan menambah-nambah ayat atau surah dalam al-Quran,
sehingga mereka berpendirian bahwa al-Quran yang sekarang
berada di tangan ummat Islam adalah palsu, demikian kaum
Syi'ah. Adapun al-Quran yang benar adalah al-Quran yang
diambil melalui imam-imam mereka. Selanjutnya ad-Dihlawi
menambahkan, golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah melarang pada
para pengikutnya, berdalil dengan menggunakan Mushaf 'Usmani
sebab menurut pendirian mereka bahwa mushaf tersebut adalah:

1. Kalimat-kalimatnya yang telah diubah atau dihilangkan
sebagian surah-surahnya, demikian pula tentang tertib urut
sebagian surah-surahnya ("tidak asli lagi").

2. Penulisan Mushaf 'Usmani mereka ibaratkan seperti penulisan
Kitab Taurat dan Injil. Karena sebagian penulisnya adalah
kaum munafiq dan penipu agama.

3. Bahwa Kitab Taurat dan Injil telah di-nasakh (digantikan)
oleh al-Quran. Sedangkan al-Quran yang beredar sekarang
banyak sekali yang telah dirusak. Dan tidak seorang pun yang
mengerti (keaslian) Kitab al-Quran ini kecuali tiga orang
imam Syi'ah. Siapa tiga orang yang dimaksud itu, tampaknya
sulit diketahui, sebab sumber itu tidak menyebutkan atau
mengisyaratkannya.13

Demikian pendirian kaum Syi'ah dalam mempertahankan paham
kewahyuan mereka dan tampak bertolak belakang dengan paham
kaum Sunni.

C. PAHAM KEWAHYUAN AHMADIYAH

Aliran Ahmadiyah yang tampak berkembang dengan subur di
Indonesia, pada dasarnya mempunyai beberapa kesamaan dengan
paham kewahyuan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, terutama paham
kewahyuan dari Ahmadiyah Qadiani. Kaum Qadiani lebih ekstrem
daripada Ahmadiyah Lahore dalam mempertahankan "ajaran"
Mirza Ghulam Ahmad, sedangkan Ahmadiyah Lahore tampak lebih
moderat. Kota Qadian adalah tempat dibesarkannya Mirza
Ghulam Ahmad, kota tersebut merupakan bagian dari wilayah
Punjab - India dan di kawasan India inilah tempat
berlangsungnya pertemuan agama-agama besar - Hindu, Budha,
Islam, dan Kristen - yang membawa budaya serta tradisi yang
beraneka ragam. Selain itu, ia juga berdampingan dengan
Persia yang menjadi pusat kegiatan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.
Dengan demikian, perkembangan Islam di kawasan ini sudah
barang tentu mendapatkan corak tertentu yang penuh inovasi
(kebid'ahan) dan pengaruh Syi'ah tentunya cukup dominan
lewat para propagandisnya yang berbaju mistik atau tarekat.
Sebab dengan mistik dan tarekat inilah ajaran-ajaran agama
yang sudah berbau Syi'ah, lebih mudah diserap oleh
masyarakat Muslim India.

Apabila kondisi kehidupan keagamaan masyarakat Islam di
India saat itu dikaitkan dengan kehidupan Mirza Ghulam
Ahmad, yang tampaknya tidak banyak mengenyam pendidikan di
kala mudanya, maka sudah tidak pelak lagi, bahwa Mirza dalam
menerima ajaran Islam kurang bahkan tidak selektif -mana
Islam yang murni dan mana pula Islam yang ajarannya sudah
ternodai berbagai kebid'ahan- sehingga ajaran-ajarannya
sulit diterima oleh golongan Sunni sampai hari ini. Sebelum
ia diyakini dan dipropagandakan oleh pengikut-pengikut
setianya sebagai nabi, rupanya Mirza lebih tampak sebagai
pengikut Sunni daripada ia sebagai seorang Syi'i, demikian
dalam berbagai pernyataannya untuk menghadapi serangan
lawan-lawannya, sesudah ia memproklamasikan dirinya sebagai
al-Masih atau al-Mahdi yang dijanjikan.14

Pengakuannya sebagai 'Isa al-Masih, sedangkan al-Masih. yang
dijanjikan itu adalah seorang nabi, dan seorang nabi dalam
menerima ajaran-ajaran dan Tuhan adalah melalui wahyu, maka
lantaran pengertian yang terakhir inilah lahir paham
kewahyuan dalam Ahmadiyah, yang bertentangan dengan paham
kewahyuan golongan Sunni, namun banyak persamaannya dengan
paham kewahyuan golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.

Adapun faktor-faktor yang membentuk paham kewahyuan golongan
Ahmadiyah ini, antara lain adalah sebagai berikut:

1. HUBUNGANNYA DENGAN IDE PEMBAHARUANNYA

Cita-cita pembaharuan yang dicanangkan oleh Mirza Ghulam
Ahmad sebagai tokoh pendiri aliran baru dalam Islam, yaitu
Ahmadiyah, rupanya ingin menyatukan atau menghimpun tiga
kekuatan agama besar -Islam, Hindu, dan Nasrani- dibawah
pengaruh kepemimpinannya, adalah merupakan masalah besar
yang justru akan membawanya kedalam suatu dilema terhadap
ide pembaharuannya sendiri. Pengakuannya sebagai penjelmaan
dari tiga tokoh karismatik yakni sebagai al-Mahdi, 'Isa
al-Masih., dan sebagai Krishna, jelas menunjukkan adanya
pengaruh kemahdian Syi'ah lewat hadis-hadis maudu' atau
palsu yang dicipta oleh propagandis-propagandisnya atau
hadis-hadis da'if (lemah) yang banyak dimuat dalam
Kitab-Kitab Sunan.

Dalam kaitan ini, dapatkah Mirza dengan pengakuan
kekrishnaannya memurtadkan warga Hindu dari agama mereka,
dan dengan kemasihannya, dapatkah Mirza menggoyahkan
keimanan kaum Nasrani saat itu? Dan dengan pengakuannya
sebagai al-Mahdi yang menerima wahyu, justru menimbulkan
pertentangan pendapat intern ummat Islam yang membawa pada
perpecahan yang dirasakan sampai saat ini. Kaum Ahmadiyah
berpendirian bahwa nabi dan wahyu itu masih tetap akan turun
sampai kapan pun, karena keduanya sangat diperlukan oleh
ummat manusia sepanjang zaman. Pengertian wahyu seperti ini
memang diperlukan untuk menafsirkan wahyu tasyri' yang
disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad, guna memperoleh
pemahaman yang aktual seirama dengan tuntutan zamannya.
Pemahaman seperti ini, tidak jauh berbeda dengan pemahaman
kaum Syi'ah. Menurut golongan terakhir ini, bahwa seorang
imam bagi mereka ibarat mandataris Nabi Mulhammad SAW., yang
harus menuntun dan melindungi ummatnya, untuk itu diperlukan
petunjuk langsung dari Tuhan yaitu apa yang mereka namakan
sebagai wahyu, lihat kembali pada halaman 115 di atas.

Dugaan sementara orang, bahwa wahyu itu benar-benar sudah
terhenti sesudah Nabi Muhammad, demikian Nazir Ahmad seorang
tokoh Ahmadiyah Qadian, dan Allah tidak berfirman lagi
kepada manusia, anggapan seperti itu adalah salah sama
sekali. Karena wahyu adalah sesuatu yang dapat menghilangkan
keragu-raguan, menambah pengetahuan, dan menyembuhkan hati
yang luka. Oleh sebab itu, wahyu tidak dikhususkan kepada
nabi saja, dan kadang-kadang Allah berfirman kepada selain
nabi, sebagaimana dalam firman-Nya S. asy-Syura: 51:

"Dan tiadalah Allah berfirman kepada manusia kecuali dengan
(perantaraan) wahyu atau dari balik hijab (tabir pemisah
antara alam fisik dengan alam gaib)."

Kata libasyarin dalam ayat diatas, Nazir Ahmad
menafsirkannya sebagai manusia apakah dia seorang nabi atau
bukan, sebagaimana wahyu yang diterima oleh ibu Nabi Musa,
kaum Khawari, dan Maryam, ibu Nabi 'Isa.15

Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa kata wahyu dalam
al-Quran, banyak dipakai dalam berbagai ungkapan dan tidak
selalu diartikan sebagai firman Allah kepada para rasul atau
nabi, tetapi digunakan untuk pengertian yang lain seperti:
ilham, memberi isyarat dan lain sebagainya. Sebab, kalau
setiap kata wahyu selalu diartikan sebagai firman Tuhan
kepada nabi dan rasul, maka di dalam al-Quran juga ada ayat
sepertidalam Surah al-An'am: 121, yang apabila diartikan
seperti pengertian diatas, maka pengertiannya jauh sama
sekali dari maksud yang sebenarnya. Disinilah tampak
beberapa kelemahan argumen-argumen yang dikemukakan oleh
pengikut-pengikut Ahmadiyah. Demikian pula ayat atau
hadis-hadis yang dijadikan dalil tampak kurang logis, karena
diinterpretasikan sesuai dengan keyakinan mereka.

Dari uraian diatas, jelas bagi kita bahwa ide pembaharuan
Mirza Ghulam Ahmad, tidak bisa terlepas dari masalah
kewahyuan, sekalipun wahyu yang diterimanya itu berbeda
dengan wahyu yang diterima oleh Rasulullah. Namun demikian,
ide pembaharuan yang direalisasikannya adalah merupakan
faktor pendorong lahirnya paham kewahyuan baru yang
kontroversial.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Empty Re: paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah

Post by keroncong Tue May 01, 2012 11:28 am

2. HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN KENABIANNYA

Doktrin kenabian dalam Ahmadiyah rupanya sulit dipisahkan
dengan paham kewahyuannya. Jika paham kenabian Syi'ah Isna
'Asyariyyah bermula dari masalah keimaman, maka paham
kenabian Ahmadiyah terfokus pada masalah kemasihan yang
dijanjikan. Sebagaimana dijelaskan dimuka, paham kenabian
Ahmadiyah memang memberi pengertian baru yang senada dengan
paham Syi'ah yaitu bahwa nabi itu akan terus diutus oleh
Tuhan tanpa batas waktu. Akan tetapi, agaknya berbeda
mengenai tugas kenabiannya. Terutama tugas kenabian Mirza
Ghulam Ahmad disamping sebagai Hakim Pengislah (juru damai),
dia juga bertugas untuk membunuh Dajjal. Sebab Nabi 'Isa
yang dahulu pemah diutus oleh Tuhan kepada Bani Israil,
telah wafat secara alami, sebagai yang dinyatakan dalam
sebuah karyanya:

"... Dan di antara kunci pengajaran dan pemberian
pemaharnanNya, bahwa al-Masih ibn Maryam benar-benar telah
wafat secara alami sebagaimana halnya saudara-saudaranya
kaum Muslimin. Dan Allah telah memberi kabar gembira
kepadaku dan telah berfirman: "Sesungguhnya al-Masih yang
dijanjikan dan al-Mahdi yang berbahagia yang ditunggu-tunggu
dan dinanti-nantikan, dia adalah engkau." Kami (Allah)
berbuat apa yang Kami kehendaki, maka janganlah engkau
membuat kedustaan. Dan (Tuhan) berfirman pula: "Sungguh Kami
telah menjadikan kamu sebagai al-Masih ibn Maryam ..."16

Informasi tentang wafatnya 'Isa ibn Maryam secara wajar
memang dapat diterima secara rasional. Informasi seperti ini
tentunya sangat berbeda dengan apa yang diyakini oleh
pengikut golongan 'Asyariyyah yang beranggapan bahwa 'Isa
al-Masih itu masih hidup hingga sekarang, dan dia akan turun
lagi menjelang hari Kiamat untuk membunuh Dajjal. Keyakinan
seperti ini, tampaknya dilandasi oleh paham Masyi'atullah
(kehendak mutlak Tuhan) diluar jangkauan akal manusia. Akan
tetapi, jika kepercayaan tersebut dikembalikan pada komitmen
ahli-ahli teologi Islam, bahwa keyakinan itu harus
didasarkan pada al-Quran dan hadis mutawatir yakni hadis
yang memfaedahkan yakin maka tidaklah menjadi kafir bagi
orang yang mengingkari pendapat Asyariyyah tersebut. Sebab
dasar atau dalil untuk meyakini bahwa 'Isa al-Masih itu
masih hidup dan akan turun kembali ke dunia untuk membunuh
Dajjal, hanyalah hadis sahih yang memfaedahkan zan atau
dugaan. Oleh sebab itu, keyakinan tentang masih hidup atau
sudah wafatnya 'Isa al-Masih bukanlah rukun iman, dan
karenanya tidak perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat
menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan bisa membawa
perpecahan ummat Islam.

Adapun pegangan dasar kaum Ahmadiyah adalah al-Qur-an,
Mushaf 'Usmani - hadis Bukhari dan Muslim, serta kitab-kitab
hadis lainnya, disamping ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu
sendiri. Pengakuan sebagai mujaddid (pembaharu) kemudian
pengakuan Mirza sebagai 'Isa, disamping pengakuannya dapat
berdialog langsung dengan Tuhan adalah merupakan faktor
penyebab lahirnya paham kenabian Ahmadiyah. Mujaddid dalam
pengertian Mirza, bukan diangkat oleh manusia, tetapi harus
diangkat oleh Tuhan sebagaimana dalam pernyataannya:

"Hai kaumku! Sesungguhnya (ajaranku) itu dari Allah, sungguh
(ajaranku) itu dari Allah, sungguh (ajaranku) itu dari
Allah. Dan aku bersaksi kepada Tuhanku, bahwa sesungguhnya
(ajaranku) dari Allah. Aku beriman kepada-Nya, dan kepada
Kitab-Nya al-Furqan, serta kepada apa yang telah ditetapkan
pada (Nabi Muhammad) penghulu manusia dan jin. Sungguh aku
telah diutus (oleh Allah) pada abad ini untuk mengadakan
pembaharuan pada agama dan menyinarkan wajah agama itu. Dan
atas yang demikian itu, Allahlah saksinya, dan Allah pun
mengetahui siapa yang celaka dan siapa yang bahagia."17

Penyataan Mirza diatas, oleh Ahmadiyah Qadiani dianggap
sebagai wahyu, dan diyakininya sebagai meyakini al-Quran
atau hadis Nabi, demikian R. Batuah, pengikut sekte Qadiani
di Indonesia. Selanjutnya ia menyatakan: Mirza Ghulam Ahmad
harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya.18 Sebaliknya
orang yang mengingkari ajaran Mirza berarti ia mengingkari
seluruh ajaran al-Quran, namun bagi sekte Lahore tidak
demikian keyakinannya, boleh jadi ajaran Mirza dijadikan
sebagai pemacu gerakan dakwahnya saja di kalangan kaum
Nasrani di dunia. Pernyataan Mirza sebagai seorang yang
dapat berdialog langsung dengan Tuhan layaknya seorang rasul
yang menerima wahyu adalah demikian:

"Aku tidak pemah mengatakan kepada manusia, kecuali apa yang
telah aku tulis dalam kitabku, bahwasanya aku adalah
muhaddas dan Allah berbicara dengan aku sebagaimana Allah
berbicara dengan para muhaddasin. Dan Allah mengetahui bahwa
Dia telah memberiku pangkat ini, maka bagaimana aku (dapat)
menolak apa yang telah diberikan Allah kepadaku? Dan dia
telah memberiku rizki apakah aku (harus) berpaling dari
limpahan (anugerah) Tuhan, Pencipta dan Pemelihara alam
semesta ini?"19

Mungkin orang akan mempersoalkan apakah paham kenabian
diatas, sebagai yang dilontarkan oleh Mirza Ghulam Ahmad
dapatkah paham itu dikategorikan sebagai pembaharuan dalam
Islam? Atau justru sebaliknya yaitu sebagai bid'ah 'akidah?
Apabila didalam Surah as-Saf: 6, Nabi 'Isa a.s.,
menginformasikan kepada pengikutnya, akan datang seorang
rasul bernama Ahmad sesudahnya nanti, ini bukan berarti nama
Ahmad tersebut untuk Mirza Ghulam Ahmad, tetapi yang
dimaksudkan adalah Nabi Muhammad. Ibn 'Abbas adalah salah
seorang ulama sahabat, yang lebih mengerti mengenai maksud
ayat:

"... dan (Isa) memberi kabar gembira akan (datangnya)
seorang Rasul yang akan datang sesudahku, bemama Ahmad ..."

Dalam kaitan ini Ibn 'Abbas dalam kitab tafsirnya, tidak
menjelaskan adanya nama lain selain nama Rasulullah
Muhammad. Rupanya paham kenabian Ahmadiyah ini bermula dan
doktrin kewahyuannya.

Setelah kita mengikuti uraian diatas, dapatlah disimpulkan
bahwa paham kewahyuan Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan paham
kewahyuan Ahmadiyah adalah tidak jauh berbeda, secara garis
besarnya perbedaan kedua paham kewahyuan tersebut, hanyalah
terletak pada aspek motivasi gerakan yang
melatarbelakanginya.

Gerakan Syi'ah lebih diwarnai oleh motif-motif politis,
sedangkan gerakan Ahmadiyah, ditandai oleh motif-motif ide
pembaharuannya. Jika paham kewahyuan Syi'ah bermuara pada
masalah keimaman, maka dalam Ahmadiyah paham kewahyuannya
bermuara pada masalah kemahdian atau kemasihan Mirza Ghulam
Ahmad. Akan tetapi jika kita lihat dari aspek-aspek yang
lain, kedua paham kewahyuan diatas, dapat dikatakan
berpangkal pada prinsip-prinsip yang serupa. Yaitu keduanya
beranggapan bahkan berkeyakinan bahwa untuk membimbing ummat
manusia masih diperlukan wahyu Allah atau petunjuk dari
Tuhan yang baru berupa wahyu.

Term wahyu yang dimaksud oleh kedua golongan itu, bukanlah
wahyu seperti yang ada dalam al-Quran, tetapi wahyu yang
lain. Di kalangan Syi'ah dikenal adanya wahyu ta'lim,
sedangkan di kalangan Ahmadiyah dikenal dengan wahyu
walayah, wahyu tajdid, atau wahyu muhaddas. Baik kaum Syi'ah
maupun Ahmadiyah, keduanya memiliki tokoh-tokoh utamanya
yang dikenal sebagai al-Mahdi yang merupakan tokoh
legendaris yang dapat berhubungan dengan Tuhan, untuk
menerima firman-firmanNya. Oleh sebab itu, kedua golongan
ini berkeyakinan bahwa wahyu tetap akan turun sampai kapan
pun. Demikian pula kehadiran seorang nabi juga tidak
terbatas pada kurun waktu tertentu. Dalam kaitan ini, apakah
al-Mahdi itu identik dengan nabi? tidak dibahas dalam
tulisan ini. Oleh karena konsep kenabian dan kewahyuan
tersebut muncul lebih dahulu di kalangan Syi'ah, maka konsep
kenabian dan kewahyuan Ahmadiyah banyak mendapat pengaruh
dari ajaran Syi'ah.

Catatan kaki:

1 H.L Beck dan N.J.G. Kaptein, eds., Pandangan Barat
Terhadap Literatur, Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik
Tradisi Islam Jilid I, terj., Sukarsi (Jakarta: INIS, 1988),
hlm. 45.
2 Subhi Salih, Mabahisul-Quranil-KLarim (Kairo:
Darul-Ittihad lit-Tiba'ah, 1977), hlm. 82, 83.
3 Sya'ban Muhammad Isma'il, Ma'al-Quranil-Karim (Kairo:
Darul-Ittihadil-'Arabi lit-Tiba'ah, 1978) hlm. 85.
4 Subhi Salih, op. Cit., hlm. 24.
5 Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid
(Mesir: Maktabah wa Matba'ah Muhammad 'Ali Sabih
wa Auladuh, 1978), hlm. 84.
6 Mana' Qattan, op. Cit., hlm. 261.
7 Sya'ban Muhammad Isma'il, op. cit., hlm. 89, 90.
8 Syah 'Abdul-'Aziz Ghulam Hakim ad-Dihlawi,
Mukhtasar at-Tuhfatul-Isna 'Asyariyyah
(Turki: Isik Kitabevi, 1980), hlm. 10; 24.
Selanjutnya disebut ad-Dihlawi.
9 Subhi Salih, Mabahis fi 'Ulumil-Quran
(Kairo: Darul-Ittihad al-'Arabi lit Tiba'ah,
1977), hlm. 83.
10 Ad-Dihlawi, op. cit., hlm. 30.
11 Ibid., hlm. 52.
12 Ibid., hlm. 30, 31.
13 Ibid., hlm. 50.
14 Al-Maududi, Ma Hiyal-Qadiyaniyyah, hlm. 26,
Hamamatul-Busyra, hlm. 35-6.
15 Nazir Ahmad as-Siyalkoti, al-Qaulus-Sarih fi
Zuhuril-Mahdi (Lahore: Nawa-i-Waqt Printers Ltd.,
1961), hlm. 166.
16 Mirza Ghulam Ahmad, Itmamul-Hujjah 'Alal-Lazi
Lajja wa Zagha 'Anil Mahajjah (Lahore: Matba'
Kalzar Muhammadi, 1311 H), hlm. 3.
17 Ibid., hlm. 13.
18 Syafi R. Batuah, Ahmadiyah Apa dan Mengapa
(Jemaat Ahmahdiyah Indonesia, 1985), hlm. 22-3.
19 Itmamul-Hujjah, op. cit., hlm. 266.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Empty Re: paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah

Post by Kedunghalang Sun May 13, 2012 11:13 pm

Bismillaahirrahmanirrahiim. Assalamu'alaikum wa rahmatullah!

@ Ichreza

Ada dua jenis wahyu Allah yang diterima manusia dan/atau para nabi:
1. Wahyu syari'at
2. Wahyu non-syari'at

Wahyu syari'at yang bertentangan dengan Al Quran sudah tertutup setelah Allah menurunkan wahyu syari'at Al Quran kepada Nabi Muhammad, Khaataman-Nabiyyin saw.

Tetapi, wahyu non-syariat seperti wahyu nubuat dan wahyu mubasyirat masih diturunkan Allah Al Mutakallim kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih, khususnya Khalifah Allah, Imam Mahdi & Masih Mau'ud as. Begitu juga pengulangan wahyu syari'at Al Quran, masih terus diturunkan Allah.

Wassalam
Love for All, Hatred for None
avatar
Kedunghalang
LETNAN KOLONEL
LETNAN KOLONEL

Male
Posts : 9081
Kepercayaan : Islam
Location : Bogor
Join date : 12.03.12
Reputation : 0

Kembali Ke Atas Go down

paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah Empty Re: paham kewahyuan mahdi Syiah dan ahmadiyah

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik