Pemikiran Hizbut Tahrir: Pendirian Negara Islam Daulah Khilafah
Halaman 1 dari 1 • Share
Pemikiran Hizbut Tahrir: Pendirian Negara Islam Daulah Khilafah
Apakah mungkin membangun suatu Negara Islam, sedangkan kaum Muslimin masih terbelakang di bidang sains dan teknologi? Jika ditegakkan, apakah khilafah negara Islam itu nanti mampu mempertahankan diri berhadapan dengan negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis dan lain-lain yang memiliki senjata nuklir dan perlengkapan militer yang mutakhir, serta alat-alat canggih lainnya? Apakah menegakkan negara Islam seperti ini bukan merupakan langkah kehancuran bagi kaum muslimin?
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas:
(1) Masalah usaha mendirikan negara Islam.
(2) Masalah kelangsungan keberadaan negara Islam.
(3) Masalah usaha menjadikan negara Islam sebagai negara yang kuat dan berpengaruh besar terhadap situasi politik Internasional.
(4) Masalah menjadikan negara Islam sebagai negara nomor satu di dunia.
Jawaban untuk butir nomor satu adalah bahwa untuk mendirikan negara Islam, tidak dibutuhkan terlebih dahulu adanya kemajuan di bidang sains dan teknologi. Tetapi yang dibutuhkan adalah kesadaran kaum muslimin terhadap aqidah dan syari'at Islam itu sendiri. Kemudian, umat ini harus menyadari terhadap berbagai krisis politik yang masih membelenggu kaum Muslimin. Kita harus menyadari bahwa ketika Rasulullah saw menegakkan negara Islam di Madinah, kemajuan di bidang sains dan industri teknologi oleh kaum Muslimin dan juga seluruh bangsa Arab saat itu, masih dalam kondisi yang sederhana, bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, seperti Persia dan Romawi. Kala itu mereka selalu menggantungkan diri kepada bangsa-bangsa tersebut untuk keperluan hidup negara, khususnya di bidang persenjataan dan industri lainnya. Saat itu, dua negara tersebut, yakni Persia dan Romawi, yang berpengaruh besar di dunia; sama halnya dengan dua negara adidaya Amerika dan Rusia sekarang ini, walaupun sejak komunis runtuh, praktis hanya Amerika yang mendominasi dunia.
Dengan demikian untuk mendirikan negara Islam, tidak seharusnya kaum Muslimin terlebih dahulu mencapai tingkat kemajuan di bidang saintek. Sebagai bukti, Rusia pada permulaan abad ini telah berhasil membangun suatu negara besar. Padahal ketika itu negara Beruang Merah itu masih tertinggal di bidang sains dan teknologi.
Disamping itu, untuk mendirikan negara Islam, tidaklah cukup hanya dengan meningkatkan kesadaran terhadap aqidah, syari'at Islam, serta menyadari berbagai krisis dan permainan politik di dunia internasional saat ini. Tetapi harus muncul suatu kelompok da'wah di tengah kaum muslimin, yang mampu menetapkan pemahamannya terhadap Islam dari berbagai aspeknya, sesuai dengan kebutuhan umat, baik dari segi aqidah, ide-ide dan hukum-hukum Islam, dari segi cara pemeliharaan dan mempertahankan aqidah, melaksanakan hukum, serta mengembangkan da'wah Islam. Juga selain itu, harus ada usaha untuk mengembangkan da'wah Islam di kalangan umat demi untuk mendukung rencana dan target kelompok da'wah ini serta meyakini dan menghayati ide-ide dan hukum-hukum Islam yang dikembangkannya. Semua itu dilakukan dengan menjadikan Rasulullah saw sebagai suri teladan.
Jadi, negara Islam sangat mungkin ditegakkan lewat peran dan usaha kaum muslimin, walaupun mereka masih dalam keadaan tertinggal di bidang sains dan teknologi. Tentu saja rencana tersebut akan terwujud apabila sebab musabab lainnya untuk menegakkan negara Islam telah disiapkan.
Adapun butir kedua, yaitu kelangsungan negara Islam, maka masalah saintek memang sesuatu yang diperlukan. Tetapi bukan merupakan suatu keharusan. Sebab, negara dapat berjalan dengan menyandarkan kepada negara-negara luar. Misalnya dengan membeli apa saja yang dibutuhkan, baik berupa senjata maupun peralatan-peralatan lainnya. Justru yang merupakan suatu keharusan untuk kelangsungan negara Islam adalah semangat juang yang tak kunjung padam pada diri kaum muslimin, untuk mempertahankan negaranya ketika menentang/melawan musuh yang berusaha mengancam dan menjatuhkan negara Islam. Semangat ini adalah senjata yang paling ampuh. Hanya saja, tekad dan semangat juang tersebut tidak diharapkan hanya nampak pada diri penguasa saja, tetapi juga harus bersemayam kokoh di dalam diri penguasa dan rakyatnya; laki-laki maupun wanita; kaum muda ataupun yang tua.
Tekad dan semangat juang tersebut dapat diwujudkan dalam diri setiap anggota masyarakat apabila mereka memang benar-benar melihat bahwa negara semacam itu adalah negara yang mewakili mereka, bahkan merupakan satu-satunya negara bagi kaum Muslimin. Negara tersebut tidak memaksakan kekuasaan atas umat, dan ditegakkan atas dasar aqidah yang dianut oleh kaum muslimin, dalam rangka melaksanakan syari'at Islam yang dimiliki oleh kaum Muslimin pula, di samping menjamin dan memelihara urusan mereka.
Saat ini kaum muslimin pada umumnya tidak mendukung peraturan-peraturan yang diterapkan di negeri-negeri mereka. Sebab, peraturan-peraturan tersebut dipaksakan atas kaum muslimin (oleh pihak luar, yaitu negara-negara adidaya), tanpa perduli lagi kehendak dan keinginan umat Islam. Padahal, peraturan yang diterapkan tersebut tidak sesuai dengan aqidah umat Islam yang merupakan mayoritas di negerinya masing-masing. Juga, ia tidak memelihara dan menjamin kesejahteraan hidup kaum Muslimin. Bahkan, menganiaya, menindas dan menghina, serta membungkam mulut mereka. Oleh karena itu, tidaklah sama antara sikap dan status kaum muslimin yang berada di bawah naungan peraturan Islam dengan sikap dan status mereka terhadap peraturan-peraturan kufur yang berasal dari Barat dan dipaksakan atas umat di negerinya sendiri.
Walaupun sikap dan status mereka sama, yakni masih mendukung peraturan-peraturan yang ada, namun negara-negara yang ada di dunia Islam saat ini tidak satupun dapat disebut sebagai negara Islam, sekalipun ia menamakan dirinya negara Islam untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Negara yang semacam ini lebih layak disebut sebagai negara militer yang membutuhkan banyak dukungan untuk melindunginya dari kemarahan rakyat. Padahal seharusnya mereka berlindung kepada rakyat untuk melindungi negara dari pihak musuh (negara-negara adidaya). Sebab, negara yang dilindungi rakyatnya, tidak bisa dijatuhkan dengan mudah, sekalipun penguasanya telah dijatuhkan. Karena, setiap individu rakyat merasa bertanggung jawab terhadap negaranya. Mereka akan membelanya dari serangan musuh yang menimpa negara dan diri mereka. Sikap ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw:
"Setiap Muslim berada di suatu benteng pertahanan dari benteng-benteng Islam, maka janganlah sampai tembus (oleh musuh) dari bagian pertahanannya" (HR Al Hakim dan Al Bazzar).1)
Pasukan yang sedang berperang, apabila yang membawa panji tertembak, maka yang lain segera berusaha mengangkatnya agar panji Islam tetap berkibar. Demikianlah bahwa dukungan dan perlindungan setiap individu terhadap negaranya adalah pangkal kekuatan yang terbesar. Rasa tanggung jawab mereka ini, akan membentuk tekad dan semangat juang yang dahsyat untuk membelanya. Bahkan, mereka bersedia menyerahkan hidupnya (mati) untuk mempertahankan negara Islam, karena hal tersebut dianggap sebagai masalah terpenting/vital. Hanya faktor inilah yang menjadikan negara Islam terus berdiri, walau musuh-musuh Islam tidak menginginkannya.
Adapun butir yang ketiga, yaitu menjadikan negara Islam sebagai negara yang kuat dan berpengaruh besar terhadap situasi politik internasional, maka posisi tersebut memang membutuhkan kekuatan militer yang dihasilkan oleh kemajuan sains dan teknologi. Tetapi yang lebih penting dari saintek adalah bahwa negara Islam mempunyai missi suci untuk mengembangkan risalah Islam ke seluruh dunia.
Alhamdulillah, kelak nanti Negara Islam mempunyai ciri tersebut dan akan sangat nampak dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Bahkan dapat dikatakan bahwa separuh dari missinya adalah mengembangkan Islam ke seluruh dunia, sedang sisanya adalah menerapkan Islam di tengah-tengah rakyatnya.
-------------------
1) Lihat Nizhamul Hukum Fil Islam, Taqiyyuddin An nabahani, halaman 113. Untuk mengembangkan risalah Islam ke seluruh dunia, sangat diperlukan berbagai bentuk kekuatan, baik senjata yang melindungi kekuatan da'wah dalam mengembangkan risalah Islam, maupun kekuatan ekonomi. Keduanya mengharuskan adanya kader ulama dan ilmuwan Muslim dalam jumlah yang sangat besar di seluruh bidang kehidupan. Juga, sejumlah besar pabrik industri, teknisi, tenaga ahli di seluruh bidang dan tidak terbatas hanya di bidang senjata saja.
Di dunia sekarang terdapat sejumlah besar ilmuwan muslim yang telah menguasai berbagai bidang sains antara lain; angkasa luar, fisika atom (inti), kedokteran, kimia, elektronika, mekanik, pertambangan, geologi, biologi ingenering dan sebagainya. Para ilmuwan Muslim tersebut tersebar di Eropa dan Amerika Serikat. Sayang sekali, keahlian, tenaga, dan pikiran mereka dimanfaatkan oleh negara-negara kafir. Sebab, sebagian besar penguasa yang berkuasa di negeri-negeri Islam nyaris tidak memperhatikan kemajuan sains dan teknologi, karena tidak mempunyai missi yang harus dikembangkan. Bahkan, tidak ada keinginan untuk menjadi negara besar (adidaya). Hanya saja, masih ada harapan bahwa di negeri-negeri tersebut terdapat berbagai jenis industri dalam jumlah yang cukup memadai. Karena itu, masih terbuka peluang untuk mengarahkan, mendorong, dan menawarkan kepada sebagian penguasa (negara) yang ada sekarang ini untuk mengembangkan berbagai industri yang sudah ada agar dapat menjadi lebih memuaskan hasilnya. Apalagi bila hal tersebut dikaitkan dengan kekayaan alam yang melimpah ruah dalam jumlah besar di negeri-negeri Islam dan dapat dipergunakan untuk membeli alat-alat industri. Bahkan, dapat menggaji tenaga ahli lokal maupun asing dari kalangan non-Muslim, bila hal tersebut memang diperlukan.
Adapun butir yang keempat, yaitu menjadikan negara Islam sebagai negara nomor satu di dunia, maka hal ini merupakan langkah biasa/semestinya ditempuh, setelah sebelumnya mengokohkan langkahnya sebagai negara besar yang mampu mempengaruhi situasi politik di dunia internasional. Usaha tersebut mengharuskan negara Islam mencapai kemajuan di bidang saintek. Langkah ini membutuhkan perhatian besar dari negara serta semangat dan keinginan yang kuat dari ilmuwan Muslim, meskipun langkah ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Tetapi yakinlah bahwa hal tersebut pasti tercapai dengan pertolongan Allah SWT. Sebab, kondisi dan situasi yang akan dialami oleh negara Islam yang merupakan "Khilafah Rasyidah" tentu akan mendorong para ilmuwan Muslim di seluruh dunia untuk berjuang dan mengeluarkan seluruh kemampuan mereka. Bahkan lebih dari itu; mereka akan rela mengorbankan jiwa raganya, memeras keringat dan membanting tulang, demi mewujudkan negara mereka yang kuat dan terbesar di dunia, serta umatnya adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan di tengah-tengah manusia.
Fakta telah berbicara bahwa negara khilafah Islam ternyata mampu menjadi negara nomor satu di dunia, dimulai dari usaha-usaha yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw untuk melumpuhkan kekuasaan dua negara adidaya saat itu, yaitu Persia dan Romawi, yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafa' Ar Rasyidin sampai berhasil pada masa pemerintahan Umar bin Al Khattab. Posisi seperti itu berlanjut dan dipertahankan negara Islam tetap menjadi nomor satu di dunia sampai 1000 tahun kemudian, walaupun kita akui bahwa selama kurun waktu tersebut terdapat berbagai kelemahan yang dialami disebabkan kelemahan umat sendiri pada masa-masa tertentu.
Memang umat Islam adalah umat yang sejak dahulu menjadi umat yang mulia. Ia merupakan umat yang agung dan terhormat kedudukannya. Oleh karena itu, tidak aneh apabila suatu saat ia kembali ke masa kejayaannya, menjalankan tugasnya seperti dahulu. Hanya yang mengherankan adalah bahwa umat Islam terus menerus tidur panjang yang telah berlangsung begitu lama, jauh dari perkiraan sebelumnya. Namun demikian, sinar harapan mulai tampak di wilayah Timur Tengah. Cahaya kemenangan mulai memancar sebagai hasil dari usaha berbagai gerakan Islam. Kelak umat ini akan meraih janji dari Allah SWT sebagaimana firmanNya:
"Jika kamu menolong Allah, maka Allah pasti menolong dan mengukuhkan kedudukanmu di muka bumi" (Muhammad: 7).
Oleh karena itu kepada saudaraku yang bertanya di atas, Anda tidak perlu khawatir akibat berdirinya negara Islam pada masa sulit dan kritis ini. Sebab, dengan berdirinya negara Islam, tidak akan ada lagi faktor yang membinasakan dan menghancurkan umat Islam. Bahkan sesungguhnya, perasaan was-was itu tidak lain adalah hanya sekedar rekayasa musuh-musuh Islam yang tidak ingin melihat berdirinya negara Islam itu. Mereka bermaksud untuk memalingkan orang-orang yang pemikirannya terbatas dan sederhana (kalangan awam) dengan cara mengembangkan informasi yang tidak benar, sehingga timbullah perasaan was-was itu pada diri sebagian kaum Muslimin. Bahkan, yakinlah bahwa dengan berdirinya negara Islam, umat ini bukan malah binasa tetapi malah akan sehat kembali setelah didera penderitaan yang amat panjang, serta meraih kehidupan mulia dan kedudukan yang terkuat di dunia internasional. Kepada Anda, saudaraku, dan kepada seluruh kaum Muslimin di dunia, kami sampaikan firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan RasulNya apabila Allah dan RasulNya menyeru kepada kalian, kepada yang menghidupkan (memuliakan) kamu" (Al Anfaal: 24).
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas:
(1) Masalah usaha mendirikan negara Islam.
(2) Masalah kelangsungan keberadaan negara Islam.
(3) Masalah usaha menjadikan negara Islam sebagai negara yang kuat dan berpengaruh besar terhadap situasi politik Internasional.
(4) Masalah menjadikan negara Islam sebagai negara nomor satu di dunia.
Jawaban untuk butir nomor satu adalah bahwa untuk mendirikan negara Islam, tidak dibutuhkan terlebih dahulu adanya kemajuan di bidang sains dan teknologi. Tetapi yang dibutuhkan adalah kesadaran kaum muslimin terhadap aqidah dan syari'at Islam itu sendiri. Kemudian, umat ini harus menyadari terhadap berbagai krisis politik yang masih membelenggu kaum Muslimin. Kita harus menyadari bahwa ketika Rasulullah saw menegakkan negara Islam di Madinah, kemajuan di bidang sains dan industri teknologi oleh kaum Muslimin dan juga seluruh bangsa Arab saat itu, masih dalam kondisi yang sederhana, bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, seperti Persia dan Romawi. Kala itu mereka selalu menggantungkan diri kepada bangsa-bangsa tersebut untuk keperluan hidup negara, khususnya di bidang persenjataan dan industri lainnya. Saat itu, dua negara tersebut, yakni Persia dan Romawi, yang berpengaruh besar di dunia; sama halnya dengan dua negara adidaya Amerika dan Rusia sekarang ini, walaupun sejak komunis runtuh, praktis hanya Amerika yang mendominasi dunia.
Dengan demikian untuk mendirikan negara Islam, tidak seharusnya kaum Muslimin terlebih dahulu mencapai tingkat kemajuan di bidang saintek. Sebagai bukti, Rusia pada permulaan abad ini telah berhasil membangun suatu negara besar. Padahal ketika itu negara Beruang Merah itu masih tertinggal di bidang sains dan teknologi.
Disamping itu, untuk mendirikan negara Islam, tidaklah cukup hanya dengan meningkatkan kesadaran terhadap aqidah, syari'at Islam, serta menyadari berbagai krisis dan permainan politik di dunia internasional saat ini. Tetapi harus muncul suatu kelompok da'wah di tengah kaum muslimin, yang mampu menetapkan pemahamannya terhadap Islam dari berbagai aspeknya, sesuai dengan kebutuhan umat, baik dari segi aqidah, ide-ide dan hukum-hukum Islam, dari segi cara pemeliharaan dan mempertahankan aqidah, melaksanakan hukum, serta mengembangkan da'wah Islam. Juga selain itu, harus ada usaha untuk mengembangkan da'wah Islam di kalangan umat demi untuk mendukung rencana dan target kelompok da'wah ini serta meyakini dan menghayati ide-ide dan hukum-hukum Islam yang dikembangkannya. Semua itu dilakukan dengan menjadikan Rasulullah saw sebagai suri teladan.
Jadi, negara Islam sangat mungkin ditegakkan lewat peran dan usaha kaum muslimin, walaupun mereka masih dalam keadaan tertinggal di bidang sains dan teknologi. Tentu saja rencana tersebut akan terwujud apabila sebab musabab lainnya untuk menegakkan negara Islam telah disiapkan.
Adapun butir kedua, yaitu kelangsungan negara Islam, maka masalah saintek memang sesuatu yang diperlukan. Tetapi bukan merupakan suatu keharusan. Sebab, negara dapat berjalan dengan menyandarkan kepada negara-negara luar. Misalnya dengan membeli apa saja yang dibutuhkan, baik berupa senjata maupun peralatan-peralatan lainnya. Justru yang merupakan suatu keharusan untuk kelangsungan negara Islam adalah semangat juang yang tak kunjung padam pada diri kaum muslimin, untuk mempertahankan negaranya ketika menentang/melawan musuh yang berusaha mengancam dan menjatuhkan negara Islam. Semangat ini adalah senjata yang paling ampuh. Hanya saja, tekad dan semangat juang tersebut tidak diharapkan hanya nampak pada diri penguasa saja, tetapi juga harus bersemayam kokoh di dalam diri penguasa dan rakyatnya; laki-laki maupun wanita; kaum muda ataupun yang tua.
Tekad dan semangat juang tersebut dapat diwujudkan dalam diri setiap anggota masyarakat apabila mereka memang benar-benar melihat bahwa negara semacam itu adalah negara yang mewakili mereka, bahkan merupakan satu-satunya negara bagi kaum Muslimin. Negara tersebut tidak memaksakan kekuasaan atas umat, dan ditegakkan atas dasar aqidah yang dianut oleh kaum muslimin, dalam rangka melaksanakan syari'at Islam yang dimiliki oleh kaum Muslimin pula, di samping menjamin dan memelihara urusan mereka.
Saat ini kaum muslimin pada umumnya tidak mendukung peraturan-peraturan yang diterapkan di negeri-negeri mereka. Sebab, peraturan-peraturan tersebut dipaksakan atas kaum muslimin (oleh pihak luar, yaitu negara-negara adidaya), tanpa perduli lagi kehendak dan keinginan umat Islam. Padahal, peraturan yang diterapkan tersebut tidak sesuai dengan aqidah umat Islam yang merupakan mayoritas di negerinya masing-masing. Juga, ia tidak memelihara dan menjamin kesejahteraan hidup kaum Muslimin. Bahkan, menganiaya, menindas dan menghina, serta membungkam mulut mereka. Oleh karena itu, tidaklah sama antara sikap dan status kaum muslimin yang berada di bawah naungan peraturan Islam dengan sikap dan status mereka terhadap peraturan-peraturan kufur yang berasal dari Barat dan dipaksakan atas umat di negerinya sendiri.
Walaupun sikap dan status mereka sama, yakni masih mendukung peraturan-peraturan yang ada, namun negara-negara yang ada di dunia Islam saat ini tidak satupun dapat disebut sebagai negara Islam, sekalipun ia menamakan dirinya negara Islam untuk mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Negara yang semacam ini lebih layak disebut sebagai negara militer yang membutuhkan banyak dukungan untuk melindunginya dari kemarahan rakyat. Padahal seharusnya mereka berlindung kepada rakyat untuk melindungi negara dari pihak musuh (negara-negara adidaya). Sebab, negara yang dilindungi rakyatnya, tidak bisa dijatuhkan dengan mudah, sekalipun penguasanya telah dijatuhkan. Karena, setiap individu rakyat merasa bertanggung jawab terhadap negaranya. Mereka akan membelanya dari serangan musuh yang menimpa negara dan diri mereka. Sikap ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw:
"Setiap Muslim berada di suatu benteng pertahanan dari benteng-benteng Islam, maka janganlah sampai tembus (oleh musuh) dari bagian pertahanannya" (HR Al Hakim dan Al Bazzar).1)
Pasukan yang sedang berperang, apabila yang membawa panji tertembak, maka yang lain segera berusaha mengangkatnya agar panji Islam tetap berkibar. Demikianlah bahwa dukungan dan perlindungan setiap individu terhadap negaranya adalah pangkal kekuatan yang terbesar. Rasa tanggung jawab mereka ini, akan membentuk tekad dan semangat juang yang dahsyat untuk membelanya. Bahkan, mereka bersedia menyerahkan hidupnya (mati) untuk mempertahankan negara Islam, karena hal tersebut dianggap sebagai masalah terpenting/vital. Hanya faktor inilah yang menjadikan negara Islam terus berdiri, walau musuh-musuh Islam tidak menginginkannya.
Adapun butir yang ketiga, yaitu menjadikan negara Islam sebagai negara yang kuat dan berpengaruh besar terhadap situasi politik internasional, maka posisi tersebut memang membutuhkan kekuatan militer yang dihasilkan oleh kemajuan sains dan teknologi. Tetapi yang lebih penting dari saintek adalah bahwa negara Islam mempunyai missi suci untuk mengembangkan risalah Islam ke seluruh dunia.
Alhamdulillah, kelak nanti Negara Islam mempunyai ciri tersebut dan akan sangat nampak dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Bahkan dapat dikatakan bahwa separuh dari missinya adalah mengembangkan Islam ke seluruh dunia, sedang sisanya adalah menerapkan Islam di tengah-tengah rakyatnya.
-------------------
1) Lihat Nizhamul Hukum Fil Islam, Taqiyyuddin An nabahani, halaman 113. Untuk mengembangkan risalah Islam ke seluruh dunia, sangat diperlukan berbagai bentuk kekuatan, baik senjata yang melindungi kekuatan da'wah dalam mengembangkan risalah Islam, maupun kekuatan ekonomi. Keduanya mengharuskan adanya kader ulama dan ilmuwan Muslim dalam jumlah yang sangat besar di seluruh bidang kehidupan. Juga, sejumlah besar pabrik industri, teknisi, tenaga ahli di seluruh bidang dan tidak terbatas hanya di bidang senjata saja.
Di dunia sekarang terdapat sejumlah besar ilmuwan muslim yang telah menguasai berbagai bidang sains antara lain; angkasa luar, fisika atom (inti), kedokteran, kimia, elektronika, mekanik, pertambangan, geologi, biologi ingenering dan sebagainya. Para ilmuwan Muslim tersebut tersebar di Eropa dan Amerika Serikat. Sayang sekali, keahlian, tenaga, dan pikiran mereka dimanfaatkan oleh negara-negara kafir. Sebab, sebagian besar penguasa yang berkuasa di negeri-negeri Islam nyaris tidak memperhatikan kemajuan sains dan teknologi, karena tidak mempunyai missi yang harus dikembangkan. Bahkan, tidak ada keinginan untuk menjadi negara besar (adidaya). Hanya saja, masih ada harapan bahwa di negeri-negeri tersebut terdapat berbagai jenis industri dalam jumlah yang cukup memadai. Karena itu, masih terbuka peluang untuk mengarahkan, mendorong, dan menawarkan kepada sebagian penguasa (negara) yang ada sekarang ini untuk mengembangkan berbagai industri yang sudah ada agar dapat menjadi lebih memuaskan hasilnya. Apalagi bila hal tersebut dikaitkan dengan kekayaan alam yang melimpah ruah dalam jumlah besar di negeri-negeri Islam dan dapat dipergunakan untuk membeli alat-alat industri. Bahkan, dapat menggaji tenaga ahli lokal maupun asing dari kalangan non-Muslim, bila hal tersebut memang diperlukan.
Adapun butir yang keempat, yaitu menjadikan negara Islam sebagai negara nomor satu di dunia, maka hal ini merupakan langkah biasa/semestinya ditempuh, setelah sebelumnya mengokohkan langkahnya sebagai negara besar yang mampu mempengaruhi situasi politik di dunia internasional. Usaha tersebut mengharuskan negara Islam mencapai kemajuan di bidang saintek. Langkah ini membutuhkan perhatian besar dari negara serta semangat dan keinginan yang kuat dari ilmuwan Muslim, meskipun langkah ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Tetapi yakinlah bahwa hal tersebut pasti tercapai dengan pertolongan Allah SWT. Sebab, kondisi dan situasi yang akan dialami oleh negara Islam yang merupakan "Khilafah Rasyidah" tentu akan mendorong para ilmuwan Muslim di seluruh dunia untuk berjuang dan mengeluarkan seluruh kemampuan mereka. Bahkan lebih dari itu; mereka akan rela mengorbankan jiwa raganya, memeras keringat dan membanting tulang, demi mewujudkan negara mereka yang kuat dan terbesar di dunia, serta umatnya adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan di tengah-tengah manusia.
Fakta telah berbicara bahwa negara khilafah Islam ternyata mampu menjadi negara nomor satu di dunia, dimulai dari usaha-usaha yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw untuk melumpuhkan kekuasaan dua negara adidaya saat itu, yaitu Persia dan Romawi, yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafa' Ar Rasyidin sampai berhasil pada masa pemerintahan Umar bin Al Khattab. Posisi seperti itu berlanjut dan dipertahankan negara Islam tetap menjadi nomor satu di dunia sampai 1000 tahun kemudian, walaupun kita akui bahwa selama kurun waktu tersebut terdapat berbagai kelemahan yang dialami disebabkan kelemahan umat sendiri pada masa-masa tertentu.
Memang umat Islam adalah umat yang sejak dahulu menjadi umat yang mulia. Ia merupakan umat yang agung dan terhormat kedudukannya. Oleh karena itu, tidak aneh apabila suatu saat ia kembali ke masa kejayaannya, menjalankan tugasnya seperti dahulu. Hanya yang mengherankan adalah bahwa umat Islam terus menerus tidur panjang yang telah berlangsung begitu lama, jauh dari perkiraan sebelumnya. Namun demikian, sinar harapan mulai tampak di wilayah Timur Tengah. Cahaya kemenangan mulai memancar sebagai hasil dari usaha berbagai gerakan Islam. Kelak umat ini akan meraih janji dari Allah SWT sebagaimana firmanNya:
"Jika kamu menolong Allah, maka Allah pasti menolong dan mengukuhkan kedudukanmu di muka bumi" (Muhammad: 7).
Oleh karena itu kepada saudaraku yang bertanya di atas, Anda tidak perlu khawatir akibat berdirinya negara Islam pada masa sulit dan kritis ini. Sebab, dengan berdirinya negara Islam, tidak akan ada lagi faktor yang membinasakan dan menghancurkan umat Islam. Bahkan sesungguhnya, perasaan was-was itu tidak lain adalah hanya sekedar rekayasa musuh-musuh Islam yang tidak ingin melihat berdirinya negara Islam itu. Mereka bermaksud untuk memalingkan orang-orang yang pemikirannya terbatas dan sederhana (kalangan awam) dengan cara mengembangkan informasi yang tidak benar, sehingga timbullah perasaan was-was itu pada diri sebagian kaum Muslimin. Bahkan, yakinlah bahwa dengan berdirinya negara Islam, umat ini bukan malah binasa tetapi malah akan sehat kembali setelah didera penderitaan yang amat panjang, serta meraih kehidupan mulia dan kedudukan yang terkuat di dunia internasional. Kepada Anda, saudaraku, dan kepada seluruh kaum Muslimin di dunia, kami sampaikan firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan RasulNya apabila Allah dan RasulNya menyeru kepada kalian, kepada yang menghidupkan (memuliakan) kamu" (Al Anfaal: 24).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Pemikiran Hizbut Tahrir: Pendirian Negara Islam Daulah Khilafah
Negara Islam adalah seorang khalifah yang menerapkan hukum syara'. Negara Islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu-satunya thariqah yang dijadikan oleh Islam untuk menerapkan sistem dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan dan masyarakat. Inilah yang merupakan pilar hidup dan matinya Islam dalam kehidupan. Tanpa adanya negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta sistem kehidupan akan menjadi pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata. Karena itu, negara Islam harus tetap ada dan bukan hanya temporal keberadaannya.
Negara Islam hanya berdiri di atas landasan akidah Islam, dan akidah Islam inilah yang menjadi asasnya. Secara syar'i akidah Islam, dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari negara. Sehingga sejak pertama kali, ketika Rasulullah saw. membangun sebuah kekuasaan di Madinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera membangun kekuasaan dan pemerintahannya dengan landasan akidah Islam. Maka setelah itu, ayat-ayat tentang perundang-undangan tidak pernah turun lagi.
Beliau telah menjadikan syahadat La Ilaha Illa Allah Wa Anna Muhammadar Rasulullah sebagai asas kehidupan bagi kaum muslimin, yang sekaligus merupakan asas dalam hubungan, secara horisontal, di antara sesama manusia (baik muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, maupun muslim dengan kafir harbi), termasuk dasar pijakan untuk menjaga terjadinya kedzaliman, serta pijakan dalam menyelesaikan persengketaan. Dengan kata lain, akidah Islam merupakan dasar bagi semua masalah kehidupan termasuk landasan pemerintahan dan kekuasaan.
Hanya saja hal itu belum cukup, sehingga Islam memerintahkan berjihad, bahkan mewajibkannya untuk seluruh kaum muslimin agar akidah ini bisa mereka emban kepada seluruh manusia. Rasulullah saw. bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi orang hingga mereka menyatakan LA ILAHA ILLA ALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH, maka bila mereka menyatakannya darah dan harta mereka akan terlindungi dariku kecuali dengan cara yang dibenarkan."
Bahkan, menjaga keberlangsungan akidah Islam sebagai landasan negara hukumnya adalah fardlu bagi seluruh kaum muslimin. Dimana beliau memerintahkan mereka agar mengangkat senjata dan berperang bila kemudian telah nampak kekufuran yang nyata. Yaitu apabila akidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan kekuasaan.
Maka, ketika Rasulullah saw. ditanya tentang pemerintahan yang dzalim: "Tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang (wahai Rasulullah)?" beliau menjawab: "Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)." Beliau juga memerintahkan agar kaum muslimin tidak merebut bai'at dari tangan ulil amri (khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan terjadinya kekufuran secara nyata. Dalam hadits Auf Bin Malik tentang kebobrokan para pemimpin dinyatakan:
"Ditanyakan (kepada Rasul): 'Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang?' Beliau menjawab: 'Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam).'"
Dalam riwayat At Thabrani, beliau menyatakan dengan kata kufran sharrahan (bukan kufran bawwahan). Sedangkan dalam riwayat lain:
"Kecuali jika kalian menyaksikan kemaksiatan kepada Allah secara nyata."
Semuanya ini membuktikan bahwa asas negara Islam adalah akidah Islam. Karena Rasulullah saw. telah membangun kekuasaan berdasarkan asas tersebut. Bahkan, beliau memerintahkan agar mengangkat pedang dalam rangka menjaga keberlangsungan akidah sebagai landasan kekuasaan, serta memerintahkan berjihad dengan tujuan menegakkan akidah tersebut. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun pemikiran, pemahaman, hukum ataupun standar yang tidak digali dari akidah Islam. Sebab, tidak cukup dengan menjadikan landasan negara Islam tersebut hanya sebatas nama, yaitu akidah Islam --namun dalam prakteknya tidak. Bahkan, adanya landasan itu harus tercermin dalam segala hal yang berhubungan dengan keberadaan negara Islam. Termasuk dalam hal-hal yang kecil maupun yang nampak menonjol dalam urusan negara secara keseluruhan. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun konsep tentang kehidupan atau hukum selain yang lahir dari akidah Islam. Akidah Islam pun tidak akan mentolelir konsep dan pemahaman apapun yang tidak lahir dari sana.
Karena itu, negara Islam tidak akan mentolelir konsep demokrasi untuk kemudian diadopsi dalam tubuh negara Islam. Karena demokrasi bukan konsep yang lahir dari akidah Islam. Disamping karena pemahaman-pemahaman yang lahir dari konsep Demokrasi tersebut bertentangan dengan akidah Islam. Konsep Nasionalisme --yang lahir dari demokrasi-- misalnya, dengan lebel apapun tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut tidak lahir dari akidah Islam. Disamping konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam telah mengecam dan mencegah serta menjelaskan bahaya-bahayanya. Konsep Patriotisme (wathaniyah), apapun dan bagaimanapun bentuknya, tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut lahir bukan dari akidah Islam. Disamping karena Patriotisme bertentangan dengan konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam.
Begitu pula dalam struktur negara Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi pemahaman Demokrasi, termasuk pemahaman-pemahaman yang sama status hukumnya dengan demokrasi, seperti pemahaman kekaisaran, monarchi, ataupun republik. Karena semuanya itu tidak dilahirkan dari akidah Islam. Bahkan, semuanya tadi bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam. Disamping, karena dilarang melakukan muhasabah (koreksi) kepada negara Islam dengan landasan selain akidah Islam, baik yang dilakukan oleh individu, gerakan maupun organisasi yang lain. Bahkan, dilarang mendirikan gerakan, organisasi, atau partai-partai dengan landasan selain akidah Islam. Karena dengan adanya akidah Islam sebagai landasan sebuah negara, maka semuanya menjadi suatu keharusan. Semuanya tadi diharuskan kepada penguasa beserta seluruh rakyat yang diperintah oleh negara Islam.
Dengan dijadikannya akidah Islam sebagai landasan negara Islam, maka mengharuskan undang-undang dasarnya serta perundang-undangan yang lain harus digali dari kitabullah serta sunnah Rasulullah. Allah SWT. telah memerintahkan kepada para penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya. Allah SWT. juga telah mengkleim orang-orang yang menerapkan hukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh-Nya sebagai orang kafir, apabila dia meyakini apa yang dia terapkan. Juga yakin bahwa apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya tidak memiliki otoritas apa-apa. Namun, Allah SWT. hanya akan mengkleim orang tersebut sebagai orang yang melakukan maksiat, baik fasik maupun dzalim, apabila dia menerapkan hukum tersebut namun tidak meyakini kebenaran hukum yang dia terapkan.
Sedangkan perintah Allah SWT. kepada penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan hukum yang diturunkan oleh Allah tadi telah ditetapkan berdasarkan Al Qur'an dan As Sunah. Allah SWT. berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Q.S. An Nisa': 65)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
Karena itulah, maka perundang-undangan negara Islam dibatasi hanya berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan, Allah sendiri mengancam orang yang menerapkan hukum selain hukum yang diturunkan-Nya, yaitu hukum-hukum kufur, dengan firman-Nya:
"Dan barang siapa yang tidak menerapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir." (Q.S. Al Maidah: 44) Rasulullah saw. juga bersabda:
"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti perintahku, maka perbuatan itu akan tertolak."
Semuanya ini menunjukkan bahwa seluruh perundang-undangan negara Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang yang lain ditentukan hanya berdasarkan hukum-hukum syara' yang digali dari akidah Islam. Yaitu hukum-hukum yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunah yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya serta di dalam sumber hukum yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijma' sahabat dan qiyas (dalil analogi berdasarkan illat dan ma'lul).
Tatkala seruan As Syari' (Allah) tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia serta mengharuskan seluruh manusia dalam setiap aktivitasnya terikat dengan seruan tersebut, maka sistem yang berhak mengatur aktivitas tersebut harus dibuat oleh Allah SWT. Dimana syari'at Islam diturunkan berhubungan dengan seluruh aktivitas manusia beserta seluruh hubungan mereka, baik hubungan mereka, secara vertikal, dengan Allah atau dengan diri mereka sendiri maupun hubungan mereka, secara horisontal, dengan sesamanya. Karena itu, di dalam Islam tidak ada tempat untuk membuat undang-undang negara, yang bersumber dari produk otak manusia, yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan mereka. Sebab, mereka semua terikat dengan hukum syara'. Allah SWT. berfirman:
"Dan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah. Serta apa yang dicegah olehnya, maka tinggalkanlah." (Q.S. Al Hasyr: 7)
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya tekah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Q.S. Al Ahzab: 36)
Rasulullah SAW. juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memfardlukan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian melenyapkannya. Dan Dia telah melarang beberapa hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia juga telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya."
"Dan barang siapa yang membuat-buat (hal baru) dalam urusanku ini, yang tidak ada tuntunannya maka perbuatan (yang baru) tersebut tertolak."
Karena itu, esensinya Allah-lah yang mensyari'atkan hukum, dan bukan penguasa. Dia-lah sesungguhnya yang telah memaksa seluruh manusia termasuk penguasa, agar mengikuti-Nya dalam mengatur seluruh hubungan serta aktivitas mereka. Disamping telah membatasi mereka hanya dengan hukum tersebut, dan melarang mereka untuk mengikuti hukum yang lain.
Karena itu, tidak ada tempat bagi manusia di dalam negara Islam untuk membuat hukum yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan manusia, termasuk di antaranya adalah membuat undang-undang dasar atau perundang-undangan yang lain. Dan tidak ada tempat lagi bagi penguasa untuk memaksa manusia atau memberikan alternatif kepada mereka agar mengikuti ketentuan serta hukum buatan manusia dalam mengatur interaksi mereka.
Dengan asas akidah Islam itulah, Rasulullah saw. benar-benar telah berhasil mendirikan negara Islam di Madinah Al Munawwarah. Dimana di atas asas tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan serta hubungan ke dalam dan ke luar negara beliau. Maka, semenjak beliau datang ke Madinah beliau langsung memimpin kaum muslimin, melayani kepentingan mereka, me-manage urusan-urusan mereka, membentuk masyarakat Islam, serta mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah serta Bani Mudlij, lalu dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba' dan Adzrah. Beliau melakukan perjanjian agar jangan sampai ada orang yang menghalang-halangi orang yang akan menunaikan ibadah haji. Juga agar tidak seorang pun yang ditakut-takuti pada syahrul haram (bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, serta Rajab). Beliau juga pernah mengirim Hamzah Bin Abdul Muthallib, Muhammad Bin Ubaidah Bin Al Harits, serta Sa'ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, kadang beliau sendiri yang memimpin langsung pasukannya. Bahkan beliau juga terjun langsung dengan pasukannya dalam sebuah pertempuran yang dahsyat. Beliau juga pernah mengangkat para wali (pemimpin daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para amil (pemimpin daerah tingkat II) untuk beberapa negari. Beliau pernah menunjuk Utab Bin Usaid untuk menjadi wali di Makkah setelah kota ini ditaklukkan. Kemudian setelah Badzan Bin Sasan memeluk Islam, dia diminta untuk menjadi wali di Yaman. Beliau juga pernah mengangkat Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji untuk menjadi wali di Janad. Khalid Bin Walid menjadi amil di Shun'a'. Ziyad Bin Lubaid Bin Tsa'labah Al Anshari menjadi wali di Hadramaut. Abu Musa Al Asy'ari menjadi wali di Zabid dan Adn. Amru Bin Al Ash di Oman. Abu Dujanah menjadi amil di Madinah.
Ketika beliau menunjuk para wali tersebut, beliau senantiasa memilih orang yang paling sempurna dalam melaksanakan tugasnya di antara mereka, untuk menjadi wali atau amil beliau. Beliau juga senantiasa menanamkan iman dalam benak mereka yang akan diterjunkan ke daerah yang telah ditentukan oleh beliau. Beliau juga selalu menanyai mereka tentang cara yang akan mereka pergunakan dalam menentukan keputusan mereka. Diriwayatkan dari beliau, bahwa beliau pernah bertanya kepada Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji, ketika beliau mengutusnya ke Yaman:
"Dengan apa kamu akan memutuskan (suatu perkara)?, (Mu'ad) menjawab: 'Dengan kitab Allah'. Beliau bertanya: 'Jika kamu tidak menemukan?', (Mu'ad) menjawab: 'Dengan sunah Rasul-Nya'. Beliau bertanya lagi: 'Jika kamu tidak menemukannya?' (Mu'ad) menjawab: 'Saya akan berijtihad dengan pendapatku'. Beliau lalu bersabda: 'Segala puji hanya milik Allah, yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu yang amat dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya."
Diriwayatkan juga bahwa ketika Nabi saw. menunjuk Aban Bin Sa'id menjadi wali di Bahrain, beliau bersabda kepadanya:
"Mintalah nasihat kebajikan kepada Abdi Qais serta muliakanlah penduduknya."
Rasulullah saw. selalu mengutus orang yang terbaik, yang telah masuk Islam. Beliau biasanya memerintahkan mereka agar mengajari masalah agama kepada orang-orang yang baru masuk Islam, serta mengambil zakat dari mereka. Dalam berbagai keadaan, beliau menyerahkan urusan tersebut kepada para wali agar wali tersebut yang menarik zakat. Beliau juga menyerukan kepada mereka agar memberikan kabar gembira kepada seluruh manusia, serta mengajarkan Al Qur'an kepada mereka, dan mendidik mereka dalam hal keagamaan hingga betul-betul faqih (ahli). Beliau juga mengingatkan mereka agar tidak bersikap lemah dalam masalah yang jelas-jelas benar. Bahkan, beliau menganjurkan agar bersikap keras terhadap kedzaliman. Dan mencegah orang-orang agar tidak memprovokasikan kesukuan dan ras tertentu, sehingga provokasi mereka hanya kepada Allah semata, yang tidak akan mereka persekutukan dengan apapun yang lain. Serta mengambil khumus al amwal (1/5 dari harta temuan) dan sedekah-sedekah yang telah telah diwajibkan atas kaum muslimin (zakat mal dan sejenisnya).
Orang Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk Islam dengan tulus dari lubuk hati mereka sendiri, maka mereka adalah orang-orang mukmin. Dimana mereka berhak mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana layaknya orang mukmin yang lain. Sedangkan mereka yang tetap dalam kenasranian dan keyahudiannya, tetap akan dilindungi. Sebagaimana yang tertuang dalam pernyataan Rasulullah kepada Mu'ad Bin Jabal, saat beliau mengutusnya ke Yaman:
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kamu sampaikan kepada mereka adalah ibadah kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, sampaikan kepada mereka bahwa Allah memfardlukan kepada mereka zakat yang akan diambil dari mereka yang kaya, kemudian akan diberikan kepada yang miskin. Jika mereka menaatinya, maka ambillah (zakat) dari mereka, dan kehormatan hartanya pun akan dijaga. Berhati-hatilah, terhadap doa orang-orang yang terdzalimi. Sebab antara mereka dengan Allah tidak terdapat hijab (tabir pemisah)."
Dalam keadaan tertentu Rasulullah saw. mengirim orang khusus untuk mengurusi masalah harta. Karenanya, setiap tahun Rasul selalu mengutus Abdullah Bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka. Mereka pernah mengadu kepada utusan Rasul tersebut karena beban pemungutannya terlampau berat, lalu mereka ingin menyogok Abdullah Bin Rawwahah. Mereka kemudian mengumpulkan cincin istri-istri mereka. Dan mereka katakan kepada Abdullah: "Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah (pungutan) yang menjadi beban kami. Dan bagilah secara merata." Abdullah kemudian menjawab: "Hai orang-orang Yahudi, (dengarkan) bagi kami kalian adalah orang yang paling dimurkai Allah. Harta ini tidak akan aku ambil dengan harapan aku akan memperingan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Dan sungguh kami tidak akan memakannya." Mereka kemudian berkomentar: "Karena sikap seperti inilah, maka langit dan bumi ini senantiasa tetap akan tegak."
Rasulullah saw. juga senantiasa mengorek keadaan para wali dan amil beliau. Beliau juga memperhatikan informasi-informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau. Beliau pernah memberhentikan Ila' Bin Al Hadhrami dari jabatannya sebagai amil beliau di Bahrain, karena ada utusan dari Abdi Qaid yang mengadukannya kepada Nabi. Dan Rasul pun memenuhi kritik yang ditujukan kepada amil beliau. Beliau juga selalu mengontrol anggaran dan pengeluaran mereka.
Rasul juga telah mempergunakan seseorang yang secara khusus mengambil zakat. Maka tatkala kembali, beliau mengontrolnya kemudian orang tersebut mengatakan: "Ini untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini telah dihadiahkan kepadaku." Beliau lalu bersabda:
"Mengapa bisa terjadi pada orang yang aku utus untuk melaksanakan tugas tertentu yang Allah berikan kepada kami, lalu mengatakan: 'Ini adalah untukmu, sedangkan yang ini telah dihadiahkan kepadaku.' Mengapa dia tidak tinggal diam di rumah bapak-ibunya saja lalu kita lihat, apakah dia akan mendapat hadiah atau tidak."
Beliau melanjutkan sabdanya:
"Orang yang telah kami tugaskan untuk melaksanakan amal tertentu, kemudian kami bayar dengan bayaran tertentu, maka jika masih mendapatkan di luar itu tidak ada lain kecuali ghulul (harta haram)."
Penduduk Yaman pernah melapor tentang bacaan yang dibaca Mu'ad Bin Jabal ketika menjadi imam shalat, yang terlampau panjang, maka Nabi segera menegurnya. Dan beliau bersabda:
"Barang siapa yang menjadi imam orang lain (dalam shalat) hendaknya memperingan (bacaannya)."
Nabi saw. pernah mengangkat para qadli untuk menegakkan hukum di tengah-tengah rakyat. Beliau pernah mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai qadli di Yaman dan Abdullah Bin Naufal sebagai qadli di Madinah. Beliau juga pernah menugaskan Mu'ad Bin Jabal dan Abu Musa Al Asy'ari untuk menjadi qadli di Yaman (Yaman Utara dan Selatan). Rasul pernah menanyai mereka berdua:
"Dengan apa kalian (berdua) akan menghukumi?" Mereka berdua menjawab: 'Jika kami tidak menemukannya di dalam Al Kitab dan As Sunah, kami akan menganalogkan (mengqiyaskan) satu masalah dengan masalah lain. Mana yang lebih mendekati kepada kebenaran, maka itulah yang akan kami pergunakan.'"
Dan Nabi pun membenarkannya. Sikap beliau ini menunjukkan, bahwa beliau senantiasa memilih para qadli serta menentukan tata cara mereka mengambil keputusan. Dan ternyata tidak hanya menentukan para qadli biasa, bahkan beliau menetapkan qadli madhalim (PTUN). Beliau pernah menugaskan Rasyid Bin Abdullah sebagai kepala qadli sekaligus qadli madhalim. Kemudian, beliau memberikan wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara-perkara kedzaliman.
Nabi saw. juga mengatur seluruh kepentingan rakyat. Beliau mengangkat para penulis untuk mengatur kepentingan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. Ali Bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian, apabila Nabi sedang melakukan perjanjian serta penulis perdamaian, apabila beliau sedang melakukan perdamaian. Harits Bin Auf Al Mari mengurusi cincin beliau (yang menjadi stemple negara beliau). Mu'aiqib Bin Abi Fatimah menjadi penulis ganimah (harta hasil rampasan perang, setelah mengalami kemenangan dalam peperangan). Hudzaifah menjadi pencatat hasil pendapatan tanah Hijaz. Zubeir Bin Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah Bin Syu'bah menjadi pencatat hutang-hutang serta transaksi-transaksi mu'amalah. Surahbil Bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis), yang bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.
Nabi saw. sering bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Beliau tidak pernah lepas dari saran-saran ahli ra'yu (para pemikir) serta orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan berfikir dan kelebihan. Dimana mereka semua memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketakwaan mereka, dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah, tujuh orang dari kaum Anshar dan tujuh yang lainnya dari kaum Muhajirin. Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja'far, Ali, Umar, Ibnu Mas'ud, Salman, Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan Bilal Bin Rabbah. Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Hanya saja bedanya, frekwensi beliau bermusyawarah dengan mereka lebih intens. Jadi, mereka layaknya adalah seperti majelis syura.
Nabi saw. telah menetapkan harta atas kaum muslimin serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyur (pungutan 1/10 di daerah perbatasan), fai' (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya tanpa terjadinya peperangan), kharaj, jizyah. Dimana anfal serta ghanimah tersebut menjadi milik baitul mal. Sedangkan distribusi zakat, diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam Al Qur'an. Dan sedikit pun tidak akan diberikan kepada kelompok yang lain. Begitu pula dalam urusan negara, negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari sana. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai', kharaj, jizyah, serta ghanimah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Dan negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.
Demikianlah, Rasulullah saw. membangun struktur negara Islam sendiri, kemudian beliau sempurnakan semasa hidup beliau. Dan beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau juga memiliki dua mu'awin (pembantu), wali, amil, qadli, pasukan, dirjen departemen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah thariqah yang wajib diikuti. Semuanya tadi telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.
Rasulullah saw. senantiasa menjalankan tugas sebagai kepala negara semenjak tiba di Madinah hingga beliau wafat, sementara Abu Bakar dan Umar Bin Khattab adalah mu'awin beliau. Para sahabat, sepeninggal beliau, juga telah sepakat untuk mengangkat kepala negara yang menjadi penerus Rasulullah saw. dalam memimpin negara, bukan sebagai penerus kerasulan dan penerus kenabian. Sebab, kenabian dan kerasulan ini telah berakhir pada beliau saja. Demikianlah Rasulullah saw. telah membangun struktur negara secara sempurna dalam kehidupan beliau. Beliau telah meninggalkan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas.
Negara Islam hanya berdiri di atas landasan akidah Islam, dan akidah Islam inilah yang menjadi asasnya. Secara syar'i akidah Islam, dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari negara. Sehingga sejak pertama kali, ketika Rasulullah saw. membangun sebuah kekuasaan di Madinah serta memimpin pemerintahan di sana, beliau segera membangun kekuasaan dan pemerintahannya dengan landasan akidah Islam. Maka setelah itu, ayat-ayat tentang perundang-undangan tidak pernah turun lagi.
Beliau telah menjadikan syahadat La Ilaha Illa Allah Wa Anna Muhammadar Rasulullah sebagai asas kehidupan bagi kaum muslimin, yang sekaligus merupakan asas dalam hubungan, secara horisontal, di antara sesama manusia (baik muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, maupun muslim dengan kafir harbi), termasuk dasar pijakan untuk menjaga terjadinya kedzaliman, serta pijakan dalam menyelesaikan persengketaan. Dengan kata lain, akidah Islam merupakan dasar bagi semua masalah kehidupan termasuk landasan pemerintahan dan kekuasaan.
Hanya saja hal itu belum cukup, sehingga Islam memerintahkan berjihad, bahkan mewajibkannya untuk seluruh kaum muslimin agar akidah ini bisa mereka emban kepada seluruh manusia. Rasulullah saw. bersabda:
"Aku diperintahkan untuk memerangi orang hingga mereka menyatakan LA ILAHA ILLA ALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH, maka bila mereka menyatakannya darah dan harta mereka akan terlindungi dariku kecuali dengan cara yang dibenarkan."
Bahkan, menjaga keberlangsungan akidah Islam sebagai landasan negara hukumnya adalah fardlu bagi seluruh kaum muslimin. Dimana beliau memerintahkan mereka agar mengangkat senjata dan berperang bila kemudian telah nampak kekufuran yang nyata. Yaitu apabila akidah Islam tidak lagi dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan kekuasaan.
Maka, ketika Rasulullah saw. ditanya tentang pemerintahan yang dzalim: "Tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang (wahai Rasulullah)?" beliau menjawab: "Jangan, selagi mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)." Beliau juga memerintahkan agar kaum muslimin tidak merebut bai'at dari tangan ulil amri (khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan terjadinya kekufuran secara nyata. Dalam hadits Auf Bin Malik tentang kebobrokan para pemimpin dinyatakan:
"Ditanyakan (kepada Rasul): 'Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka itu dengan pedang?' Beliau menjawab: 'Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam).'"
Dalam riwayat At Thabrani, beliau menyatakan dengan kata kufran sharrahan (bukan kufran bawwahan). Sedangkan dalam riwayat lain:
"Kecuali jika kalian menyaksikan kemaksiatan kepada Allah secara nyata."
Semuanya ini membuktikan bahwa asas negara Islam adalah akidah Islam. Karena Rasulullah saw. telah membangun kekuasaan berdasarkan asas tersebut. Bahkan, beliau memerintahkan agar mengangkat pedang dalam rangka menjaga keberlangsungan akidah sebagai landasan kekuasaan, serta memerintahkan berjihad dengan tujuan menegakkan akidah tersebut. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun pemikiran, pemahaman, hukum ataupun standar yang tidak digali dari akidah Islam. Sebab, tidak cukup dengan menjadikan landasan negara Islam tersebut hanya sebatas nama, yaitu akidah Islam --namun dalam prakteknya tidak. Bahkan, adanya landasan itu harus tercermin dalam segala hal yang berhubungan dengan keberadaan negara Islam. Termasuk dalam hal-hal yang kecil maupun yang nampak menonjol dalam urusan negara secara keseluruhan. Karena itu, negara Islam tidak diperbolehkan memiliki satu pun konsep tentang kehidupan atau hukum selain yang lahir dari akidah Islam. Akidah Islam pun tidak akan mentolelir konsep dan pemahaman apapun yang tidak lahir dari sana.
Karena itu, negara Islam tidak akan mentolelir konsep demokrasi untuk kemudian diadopsi dalam tubuh negara Islam. Karena demokrasi bukan konsep yang lahir dari akidah Islam. Disamping karena pemahaman-pemahaman yang lahir dari konsep Demokrasi tersebut bertentangan dengan akidah Islam. Konsep Nasionalisme --yang lahir dari demokrasi-- misalnya, dengan lebel apapun tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut tidak lahir dari akidah Islam. Disamping konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam telah mengecam dan mencegah serta menjelaskan bahaya-bahayanya. Konsep Patriotisme (wathaniyah), apapun dan bagaimanapun bentuknya, tetap tidak diperbolehkan. Karena konsep tersebut lahir bukan dari akidah Islam. Disamping karena Patriotisme bertentangan dengan konsep-konsep yang lahir dari akidah Islam.
Begitu pula dalam struktur negara Islam tidak terdapat kementerian sebagaimana dalam tradisi pemahaman Demokrasi, termasuk pemahaman-pemahaman yang sama status hukumnya dengan demokrasi, seperti pemahaman kekaisaran, monarchi, ataupun republik. Karena semuanya itu tidak dilahirkan dari akidah Islam. Bahkan, semuanya tadi bertentangan dengan konsep yang lahir dari akidah Islam. Disamping, karena dilarang melakukan muhasabah (koreksi) kepada negara Islam dengan landasan selain akidah Islam, baik yang dilakukan oleh individu, gerakan maupun organisasi yang lain. Bahkan, dilarang mendirikan gerakan, organisasi, atau partai-partai dengan landasan selain akidah Islam. Karena dengan adanya akidah Islam sebagai landasan sebuah negara, maka semuanya menjadi suatu keharusan. Semuanya tadi diharuskan kepada penguasa beserta seluruh rakyat yang diperintah oleh negara Islam.
Dengan dijadikannya akidah Islam sebagai landasan negara Islam, maka mengharuskan undang-undang dasarnya serta perundang-undangan yang lain harus digali dari kitabullah serta sunnah Rasulullah. Allah SWT. telah memerintahkan kepada para penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya. Allah SWT. juga telah mengkleim orang-orang yang menerapkan hukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh-Nya sebagai orang kafir, apabila dia meyakini apa yang dia terapkan. Juga yakin bahwa apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya tidak memiliki otoritas apa-apa. Namun, Allah SWT. hanya akan mengkleim orang tersebut sebagai orang yang melakukan maksiat, baik fasik maupun dzalim, apabila dia menerapkan hukum tersebut namun tidak meyakini kebenaran hukum yang dia terapkan.
Sedangkan perintah Allah SWT. kepada penguasa agar menerapkan hukum sesuai dengan hukum yang diturunkan oleh Allah tadi telah ditetapkan berdasarkan Al Qur'an dan As Sunah. Allah SWT. berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Q.S. An Nisa': 65)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
Karena itulah, maka perundang-undangan negara Islam dibatasi hanya berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan, Allah sendiri mengancam orang yang menerapkan hukum selain hukum yang diturunkan-Nya, yaitu hukum-hukum kufur, dengan firman-Nya:
"Dan barang siapa yang tidak menerapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir." (Q.S. Al Maidah: 44) Rasulullah saw. juga bersabda:
"Setiap perbuatan yang tidak mengikuti perintahku, maka perbuatan itu akan tertolak."
Semuanya ini menunjukkan bahwa seluruh perundang-undangan negara Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang yang lain ditentukan hanya berdasarkan hukum-hukum syara' yang digali dari akidah Islam. Yaitu hukum-hukum yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunah yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul-Nya serta di dalam sumber hukum yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu ijma' sahabat dan qiyas (dalil analogi berdasarkan illat dan ma'lul).
Tatkala seruan As Syari' (Allah) tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia serta mengharuskan seluruh manusia dalam setiap aktivitasnya terikat dengan seruan tersebut, maka sistem yang berhak mengatur aktivitas tersebut harus dibuat oleh Allah SWT. Dimana syari'at Islam diturunkan berhubungan dengan seluruh aktivitas manusia beserta seluruh hubungan mereka, baik hubungan mereka, secara vertikal, dengan Allah atau dengan diri mereka sendiri maupun hubungan mereka, secara horisontal, dengan sesamanya. Karena itu, di dalam Islam tidak ada tempat untuk membuat undang-undang negara, yang bersumber dari produk otak manusia, yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan mereka. Sebab, mereka semua terikat dengan hukum syara'. Allah SWT. berfirman:
"Dan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah. Serta apa yang dicegah olehnya, maka tinggalkanlah." (Q.S. Al Hasyr: 7)
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya tekah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Q.S. Al Ahzab: 36)
Rasulullah SAW. juga bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memfardlukan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian melenyapkannya. Dan Dia telah melarang beberapa hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia juga telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya."
"Dan barang siapa yang membuat-buat (hal baru) dalam urusanku ini, yang tidak ada tuntunannya maka perbuatan (yang baru) tersebut tertolak."
Karena itu, esensinya Allah-lah yang mensyari'atkan hukum, dan bukan penguasa. Dia-lah sesungguhnya yang telah memaksa seluruh manusia termasuk penguasa, agar mengikuti-Nya dalam mengatur seluruh hubungan serta aktivitas mereka. Disamping telah membatasi mereka hanya dengan hukum tersebut, dan melarang mereka untuk mengikuti hukum yang lain.
Karena itu, tidak ada tempat bagi manusia di dalam negara Islam untuk membuat hukum yang dipergunakan untuk mengatur seluruh hubungan manusia, termasuk di antaranya adalah membuat undang-undang dasar atau perundang-undangan yang lain. Dan tidak ada tempat lagi bagi penguasa untuk memaksa manusia atau memberikan alternatif kepada mereka agar mengikuti ketentuan serta hukum buatan manusia dalam mengatur interaksi mereka.
Dengan asas akidah Islam itulah, Rasulullah saw. benar-benar telah berhasil mendirikan negara Islam di Madinah Al Munawwarah. Dimana di atas asas tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan serta hubungan ke dalam dan ke luar negara beliau. Maka, semenjak beliau datang ke Madinah beliau langsung memimpin kaum muslimin, melayani kepentingan mereka, me-manage urusan-urusan mereka, membentuk masyarakat Islam, serta mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah serta Bani Mudlij, lalu dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba' dan Adzrah. Beliau melakukan perjanjian agar jangan sampai ada orang yang menghalang-halangi orang yang akan menunaikan ibadah haji. Juga agar tidak seorang pun yang ditakut-takuti pada syahrul haram (bulan Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, serta Rajab). Beliau juga pernah mengirim Hamzah Bin Abdul Muthallib, Muhammad Bin Ubaidah Bin Al Harits, serta Sa'ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, kadang beliau sendiri yang memimpin langsung pasukannya. Bahkan beliau juga terjun langsung dengan pasukannya dalam sebuah pertempuran yang dahsyat. Beliau juga pernah mengangkat para wali (pemimpin daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para amil (pemimpin daerah tingkat II) untuk beberapa negari. Beliau pernah menunjuk Utab Bin Usaid untuk menjadi wali di Makkah setelah kota ini ditaklukkan. Kemudian setelah Badzan Bin Sasan memeluk Islam, dia diminta untuk menjadi wali di Yaman. Beliau juga pernah mengangkat Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji untuk menjadi wali di Janad. Khalid Bin Walid menjadi amil di Shun'a'. Ziyad Bin Lubaid Bin Tsa'labah Al Anshari menjadi wali di Hadramaut. Abu Musa Al Asy'ari menjadi wali di Zabid dan Adn. Amru Bin Al Ash di Oman. Abu Dujanah menjadi amil di Madinah.
Ketika beliau menunjuk para wali tersebut, beliau senantiasa memilih orang yang paling sempurna dalam melaksanakan tugasnya di antara mereka, untuk menjadi wali atau amil beliau. Beliau juga senantiasa menanamkan iman dalam benak mereka yang akan diterjunkan ke daerah yang telah ditentukan oleh beliau. Beliau juga selalu menanyai mereka tentang cara yang akan mereka pergunakan dalam menentukan keputusan mereka. Diriwayatkan dari beliau, bahwa beliau pernah bertanya kepada Mu'ad Bin Jabal Al Khazraji, ketika beliau mengutusnya ke Yaman:
"Dengan apa kamu akan memutuskan (suatu perkara)?, (Mu'ad) menjawab: 'Dengan kitab Allah'. Beliau bertanya: 'Jika kamu tidak menemukan?', (Mu'ad) menjawab: 'Dengan sunah Rasul-Nya'. Beliau bertanya lagi: 'Jika kamu tidak menemukannya?' (Mu'ad) menjawab: 'Saya akan berijtihad dengan pendapatku'. Beliau lalu bersabda: 'Segala puji hanya milik Allah, yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu yang amat dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya."
Diriwayatkan juga bahwa ketika Nabi saw. menunjuk Aban Bin Sa'id menjadi wali di Bahrain, beliau bersabda kepadanya:
"Mintalah nasihat kebajikan kepada Abdi Qais serta muliakanlah penduduknya."
Rasulullah saw. selalu mengutus orang yang terbaik, yang telah masuk Islam. Beliau biasanya memerintahkan mereka agar mengajari masalah agama kepada orang-orang yang baru masuk Islam, serta mengambil zakat dari mereka. Dalam berbagai keadaan, beliau menyerahkan urusan tersebut kepada para wali agar wali tersebut yang menarik zakat. Beliau juga menyerukan kepada mereka agar memberikan kabar gembira kepada seluruh manusia, serta mengajarkan Al Qur'an kepada mereka, dan mendidik mereka dalam hal keagamaan hingga betul-betul faqih (ahli). Beliau juga mengingatkan mereka agar tidak bersikap lemah dalam masalah yang jelas-jelas benar. Bahkan, beliau menganjurkan agar bersikap keras terhadap kedzaliman. Dan mencegah orang-orang agar tidak memprovokasikan kesukuan dan ras tertentu, sehingga provokasi mereka hanya kepada Allah semata, yang tidak akan mereka persekutukan dengan apapun yang lain. Serta mengambil khumus al amwal (1/5 dari harta temuan) dan sedekah-sedekah yang telah telah diwajibkan atas kaum muslimin (zakat mal dan sejenisnya).
Orang Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk Islam dengan tulus dari lubuk hati mereka sendiri, maka mereka adalah orang-orang mukmin. Dimana mereka berhak mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana layaknya orang mukmin yang lain. Sedangkan mereka yang tetap dalam kenasranian dan keyahudiannya, tetap akan dilindungi. Sebagaimana yang tertuang dalam pernyataan Rasulullah kepada Mu'ad Bin Jabal, saat beliau mengutusnya ke Yaman:
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kamu sampaikan kepada mereka adalah ibadah kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, sampaikan kepada mereka bahwa Allah memfardlukan kepada mereka zakat yang akan diambil dari mereka yang kaya, kemudian akan diberikan kepada yang miskin. Jika mereka menaatinya, maka ambillah (zakat) dari mereka, dan kehormatan hartanya pun akan dijaga. Berhati-hatilah, terhadap doa orang-orang yang terdzalimi. Sebab antara mereka dengan Allah tidak terdapat hijab (tabir pemisah)."
Dalam keadaan tertentu Rasulullah saw. mengirim orang khusus untuk mengurusi masalah harta. Karenanya, setiap tahun Rasul selalu mengutus Abdullah Bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka. Mereka pernah mengadu kepada utusan Rasul tersebut karena beban pemungutannya terlampau berat, lalu mereka ingin menyogok Abdullah Bin Rawwahah. Mereka kemudian mengumpulkan cincin istri-istri mereka. Dan mereka katakan kepada Abdullah: "Ini (hadiah) untukmu dan peringanlah (pungutan) yang menjadi beban kami. Dan bagilah secara merata." Abdullah kemudian menjawab: "Hai orang-orang Yahudi, (dengarkan) bagi kami kalian adalah orang yang paling dimurkai Allah. Harta ini tidak akan aku ambil dengan harapan aku akan memperingan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang kalian berikan ini, sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Dan sungguh kami tidak akan memakannya." Mereka kemudian berkomentar: "Karena sikap seperti inilah, maka langit dan bumi ini senantiasa tetap akan tegak."
Rasulullah saw. juga senantiasa mengorek keadaan para wali dan amil beliau. Beliau juga memperhatikan informasi-informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau. Beliau pernah memberhentikan Ila' Bin Al Hadhrami dari jabatannya sebagai amil beliau di Bahrain, karena ada utusan dari Abdi Qaid yang mengadukannya kepada Nabi. Dan Rasul pun memenuhi kritik yang ditujukan kepada amil beliau. Beliau juga selalu mengontrol anggaran dan pengeluaran mereka.
Rasul juga telah mempergunakan seseorang yang secara khusus mengambil zakat. Maka tatkala kembali, beliau mengontrolnya kemudian orang tersebut mengatakan: "Ini untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini telah dihadiahkan kepadaku." Beliau lalu bersabda:
"Mengapa bisa terjadi pada orang yang aku utus untuk melaksanakan tugas tertentu yang Allah berikan kepada kami, lalu mengatakan: 'Ini adalah untukmu, sedangkan yang ini telah dihadiahkan kepadaku.' Mengapa dia tidak tinggal diam di rumah bapak-ibunya saja lalu kita lihat, apakah dia akan mendapat hadiah atau tidak."
Beliau melanjutkan sabdanya:
"Orang yang telah kami tugaskan untuk melaksanakan amal tertentu, kemudian kami bayar dengan bayaran tertentu, maka jika masih mendapatkan di luar itu tidak ada lain kecuali ghulul (harta haram)."
Penduduk Yaman pernah melapor tentang bacaan yang dibaca Mu'ad Bin Jabal ketika menjadi imam shalat, yang terlampau panjang, maka Nabi segera menegurnya. Dan beliau bersabda:
"Barang siapa yang menjadi imam orang lain (dalam shalat) hendaknya memperingan (bacaannya)."
Nabi saw. pernah mengangkat para qadli untuk menegakkan hukum di tengah-tengah rakyat. Beliau pernah mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai qadli di Yaman dan Abdullah Bin Naufal sebagai qadli di Madinah. Beliau juga pernah menugaskan Mu'ad Bin Jabal dan Abu Musa Al Asy'ari untuk menjadi qadli di Yaman (Yaman Utara dan Selatan). Rasul pernah menanyai mereka berdua:
"Dengan apa kalian (berdua) akan menghukumi?" Mereka berdua menjawab: 'Jika kami tidak menemukannya di dalam Al Kitab dan As Sunah, kami akan menganalogkan (mengqiyaskan) satu masalah dengan masalah lain. Mana yang lebih mendekati kepada kebenaran, maka itulah yang akan kami pergunakan.'"
Dan Nabi pun membenarkannya. Sikap beliau ini menunjukkan, bahwa beliau senantiasa memilih para qadli serta menentukan tata cara mereka mengambil keputusan. Dan ternyata tidak hanya menentukan para qadli biasa, bahkan beliau menetapkan qadli madhalim (PTUN). Beliau pernah menugaskan Rasyid Bin Abdullah sebagai kepala qadli sekaligus qadli madhalim. Kemudian, beliau memberikan wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara-perkara kedzaliman.
Nabi saw. juga mengatur seluruh kepentingan rakyat. Beliau mengangkat para penulis untuk mengatur kepentingan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. Ali Bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian, apabila Nabi sedang melakukan perjanjian serta penulis perdamaian, apabila beliau sedang melakukan perdamaian. Harits Bin Auf Al Mari mengurusi cincin beliau (yang menjadi stemple negara beliau). Mu'aiqib Bin Abi Fatimah menjadi penulis ganimah (harta hasil rampasan perang, setelah mengalami kemenangan dalam peperangan). Hudzaifah menjadi pencatat hasil pendapatan tanah Hijaz. Zubeir Bin Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah Bin Syu'bah menjadi pencatat hutang-hutang serta transaksi-transaksi mu'amalah. Surahbil Bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis), yang bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.
Nabi saw. sering bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Beliau tidak pernah lepas dari saran-saran ahli ra'yu (para pemikir) serta orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan berfikir dan kelebihan. Dimana mereka semua memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketakwaan mereka, dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah, tujuh orang dari kaum Anshar dan tujuh yang lainnya dari kaum Muhajirin. Diantaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja'far, Ali, Umar, Ibnu Mas'ud, Salman, Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan Bilal Bin Rabbah. Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Hanya saja bedanya, frekwensi beliau bermusyawarah dengan mereka lebih intens. Jadi, mereka layaknya adalah seperti majelis syura.
Nabi saw. telah menetapkan harta atas kaum muslimin serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyur (pungutan 1/10 di daerah perbatasan), fai' (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya tanpa terjadinya peperangan), kharaj, jizyah. Dimana anfal serta ghanimah tersebut menjadi milik baitul mal. Sedangkan distribusi zakat, diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam Al Qur'an. Dan sedikit pun tidak akan diberikan kepada kelompok yang lain. Begitu pula dalam urusan negara, negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari sana. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai', kharaj, jizyah, serta ghanimah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Dan negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.
Demikianlah, Rasulullah saw. membangun struktur negara Islam sendiri, kemudian beliau sempurnakan semasa hidup beliau. Dan beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau juga memiliki dua mu'awin (pembantu), wali, amil, qadli, pasukan, dirjen departemen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah thariqah yang wajib diikuti. Semuanya tadi telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.
Rasulullah saw. senantiasa menjalankan tugas sebagai kepala negara semenjak tiba di Madinah hingga beliau wafat, sementara Abu Bakar dan Umar Bin Khattab adalah mu'awin beliau. Para sahabat, sepeninggal beliau, juga telah sepakat untuk mengangkat kepala negara yang menjadi penerus Rasulullah saw. dalam memimpin negara, bukan sebagai penerus kerasulan dan penerus kenabian. Sebab, kenabian dan kerasulan ini telah berakhir pada beliau saja. Demikianlah Rasulullah saw. telah membangun struktur negara secara sempurna dalam kehidupan beliau. Beliau telah meninggalkan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Pemikiran Hizbut Tahrir: Pendirian Negara Islam Daulah Khilafah
Islam tidak akan dapat diterapkan secara paripurna kecuali dengan media khilafah. Penerapan syariah adalah suatu kewajiban dan hal itu tidak akan dapat dicapai kecuali dengan media khilafah, maka pengadaan khilafah itu menjadi wajib. Demikian kaidah ushuliyah berbunyi:
"Sebuah kewajiban yang tidak bisa terwujud kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu adalah wajib."
Keadaan umat menjadi tidak menentu bahkan tidak berarti di mata blok kafir manakala mereka tidak mempunyai institusi khilafah yang dapat melindungi kepentingan umat. Pada saat blok kafir (baca: Inggris dan sekutunya) di awal abad ke-19 tidak berhasil menanam Israel di Palestina, karena khalafah Abdul Hamid secara tegas menolak sejengkal tanah pun diserahkan kepada Israel, mereka merekayasa untuk menjatuhkan khilafah Utsmaniyah dengan menanam Musthafa Kemal Attaturk dan berhasil menyingkirkan institusi khilafah tahun 1924. Sejak itu perjuangan umat berubah menjadi kelompok-kelompok dan jamaah-jamaah. Masing-masing berusaha untuk mengembalikan khilafah yang hilang itu dengan menempuh berbagai jalan. Ada yang menggunakan jalan politik, ada jalan pendidikan, ada jalan ekonomi, dan ada jalan kekuatan militer. Kesemuanya itu belum menunjukkan keberhasilannya, sementara jalan Allah untuk memberikan khilafah itu sebagai suatu kepastian, maka apa kesalahan yang terjadi? Kita perlu menelusuri dan mencari solusinya. Makalah di bawah ini sebagai upaya kecil untuk mengungkap masalah besar ini.
Janji Allah dan Rasul-Nya
Roger Garaudi menggunakan subjudul ini sebagai judul bukunya yang sangat laris itu. Setiap muslim berharap memperoleh janji Allah, karena itu sebagai karunia besar. Tetapi, hal itu perlu memenuhi persyaratannya. Khilafah adalah bagian dari janji-janji Allah yang pasti diberikan manakala terpenuhi persyaratannya. Allah SWT berfirman:
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akanmenukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nuur: 55).
Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Allah memberikan janji kepada Rasulullah saw. akan memberikan kepada umatnya khalifah-khalifah di muka bumi. Yaitu, para pemimpin negara yang menyejahterakan umat dengan menegakkan keamanan dan hukum. Janji itu telah diperoleh Rasulullah saw. dan diprediksikan Nabi akan diperoleh oleh sahabatnya dan umat berikutnya.
"Masa kenabian akan terjadi (dalam waktu) yang Allah kehendaki, kemudian Allah akan mengangkatnya, bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Lalu datanglah masa khilafah (yang berdiri) di atas manhaj Nabi dan akan terjadi (dalam waktu) yang Allah kehendaki, kemudian Allah akan mengangkatnya, bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu datanglah masa raja yang menggigit (di dalamnya terjadi kezaliman) dan akan berlangsung (dalam waktu) yang Allah kehendaki, Allah akan mengangkatnya bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian setelah itu datanglah masa raja yang memaksa dan terjadi (dalam waktu) yang Allah kehendaki, kemudian Allah akan mengangkatnya bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan datanglah setelah itu khilafah atas manhaj nabi, kemudian nabi diam." (HR Ahmad, Al-Haitsami, Tabrani dengan sanad sahih).
Jadi, khilafah itu terjadi sesuai dengan janji Allah SWT dan prediksi Rasulullah saw. Namun demikian, khilafah itu tugasnya adalah menegakan agama dan dilaksananakan oleh orang Quraisy, seperti sabda Rasululalh saw.
"Din ini akan terus tegak sampai datangnya 12 khalifah dari Quraisy kemudian keluarlah orang-orang pendusta menjelang hari kiamat." (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah).
Mengapa persyaratan itu harus dari orang Qurasy? Karena, mereka menegakkan agama dan keadilan.
"Sesungguhnya persoalan ini terdapat dalam orang Quraisy, tidak seorang pun yang menyelisihi mereka kecuali Allah akan … wajahnya selama mereka menegakkan din."
(HR Bukhari dari Mu'awiyah).
"Para imam itu dari Quraisy. Mereka mempunyai hak atas kalian seperti (imam), bila mereka diminta agar berkasih sayang, mereka berkasih sayang. Bila mereka berjanji, mereka menepati dan bila mereka menghukum, mereka menghukum dengan adil. Barang siapa di antara mereka tidak mengerjakan hal tersebut, maka Allah, malaikat, dan semua manusia akan memberkan laknat." (HR An-Nasai, Al-Haitsami dan berkata para perawinya tsiqat [terpercaya]). Apabila persyaratan Quraisy tidak terpenuhi, minimal persyaratan iman, amal saleh, dan penegakan keadilan dijalankan dengan benar.
"Wahai seluruh kaum Quraisy, sesungguhnya kalian pemilik persoalan ini, selama kalian tidak bermaksiat kepada Allah. Bila kalian bermaksiat kepada-Nya, Allah akan mengutus kepada kalian orang yang menguliti kalian sebagaima pedang yang tajam ini menguliti." (HR Al-Haitsami, Thabrani, dan Abu Ya'la)
Jalan Menuju Khilafah
Khilafah sebagai suatu kepastian, dan harus diupayakan sebagai asbab. Selama prosesnya benar, insya Allah outputnya akan benar.
Bila kita memperhatikan proses yang dilakukan oleh Rasulullah saw., kita dapatkan penanaman keimanan menjadi prioritas utama dan sekaligus pelaksanaan amaliah yang menyatu. Karena itu, para sahabat berkata, "Kami diberi iman sebelum Alquran."
Dengan iman yang kuat, terbangunlah pribadi kokoh yang siap berkorban untuk selalu menapaki ash-shiratal mustaqim. Penyakit yang paling banyak menggerogoti iman dan amal saleh adalah kezaliman dan kebodohan. Kezaliman melahirkan kebejatan, seperti yang dicontohkan oleh kaum Yahudi, dan kebodohan menghasilkan bid'ah, yaitu bid'ah seperti yang dicontohakn kaum Nasrani. Kedua hal itu melahirkan firqah-firqah yang kita diperintahkan untuk menghindarinya. Firman Allah SWT,
"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa."
(Al-An'am: 153).
Rasulullah saw. bersabda, "Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Sementara Nashrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka ya Rasulullah?" Rasulullah bersabda, "Mereka adalah apa yang saya dan para sahabat hari ini berada." (HR Ibnu Majah, Tirmizi, dan lainnya).
Kita tidak boleh putus asa atau hanya bersifat pasif menunggu, tetapi kita harus berbuat semampu kita agar kita termasuk kelompok ath-thaifah al-manshurah (kelompok yang ditolong).
"Akan terus ada dari umatku yang menegakkan kebenaran, orang-orang yang menelantarkannya tidak membahayakan dirinya, tidak pula orang-orang yang menyelisihi mereka sampai hari kiamat, (dan dalam sebuah riwayat) sampai datang perkata Allah mereka tetap seperti itu." (HR Syaikhani).
Itulah mereka yang menapaki manhaj salafus saleh, semoga kita bersama mereka di dunia dan di akhirat. Wallahu a'lam bish-shawab. (Farid Achmad Okbah)
"Sebuah kewajiban yang tidak bisa terwujud kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu adalah wajib."
Keadaan umat menjadi tidak menentu bahkan tidak berarti di mata blok kafir manakala mereka tidak mempunyai institusi khilafah yang dapat melindungi kepentingan umat. Pada saat blok kafir (baca: Inggris dan sekutunya) di awal abad ke-19 tidak berhasil menanam Israel di Palestina, karena khalafah Abdul Hamid secara tegas menolak sejengkal tanah pun diserahkan kepada Israel, mereka merekayasa untuk menjatuhkan khilafah Utsmaniyah dengan menanam Musthafa Kemal Attaturk dan berhasil menyingkirkan institusi khilafah tahun 1924. Sejak itu perjuangan umat berubah menjadi kelompok-kelompok dan jamaah-jamaah. Masing-masing berusaha untuk mengembalikan khilafah yang hilang itu dengan menempuh berbagai jalan. Ada yang menggunakan jalan politik, ada jalan pendidikan, ada jalan ekonomi, dan ada jalan kekuatan militer. Kesemuanya itu belum menunjukkan keberhasilannya, sementara jalan Allah untuk memberikan khilafah itu sebagai suatu kepastian, maka apa kesalahan yang terjadi? Kita perlu menelusuri dan mencari solusinya. Makalah di bawah ini sebagai upaya kecil untuk mengungkap masalah besar ini.
Janji Allah dan Rasul-Nya
Roger Garaudi menggunakan subjudul ini sebagai judul bukunya yang sangat laris itu. Setiap muslim berharap memperoleh janji Allah, karena itu sebagai karunia besar. Tetapi, hal itu perlu memenuhi persyaratannya. Khilafah adalah bagian dari janji-janji Allah yang pasti diberikan manakala terpenuhi persyaratannya. Allah SWT berfirman:
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akanmenukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nuur: 55).
Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Allah memberikan janji kepada Rasulullah saw. akan memberikan kepada umatnya khalifah-khalifah di muka bumi. Yaitu, para pemimpin negara yang menyejahterakan umat dengan menegakkan keamanan dan hukum. Janji itu telah diperoleh Rasulullah saw. dan diprediksikan Nabi akan diperoleh oleh sahabatnya dan umat berikutnya.
"Masa kenabian akan terjadi (dalam waktu) yang Allah kehendaki, kemudian Allah akan mengangkatnya, bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Lalu datanglah masa khilafah (yang berdiri) di atas manhaj Nabi dan akan terjadi (dalam waktu) yang Allah kehendaki, kemudian Allah akan mengangkatnya, bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu datanglah masa raja yang menggigit (di dalamnya terjadi kezaliman) dan akan berlangsung (dalam waktu) yang Allah kehendaki, Allah akan mengangkatnya bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian setelah itu datanglah masa raja yang memaksa dan terjadi (dalam waktu) yang Allah kehendaki, kemudian Allah akan mengangkatnya bila ia telah berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan datanglah setelah itu khilafah atas manhaj nabi, kemudian nabi diam." (HR Ahmad, Al-Haitsami, Tabrani dengan sanad sahih).
Jadi, khilafah itu terjadi sesuai dengan janji Allah SWT dan prediksi Rasulullah saw. Namun demikian, khilafah itu tugasnya adalah menegakan agama dan dilaksananakan oleh orang Quraisy, seperti sabda Rasululalh saw.
"Din ini akan terus tegak sampai datangnya 12 khalifah dari Quraisy kemudian keluarlah orang-orang pendusta menjelang hari kiamat." (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah).
Mengapa persyaratan itu harus dari orang Qurasy? Karena, mereka menegakkan agama dan keadilan.
"Sesungguhnya persoalan ini terdapat dalam orang Quraisy, tidak seorang pun yang menyelisihi mereka kecuali Allah akan … wajahnya selama mereka menegakkan din."
(HR Bukhari dari Mu'awiyah).
"Para imam itu dari Quraisy. Mereka mempunyai hak atas kalian seperti (imam), bila mereka diminta agar berkasih sayang, mereka berkasih sayang. Bila mereka berjanji, mereka menepati dan bila mereka menghukum, mereka menghukum dengan adil. Barang siapa di antara mereka tidak mengerjakan hal tersebut, maka Allah, malaikat, dan semua manusia akan memberkan laknat." (HR An-Nasai, Al-Haitsami dan berkata para perawinya tsiqat [terpercaya]). Apabila persyaratan Quraisy tidak terpenuhi, minimal persyaratan iman, amal saleh, dan penegakan keadilan dijalankan dengan benar.
"Wahai seluruh kaum Quraisy, sesungguhnya kalian pemilik persoalan ini, selama kalian tidak bermaksiat kepada Allah. Bila kalian bermaksiat kepada-Nya, Allah akan mengutus kepada kalian orang yang menguliti kalian sebagaima pedang yang tajam ini menguliti." (HR Al-Haitsami, Thabrani, dan Abu Ya'la)
Jalan Menuju Khilafah
Khilafah sebagai suatu kepastian, dan harus diupayakan sebagai asbab. Selama prosesnya benar, insya Allah outputnya akan benar.
Bila kita memperhatikan proses yang dilakukan oleh Rasulullah saw., kita dapatkan penanaman keimanan menjadi prioritas utama dan sekaligus pelaksanaan amaliah yang menyatu. Karena itu, para sahabat berkata, "Kami diberi iman sebelum Alquran."
Dengan iman yang kuat, terbangunlah pribadi kokoh yang siap berkorban untuk selalu menapaki ash-shiratal mustaqim. Penyakit yang paling banyak menggerogoti iman dan amal saleh adalah kezaliman dan kebodohan. Kezaliman melahirkan kebejatan, seperti yang dicontohkan oleh kaum Yahudi, dan kebodohan menghasilkan bid'ah, yaitu bid'ah seperti yang dicontohakn kaum Nasrani. Kedua hal itu melahirkan firqah-firqah yang kita diperintahkan untuk menghindarinya. Firman Allah SWT,
"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). Karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa."
(Al-An'am: 153).
Rasulullah saw. bersabda, "Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Sementara Nashrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka ya Rasulullah?" Rasulullah bersabda, "Mereka adalah apa yang saya dan para sahabat hari ini berada." (HR Ibnu Majah, Tirmizi, dan lainnya).
Kita tidak boleh putus asa atau hanya bersifat pasif menunggu, tetapi kita harus berbuat semampu kita agar kita termasuk kelompok ath-thaifah al-manshurah (kelompok yang ditolong).
"Akan terus ada dari umatku yang menegakkan kebenaran, orang-orang yang menelantarkannya tidak membahayakan dirinya, tidak pula orang-orang yang menyelisihi mereka sampai hari kiamat, (dan dalam sebuah riwayat) sampai datang perkata Allah mereka tetap seperti itu." (HR Syaikhani).
Itulah mereka yang menapaki manhaj salafus saleh, semoga kita bersama mereka di dunia dan di akhirat. Wallahu a'lam bish-shawab. (Farid Achmad Okbah)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» membongkar selubung hizbut tahrir
» HTI (Hizbut Tahrir indonesia) dan hal yang terkait
» Siarkan Hizbut Tahrir, TVRI Dipanggil KPI
» kenapa belum ada daulah khilafah islamiyah
» negara khilafah VS negara theokrasi
» HTI (Hizbut Tahrir indonesia) dan hal yang terkait
» Siarkan Hizbut Tahrir, TVRI Dipanggil KPI
» kenapa belum ada daulah khilafah islamiyah
» negara khilafah VS negara theokrasi
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik