FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

bungkuk dan kentut Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

bungkuk dan kentut Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

bungkuk dan kentut

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

bungkuk dan kentut Empty bungkuk dan kentut

Post by keroncong Thu Apr 05, 2012 6:33 pm

Ada Kolonel Muamar Khadafy di Libya, ada Utomo Danandjaya di
Indonesia. Tidak kebetulan kedua tokoh ini disebut bersamaan
dalam peristiwa yang sama. Khadafy adalah tokoh urakan yang
gandrung akan kesederajatan di antara bangsa-bangsa Arab.
Dan kesederajatan itu baginya ialah tampilnya manusia bebas,
manusia yang tak perlu mencium tangan sesamanya. Pernah ia
meneriaki Raja Hasan dari Maroko karena kedapatan mencium
tangan orang lain

"Ya, Hasan, kapan Arab akan maju kalau tradisi cium tangan
masih dilestarikan?" katanya

Utomo Danandjaya juga tokoh yang gigih mendukung
egaliterianisme. Ia, dengan kata lain, berbagi aspirasi
bersama Khadafy. Bedanya, Khadafy menentang ketidakbebasan
jiwa yang tampil dalam bentuk cium tangan. Utomo emoh
melihat orang membungkukkan badan di depan orang lain.
Begitulah, saya pernah didamprat dalam suatu rapat Majlis
Reboan, karena ketika lewat di depan Pak Tjip (Soetjipto
Wirosardjono) saya membungkuk.

"Mengapa kamu mesti membungkuk di depan Mas Tjip?"
semburnya.

Saya cuma mesem. Saya berharap ia tahu apa arti bungkuk saya
itu. Maka dalam Majlis Reboan pekan lalu, saya membungkuk
lagi ketika salaman dengan Pak Tjip. Saya sengaja
berlama-lama agar kelihatan olehnya. Pak Tjip berbisik,
"Awas, ketahuan Utomo kamu dimarahi lagi nanti."

Diam-diam membungkuk itu bukan cuma sekadar sebuah peristiwa
biologis, melainkan juga, terutama buat saya, sebuah
fenomena kultural yang bisa mengundang multi-interpretasi.
Membungkuk rutin yang dilakukan umat Islam dalam shalat
mereka (ruku), itu secara psikologis melambangkan adanya
pengakuan bahwa di atas manusia yang berkuasa di bumi ini,
ada lagi maha-kekuasaan. Namun membungkuk dalam arti ini
oleh orang Kejawen (atau oknum orang Kejawen) direduksi
menjadi cuma sebuah unsur gerak badan.

Mungkin, maksudnya karena dalam membungkuk itu terlampau
ditekankan unsur eksoteris, kurang disertai kedalaman. Hal
ini tentu bisa diperdebatkan panjang lebar. Tapi, dalam
kolom pendek ini saya cuma ingin konsentrasi pada tafsiran
membungkuk itu lebih lanjut.

Dalam hubungan antar-manusia, membungkuk merupakan ungkapan
kesadaran kelas. Orang yang posisinya lebih rendah, atau
lebih muda, biasanya membungkuk pada pihak yang lebih
tinggi, lebih tua. Resminya, membungkuk dalam hubungan ini
cuma untuk memenuhi tuntutan sopan santun serta sikap hormat
dari yang muda terhadap yang lebih tua.

Tetapi dalam hubungan resmi antara atasan dan bawahan di
kantor-kantor, membungkuk tiba-tiba berganti wajah; ia lalu
sarat berbagai muatan kepentingan. Makna membungkuk sebagai
sopan santun dengan begini sudah dikorup. Membungkuk jadi
ukuran loyalitas. Dan simbiose mutualistis dalam proses
membungkuk pun terjadi: yang dibungkuki (atasan) berbahagia,
yang membungkuk (bawahan) memperoleh "bayarannya".

Dibanding dengan orang-orang dari etnis lain, orang Jawa
mungkin lebih mahir membungkuk. Di Jawa ada raja-raja, yang
menuntut banyak pada rakyatnya. Rakyat harus membungkuk,
baik secara ekonomis (mengirim asok gelondong
pengareng-areng atau mudahnya upeti) maupun secara biologis
(menyembah Ngerso Dalem Ingkang Sinuwun Baginda Raja). Di
Batak atau Aceh persoalannya lain. Konon di sana tiap orang
adalah raja. Jadi mana bisa orang yang sama belaka
derajatnya itu harus membungkuk?

Seorang sahabat saya dari Sumatera Barat pernah bercerita,
ada orang Minang yang heran: Sejak kapan sebenarnya kita
(orang Minang) belajar membungkuk? Pertanyaan itu
dikemukakan dalam kaitan dengan kenyataan sosio-kultural
kita saat ini, ketika kita dapati tiap orang tiba-tiba jadi
orang Jawa.

Di zaman penjajahan Belanda (bule yang tak bisa membungkuk),
bukan hanya tidak mengurangi kebiasaan kita membungkuk,
melainkan malah mempertegas keharusan kita membungkuk pada
mereka. Kondisi parah ini diperparah lagi oleh Jepang.
Alhasil, kita terus jadi orang yang membungkuk-bungkuk.

Di awal revolusi sebenarnya kebiasaan membungkuk dicoba
dikurangi. Sikap kesederajatan yang terpantul dalam
penggunaan kata Bung (Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir)
misalnya, mengisyaratkan hasrat itu.

Sekarang keadaan berubah lagi. Banyak orang non-Jawa menjadi
Jawa tidak cuma karena membungkukkan badan, melainkan juga
karena sudah gandrung membungkukkan lidah, mungkin juga
mental (?) mereka. Mereka terkesan begitu teresapi
(setidaknya di kulit luar) oleh hal-hal yang serba Jawa.
Mengutip wisdom Jawa, piwulang Jawa dan aneka filsafat hidup
Jawa, kadang tanpa juntrungan yang pas. Ini mungkin termasuk
sikap pejabat dan para artis juga. Pendeknya, orang belum
puas sebelum mengucap kata mbalelo, ngono yo ngono ...,
sekti tanpo aji, ngluruk tanpo bolo.

Pak Tjip tahu bungkuk saya di depannya bukan bungkuk
keterjajahan kultural. Ia tahu saya nakal. Jadi bungkuk saya
padanya hanyalah bungkuk suba sita Jawa, tanpa muatan lain.
Dan karena itu tak perlu ditafsirkan lain. Saya pun punya
obsesi tentang manusia bebas. Saya punya kecenderungan
melawan dominasi, apa saja coraknya. Perlawanan itu berbagai
macam bentuknya, tergantung keadaan.

Saya mengutip pepatah Etiopia dari buku James Scott:
Domination and the Art of Resistance. Katanya, jika di
Etiopia seorang tuan besar lewat, petani yang bijak pun
membungkuk dalam-dalam, sambil diam-diam kentut. Membungkuk
dalam hal ini jadinya adalah sebuah perlawanan kultural,
tanpa hiruk pikuk, hampir tanpa risiko. Dan justru amat
pedih bila yang dilawan mengerti artinya.

Pernah saya dibentak Satpam sebuah bank di pojok bunderan
Senayan itu, dan saya pun membungkuk dengan takzim. Satpam
yang selalu di bawah dan dalam posisi diperintah
terus-menerus itu membusungkan dada menikmati kemenangannya.
Padahal bagi saya, ia saya jadikan sejenis ledek munyuk buat
tontonan gratis. Artinya, di situ saya membungkuk tidak
karena terjajah secara mental tapi semata berkat kenakalan.
Saya membungkuk dalam di depannya, dan saya pun diam-diam
juga kentut. Macam petani Etiopia itu.

---------------
Mohammad Sobary, Kompas, 9 Desember 1991
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas


Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik