masalah negara dalam islam
Halaman 1 dari 1 • Share
masalah negara dalam islam
Sekh Ali Abd al-Raziq (1888-1966) muncul dan terkenal pada saat dunia Islam dikejutkan oleh tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan pranata khilafah (1924) yang sudah berjalan kurang lebih tiga belas abad. Peran terpenting dalam kehidupan Ali Abd al-Raziq adalah ketika ia mengemukakan teori baru mengenai negara dalam Islam yang berlandaskan sistem khilafah. Pembahasananya itu dituangakan dalam bukunya, al-Islam wa Ushulul al-Hukum (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan) pada tahun 1925. Isi buku ini pada pokoknya membenarkan tindakan Mustafa Kemal tentang penghapusan khilafah, digantikan dengan sistem republik yang berlandaskan sekulerisme. Buku ini juga merupakan serangan langsung terhadap pembahasan Rasyid Ridha dalam bukunya al-Khilafah au al-Imamah al-'Uzhma.
Rasyid Ridha tampaknya berusaha sekuat tenaga untuk membela sistem khilafah atau al-imamah sebagai suatu kesatuan politik dunia Islam, terutama dalam menghadapi imprealisme Barat. Mungkin di antara pengaruhnya munculnya khilafah movement di kawanasan India. Sebenarnya di bagian akhir buku Rasyid Ridha ada usul yang simpatik andaikata pihak Turki (Mustafa Kemal) menerimanya dengan lapang dada. Rasyid Ridha (1) menerima kenyataan sejarah khilafah yang digantikan oleh Mustafa Kemal dengan sistem republik, meskipun upaya pemecahan itu bersifat sementara. Untuk selanjutnya, ia mengusulkan kepada penguasa militer Turki agar masalah pemerintahan di Turki, setelah diadakan perdamaian, diserahkan kepada dewan perwakilan rakyat yang dipilih secara bebas. Pemerintah yang dibentuk ini nanti menyusun suatu panitia atau organisasi campuran yang bebas dan berpusat di al-Astanah (Turki) untuk mempelajari usul-usul para ahli dalam masalah khilafah. Pekerjaan Steering Committee ini merupakan persiapan untuk Muktamar Dunia Islam.
Disamping itu, Rasyid Rida mengusulkan pula agar pemerintah Turki membentuk komisi lain untuk membahas hubungan Turki dengan dunia Arab dan Dunia Islam lainnya. Dalam hal ini Turki bisa mengambil manfaat untuk keperluan hubungan militer, sipil, dan agama. Kedua komisi tersebut nanti menjadi anggota (sebagai kelompok kerja para ahli) dalam Muktamar Dunia Islam. Komisi ini membuat acara dan tata tertib muktamar setelah membahas berbagai pendapat dan informasi yang berhubungan dengan masalah tersebut.(2) Appeal Rasyid Ridha di atas nampaknya tidak mendapat sambutan yang positif, terutama dari penguasa militer Turki. Sikap Turki ini mungkin menyebabkan timbulnya gagasan Mu'tamar al-Khilafah di Kairo pada tahun 1926. Usaha ini ibarat menegakkan benang basah, karena Turki tidak hadir, bahkan kedudukan Turki dalam perkembangan selanjutnya menjadi terkucil dari Dunia Islam. Mu'tamar di Kairo tidak mampu memecahkan masalah, sehingga keadaan disintegrasi politik dunia Islam tidak bisa diobati. Sementara itu, kekuatan penjajah Barat semakin kuat.
Ketika Dunia Islam dikejutkan dengan tindakan Mustafa Kemal, Kairo sedang mempersiapkan muktamar khilafah yang akan diadakan pada tahun 1926, dan setiap negara Islam lebih memperhatikan kepentingan nasionalnya dalam menghadapi kelihaian politik penjajah. Karena itu, muncullah ide baru Ali Abd al-Raziq yang dianggap radikal dan dianggap berseberangan dengan pendapat para ulama. Bagi al-Azhar, selaku penyelenggara muktamar, hal itu dirasakan sebagai pukulan dari dalam, karena Ali Abd al-Raziq termasuk anggota Korps Ulama al-Azhar. Karena itu, tidak heran kalau Majelis Ulama Besar al-Azhar di bawah pimpinan Syekh al-Azhar Muhammad Abi al-Fadl dengan dua puluh empat anggota ulama Korps Ulama al-Azhar secara ijma menyetujui keputusan pemecatan Ali Abd al-Raziq dari Korps Ulama al-Azhar dan dari semua jabatannya. Keputusan ini dikeluarkan dengan konsideran yang mendetail dan setelah diberi kesempatan pembelaan dari pihak terdakwa. Keputusan ini mulai berlaku 12 Agustus 1925. (3)
Riwayat Hidup
Ali Abd al-Raziq dilahirkan di daerah pedalaman Propinsi Menia pada tahun 1888. Ia dibesarkan di keluarga feodal yang aktif dalam kegiatan politik. Ayahnya, Hasan Abd al-Raziq, seorang Pasha besar yang cukup berpengaruh dan memiliki tanah yang luas. Di kancah perpolitikan, Hasan Abd al-Raziq pernah menjadi Wakil Ketua Partai Rakyat (Hizb al-Ummah) pada tahun 1907. Setelah peristiwa revolusi 1919, terbentuklah partai politik baru yang disebut Hizb al-Ahrar al-Dusturiyyin. Partai ini merupakan kelanjutan Hizb al-Ummah yang mempunyai hubungan erat dengan Inggris. Di antara pendiri partai ini ialah Hasan (kecil) Pasya Abd al-Raziq, saudara Syekh Ali Abd al-Raziq. Hasan menjadi Wakil Kantor (Diwan) Sultan Husein, yang merupakan agen Inggris pada waktu Perang Dunia I. Hasan Pasya terbunuh ketika keluar dari rapat dewan partai di kantot surat kabar partai di jalan al-Mubtadayan pada bulan Oktober 1922. Saudara kedua Syekh Ali Abd al-Raziq, Mahmud Pasya Abd al-Raziq, termasuk salah seorang pemimpin pusat partai dan pengarah politik partai yang penting. Syekh Ali mempunyai kakak bernama Syekh Mustafa Abd al-Raziq, yang pernah menjadi menteri waqf dan menjadi Pasha juga setelah itu. Akan tetapi, ia lebih menyukai ilmu daripada politik. Ia sangat disegani dan pada akhir hayatnya menjadi Syekh al-Azhar. Syekh Ali Abd al-Raziq sendiri juga kemudian menjadi Menteri Waqf dan menjadi Pasya. Kemudian ia diangkat anggota lembaga bahasa dan jabatan-jabatan lainnya. (4)
Charles C. Adam (5) pernah menyatakan bahwa sikap dan intelektual Ali Abd al-Raziq berada antara kakaknya, Mushtafa dan Thaha Husein. Ia tidak seradikal Thaha Husein dalam soal agama, ia tidak terlalu skeptis. Dari segi lain, ia tidak seperti kakaknya (Mushtafa) dalam mengikuti ajaran Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal dipengaruhi oleh ide-ide Abduh, Ali lebih maju daripada mereka (mungkin yang dimaksud lebih liberal) dalam beberapa hal yang esensial.
Mengenai riwayat pendidikannya, Charles C. Adams (6) menerangkan bahwa Ali Abd al-Raziq masuk Universitas al-Azhar pada usia muda: dua puluh tahun. Ia masuk Universitas al-Azhar pada tahun-tahun terakhir hubungan Abduh dengan lembaga itu. Jadi, hubungan Ali Abd al-Raziq dengan Muhammad Abduh tidak sedalam dan selama hubungan kakaknya (Mushtafa) dan ayahnya (Hasan) dengan Muhammad Abduh.
Charles C. Adams (7) juga menjelaskan bahwa Ali Abd al-Raziq belajar hukum (Canon law) dari Syekh Ahmad Abu Khatwah, sahabat Abduh. Khatwah sebagaimana Abduh, adalah murid Jamal al-Din al-Afghani. Namun, karena tidak merasa puas dengan hanya mengikuti kuliah di al-Azhar, selama satu atau dua tahun sejak tahun 1910, ia mengikuti pula perkuliahan di Al-Jami'ah al-Misriyyah (kini Jami'ah al-Qohiroh). Di antara dosen asing yang terpenting di universitas ini adalah Prof. Nallimo, dosen mata kuliah sejarah kesustraan Arab, dan Prof. Santillana -dosen mata kuliah sejarah filsafat. Setelah memperoleh ijazah 'alamiah dari Al-Azhar pada tahun 1911, pada tahun berikutnya (1912) ia memberikan kuliah retorika dan sejarah perkembangan sebagai salah satu ilmu bahasa Arab di Al-Azhar. Namun pada tahun yang sama, 1912, ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Setelah satu tahun belajar bahasa Inggris di London, kemudian ia masuk Oxfod Univesity untuk mengikuti studi ekonomi dan ilmu politik. Setelah tinggal di sana lebih dari satu tahun, ia terpaksa harus kembali ke Mesir karena Perang Dunia I mulai pecah.
Chales C. Adams(8) juga menerangkan bahwa setelah kembali ke Mesir, pada tahun 1915, Ali Abd al-Raziq diangkat sebagai hakim di beberapa mahkamah Syari'ah di Mesir. Pertama-tama ia diangkat di Provensi Alexandria, kemudian di mahkamah-mahkamah provinsi lainnya. Selama tinggal di Alexandria, ia memberi kuliah pula di mesjid (mosque school) yang berafiliasi dengan Al-Azhar. Disana ia menjadi pengajar dalam mata kuliah kesusastraan Arab dan Sejarah Islam. Sementara itu, ia juga melakukan penelitian mengenai sejarah peradilan Islam. Pada tahun 1925 ia menerbitkan hasil penelitiannya itu sebagai pengantar mengenai masalah khilafah, dengan judul Al-Islam wa Usul al-Hukm. Menurut Al-Rais (9), buku itu terbit ketika Ali Abd al-Raziq menjadi hakim di Mahkamah Syar'iyyah di Mansurah.
Dari riwayat hidupnya dapat disimpulkan bahwa Ali Abd al-Raziq dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga tuan tanah (feodal) yang aktif dalam pergerakan politik. Keluarganya menjadi unsur pimpinan dalam Hizb al-Ummah yang kemudian menjadi Hizb al-Ahrar al-Dusturiyyin. Mengenai pernyataan al-Rais bahwa partai ini mempunyai hubungan erat dengan pihak Inggris kebenarannya perlu diselidiki lebih lanjut, karena memang ada partai politik nasionalis yang merupakan saingannya, yaitu partai al-Wafd di bawah pimpinan Sa'ad Zaghlul. Dari segi pendidikan, ia mendapatkan pendidikan campuran: pendidikan agama dan sastra Arab di al-Azhar, pendidikan umum di Universitas Mesir dan Universitas Oxford, meskipun yang terakhir ini tidak sempat diselesaikannya. Adapun karier politiknya, selain menjadi anggota partai yang dipimpin keluarganya, ia juga memulai dari bawah, pernah menjadi hakim sampai memegang jabatan tertinggi sebagai menteri Waqf. Pemikirannya yang liberal mengenai pranata khilafah dan hubungan Islam dengan negara yang menyangkut ilmu politik dalam Islam menyebabkan Ali Abd al-Raziq berhenti dari kariernya sebagai ulama.
Masalah Khilafah
Masalah Khilafah, dalam arti sistem pemerintahan dalam Islam memang cukup ruwet, tetapi sangat penting. Sebagai fakta sejarah, ia pernah membawa citra gemilang, sekaligus menjadi biang keladi kemunduran Dunia Islam dalam berbagai aspek ajarannya. Kajian terhadap persoalan ini cukup penting, sebagai bahan untuk mencari alternatif modern mengenai teori politik dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Ada dua alasan lain tentang pentingnya kajian masalah Khilafah ini :
1. dalam sejarah, semua aliran politik Islam dan kaum orientalis banyak membahas masalah khilfah. Abu Zahroh(10) meyatakan bahwa perbedaan pendapat sekitar khilafah menjadi penyebab utama munculnya beberapa aliran pemikiran politik, bahkan pemikiran teologi.
2. kajian tentang khilafah menjadi ilmu pemikiran politik untuk menelusuri konsep negara Islam yang bisa diterapkan dalam dunia modern.
Masalah pokok dan mendasar tentang khilafah yang dibahas oleh Ali Abd al-Raziq dalam bukunya tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan: apakah sistem khilafah termasuk dasar pemerintahan dalam Islam? Menurutnya, pernyataan bahwa mendirikan khilafah itu tidak wajib, telah membawa konsekuensi mendasar tentang apa itu Islam. Apakah Islam itu agama saja atau agama dan dunia? Apakah dalam Islam ada pemisahan antara agama dan negara?
Baiklah kita mulai dengan petanyaan pertama di atas mengenai hukum mendirikan khilafah.
Pendapa pertama yang dianut kebanyakan ulama menyatakan bahwa khilafah atau Imamah itu fardhu khifayah, seperti hukum jihad atau mencari ilmu. Kalau demikian, semua umat Islam berdosa jika ada sebagian dari mereka tidak mendirikan khilafah. Dalam sejarah, pendapat ini dipegang oleh Ahlusunnah, Mu'tazilah, dan Khawarij. Sebagian kecil menghukumi tidak wajib atau jaiz.
Argumentasi yang dikemukakan sebagian besar ulama yang menyepakati wajibnya khilafah itu bermacam-macam. Sebagian menggunkan dalil akal dan logika (dalil 'aqli), seperti pendapat Ibnu Kholdun tentang adanya ijmak Sahabat dan ijmak tabi'in bagi wajibnya khilafah. Ijmak versi Ibnu Kholdun ini didasarkan atas tinjauan sosiologis, yaitu keharusan adanya kumpulan manusia dan ketidakmungkinan hidup menyendiri, sehingga diperlukan al-hakim atau al-wazi; jika tidak demikian, akan terjadi kekacauan sosial, padahal memelihara eksistensi sosial termasuk di antara tujuan syara' yang mutlak(11). Sebagian lagi berargumen dengan dalil Sayr'i baik, baik dengan nash Al-Quran, hadits maupun ijmak versi ahli Ushul al-fiqh. Golongan ketiga berargumentasi dengan dalil aqli dan syar'i secara bersama-sama.
Pendapat kedua menyatakan bahwa khilafah bukan merupakan dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan kata lain, sebagai sistem pemerintahan, khilafah termasuk persoalan yang diserahkan kepada kaum Muslimin. Sebagian kaum Mu'tazilah dan Khawarij Al-Najdat berpendapat bahwa pendirian khilafah tidak wajib; yang wajib adalah terlaksananya hukum syari'ah.
Pada awalabad ke-20 muncul seorang ulama Al-Azhar yang sependapat dengan kelompok yang beranggapan bahwa pendirian khilafah tidak diwajibkan oleh agama. Argumen yang dikemukakannya antara lain sebagai berikut:
1. Ali Abd al-Raziq menolak dalil Ijmak sebagai hukum syara' atau hujah agama, baik ijmak sahabat, ijmak sahabat bersama tabi'in, maupun ijmak seluruh kaum muslimin. Ia membuktikannya dengan argumen historis -secara rasional- terhadap pembantaian Yazid. Menurutnya, bagaimana ada ijmak yang sebenarnya karena saat itu ada intimidasi. "Siapa yang menolak baiat, inilah bagiannya," kata protokol upacara sambil menunjuk pedangnya(13). Pendapat ini dibantah oleh Al-Rais. Menurutnya, yang dimaksud dengan ijmak adalah ijmak sahabat dan tabi'in. Al-Rais mengatakan bahwa nilai ijmak yang tertinggi dan terkuat dalam syari'ah Islam ialah ijmak sahabat(14). Selanjutnya Al-Rais menerangkan bahwa yang dimaksud ijmak menurut pemahaman ulama adalah dalam kewajiban untuk menegakan khilafah, bukan dalam memilih orangnya (khalifah). Dalam memilih orangnya itu cukup dengan suara mayoritas; hal itu terjadi berulang kali dalam sejarah(15). Kalau kita berbicara apakah dalil ijmak ini syar'i atau bukan sebenarnya cukup ruwet juga. Karena itu, Mamduh Haqqi berkata, "Sesungguhnya kalau mengikuti pertentangan mengenai masalah ijmak, kita tidak akan berakhir kepada suatu batas…bahkan perkiraan kebanyakan orang tidak akan berakhir selamanya."(16)
2. Argumen yang selalu digunakan para ulama tentang wajibnya khilafah ialah bahwa tegaknya ajaran Islam, semaraknya syiar agama, dan baiknya umat Islam sangat bergantung adanya khilafah. Menurut Ali Abd al-Raziq, alasan itu tidak cocok dengan kenyataan sejarah. Sejarah membuktikan bahwa kesemarakan syiar Allah dan berkembangnya agama tidak bergantung pada adanya khilafah. Ia menambahkan keterangan bahwa sejak abad ke-3 hijriah, sistem khilafah sudah tidak utuh lagi sehingga kekuasaan khalifah terbatas sekitar Baghdad. Kemudian ia berkata, "Kita tidak membutuhkan khilafah, baik untuk urusan agama kita maupun untuk urusan dunia kita,… karena sistem khilafah ini masih merupakan tragedi bagi Islam dan kaum Muslimin …marilah kita yakini sekarang bahwa agama dan dunia kita, tidak memerlukan khilafah fiqhiyyah."(17) Pernyataannya pada bagian akhir ini ada benarnya juga, karena para fuqoha sering mengeluarkan hukum fiqh yang memberikan legalisasi perkembangan pranata khilafah dalam sejarah sejarah. Di samping itu, dari pernyataannya nampak kecenderungan landasan berpikirnya, yaitu sikap sekuler sebagaimana akan diuraikan berikut ini tentang hubungan Islam dan negara.
Islam dan Negara
Masalah negara dalam Islam atau masalah ajaran Islam dalam kehidupan bernegara merupakan masalah yang timbul sampai sekarang. Dengan ungkapan yang lebih umum sering dipertanyakan: "Apakah Islam itu meliputi agama dan dunia, ataukah agama saja?" Dalam hal ini, pendirian Ali Abd al-Raziq(18) cukup jelas: "Risalah la hukm, wa din la daulah".
Adapun untuk menjawab pertanyaan di atas, ada dua pendapat. Pendapat pertama, tidak ada pemisahan antara Islam dan negara. Argumen pendapat ini sebagai berikut:
1. Islam mengajarkan kesatuan antara masalah dunia dan akhirat. Pendapat ini menyatakan bahwa mempersatukan maslahat dunia dan akhirat merupakan dasar di antara dasar-dasar Islam. Dengan kata lain, tidak ada pemisahan antara antara Islam dan dunia. Banyak ayat Al-quran dan Hadits yang menunjukan bahwa Islam tidak menganut sekularisme. Abd Hamid Mutawalli,(19) ketika mendiskusikan gagasan Ali Abd al-Raziq, mengemukakan ayat Al-Quran, "Wa la tansa nasibaka min al-dunya" (Q.S 28:77). Adapun hadits yang dikemukakan ialah sabda Rasulullah saw kepada Sa'ad ibn Abi Waqqas yang waktu itu sedang sakit. Ketika Sa'ad meminta nasihat Rasul tentang niatnya untuk menyedekahkan dua pertiga dari hartanya, Nabi saw menjawab: "Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya meninggalkan ahli waritsmu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada membiarkan mereka fakir dan meminta-minta kepada orang lain. Mutawalli menambahkan argumen Muhammad 'Abduh:"Pergi salat Jum'at hukumnya wajib, kecuali jika tanah terlalu becek dan hujan lebat sehingga menyebabkan kesusahan (untuk pergi Jum'at); maka hukum wajib itu jatuh karenanya. Oleh karena itu, kita dapati kaidah umum, "Kesehatan badan diberi prioritas daripada kesehatan agama." (sihhah al-abdan muqoddamun 'ala sihhah al-adyan). Tentu tidak sedikit ayat Al-Quran dan Hadits yang menunjukan (secara implisit) bahwa di samping agama, Islam juga adalah negara -sebagaimana dikutip oleh Mutawalli(20). Namun, saya tidak bermaksud membahas ayat-ayat dan Hadits, tetapi hendak menunjukkan dalil naqli yang dipergunakan.
2. Untuk menopang pendapat pertama ini, di samping dalil naqli, para ulama dan cendekiawan selalu mengemukakan dalil 'aqli yang sebenarnya ditarik dari dalil naqli juga. Ajaran Islam mengandung prinsip-prinsip umum, misalnya musawarah, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Semua prinsip tersebut menyangkut masarakat dan negara. Karena itu, ajaran Islam tidak dapat dipisahkan dari masarakat dan negara. Namun, penggunaan dalil 'aqli terhadap Ali Abd al-Raziq menghadapi jalan buntu karena ia mengingkari penggunaan akal, Haqqi mengkritiknya. Menurutnya, Ali telah membuat kesalahan: (1) berpegang teguh kepada pengertian khilafah dalam arti sempit dalam pasal pertama, sebagaimana ia telah mandek dalam pengertian ijmak sehingga mengingkarinya; dan (2) mengingkari penggunaan akal dalam memecahkan masalah, ketika ia dapati orang-orang terdahuulu berselisih paham tentang wajibnya pengangkatan khalifah, baik dari segi akal maupun syar'i.
3. Alasan lain yang diajukannya adalah pandangan kaum orientalis, seperti Thomas Arnold dan S. Strothman Gibb, yang menyatakan bahwa selain masalah ibadah, Islam juga mengurus soal masarakat dan negara, bahwa Nabi bukan bukan hanya pemimpin agama tetapi juga kepala negara. Begitulah seperti yang dicatat oleh Mutawalli(23). Ali Abd al-Raziq sendiri mengakui bahwa Muhammad bukan saja Rasul, melainkan juga kepala negara(24). Akan tetapi, pengakuannya itu dibatalkan oleh pendapatnya ketika ia berkata, "Itulah kepemimpinan dakwah kepada Allah. Tidak seperti kepemimpinan raja, kepemimpinannya adalah kepemimpinan risalah dan agama. Kekuasaan Nabi bukan kekuasaan kerajaan dan sultan(25). Pada prinsipnya, pernyataan Ali Abd al-Raziq tidak menolak bahwa Nabi itu adalah pemuka kelompok masarakat di Madinah mungkin yang ditolaknya sifat kekuasaan mutlak para raja dan para sultan yang ternyata pada waktu itu bersifat mutlak dan zalim.
Adapun pendapat kedua mengenai hubungan Islam dan negara tercermin dalam pendapat Ali Ab al-Raziq.
Ia memisahkan antara Islam dan negara atau pemerintahan. Pendapatnya itu dapat kita pahami dari pernyataan yang pernah ia kemukakan, "Nabi Muhammad itu adalah rasul untuk mendakwahkan agama semata-mata, tidak dicampuri kecenderungan untuk mendirikan kerajaan dan tidak pula mendakwakan berdirinya negara."(26) Selanjutnya ia berkata, "Sesungguhnya Islam itu adalah kesatuan agama, dan Nabi mengajak kepada kesatuan itu. Kesatuan benar-benar sudah tercapai sebelum Nabi wafat. Dalam mencapai kesatuan itu Nabi telah berjuang dengan lisannya dan telah menunjukkan "giginya" (maksudnya, berjihad dengan kekuatan) sehingga datanglah petolongan Allah dan tercapailah kemenangan."(27). Menurutnya kalau Rasul itu pengemban risalah, maka tidak boleh dilupakan bahwa "risalah itu sendiri memerlukan seorang rasul sebagai pemimpin kaumnya, sebagai sultan mereka. Meskipun demikian, kepemimpinannya tidak seperti kepemimpinan raja-raja berikut kekuasaan mereka terhadap rakyatnya. Jangan dicampuradukan antara kepemimpinan risalah dengan kepemimpinan almulk "(28) Yang pertama adalah kepemimpinan agama sedangkan yang kedua adalah kepemimpinan kerajaan.
Alasan yang dijadikan dalil oleh Abd al-Raziq untuk mendukung pendapat di atas adalah dalil-dalil Alquran, Hadits, dan akal. Ia mengatakan bahwa dalam dalil Al-quran sudah cukup jelas, "Rasul tidak mempunyai kewajiban selain mengemban risalah."(29) Dengan perkataan lain, tugas Rasul itu hanyalah menyampaikan risalah agama kepada umatnya. Ia menyebutkan banyak ayat Al-Quran yang intinya menjelaskan bahwa Rasul diutus bukan sebagai hafiz (pengawal/penjaga), wakil (pengurus), jabbar (kekuasaan yang sanggup memaksakan), musaitir (penguasa). Kewajiban Rasul hanyalah sebagi balagh (penyampai risalah), mubasyir dan nadzir (pemberi kabar gembira dan ancaman), mudzakkir (yang memberi ingat), tetapi bukan musaitir (penguasa mutlak). Selanjutnya ia menjelaskan bahwa kerajaan membutuhkan pemaksaan dan kekuasaan yang tidak terbatas (mutlak)."(30)
Namun, sebagaimana dikutip oleh Mutawalli(31), ayat-ayat Alqura yang digunakan Ali Abd al-Raziq untuk menopang pendapatnya itu mendapat kritikan spontan dari para ulama Al-Azhar pada tahun yang sama (1925). Menurut ulama al-Azhar, ayat-ayat Alquran tersebut termasuk ayat-ayat makiyyah. Padahal, pendirian negara Islam bukan pada periode Mekkah, melainkan pada periode madinah. Para ulama tersebut,menurut Mutawalli, menyatakan, seharusnya Ali Abd al-Raziq menafsirkan ayat-ayat tersebut berdasarkan sebab turunnya ayat-ayat itu, yakni keadaan Nabi dan kaum Muslimin ketika mengalami gangguan dari kaum musyrikin(32).
Berkaitan dengan kritikan terhadap Ali Abd al-Raziq mengenai tidak relevannya penggunaan ayat-ayat tersebut, al-Rais menunjuk halaman 76 buku karya Ali, Al-Islam Da'wah Diniyyah ilaa Allah Ta'ala, yang initinya menjelaskan bahwa agama berlawanan dengan dunia. Al-Rais juga menunjuk halaman 73 dari buku tersebut yang intinya menyatakan bahwa risalah rasul hanyalah al-balagh, bahwa tugas rasul tidak termasuk al-tanfidz (pelaksana). Al-Rais menolak pendapat Ali Abd al-Raziq yang menyatakan bahwa tugas rasul hanyalah berdakwah, tanpa memasukan tanfidz. Ia mengemukakan pendapatnya dengan argumen ayat-ayat Alquran, antara lain "Kabura maqtan 'inda Allah an taqulu ma la taf'alun" dan "Ya ayyuhan Nabi jahidi al-kuffar wa al-munafiqin"(33). Meskipun Al-Rais sering mengkritik Ali bd al-Raziq secara emosional, banyak hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Misalnya tentang masalah jihad Rasul, Al-Rais menunjuk halaman 52 buku Ali Abd al-Raziq, yang intinya menjelaskan bahwa -menurut al-Raziq- jihad ternyata bukan saja untuk dakwah melainkan juga untuk memperkuat sulton dan memperluas al-mulk.(34) Pada bagian lain, al-Raziq menerangkan bahwa penggunaan kekerasan termasuk salah satu cara jihad. Bahkan menurutnya, suatu saat kejelekan juga sebenarnya diperlukan untuk untuk menegakan yang baik. Ia berkata, "Barangkali kita wajib melakukan penghancuran untuk menyelesaikan pembangunan ('umran)."(35) Al-Rais berpendapat bahwa jihad adalah pelaksanaan (tanfidz) dakwah dalam pranata bernegara dan bermasarakat untuk menghindari segala sesuatu yang mengancam eksisitensi Islam dan kaum Muslimin di Madinah.(36) Sebenarnya kontroversi mengenai penggunaan argumen ayat Alquran ini masih banyak, dan memerlukan pendalaman.
Adapun dalil hadis untuk memperkuat pendapat Ali Abd al- Raziq, ialah -ini yang terpenting- sebuah riwayat yang menceritakan bahwa seorang datang kepada Nabi karena ada hal yang hendak disampaikan. Setelah berhadapan dengan Nabi, orang itu sangat gugup dan gemetar. Nabi berkata, "Tenangkan dirimu. Aku ini bukan raja dan pemaksa (jabbar). Aku adalah anak seorang wanita dari Quraisy yang makan dendeng di Mekah.(37) Dalam kaesempatan lain al-Raziq mempergunakan hadis yng terkenal, "Engkau lebih mengetahui urusan duniamu."(38)
Dalam hubungan ini, Khalid Muhammad Khalid -juga seorang syekh dari al-Azhar yang sepaham dengan al-Raziq- mengatakan bahwa Nabi sangat mengerti akan tugasnya: "Rasul hanyalah pemberi petunjuk (hadin) dan pemberi kabar gembira (basyir); bukan kepala pemerintahan". Selanjutnya Khalid mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat pernah mengajukan permohonan agar Rasul menjadi raja sepeti raja-raja lainnya. Mendengar hal itu, Rasul terkejut, lalu bersabda, "Aku tidak seperti mereka. Aku adalah rahmat dan dianugrahkan". Khalid juga menceritakan riwayat lain: Suatu saat Umar menemui Rasul. Umar mendapati beliau sedang berbaring di atas tikar yang bekasnya terlihat di sebagian tubuh beliau. Umar berkata, "Tidakkah Rasul Allah membuat hamparan yang empuk?" Rasul menjawab, "Sabar hai Umar, apakah engkau mengira aku ini kaisar. Aku adalah nabi, bukan raja."(39) Riwayat ini digunakan sebagai dalil bahwa risalah Nabi hanyalah risalah agama, tidak termasuk masalah-masalah dunia.
Komentar terhadap hadis pertama, "hawwin 'alaikafa faa inni lastu bimalikin wa la jabbarin", adalah bahwa Nabi bukan raja seperti raja yang diketahui orang itu, raja yang menakutkan karena karena kezaliman dan kekuasaannya. Karena itu, rasul berusaha menenangkan dan menghilangkan rasa takut orang itu.(39) Dari kedua pendapat di atas terlihat adanya perbedaan penafsiran. Ali Abd al-Raziq hendak memperkuat pendapatnya yang sekuler, sedangkan tafsiran lainnya sekadar menghilangkan ketakutan orang yang menghadap Nabi itu, bahwa sifat kekuasaannya tidak seperti raja-raja yang dikenal pada waktu itu.
Terhadap hadis, "Antum a'lamu bi syu'uni dunyakum", para ulama mengomentari bahwa penggunaan dalil itu tidak relevan, karena sebab turun (asbab al-wurud)-nya hadis itu mengenai persilangan pohon kurma melalui eksperimen; karena itu, tidak tepat jika digunakan sebagai dalil bahwa Rasul tidak mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan(40). Sebenarnya masalah-masalah kemasarakatan yang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis, hadis tersebut dapat digunakan dengan analogi. Ternyata Alquran dan hadis tidak mengandung segala-galanya, banyak persoalan kemasarakatan yang tidak diperinci oleh Alquran. Alquran hanya membuat prinsip-prinsip kemasarakatan. Soal perinciannya diserahkan kepada umat sesuai dengan tempat dan perkembangan zaman. Karena itu, ijtihad sangat diperlukan. Inilah barangkali yang dimaksud oleh Harun Nasution sebagai dinamika Islam dan masarakat. Beliau mengatakan, "Sistem mempunyai kecenderungan untuk bersifat statis demi mempertahankan eksistensinya dan oleh kaena itu dapat mengikat dinamika masarakat dan menghamba perkembangannya ... Yang diperlukan masarakat... bukanlah sistem-sistem, tetapi prinsip-prinsip dan dasar-dasar...."(41) Barangkali Islam yang "lengkap atau sempurna" itu terletak pada prinsip-prinsipnya bukan perinciannya.
Dalil ketiga yang dipergunakan Ali Abd al-Raziq adalah dalil 'aqli. Ia berkata, "Masuk akal jika seluruh dunia menganut satu agama, ... tetapi diragukan kebenarannya apabila seluruh dunia berada di bawah satu pemerintahan dan bersatu dalam kesatuan politik...."(42). Ia melanjutkan bahwa politik itu adalah persoalan dunia, yang harus diserahkan kepada akal manusia sesuai dengan situasi dan kondisi. Sebenarnya dalil aqli tersebut berdasarkan dalil naqli surat Hud: 118 dan Al-Baqoroh: 51(43). Dalam butir ini pendapat Ali Abd al-Raziq cukup positif dan mengandung dinamika Alquran. Akan tetapi, sayangnya, ia melanjutkan dengan pernyataan berikutnya yang menunjukkan pemahamannya yang sekuler. "Itulah tujuan-tujuan dunia. Nabi saw sendiri mengingkari adanya hak untuk memerintah atau mengatur. Nabi bahkan berkata, "Kamu lebih mengetahui urusan duniamu."(44) Sebenarnya Alquran dan hadis begitu juga fuqoha, tidak menganjurkan satu pemerintahan dalam satu kesatuan politik di dunia, kecuali untuk dunia Islam. Meskipun al-Raziq menyatakan masuk akal kalau dunia ini menganut satu agama, dalam kenyataannya, sejak perkembangannya, di dunia ini terdapat berbagai macam agama; rasanya mustahil dunia ini di bawah naungan satu agama.
Kemudian Ali Abd al-Raziq melanjutkan dalil akalnya: Apabila benar bahwa tugas Nabi itu mendirikan negara, tentu beliau akan menentukan pengganti setelah beliau wafat; sebaliknya, Nabi justru membiarkan urusan negara itu tidak jelas (mubham) bagi kaum Muslimin. Karena itu, setelah Nabi wafat, kaum Muslimin mengalami kebingungan, yang akibatnya saling hantam satu sama lain.(45)
Barangkali di antara hikmahnya mengapa Nabi tidak menentukan pengganti, karena masalah pemilihan khalifah itu diserahkan sepenuhnya kepada umat. Segera setelah Nabi wafat, para sahabat menaruh perhatian besar terhadap pengganti beliau. Jenazah Nabi belum selesai diurus, sudah diadakan pembicaraan atas inisiatif kaum Anshar di Saqifah Bani Sa'idah, yang kemudian mendapat perhatian serius di kalangan Muhajirin. Menurut saya, Ali Abd al-Raziq berlebihan ketika ia berkata, "mereka salig baku hantam." Sebab, yang jelas dalam sejarah memang ada perdebatan sengit, dan itu wajar. Setelah disepakati bahwa Abu Bakar sebagai Khalifah, mereka (kaum Anshar dan Muhajirin) kembali rukun.
Selanjutnya Ali Abd al-Raziq menerangkan sejarah khilafah. Yang mengherankan adalah ungkapannya yang menyatakan bahwa setelah Nabi wafat, "tidak ada pemimpin keagaman"; yang ada adalah bentuk kepemimpinan baru yang tidak ada kaitannya dengan ar-risalah dan tidak berdasarkan agama". Artinya, tidak lebih dari "kepemimpinan sipil atau politik, kepemimpinan pemerintahan dan sultan; bukan kepemimpinan agama"(46). Ia bahkan berkata, "Abu Bakar adalah raja pertama dalam Islam."(47)
Kalau kembali kepada sejarah, kita akan mendapati kenyataan bahwa keberadaan Nabi di Mekah adalah sebagai rasul atau pemimpin keagamaan bagi kaum Mukminin. Namun, kedudukannya berubah setelah beliau hijrah ke Madinah; selain sebagai rasul, beliau juga berfungsi sebagai Nabi dan kepala negara (semacam negara polis di Yunani kuno). Pernyataan Ali Abd al-Raziq bahwa "Raja pertama adalah Abu Bakar" tampaknya kurang tepat. Apa yang dilakukan Abu Bakar dan para khalifah sesudahnya hanyalah melakukan perluasan dan pengembangan dari apa yang telah dibangun oleh Rasulullah saw. Meskipun pemerintahannya sederhana, Rasulullah telah meletakan dasar-dasar yang cukup kokoh dan bisa dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
Agama adalah kebenaran yang abadi dan tidak berubah, sedangkan negara dan sistem pemerintahan tunduk kepada perkembangan yang dinamis, selalu berubah. Tindakan Rasul sebagai pemimpin komunitas Madinah, baik dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, judikatif, maupun dalam upaya perundingan, perjanjian, dan penentuan perang atau jihad tidak berarti bahwa beliau menentukan satu bentuk pemerintahan yang diwajibkan; yang diwajibkan bukanlah bentuknya, melainkan pranata negara yang mampu menjamin terlaksananya syariah.
Pepatah Prancis mengatakan, "Bien Peser la Question c'est deja la resoudre" (Bila tepat meletakkan masalah sebenarnya, masalah itu telah dipecahkan). Masalah yang dikemukakan Ali Abd al-Raziq adalah apakah Islam itu agama dan negara. Mutawalli(48) berpendapat bahwa peletakan masalah itu kurang tepat. Karena, orang yang beranggapan bahwa "Islam hanya agama" telah mengingkarai kenyataan sejarah. Letak permasalahan sebenarnya adalah, apakah Islam telah meletakan sistem tertentu. Islam tidak menentukan sistem tertentu mengenai pemerintahan dan negara. Sebagaimana diutarakan oleh Harun Nasution, sistem itu cenderung statis dan bisa menghambat perkembangan masarakat.
Kalau begitu, pertanyaan berikutnya adalah apakah Islam telah meletakan dasar-dasar negara. Jawabannya bisa sepakat: bahwa Alquran dan hadis telah meletakkan prinsip-prinsipnya seperti musawarah, kemerdekaan, persamaan, dan keadilan. Jadi, kesulitan yang dihadapi umat Islam terletak pada penjabaran, perincian, atau interpretasi dari nilai-nilai dasar tersebut. Di sini pentingnya peranan ijtihad jama'i dalam dunia modern. Dengan demikian, kematangan kaum ulama dan cendekiawan muslim sangat diharapkan. Kalau begitu, perbaikan dan pengembangan lembaga pendidikan di Dunia Islam sangat strategis sebagai upaya mencapai tujuan.
Kesimpulan
Pemikiran dari Ali Abd al-Raziq tentang khilafah menggugah pemikiran muslim untuk mencari alternatif tentang masalah negara Islam. Sistem khilafah yang dulu dianggap sebagai dogma agama terbukti tidak ada keterangannya dalam secara eksplisit dalam Alquran dan hadis. Yang bisa dipahami secara implisit adalah bahwa dasar-dasar Islam perlu panata yang merealisasikannya. Pranata yang paling mampu dan efektif untuk merealisasikannya adalah negara dan pemerintahan.
Cara berpikir Ali Abd al-raziq yang scholastic serta bersifat emphirical history dan rational telah membuktikan sesuatu yang baru. Namun sayang, metode berpikirnya itu telah menghasilkan sekulerisme yang tidak disepakati oleh sebagian besar Dunia Islam. Meskipun demikian, masalah terakhir ini kerap kali timbul ke permukaan, karena ia menyangkut pandangan hidup Muslim.
1. Muhammad asyid Rida, al-Khilafah au al-Imamah al-Kubra, Matba'ah al-manar, Mesir 1341 H (1924 M) hlm. 141-142.
2. Syekh al-Jami' Al-Azhar, Hukm Hai'ah Kibar al-Ulama' fiKitab al-Islam wa Ushul al-Hukm, al-Matba'ah al-Salafiah, Kairo, 1344 H, hlm 32.
3. Ibid, hlm. 5-32.
4. Muhammad Diya'al-Din al-Rais, Al-Islam wa al-Khilafah fil al-'As al-Hadits -Naqd Kitab al-Islam wa Usul al-Hukm (selanjutnya disebut al-Khilafah), Mansyurat al-'Asral-Hadits, Kairo, 1973, hlm. 36-37. Lihat pula Charles C. Adams, Islam, and Modernisme in Egypt, Russel & Russel, New York 1968, hlm. 259
5. Ibid, hlm. 259-260
6. Ibid, hlm. 260.
7. Ibid.
8. Ibid, hlm. 260-261
9. Muhammad Diya' al-Din al-Rais, al-Khilafah, hlm. 36.
Sumber: Gerakan Kembali ke Islam Warisan Terakhir, K.H. A. Latief Mukhtar, M.A.
Rasyid Ridha tampaknya berusaha sekuat tenaga untuk membela sistem khilafah atau al-imamah sebagai suatu kesatuan politik dunia Islam, terutama dalam menghadapi imprealisme Barat. Mungkin di antara pengaruhnya munculnya khilafah movement di kawanasan India. Sebenarnya di bagian akhir buku Rasyid Ridha ada usul yang simpatik andaikata pihak Turki (Mustafa Kemal) menerimanya dengan lapang dada. Rasyid Ridha (1) menerima kenyataan sejarah khilafah yang digantikan oleh Mustafa Kemal dengan sistem republik, meskipun upaya pemecahan itu bersifat sementara. Untuk selanjutnya, ia mengusulkan kepada penguasa militer Turki agar masalah pemerintahan di Turki, setelah diadakan perdamaian, diserahkan kepada dewan perwakilan rakyat yang dipilih secara bebas. Pemerintah yang dibentuk ini nanti menyusun suatu panitia atau organisasi campuran yang bebas dan berpusat di al-Astanah (Turki) untuk mempelajari usul-usul para ahli dalam masalah khilafah. Pekerjaan Steering Committee ini merupakan persiapan untuk Muktamar Dunia Islam.
Disamping itu, Rasyid Rida mengusulkan pula agar pemerintah Turki membentuk komisi lain untuk membahas hubungan Turki dengan dunia Arab dan Dunia Islam lainnya. Dalam hal ini Turki bisa mengambil manfaat untuk keperluan hubungan militer, sipil, dan agama. Kedua komisi tersebut nanti menjadi anggota (sebagai kelompok kerja para ahli) dalam Muktamar Dunia Islam. Komisi ini membuat acara dan tata tertib muktamar setelah membahas berbagai pendapat dan informasi yang berhubungan dengan masalah tersebut.(2) Appeal Rasyid Ridha di atas nampaknya tidak mendapat sambutan yang positif, terutama dari penguasa militer Turki. Sikap Turki ini mungkin menyebabkan timbulnya gagasan Mu'tamar al-Khilafah di Kairo pada tahun 1926. Usaha ini ibarat menegakkan benang basah, karena Turki tidak hadir, bahkan kedudukan Turki dalam perkembangan selanjutnya menjadi terkucil dari Dunia Islam. Mu'tamar di Kairo tidak mampu memecahkan masalah, sehingga keadaan disintegrasi politik dunia Islam tidak bisa diobati. Sementara itu, kekuatan penjajah Barat semakin kuat.
Ketika Dunia Islam dikejutkan dengan tindakan Mustafa Kemal, Kairo sedang mempersiapkan muktamar khilafah yang akan diadakan pada tahun 1926, dan setiap negara Islam lebih memperhatikan kepentingan nasionalnya dalam menghadapi kelihaian politik penjajah. Karena itu, muncullah ide baru Ali Abd al-Raziq yang dianggap radikal dan dianggap berseberangan dengan pendapat para ulama. Bagi al-Azhar, selaku penyelenggara muktamar, hal itu dirasakan sebagai pukulan dari dalam, karena Ali Abd al-Raziq termasuk anggota Korps Ulama al-Azhar. Karena itu, tidak heran kalau Majelis Ulama Besar al-Azhar di bawah pimpinan Syekh al-Azhar Muhammad Abi al-Fadl dengan dua puluh empat anggota ulama Korps Ulama al-Azhar secara ijma menyetujui keputusan pemecatan Ali Abd al-Raziq dari Korps Ulama al-Azhar dan dari semua jabatannya. Keputusan ini dikeluarkan dengan konsideran yang mendetail dan setelah diberi kesempatan pembelaan dari pihak terdakwa. Keputusan ini mulai berlaku 12 Agustus 1925. (3)
Riwayat Hidup
Ali Abd al-Raziq dilahirkan di daerah pedalaman Propinsi Menia pada tahun 1888. Ia dibesarkan di keluarga feodal yang aktif dalam kegiatan politik. Ayahnya, Hasan Abd al-Raziq, seorang Pasha besar yang cukup berpengaruh dan memiliki tanah yang luas. Di kancah perpolitikan, Hasan Abd al-Raziq pernah menjadi Wakil Ketua Partai Rakyat (Hizb al-Ummah) pada tahun 1907. Setelah peristiwa revolusi 1919, terbentuklah partai politik baru yang disebut Hizb al-Ahrar al-Dusturiyyin. Partai ini merupakan kelanjutan Hizb al-Ummah yang mempunyai hubungan erat dengan Inggris. Di antara pendiri partai ini ialah Hasan (kecil) Pasya Abd al-Raziq, saudara Syekh Ali Abd al-Raziq. Hasan menjadi Wakil Kantor (Diwan) Sultan Husein, yang merupakan agen Inggris pada waktu Perang Dunia I. Hasan Pasya terbunuh ketika keluar dari rapat dewan partai di kantot surat kabar partai di jalan al-Mubtadayan pada bulan Oktober 1922. Saudara kedua Syekh Ali Abd al-Raziq, Mahmud Pasya Abd al-Raziq, termasuk salah seorang pemimpin pusat partai dan pengarah politik partai yang penting. Syekh Ali mempunyai kakak bernama Syekh Mustafa Abd al-Raziq, yang pernah menjadi menteri waqf dan menjadi Pasha juga setelah itu. Akan tetapi, ia lebih menyukai ilmu daripada politik. Ia sangat disegani dan pada akhir hayatnya menjadi Syekh al-Azhar. Syekh Ali Abd al-Raziq sendiri juga kemudian menjadi Menteri Waqf dan menjadi Pasya. Kemudian ia diangkat anggota lembaga bahasa dan jabatan-jabatan lainnya. (4)
Charles C. Adam (5) pernah menyatakan bahwa sikap dan intelektual Ali Abd al-Raziq berada antara kakaknya, Mushtafa dan Thaha Husein. Ia tidak seradikal Thaha Husein dalam soal agama, ia tidak terlalu skeptis. Dari segi lain, ia tidak seperti kakaknya (Mushtafa) dalam mengikuti ajaran Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal dipengaruhi oleh ide-ide Abduh, Ali lebih maju daripada mereka (mungkin yang dimaksud lebih liberal) dalam beberapa hal yang esensial.
Mengenai riwayat pendidikannya, Charles C. Adams (6) menerangkan bahwa Ali Abd al-Raziq masuk Universitas al-Azhar pada usia muda: dua puluh tahun. Ia masuk Universitas al-Azhar pada tahun-tahun terakhir hubungan Abduh dengan lembaga itu. Jadi, hubungan Ali Abd al-Raziq dengan Muhammad Abduh tidak sedalam dan selama hubungan kakaknya (Mushtafa) dan ayahnya (Hasan) dengan Muhammad Abduh.
Charles C. Adams (7) juga menjelaskan bahwa Ali Abd al-Raziq belajar hukum (Canon law) dari Syekh Ahmad Abu Khatwah, sahabat Abduh. Khatwah sebagaimana Abduh, adalah murid Jamal al-Din al-Afghani. Namun, karena tidak merasa puas dengan hanya mengikuti kuliah di al-Azhar, selama satu atau dua tahun sejak tahun 1910, ia mengikuti pula perkuliahan di Al-Jami'ah al-Misriyyah (kini Jami'ah al-Qohiroh). Di antara dosen asing yang terpenting di universitas ini adalah Prof. Nallimo, dosen mata kuliah sejarah kesustraan Arab, dan Prof. Santillana -dosen mata kuliah sejarah filsafat. Setelah memperoleh ijazah 'alamiah dari Al-Azhar pada tahun 1911, pada tahun berikutnya (1912) ia memberikan kuliah retorika dan sejarah perkembangan sebagai salah satu ilmu bahasa Arab di Al-Azhar. Namun pada tahun yang sama, 1912, ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Setelah satu tahun belajar bahasa Inggris di London, kemudian ia masuk Oxfod Univesity untuk mengikuti studi ekonomi dan ilmu politik. Setelah tinggal di sana lebih dari satu tahun, ia terpaksa harus kembali ke Mesir karena Perang Dunia I mulai pecah.
Chales C. Adams(8) juga menerangkan bahwa setelah kembali ke Mesir, pada tahun 1915, Ali Abd al-Raziq diangkat sebagai hakim di beberapa mahkamah Syari'ah di Mesir. Pertama-tama ia diangkat di Provensi Alexandria, kemudian di mahkamah-mahkamah provinsi lainnya. Selama tinggal di Alexandria, ia memberi kuliah pula di mesjid (mosque school) yang berafiliasi dengan Al-Azhar. Disana ia menjadi pengajar dalam mata kuliah kesusastraan Arab dan Sejarah Islam. Sementara itu, ia juga melakukan penelitian mengenai sejarah peradilan Islam. Pada tahun 1925 ia menerbitkan hasil penelitiannya itu sebagai pengantar mengenai masalah khilafah, dengan judul Al-Islam wa Usul al-Hukm. Menurut Al-Rais (9), buku itu terbit ketika Ali Abd al-Raziq menjadi hakim di Mahkamah Syar'iyyah di Mansurah.
Dari riwayat hidupnya dapat disimpulkan bahwa Ali Abd al-Raziq dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga tuan tanah (feodal) yang aktif dalam pergerakan politik. Keluarganya menjadi unsur pimpinan dalam Hizb al-Ummah yang kemudian menjadi Hizb al-Ahrar al-Dusturiyyin. Mengenai pernyataan al-Rais bahwa partai ini mempunyai hubungan erat dengan pihak Inggris kebenarannya perlu diselidiki lebih lanjut, karena memang ada partai politik nasionalis yang merupakan saingannya, yaitu partai al-Wafd di bawah pimpinan Sa'ad Zaghlul. Dari segi pendidikan, ia mendapatkan pendidikan campuran: pendidikan agama dan sastra Arab di al-Azhar, pendidikan umum di Universitas Mesir dan Universitas Oxford, meskipun yang terakhir ini tidak sempat diselesaikannya. Adapun karier politiknya, selain menjadi anggota partai yang dipimpin keluarganya, ia juga memulai dari bawah, pernah menjadi hakim sampai memegang jabatan tertinggi sebagai menteri Waqf. Pemikirannya yang liberal mengenai pranata khilafah dan hubungan Islam dengan negara yang menyangkut ilmu politik dalam Islam menyebabkan Ali Abd al-Raziq berhenti dari kariernya sebagai ulama.
Masalah Khilafah
Masalah Khilafah, dalam arti sistem pemerintahan dalam Islam memang cukup ruwet, tetapi sangat penting. Sebagai fakta sejarah, ia pernah membawa citra gemilang, sekaligus menjadi biang keladi kemunduran Dunia Islam dalam berbagai aspek ajarannya. Kajian terhadap persoalan ini cukup penting, sebagai bahan untuk mencari alternatif modern mengenai teori politik dalam Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Ada dua alasan lain tentang pentingnya kajian masalah Khilafah ini :
1. dalam sejarah, semua aliran politik Islam dan kaum orientalis banyak membahas masalah khilfah. Abu Zahroh(10) meyatakan bahwa perbedaan pendapat sekitar khilafah menjadi penyebab utama munculnya beberapa aliran pemikiran politik, bahkan pemikiran teologi.
2. kajian tentang khilafah menjadi ilmu pemikiran politik untuk menelusuri konsep negara Islam yang bisa diterapkan dalam dunia modern.
Masalah pokok dan mendasar tentang khilafah yang dibahas oleh Ali Abd al-Raziq dalam bukunya tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan: apakah sistem khilafah termasuk dasar pemerintahan dalam Islam? Menurutnya, pernyataan bahwa mendirikan khilafah itu tidak wajib, telah membawa konsekuensi mendasar tentang apa itu Islam. Apakah Islam itu agama saja atau agama dan dunia? Apakah dalam Islam ada pemisahan antara agama dan negara?
Baiklah kita mulai dengan petanyaan pertama di atas mengenai hukum mendirikan khilafah.
Pendapa pertama yang dianut kebanyakan ulama menyatakan bahwa khilafah atau Imamah itu fardhu khifayah, seperti hukum jihad atau mencari ilmu. Kalau demikian, semua umat Islam berdosa jika ada sebagian dari mereka tidak mendirikan khilafah. Dalam sejarah, pendapat ini dipegang oleh Ahlusunnah, Mu'tazilah, dan Khawarij. Sebagian kecil menghukumi tidak wajib atau jaiz.
Argumentasi yang dikemukakan sebagian besar ulama yang menyepakati wajibnya khilafah itu bermacam-macam. Sebagian menggunkan dalil akal dan logika (dalil 'aqli), seperti pendapat Ibnu Kholdun tentang adanya ijmak Sahabat dan ijmak tabi'in bagi wajibnya khilafah. Ijmak versi Ibnu Kholdun ini didasarkan atas tinjauan sosiologis, yaitu keharusan adanya kumpulan manusia dan ketidakmungkinan hidup menyendiri, sehingga diperlukan al-hakim atau al-wazi; jika tidak demikian, akan terjadi kekacauan sosial, padahal memelihara eksistensi sosial termasuk di antara tujuan syara' yang mutlak(11). Sebagian lagi berargumen dengan dalil Sayr'i baik, baik dengan nash Al-Quran, hadits maupun ijmak versi ahli Ushul al-fiqh. Golongan ketiga berargumentasi dengan dalil aqli dan syar'i secara bersama-sama.
Pendapat kedua menyatakan bahwa khilafah bukan merupakan dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan kata lain, sebagai sistem pemerintahan, khilafah termasuk persoalan yang diserahkan kepada kaum Muslimin. Sebagian kaum Mu'tazilah dan Khawarij Al-Najdat berpendapat bahwa pendirian khilafah tidak wajib; yang wajib adalah terlaksananya hukum syari'ah.
Pada awalabad ke-20 muncul seorang ulama Al-Azhar yang sependapat dengan kelompok yang beranggapan bahwa pendirian khilafah tidak diwajibkan oleh agama. Argumen yang dikemukakannya antara lain sebagai berikut:
1. Ali Abd al-Raziq menolak dalil Ijmak sebagai hukum syara' atau hujah agama, baik ijmak sahabat, ijmak sahabat bersama tabi'in, maupun ijmak seluruh kaum muslimin. Ia membuktikannya dengan argumen historis -secara rasional- terhadap pembantaian Yazid. Menurutnya, bagaimana ada ijmak yang sebenarnya karena saat itu ada intimidasi. "Siapa yang menolak baiat, inilah bagiannya," kata protokol upacara sambil menunjuk pedangnya(13). Pendapat ini dibantah oleh Al-Rais. Menurutnya, yang dimaksud dengan ijmak adalah ijmak sahabat dan tabi'in. Al-Rais mengatakan bahwa nilai ijmak yang tertinggi dan terkuat dalam syari'ah Islam ialah ijmak sahabat(14). Selanjutnya Al-Rais menerangkan bahwa yang dimaksud ijmak menurut pemahaman ulama adalah dalam kewajiban untuk menegakan khilafah, bukan dalam memilih orangnya (khalifah). Dalam memilih orangnya itu cukup dengan suara mayoritas; hal itu terjadi berulang kali dalam sejarah(15). Kalau kita berbicara apakah dalil ijmak ini syar'i atau bukan sebenarnya cukup ruwet juga. Karena itu, Mamduh Haqqi berkata, "Sesungguhnya kalau mengikuti pertentangan mengenai masalah ijmak, kita tidak akan berakhir kepada suatu batas…bahkan perkiraan kebanyakan orang tidak akan berakhir selamanya."(16)
2. Argumen yang selalu digunakan para ulama tentang wajibnya khilafah ialah bahwa tegaknya ajaran Islam, semaraknya syiar agama, dan baiknya umat Islam sangat bergantung adanya khilafah. Menurut Ali Abd al-Raziq, alasan itu tidak cocok dengan kenyataan sejarah. Sejarah membuktikan bahwa kesemarakan syiar Allah dan berkembangnya agama tidak bergantung pada adanya khilafah. Ia menambahkan keterangan bahwa sejak abad ke-3 hijriah, sistem khilafah sudah tidak utuh lagi sehingga kekuasaan khalifah terbatas sekitar Baghdad. Kemudian ia berkata, "Kita tidak membutuhkan khilafah, baik untuk urusan agama kita maupun untuk urusan dunia kita,… karena sistem khilafah ini masih merupakan tragedi bagi Islam dan kaum Muslimin …marilah kita yakini sekarang bahwa agama dan dunia kita, tidak memerlukan khilafah fiqhiyyah."(17) Pernyataannya pada bagian akhir ini ada benarnya juga, karena para fuqoha sering mengeluarkan hukum fiqh yang memberikan legalisasi perkembangan pranata khilafah dalam sejarah sejarah. Di samping itu, dari pernyataannya nampak kecenderungan landasan berpikirnya, yaitu sikap sekuler sebagaimana akan diuraikan berikut ini tentang hubungan Islam dan negara.
Islam dan Negara
Masalah negara dalam Islam atau masalah ajaran Islam dalam kehidupan bernegara merupakan masalah yang timbul sampai sekarang. Dengan ungkapan yang lebih umum sering dipertanyakan: "Apakah Islam itu meliputi agama dan dunia, ataukah agama saja?" Dalam hal ini, pendirian Ali Abd al-Raziq(18) cukup jelas: "Risalah la hukm, wa din la daulah".
Adapun untuk menjawab pertanyaan di atas, ada dua pendapat. Pendapat pertama, tidak ada pemisahan antara Islam dan negara. Argumen pendapat ini sebagai berikut:
1. Islam mengajarkan kesatuan antara masalah dunia dan akhirat. Pendapat ini menyatakan bahwa mempersatukan maslahat dunia dan akhirat merupakan dasar di antara dasar-dasar Islam. Dengan kata lain, tidak ada pemisahan antara antara Islam dan dunia. Banyak ayat Al-quran dan Hadits yang menunjukan bahwa Islam tidak menganut sekularisme. Abd Hamid Mutawalli,(19) ketika mendiskusikan gagasan Ali Abd al-Raziq, mengemukakan ayat Al-Quran, "Wa la tansa nasibaka min al-dunya" (Q.S 28:77). Adapun hadits yang dikemukakan ialah sabda Rasulullah saw kepada Sa'ad ibn Abi Waqqas yang waktu itu sedang sakit. Ketika Sa'ad meminta nasihat Rasul tentang niatnya untuk menyedekahkan dua pertiga dari hartanya, Nabi saw menjawab: "Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya meninggalkan ahli waritsmu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada membiarkan mereka fakir dan meminta-minta kepada orang lain. Mutawalli menambahkan argumen Muhammad 'Abduh:"Pergi salat Jum'at hukumnya wajib, kecuali jika tanah terlalu becek dan hujan lebat sehingga menyebabkan kesusahan (untuk pergi Jum'at); maka hukum wajib itu jatuh karenanya. Oleh karena itu, kita dapati kaidah umum, "Kesehatan badan diberi prioritas daripada kesehatan agama." (sihhah al-abdan muqoddamun 'ala sihhah al-adyan). Tentu tidak sedikit ayat Al-Quran dan Hadits yang menunjukan (secara implisit) bahwa di samping agama, Islam juga adalah negara -sebagaimana dikutip oleh Mutawalli(20). Namun, saya tidak bermaksud membahas ayat-ayat dan Hadits, tetapi hendak menunjukkan dalil naqli yang dipergunakan.
2. Untuk menopang pendapat pertama ini, di samping dalil naqli, para ulama dan cendekiawan selalu mengemukakan dalil 'aqli yang sebenarnya ditarik dari dalil naqli juga. Ajaran Islam mengandung prinsip-prinsip umum, misalnya musawarah, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Semua prinsip tersebut menyangkut masarakat dan negara. Karena itu, ajaran Islam tidak dapat dipisahkan dari masarakat dan negara. Namun, penggunaan dalil 'aqli terhadap Ali Abd al-Raziq menghadapi jalan buntu karena ia mengingkari penggunaan akal, Haqqi mengkritiknya. Menurutnya, Ali telah membuat kesalahan: (1) berpegang teguh kepada pengertian khilafah dalam arti sempit dalam pasal pertama, sebagaimana ia telah mandek dalam pengertian ijmak sehingga mengingkarinya; dan (2) mengingkari penggunaan akal dalam memecahkan masalah, ketika ia dapati orang-orang terdahuulu berselisih paham tentang wajibnya pengangkatan khalifah, baik dari segi akal maupun syar'i.
3. Alasan lain yang diajukannya adalah pandangan kaum orientalis, seperti Thomas Arnold dan S. Strothman Gibb, yang menyatakan bahwa selain masalah ibadah, Islam juga mengurus soal masarakat dan negara, bahwa Nabi bukan bukan hanya pemimpin agama tetapi juga kepala negara. Begitulah seperti yang dicatat oleh Mutawalli(23). Ali Abd al-Raziq sendiri mengakui bahwa Muhammad bukan saja Rasul, melainkan juga kepala negara(24). Akan tetapi, pengakuannya itu dibatalkan oleh pendapatnya ketika ia berkata, "Itulah kepemimpinan dakwah kepada Allah. Tidak seperti kepemimpinan raja, kepemimpinannya adalah kepemimpinan risalah dan agama. Kekuasaan Nabi bukan kekuasaan kerajaan dan sultan(25). Pada prinsipnya, pernyataan Ali Abd al-Raziq tidak menolak bahwa Nabi itu adalah pemuka kelompok masarakat di Madinah mungkin yang ditolaknya sifat kekuasaan mutlak para raja dan para sultan yang ternyata pada waktu itu bersifat mutlak dan zalim.
Adapun pendapat kedua mengenai hubungan Islam dan negara tercermin dalam pendapat Ali Ab al-Raziq.
Ia memisahkan antara Islam dan negara atau pemerintahan. Pendapatnya itu dapat kita pahami dari pernyataan yang pernah ia kemukakan, "Nabi Muhammad itu adalah rasul untuk mendakwahkan agama semata-mata, tidak dicampuri kecenderungan untuk mendirikan kerajaan dan tidak pula mendakwakan berdirinya negara."(26) Selanjutnya ia berkata, "Sesungguhnya Islam itu adalah kesatuan agama, dan Nabi mengajak kepada kesatuan itu. Kesatuan benar-benar sudah tercapai sebelum Nabi wafat. Dalam mencapai kesatuan itu Nabi telah berjuang dengan lisannya dan telah menunjukkan "giginya" (maksudnya, berjihad dengan kekuatan) sehingga datanglah petolongan Allah dan tercapailah kemenangan."(27). Menurutnya kalau Rasul itu pengemban risalah, maka tidak boleh dilupakan bahwa "risalah itu sendiri memerlukan seorang rasul sebagai pemimpin kaumnya, sebagai sultan mereka. Meskipun demikian, kepemimpinannya tidak seperti kepemimpinan raja-raja berikut kekuasaan mereka terhadap rakyatnya. Jangan dicampuradukan antara kepemimpinan risalah dengan kepemimpinan almulk "(28) Yang pertama adalah kepemimpinan agama sedangkan yang kedua adalah kepemimpinan kerajaan.
Alasan yang dijadikan dalil oleh Abd al-Raziq untuk mendukung pendapat di atas adalah dalil-dalil Alquran, Hadits, dan akal. Ia mengatakan bahwa dalam dalil Al-quran sudah cukup jelas, "Rasul tidak mempunyai kewajiban selain mengemban risalah."(29) Dengan perkataan lain, tugas Rasul itu hanyalah menyampaikan risalah agama kepada umatnya. Ia menyebutkan banyak ayat Al-Quran yang intinya menjelaskan bahwa Rasul diutus bukan sebagai hafiz (pengawal/penjaga), wakil (pengurus), jabbar (kekuasaan yang sanggup memaksakan), musaitir (penguasa). Kewajiban Rasul hanyalah sebagi balagh (penyampai risalah), mubasyir dan nadzir (pemberi kabar gembira dan ancaman), mudzakkir (yang memberi ingat), tetapi bukan musaitir (penguasa mutlak). Selanjutnya ia menjelaskan bahwa kerajaan membutuhkan pemaksaan dan kekuasaan yang tidak terbatas (mutlak)."(30)
Namun, sebagaimana dikutip oleh Mutawalli(31), ayat-ayat Alqura yang digunakan Ali Abd al-Raziq untuk menopang pendapatnya itu mendapat kritikan spontan dari para ulama Al-Azhar pada tahun yang sama (1925). Menurut ulama al-Azhar, ayat-ayat Alquran tersebut termasuk ayat-ayat makiyyah. Padahal, pendirian negara Islam bukan pada periode Mekkah, melainkan pada periode madinah. Para ulama tersebut,menurut Mutawalli, menyatakan, seharusnya Ali Abd al-Raziq menafsirkan ayat-ayat tersebut berdasarkan sebab turunnya ayat-ayat itu, yakni keadaan Nabi dan kaum Muslimin ketika mengalami gangguan dari kaum musyrikin(32).
Berkaitan dengan kritikan terhadap Ali Abd al-Raziq mengenai tidak relevannya penggunaan ayat-ayat tersebut, al-Rais menunjuk halaman 76 buku karya Ali, Al-Islam Da'wah Diniyyah ilaa Allah Ta'ala, yang initinya menjelaskan bahwa agama berlawanan dengan dunia. Al-Rais juga menunjuk halaman 73 dari buku tersebut yang intinya menyatakan bahwa risalah rasul hanyalah al-balagh, bahwa tugas rasul tidak termasuk al-tanfidz (pelaksana). Al-Rais menolak pendapat Ali Abd al-Raziq yang menyatakan bahwa tugas rasul hanyalah berdakwah, tanpa memasukan tanfidz. Ia mengemukakan pendapatnya dengan argumen ayat-ayat Alquran, antara lain "Kabura maqtan 'inda Allah an taqulu ma la taf'alun" dan "Ya ayyuhan Nabi jahidi al-kuffar wa al-munafiqin"(33). Meskipun Al-Rais sering mengkritik Ali bd al-Raziq secara emosional, banyak hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Misalnya tentang masalah jihad Rasul, Al-Rais menunjuk halaman 52 buku Ali Abd al-Raziq, yang intinya menjelaskan bahwa -menurut al-Raziq- jihad ternyata bukan saja untuk dakwah melainkan juga untuk memperkuat sulton dan memperluas al-mulk.(34) Pada bagian lain, al-Raziq menerangkan bahwa penggunaan kekerasan termasuk salah satu cara jihad. Bahkan menurutnya, suatu saat kejelekan juga sebenarnya diperlukan untuk untuk menegakan yang baik. Ia berkata, "Barangkali kita wajib melakukan penghancuran untuk menyelesaikan pembangunan ('umran)."(35) Al-Rais berpendapat bahwa jihad adalah pelaksanaan (tanfidz) dakwah dalam pranata bernegara dan bermasarakat untuk menghindari segala sesuatu yang mengancam eksisitensi Islam dan kaum Muslimin di Madinah.(36) Sebenarnya kontroversi mengenai penggunaan argumen ayat Alquran ini masih banyak, dan memerlukan pendalaman.
Adapun dalil hadis untuk memperkuat pendapat Ali Abd al- Raziq, ialah -ini yang terpenting- sebuah riwayat yang menceritakan bahwa seorang datang kepada Nabi karena ada hal yang hendak disampaikan. Setelah berhadapan dengan Nabi, orang itu sangat gugup dan gemetar. Nabi berkata, "Tenangkan dirimu. Aku ini bukan raja dan pemaksa (jabbar). Aku adalah anak seorang wanita dari Quraisy yang makan dendeng di Mekah.(37) Dalam kaesempatan lain al-Raziq mempergunakan hadis yng terkenal, "Engkau lebih mengetahui urusan duniamu."(38)
Dalam hubungan ini, Khalid Muhammad Khalid -juga seorang syekh dari al-Azhar yang sepaham dengan al-Raziq- mengatakan bahwa Nabi sangat mengerti akan tugasnya: "Rasul hanyalah pemberi petunjuk (hadin) dan pemberi kabar gembira (basyir); bukan kepala pemerintahan". Selanjutnya Khalid mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat pernah mengajukan permohonan agar Rasul menjadi raja sepeti raja-raja lainnya. Mendengar hal itu, Rasul terkejut, lalu bersabda, "Aku tidak seperti mereka. Aku adalah rahmat dan dianugrahkan". Khalid juga menceritakan riwayat lain: Suatu saat Umar menemui Rasul. Umar mendapati beliau sedang berbaring di atas tikar yang bekasnya terlihat di sebagian tubuh beliau. Umar berkata, "Tidakkah Rasul Allah membuat hamparan yang empuk?" Rasul menjawab, "Sabar hai Umar, apakah engkau mengira aku ini kaisar. Aku adalah nabi, bukan raja."(39) Riwayat ini digunakan sebagai dalil bahwa risalah Nabi hanyalah risalah agama, tidak termasuk masalah-masalah dunia.
Komentar terhadap hadis pertama, "hawwin 'alaikafa faa inni lastu bimalikin wa la jabbarin", adalah bahwa Nabi bukan raja seperti raja yang diketahui orang itu, raja yang menakutkan karena karena kezaliman dan kekuasaannya. Karena itu, rasul berusaha menenangkan dan menghilangkan rasa takut orang itu.(39) Dari kedua pendapat di atas terlihat adanya perbedaan penafsiran. Ali Abd al-Raziq hendak memperkuat pendapatnya yang sekuler, sedangkan tafsiran lainnya sekadar menghilangkan ketakutan orang yang menghadap Nabi itu, bahwa sifat kekuasaannya tidak seperti raja-raja yang dikenal pada waktu itu.
Terhadap hadis, "Antum a'lamu bi syu'uni dunyakum", para ulama mengomentari bahwa penggunaan dalil itu tidak relevan, karena sebab turun (asbab al-wurud)-nya hadis itu mengenai persilangan pohon kurma melalui eksperimen; karena itu, tidak tepat jika digunakan sebagai dalil bahwa Rasul tidak mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan(40). Sebenarnya masalah-masalah kemasarakatan yang tidak diatur dalam Alquran dan Hadis, hadis tersebut dapat digunakan dengan analogi. Ternyata Alquran dan hadis tidak mengandung segala-galanya, banyak persoalan kemasarakatan yang tidak diperinci oleh Alquran. Alquran hanya membuat prinsip-prinsip kemasarakatan. Soal perinciannya diserahkan kepada umat sesuai dengan tempat dan perkembangan zaman. Karena itu, ijtihad sangat diperlukan. Inilah barangkali yang dimaksud oleh Harun Nasution sebagai dinamika Islam dan masarakat. Beliau mengatakan, "Sistem mempunyai kecenderungan untuk bersifat statis demi mempertahankan eksistensinya dan oleh kaena itu dapat mengikat dinamika masarakat dan menghamba perkembangannya ... Yang diperlukan masarakat... bukanlah sistem-sistem, tetapi prinsip-prinsip dan dasar-dasar...."(41) Barangkali Islam yang "lengkap atau sempurna" itu terletak pada prinsip-prinsipnya bukan perinciannya.
Dalil ketiga yang dipergunakan Ali Abd al-Raziq adalah dalil 'aqli. Ia berkata, "Masuk akal jika seluruh dunia menganut satu agama, ... tetapi diragukan kebenarannya apabila seluruh dunia berada di bawah satu pemerintahan dan bersatu dalam kesatuan politik...."(42). Ia melanjutkan bahwa politik itu adalah persoalan dunia, yang harus diserahkan kepada akal manusia sesuai dengan situasi dan kondisi. Sebenarnya dalil aqli tersebut berdasarkan dalil naqli surat Hud: 118 dan Al-Baqoroh: 51(43). Dalam butir ini pendapat Ali Abd al-Raziq cukup positif dan mengandung dinamika Alquran. Akan tetapi, sayangnya, ia melanjutkan dengan pernyataan berikutnya yang menunjukkan pemahamannya yang sekuler. "Itulah tujuan-tujuan dunia. Nabi saw sendiri mengingkari adanya hak untuk memerintah atau mengatur. Nabi bahkan berkata, "Kamu lebih mengetahui urusan duniamu."(44) Sebenarnya Alquran dan hadis begitu juga fuqoha, tidak menganjurkan satu pemerintahan dalam satu kesatuan politik di dunia, kecuali untuk dunia Islam. Meskipun al-Raziq menyatakan masuk akal kalau dunia ini menganut satu agama, dalam kenyataannya, sejak perkembangannya, di dunia ini terdapat berbagai macam agama; rasanya mustahil dunia ini di bawah naungan satu agama.
Kemudian Ali Abd al-Raziq melanjutkan dalil akalnya: Apabila benar bahwa tugas Nabi itu mendirikan negara, tentu beliau akan menentukan pengganti setelah beliau wafat; sebaliknya, Nabi justru membiarkan urusan negara itu tidak jelas (mubham) bagi kaum Muslimin. Karena itu, setelah Nabi wafat, kaum Muslimin mengalami kebingungan, yang akibatnya saling hantam satu sama lain.(45)
Barangkali di antara hikmahnya mengapa Nabi tidak menentukan pengganti, karena masalah pemilihan khalifah itu diserahkan sepenuhnya kepada umat. Segera setelah Nabi wafat, para sahabat menaruh perhatian besar terhadap pengganti beliau. Jenazah Nabi belum selesai diurus, sudah diadakan pembicaraan atas inisiatif kaum Anshar di Saqifah Bani Sa'idah, yang kemudian mendapat perhatian serius di kalangan Muhajirin. Menurut saya, Ali Abd al-Raziq berlebihan ketika ia berkata, "mereka salig baku hantam." Sebab, yang jelas dalam sejarah memang ada perdebatan sengit, dan itu wajar. Setelah disepakati bahwa Abu Bakar sebagai Khalifah, mereka (kaum Anshar dan Muhajirin) kembali rukun.
Selanjutnya Ali Abd al-Raziq menerangkan sejarah khilafah. Yang mengherankan adalah ungkapannya yang menyatakan bahwa setelah Nabi wafat, "tidak ada pemimpin keagaman"; yang ada adalah bentuk kepemimpinan baru yang tidak ada kaitannya dengan ar-risalah dan tidak berdasarkan agama". Artinya, tidak lebih dari "kepemimpinan sipil atau politik, kepemimpinan pemerintahan dan sultan; bukan kepemimpinan agama"(46). Ia bahkan berkata, "Abu Bakar adalah raja pertama dalam Islam."(47)
Kalau kembali kepada sejarah, kita akan mendapati kenyataan bahwa keberadaan Nabi di Mekah adalah sebagai rasul atau pemimpin keagamaan bagi kaum Mukminin. Namun, kedudukannya berubah setelah beliau hijrah ke Madinah; selain sebagai rasul, beliau juga berfungsi sebagai Nabi dan kepala negara (semacam negara polis di Yunani kuno). Pernyataan Ali Abd al-Raziq bahwa "Raja pertama adalah Abu Bakar" tampaknya kurang tepat. Apa yang dilakukan Abu Bakar dan para khalifah sesudahnya hanyalah melakukan perluasan dan pengembangan dari apa yang telah dibangun oleh Rasulullah saw. Meskipun pemerintahannya sederhana, Rasulullah telah meletakan dasar-dasar yang cukup kokoh dan bisa dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
Agama adalah kebenaran yang abadi dan tidak berubah, sedangkan negara dan sistem pemerintahan tunduk kepada perkembangan yang dinamis, selalu berubah. Tindakan Rasul sebagai pemimpin komunitas Madinah, baik dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, judikatif, maupun dalam upaya perundingan, perjanjian, dan penentuan perang atau jihad tidak berarti bahwa beliau menentukan satu bentuk pemerintahan yang diwajibkan; yang diwajibkan bukanlah bentuknya, melainkan pranata negara yang mampu menjamin terlaksananya syariah.
Pepatah Prancis mengatakan, "Bien Peser la Question c'est deja la resoudre" (Bila tepat meletakkan masalah sebenarnya, masalah itu telah dipecahkan). Masalah yang dikemukakan Ali Abd al-Raziq adalah apakah Islam itu agama dan negara. Mutawalli(48) berpendapat bahwa peletakan masalah itu kurang tepat. Karena, orang yang beranggapan bahwa "Islam hanya agama" telah mengingkarai kenyataan sejarah. Letak permasalahan sebenarnya adalah, apakah Islam telah meletakan sistem tertentu. Islam tidak menentukan sistem tertentu mengenai pemerintahan dan negara. Sebagaimana diutarakan oleh Harun Nasution, sistem itu cenderung statis dan bisa menghambat perkembangan masarakat.
Kalau begitu, pertanyaan berikutnya adalah apakah Islam telah meletakan dasar-dasar negara. Jawabannya bisa sepakat: bahwa Alquran dan hadis telah meletakkan prinsip-prinsipnya seperti musawarah, kemerdekaan, persamaan, dan keadilan. Jadi, kesulitan yang dihadapi umat Islam terletak pada penjabaran, perincian, atau interpretasi dari nilai-nilai dasar tersebut. Di sini pentingnya peranan ijtihad jama'i dalam dunia modern. Dengan demikian, kematangan kaum ulama dan cendekiawan muslim sangat diharapkan. Kalau begitu, perbaikan dan pengembangan lembaga pendidikan di Dunia Islam sangat strategis sebagai upaya mencapai tujuan.
Kesimpulan
Pemikiran dari Ali Abd al-Raziq tentang khilafah menggugah pemikiran muslim untuk mencari alternatif tentang masalah negara Islam. Sistem khilafah yang dulu dianggap sebagai dogma agama terbukti tidak ada keterangannya dalam secara eksplisit dalam Alquran dan hadis. Yang bisa dipahami secara implisit adalah bahwa dasar-dasar Islam perlu panata yang merealisasikannya. Pranata yang paling mampu dan efektif untuk merealisasikannya adalah negara dan pemerintahan.
Cara berpikir Ali Abd al-raziq yang scholastic serta bersifat emphirical history dan rational telah membuktikan sesuatu yang baru. Namun sayang, metode berpikirnya itu telah menghasilkan sekulerisme yang tidak disepakati oleh sebagian besar Dunia Islam. Meskipun demikian, masalah terakhir ini kerap kali timbul ke permukaan, karena ia menyangkut pandangan hidup Muslim.
1. Muhammad asyid Rida, al-Khilafah au al-Imamah al-Kubra, Matba'ah al-manar, Mesir 1341 H (1924 M) hlm. 141-142.
2. Syekh al-Jami' Al-Azhar, Hukm Hai'ah Kibar al-Ulama' fiKitab al-Islam wa Ushul al-Hukm, al-Matba'ah al-Salafiah, Kairo, 1344 H, hlm 32.
3. Ibid, hlm. 5-32.
4. Muhammad Diya'al-Din al-Rais, Al-Islam wa al-Khilafah fil al-'As al-Hadits -Naqd Kitab al-Islam wa Usul al-Hukm (selanjutnya disebut al-Khilafah), Mansyurat al-'Asral-Hadits, Kairo, 1973, hlm. 36-37. Lihat pula Charles C. Adams, Islam, and Modernisme in Egypt, Russel & Russel, New York 1968, hlm. 259
5. Ibid, hlm. 259-260
6. Ibid, hlm. 260.
7. Ibid.
8. Ibid, hlm. 260-261
9. Muhammad Diya' al-Din al-Rais, al-Khilafah, hlm. 36.
Sumber: Gerakan Kembali ke Islam Warisan Terakhir, K.H. A. Latief Mukhtar, M.A.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» agama dan negara dalam islam
» kesederhanaan dalam anggaran belanja negara
» Dalam Negara Islam hanya ada SATU partai politik
» kebangkitan islam dan negara-negara kawasan arab
» kebodohan dalam masalah agama
» kesederhanaan dalam anggaran belanja negara
» Dalam Negara Islam hanya ada SATU partai politik
» kebangkitan islam dan negara-negara kawasan arab
» kebodohan dalam masalah agama
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik