FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pengguguran kandungan Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pengguguran kandungan Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

pengguguran kandungan

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

pengguguran kandungan Empty pengguguran kandungan

Post by keroncong Sat Apr 14, 2012 6:12 am

Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal
bin al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud
dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh,
sebab jika tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan
itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12

Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui oleh
ilmu pengetahuan sekarang.

Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertian
bahwa kebolehan menggugurkan kandungan itu tidak bergantung
pada izin suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul
Mukhtar: "Mereka berkata, 'Diperbolehkan menggugurkan
kandungan sebelum berusia empat bulan, meskipun tanpa izin
suami.'"

Namun demikian, diantara ulama Hanafiyah ada yang menolak
hukum yang memperbolehkan pengguguran secara mutlak itu,
mereka berkata, "Saya tidak mengatakan halal, karena orang
yang sedang ihram saja apabila memecahkan telur buruan itu
harus menggantinya, karena itulah hukum asal mengenai
pembunuhan. Kalau orang yang melakukan ihram saja dikenakan
hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang yang
menggugurkan kandungan tanpa udzur."

Diantara mereka ada pula yang mengatakan makruh, karena air
(sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi mempunyai
hukum sebagai manusia hidup, seperti halnya telur binatang
buruan pada waktu ihram. Karena itu ahli tahqiq mereka
berkata, "Maka kebolehan menggugurkan kandungan itu harus
diartikan karena dalam keadaan udzur, atau dengan pengertian
bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13

Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak
memperbolehkan pengguguran, meskipun sebelum ditiupkannya ruh.

Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang 'azl
dan mereka anggap hal ini sebagai "pembunuhan terselubung"
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan
bahwa 'azl berarti menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk
menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang
menggugurkan kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas
aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran
lebih terlarang lagi), karena sebab-sebab kehidupan disini
telah terjadi dengan bertemunya sperma laki-laki dengan sel
telur perempuan dan terjadinya pembuahan yang menimbulkan
wujud makhluk baru yang membawa sifat-sifat keturunan yang
hanya Allah yang mengetahuinya.

Tetapi ada juga ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena
alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau anaknya (yang
baru dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga
untuk kebaikan pendidikan anak-anak, atau lainnya. Namun
demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan
menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun tingkat
kejahatannya berbeda.

Diantara yang berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya
lihat beliau --meskipun beliau memperbolehkan 'azl dengan
alasan-alasan yang akurat menurut beliau-- membedakan dengan
jelas antara menghalangi kehamilan dengan 'azl dan
menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:

"Hal ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan
pengguguran dan pembunuhan terselubung; sebab yang demikian
(pengguguran dan pembunuhan terselubung) merupakan tindak
kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan wujud itu
mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan yang pertama ialah
masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur dengan
air (mani) perempuan (ovum), serta siap untuk menerima
kehidupan. Merusak keadaan ini merupakan suatu tindak
kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka
kejahatan terhadapnya lebih buruk lagi tingkatannya. Jika
telah ditiupkan ruh padanya dan telah sempurna kejadiannya,
maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula. Dan sebagai
puncak kejahatan terhadapnya ialah membunuhnya setelah ia
lahir dalam keadaan hidup."14

Perlu diperhatikan, bahwa Imam al-Ghazali rahimahullah
menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud
manusia yang telah ada, tetapi beliau juga menganggap
pertemuan sperma dengan ovum sebagai "siap menerima
kehidupan."

Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau tahu apa
yang kita ketahui sekarang bahwa kehidupan telah terjadi
semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur
wanita?

Karena itu saya katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah
haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan
perkembangan kehidupan janin."

Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling
ringan, bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur
yang muktabar (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas
empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin kuat,
karena itu tidak boleh digugurkan kecuali karena udzur yang
lebih kuat lagi menurut ukuran yang ditetapkan ahli fiqih.
Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah
kehamilan berusia seratus dua puluh hari, yang oleh hadits
diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh."

Dalam hal ini tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali
dalam keadaan benar-benar sangat darurat, dengan syarat
kedaruratan yang pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika
sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu
harus diukur dengan kadar kedaruratannya.

Menurut pendapat saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam
satu bentuk saja, yaitu keberadaan janin apabila dibiarkan
akan mengancam kehidupan si ibu, karena ibu merupakan
pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan janin sebagai fara'
(cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi
kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan syara'
juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.

Tetapi ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan
tidak memperbolehkan tindak kejahatan (pengguguran) terhadap
janin yang hidup dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab
mazhab Hanafi disebutkan:

"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang
dan tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan
memotong-motongnya, yang apabila tidak dilakukan tindakan
seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ...
mereka berpendapat, 'Jika anak itu sudah dalam keadaan
meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih
hidup maka tidak boleh memotongnya karena menghidupkan suatu
jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam
syara'.'"15

Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan
syara', yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya
dan lebih kecil mafsadatnya.

Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran lain
dari kasus di atas, yaitu:

"Adanya ketetapan secara ilmiah yang menegaskan bahwa janin
--sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi kondisi
yang buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya
kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:

"Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."

Tetapi hendaknya hal ini ditetapkan oleh beberapa orang
dokter, bukan cuma seorang.

Pendapat yang kuat menyebutkan bahwa janin setelah genap
berusia empat bulan adalah manusia hidup yang sempurna. Maka
melakukan tindak kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan
tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.

Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami
kondisi yang sangat buruk dan membahayakan biasanya tidak
bertahan hidup setelah dilahirkan, sebagaimana sering kita
saksikan, dan sebagaimana dinyatakan oleh para spesialisnya
sendiri.

Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya.
Saya kemukakan disini suatu peristiwa yang saya terlibat
didalamnya, yang terjadi beberapa tahun silam. Yaitu ada
seorang teman yang berdomisili di salah satu negara Barat
meminta fatwa kepada saya sehubungan para dokter telah
menetapkan bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia
lima bulan-- akan lahir dalam kondisi yang amat buruk. Ia
menjelaskan bahwa pendapat dokter-dokter itu hanya melalui
dugaan yang kuat, tidak ditetapkan secara meyakinkan. Maka
jawaban saya kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah
dan menyerahkan ketentuan urusan itu kepadaNya, barangkali
dugaan dokter itu tidak tepat. Tidak terasa beberapa bulan
berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang berisi
foto seorang anak yang molek yang disertai komentar oleh
ayahnya yang berbunyi demikian:

"Pamanda yang terhormat,

Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur kepada Allah
Ta'ala, bahwa engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari
pisau para dokter bedah. Fatwamu telah menjadi sebab
kehidupanku, karena itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu
ini selama saya masih hidup."

Kemajuan ilmu kedokteran sekarang telah mampu mendeteksi
kerusakan (cacat) janin sebelum berusia empat bulan sebelum
mencapai tahap ditiupkannya ruh. Namun demikian, tidaklah
dipandang akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah
lahir nanti si janin (anak) akan mengalami cacat --seperti
buta, tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan
digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat seperti itu
merupakan penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas
sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak orang, lagi
pula tidak menghalangi mereka untuk bersamasama orang lain
memikul beban kehidupan ini. Bahkan manusia banyak yang
mengenal (melihat) kelebihan para penyandang cacat ini, yang
nama-nama mereka terukir dalam sejarah.

Selain itu, kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan manusia dengan segala kemampuan dan peralatannya
akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan
Allah sebagai ujian dan cobaan:

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya
..." (al-Insan: 2)

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada
dalam susah payah." (al-Balad: 4)

Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman kita
sekarang ini telah turut andil dalam memberikan pelajaran
kepada orang-orang cacat untuk meraih keberuntungan,
sebagaimana keduanya telah turut andil untuk memudahkan
kehidupan mereka. Dan banyak diantara mereka (orang-orang
cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti
orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya Allah
mengganti mereka dengan beberapa karunia dan kemampuan lain
yang luar biasa.

Allah berfirman dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi
petunjuk ke jalan yang lurus.

CATATAN KAKI:

1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran,
di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para
fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah
kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'.

2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550.

3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557.

4 Al-Muhalla, juz 11.

5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab
al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni
Ummihi," hadits nomor 2645.

6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelah
mengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwa
janin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki
tahap baru dan perkembangan yang lain.

7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi.

8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan
dalam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm.
4-- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan
menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini
benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab
beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat
ini.

9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi.

10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416
terbitan al-Halabi.

11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233
Darul-Ma'rifah, Beirut.

12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq.

13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih,
juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq.

14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah,"
hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.

15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik