bekal seorang da'i
Halaman 1 dari 1 • Share
bekal seorang da'i
Seorang Da'i Harus Sabar Dalam Dakwahnya
Seorang da’i harus bersabar dalam berdakwah dan bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan dakwah serta bersabar terhadap tantangan dakwah.
Seorang da’i harus bersabar dalam dakwah artinya terus menekuni dakwah dan tidak bosan bahkan dia harus terus menerus berdakwah mengajak manusia kepada jalan Allah sesuai dengan kemampuannya dan selalu melibatkan diri dalam berbagai aktifitas dakwah yang lebih bermanfaat dan lebih mengena. Seorang da’i harus bersabar dalam menekuni dakwah dan tidak boleh bosan dalam menyampaikan dakwah. Sebab apabila seorang da’i ditimpa kebosanan, maka dia akan merasa lelah kemudian meninggalkan dakwah, akan tetapi apabila dia tetap beristiqomah dalam berdakwah maka dia akan meraih pahala orang-orang yang bersabar dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Renungkanlah firman Allah yang ditujukan kepada Nabi-Nya:
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Huud: 49).
Seorang da’i harus bersabar dalam menghadapi rintangan dakwah dari para penentang dan musuh dakwah, karena setiap orang yang berdakwah mengajak kepada Allah pasti mendapatkan tantangan sebagaimana firman Allah:
“Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabbmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong”. (QS. Al-Furqan: 31).
Jadi, setiap dakwah pasti mendapat tantangan dan rintangan dari para penentang, pendebat ataupun dari para penyebar syubhat, akan tetapi seorang da’i wajib untuk bersabar menghadapi orang-orang yang menentang dakwah, meskipun dakwah tersebut dituduh sebagai dakwah sesat dan batil, padahal dakwah tersebut sesuai dengan petunjuk Kitabullah dan tuntunan sunnah Rasulullah maka seorang da’i harus bersabar dalam berdakwah.
Demikian itu bukan berarti seorang da’i harus bersikukuh mempertahankan kebatilan apabila telah tampak kebenaran. Sesungguhnya orang-orang yang tetap bersikukuh mempertahankan kebatilan padahal telah tampak kebenaran kepadanya maka ia menyerupai orang yang disebutkan dalam firman Allah:
“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesu-dah nyata (kebenaran itu)” (QS. Al-Anfal: 6).
Membantah kebenaran setelah datang penjelasan dan hujjah merupakan sifat yang tercela. Allah berfirman tentang orang-orang yang mempunyai sifat demikian:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 115)
Wahai para da’i, apabila ada suatu kritikan yang membangun dan bagus maka anda harus menerima dengan lapang dada namun jika hanya sekedar tuduhan batil jangan sampai melemahkan semangatmu dan mengendorkan langkahmu dalam berdakwah.
Demikian pula seorang da’i harus sabar terhadap rintangan dan gangguan dakwah karena seorang da’i pasti menghadapi hal-hal yang menyakitkan hati baik berupa perkataan atau perbuatan. Inilah para rasul -shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas mereka-, mereka disakiti dengan perkataan dan perbuatan sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah:
“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melain-kan mereka mengatakan: “Ia adalah tukang sihir atau orang gila”. (QS. Adz-Dzariyat: 52)
Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mendapat wahyu dari Rabbnya lalu diejek dan dikatakan bahwa “sesungguhnya kamu adalah tukang sihir atau orang gila”?. Tidak ragu lagi bahwa beliau merasa tersakiti, namun para rasul tetap bersabar dalam menghadapi ejekan dan hinaan yang menyakitkan hati baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Perhatikanlah Rasul pertama, Nuh ketika kaumnya melihat beliau sedang membuat kapal, mereka mengolok-olok beliau, maka beliau berkata kepada mereka:
“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh adzab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa adzab yang kekal” (QS. Huud: 38-39).
Dan mereka tidak puas hanya sebatas mengejek dan menghina dengan perkataan dan olokan belaka bahkan mereka mengancam untuk membunuh beliau sebagaimana firman Allah:
“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam” (QS. Asy-Syu’ara: 116).
Maksudnya, beliau akan bernasib seperti orang-orang yang dibunuh dengan cara dirajam dengan batu. Maka beliau diancam dengan pembunuhan, yaitu dengan ancaman bahwa “Kami telah merajam orang selainmu secara terang-terangan”, dalam rangka pamer kekuatan mereka atau show off power, sementara mereka benar-benar telah merajam orang lain, dan kamu wahai Nuh termasuk di antara mereka. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat nabi Nuh dalam berdakwah, bahkan beliau terus berdakwah sampai Allah memenangkan beliau atas kaumnya.
Begitu juga dakwah nabi Ibrahim telah disambut oleh kaumnya dengan penolakan, bahkan mereka menciptakan opini miring[ dan sesat tentang dakwah beliau di kalangan umat manusia.
“Mereka berkata: ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan’” (QS. Al-Anbiya’: 61)
Kemudian mereka mengancam akan membakar beliau:
“Mereka berkata: ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak’” (QS. Al-Anbiya’: 68)
Mereka menyalakan api yang sangat besar dan dahsyat kemudian mereka melempar beliau dengan manjaniq (alat pelempar batu, seperti meriam pada zaman ini) ke arah api. Mereka melempar dengan alat itu karena sangat jauhnya tempat api dari mereka dan disebabkan sangat dasyatnya panas api tersebut, tetapi Allah Rabbul ‘Izzah wal Jalal (Yang Maha Perkasa dan Mulia) berfirman:
“Kami berkata: ‘Wahai api, menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim’” (QS. Al-Anbiya: 69)
Sehingga api itu menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagi beliau dan akhir yang baik berpihak pada Ibrahim.
“Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi “ (QS. Al-Anbiya: 70).
Begitu juga dengan nabi Musa yang mendapat ancaman dari Fir’aun akan dibunuh.
“Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah dia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguh-nya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (QS. Ghafir: 26).
Nabi Musa diancam dengan pembunuhan, namun keberuntungan berakhir di pihak beliau‘alaihi shalatu wa salam.
“Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk” (QS. Ghafir: 45)
Demikian pula dengan nabi Isa, beliau disakiti bahkan orang Yahudi menuduh beliau sebagai anak zina. Dan mereka menyangka telah membunuh dan menyalib beliau, tetapi Allah berfirman:
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa: 157-158).
Sehingga beliau selamat dari makar keji mereka.
Begitu juga penutup dan imam para nabi serta sayyid Bani Adam, Muhammad, Allah berfirman tentang beliau:
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Qura-isy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membu-nuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (QS. Al-Anfal: 30).
“Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (QS. Al-Hijr: 6).
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 36)
Beliau mendapatkan hal-hal yang menyakitkan dari mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti yang telah diketahui oleh para ulama ahli sejarah, beliau tetap bersabar, maka kesudahan yang baik berpihak pada beliau.
Jadi, setiap da’i pasti akan menghadapi rintangan dalam berdakwah akan tetapi ia harus tetap bersabar. maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur”. (QS. Al-Insan: 23).
Kelanjutan ayat di atas menurut pengamatan kita seharusnya perintah untuk bersyukur namun ternyata Allah berfirman kepada beliau:
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Rabbmu” (QS. Al-Insan: 24)
Demikian itu sebagai isyarat bahwa setiap orang yang mengamalkan ajaran Al-Qur’an mesti ditimpa kesukaran yang membutuhkan ekstra kesabaran.
Maka wajib bagi setiap seorang da'i tetap bersabar dan terus berdakwah sampai datangnya kemenangan. Tidak harus kemenangan itu datang ketika ia masih hidup, namun suatu yang terpenting adalah panji dakwah tetap berkibar di tengah umat manusia dalam keadaan murni (putih bersih) dan diikuti. Dan tarjet utama dakwah bukanlah jumlah orang yang sudah mengikuti dakwah namun yang terpenting bagaimana panji dakwah tetap berkibar dan suara dakwah terus bergema meskipun dia telah tiada, sehinggga dia seakan-akan masih tetap hidup walaupun dia sudah tiada.
Allah berfirman:
“Apakah orang yang sudah mati, kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS. Al-An’am: 122).
Pada hakekatnya hidup dan tidaknya seorang da'i bukan tergantung pada bersatunya ruh dan jasad belaka tetapi seorang da’i dinyatakan hidup secara hakiki bila pendapat dan kebaikannya tetap ada dan lestari di tengah-tengah umat manusia.
Renungkanlah kisah Abu Sufyan bersama Heraklius. Pada tahun ke tujuh hijriyah Heraklius mendengar bahwa telah muncul seorang Nabi maka dia memanggil Abu Sufyan, lalu dia bertanya kepadanya tentang kenabian, kepribadian, nasab, ajaran dakwah dan tentang para sahabat beliau. Ketika Abu Sufyan telah menjawab semua pertanyaan maka Heraklius berkata kepadanya: “Jika apa yang kamu katakan benar, maka dia akan menguasai wilayahku hingga bumi yang ada di bawah kedua kakiku ini”. Subhanallah, siapa yang mengira bahwa raja dari sebuah imperium -menurut istilah mereka- akan melontarkan ucapan seperti itu tentang Nabi Muhammad, padahal pada saat itu beliau belum membebaskan jazirah Arab dari perbudakan setan dan hawa nafsu. Siapa yang mengira bahwa seorang kaisar akan mengatakan perkataan seperti di atas?. Oleh karena itu, ketika Abu Sufyan keluar, dia berkata kepada kaumnya:
لَقَدْ أَمِرَ أَمْرُ اْبنِ أَبِيْ كَبْشَةٍ إِنَّهُ لَيَخَافُهُ مَلِكُ بَنِيْ اْلأَصْفَرِ
“Sungguh urusan Ibnu Abi Kabsyah telah menjadi besar, Raja Bani Al-Ashfar (bangsa berkulit putih) telah gentar kepada-nya”.
“Amira“ maksudnya adalah “adzuma” (besar) seperti dalam firman Allah:
لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا.
“Sungguh telah datang kepadamu sesuatu yang besar”.
Dan ternyata Nabi benar-benar telah mampu menaklukkan semua wilayah dan kekuasaan Heraklius dengan cahaya dakwah bukan dengan kebesaran pribadi beliau, karena dakwah beliau datang di muka bumi untuk menebarkan dakwah Islam dan membinasakan berhala serta kesyirikan dan para pendukungnya.
Begitu juga para Khulafa’ur Rasyidin setelah Nabi Muhammad telah menaklukkan semua wilayah dan kekuasaan Hiraklius dengan dakwah dan syariat beliau.
Jika demikian, maka wajib bagi setiap da'i untuk bersabar sebab kesudahan yang baik pasti berpihak pada mereka dengan syarat mereka jujur bersama Allah baik ketika masih hidup atau sesudah mati.
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusaka-kannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-A’raf: 128).
Dan Allah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 90).
Seorang da’i harus bersabar dalam berdakwah dan bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan dakwah serta bersabar terhadap tantangan dakwah.
Seorang da’i harus bersabar dalam dakwah artinya terus menekuni dakwah dan tidak bosan bahkan dia harus terus menerus berdakwah mengajak manusia kepada jalan Allah sesuai dengan kemampuannya dan selalu melibatkan diri dalam berbagai aktifitas dakwah yang lebih bermanfaat dan lebih mengena. Seorang da’i harus bersabar dalam menekuni dakwah dan tidak boleh bosan dalam menyampaikan dakwah. Sebab apabila seorang da’i ditimpa kebosanan, maka dia akan merasa lelah kemudian meninggalkan dakwah, akan tetapi apabila dia tetap beristiqomah dalam berdakwah maka dia akan meraih pahala orang-orang yang bersabar dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Renungkanlah firman Allah yang ditujukan kepada Nabi-Nya:
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Huud: 49).
Seorang da’i harus bersabar dalam menghadapi rintangan dakwah dari para penentang dan musuh dakwah, karena setiap orang yang berdakwah mengajak kepada Allah pasti mendapatkan tantangan sebagaimana firman Allah:
“Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabbmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong”. (QS. Al-Furqan: 31).
Jadi, setiap dakwah pasti mendapat tantangan dan rintangan dari para penentang, pendebat ataupun dari para penyebar syubhat, akan tetapi seorang da’i wajib untuk bersabar menghadapi orang-orang yang menentang dakwah, meskipun dakwah tersebut dituduh sebagai dakwah sesat dan batil, padahal dakwah tersebut sesuai dengan petunjuk Kitabullah dan tuntunan sunnah Rasulullah maka seorang da’i harus bersabar dalam berdakwah.
Demikian itu bukan berarti seorang da’i harus bersikukuh mempertahankan kebatilan apabila telah tampak kebenaran. Sesungguhnya orang-orang yang tetap bersikukuh mempertahankan kebatilan padahal telah tampak kebenaran kepadanya maka ia menyerupai orang yang disebutkan dalam firman Allah:
“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesu-dah nyata (kebenaran itu)” (QS. Al-Anfal: 6).
Membantah kebenaran setelah datang penjelasan dan hujjah merupakan sifat yang tercela. Allah berfirman tentang orang-orang yang mempunyai sifat demikian:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 115)
Wahai para da’i, apabila ada suatu kritikan yang membangun dan bagus maka anda harus menerima dengan lapang dada namun jika hanya sekedar tuduhan batil jangan sampai melemahkan semangatmu dan mengendorkan langkahmu dalam berdakwah.
Demikian pula seorang da’i harus sabar terhadap rintangan dan gangguan dakwah karena seorang da’i pasti menghadapi hal-hal yang menyakitkan hati baik berupa perkataan atau perbuatan. Inilah para rasul -shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas mereka-, mereka disakiti dengan perkataan dan perbuatan sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah:
“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melain-kan mereka mengatakan: “Ia adalah tukang sihir atau orang gila”. (QS. Adz-Dzariyat: 52)
Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mendapat wahyu dari Rabbnya lalu diejek dan dikatakan bahwa “sesungguhnya kamu adalah tukang sihir atau orang gila”?. Tidak ragu lagi bahwa beliau merasa tersakiti, namun para rasul tetap bersabar dalam menghadapi ejekan dan hinaan yang menyakitkan hati baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Perhatikanlah Rasul pertama, Nuh ketika kaumnya melihat beliau sedang membuat kapal, mereka mengolok-olok beliau, maka beliau berkata kepada mereka:
“Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh adzab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa adzab yang kekal” (QS. Huud: 38-39).
Dan mereka tidak puas hanya sebatas mengejek dan menghina dengan perkataan dan olokan belaka bahkan mereka mengancam untuk membunuh beliau sebagaimana firman Allah:
“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam” (QS. Asy-Syu’ara: 116).
Maksudnya, beliau akan bernasib seperti orang-orang yang dibunuh dengan cara dirajam dengan batu. Maka beliau diancam dengan pembunuhan, yaitu dengan ancaman bahwa “Kami telah merajam orang selainmu secara terang-terangan”, dalam rangka pamer kekuatan mereka atau show off power, sementara mereka benar-benar telah merajam orang lain, dan kamu wahai Nuh termasuk di antara mereka. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat nabi Nuh dalam berdakwah, bahkan beliau terus berdakwah sampai Allah memenangkan beliau atas kaumnya.
Begitu juga dakwah nabi Ibrahim telah disambut oleh kaumnya dengan penolakan, bahkan mereka menciptakan opini miring[ dan sesat tentang dakwah beliau di kalangan umat manusia.
“Mereka berkata: ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan’” (QS. Al-Anbiya’: 61)
Kemudian mereka mengancam akan membakar beliau:
“Mereka berkata: ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak’” (QS. Al-Anbiya’: 68)
Mereka menyalakan api yang sangat besar dan dahsyat kemudian mereka melempar beliau dengan manjaniq (alat pelempar batu, seperti meriam pada zaman ini) ke arah api. Mereka melempar dengan alat itu karena sangat jauhnya tempat api dari mereka dan disebabkan sangat dasyatnya panas api tersebut, tetapi Allah Rabbul ‘Izzah wal Jalal (Yang Maha Perkasa dan Mulia) berfirman:
“Kami berkata: ‘Wahai api, menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim’” (QS. Al-Anbiya: 69)
Sehingga api itu menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagi beliau dan akhir yang baik berpihak pada Ibrahim.
“Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi “ (QS. Al-Anbiya: 70).
Begitu juga dengan nabi Musa yang mendapat ancaman dari Fir’aun akan dibunuh.
“Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah dia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguh-nya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (QS. Ghafir: 26).
Nabi Musa diancam dengan pembunuhan, namun keberuntungan berakhir di pihak beliau‘alaihi shalatu wa salam.
“Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh adzab yang amat buruk” (QS. Ghafir: 45)
Demikian pula dengan nabi Isa, beliau disakiti bahkan orang Yahudi menuduh beliau sebagai anak zina. Dan mereka menyangka telah membunuh dan menyalib beliau, tetapi Allah berfirman:
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa: 157-158).
Sehingga beliau selamat dari makar keji mereka.
Begitu juga penutup dan imam para nabi serta sayyid Bani Adam, Muhammad, Allah berfirman tentang beliau:
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Qura-isy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membu-nuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (QS. Al-Anfal: 30).
“Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (QS. Al-Hijr: 6).
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 36)
Beliau mendapatkan hal-hal yang menyakitkan dari mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan, seperti yang telah diketahui oleh para ulama ahli sejarah, beliau tetap bersabar, maka kesudahan yang baik berpihak pada beliau.
Jadi, setiap da’i pasti akan menghadapi rintangan dalam berdakwah akan tetapi ia harus tetap bersabar. maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur”. (QS. Al-Insan: 23).
Kelanjutan ayat di atas menurut pengamatan kita seharusnya perintah untuk bersyukur namun ternyata Allah berfirman kepada beliau:
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Rabbmu” (QS. Al-Insan: 24)
Demikian itu sebagai isyarat bahwa setiap orang yang mengamalkan ajaran Al-Qur’an mesti ditimpa kesukaran yang membutuhkan ekstra kesabaran.
Maka wajib bagi setiap seorang da'i tetap bersabar dan terus berdakwah sampai datangnya kemenangan. Tidak harus kemenangan itu datang ketika ia masih hidup, namun suatu yang terpenting adalah panji dakwah tetap berkibar di tengah umat manusia dalam keadaan murni (putih bersih) dan diikuti. Dan tarjet utama dakwah bukanlah jumlah orang yang sudah mengikuti dakwah namun yang terpenting bagaimana panji dakwah tetap berkibar dan suara dakwah terus bergema meskipun dia telah tiada, sehinggga dia seakan-akan masih tetap hidup walaupun dia sudah tiada.
Allah berfirman:
“Apakah orang yang sudah mati, kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS. Al-An’am: 122).
Pada hakekatnya hidup dan tidaknya seorang da'i bukan tergantung pada bersatunya ruh dan jasad belaka tetapi seorang da’i dinyatakan hidup secara hakiki bila pendapat dan kebaikannya tetap ada dan lestari di tengah-tengah umat manusia.
Renungkanlah kisah Abu Sufyan bersama Heraklius. Pada tahun ke tujuh hijriyah Heraklius mendengar bahwa telah muncul seorang Nabi maka dia memanggil Abu Sufyan, lalu dia bertanya kepadanya tentang kenabian, kepribadian, nasab, ajaran dakwah dan tentang para sahabat beliau. Ketika Abu Sufyan telah menjawab semua pertanyaan maka Heraklius berkata kepadanya: “Jika apa yang kamu katakan benar, maka dia akan menguasai wilayahku hingga bumi yang ada di bawah kedua kakiku ini”. Subhanallah, siapa yang mengira bahwa raja dari sebuah imperium -menurut istilah mereka- akan melontarkan ucapan seperti itu tentang Nabi Muhammad, padahal pada saat itu beliau belum membebaskan jazirah Arab dari perbudakan setan dan hawa nafsu. Siapa yang mengira bahwa seorang kaisar akan mengatakan perkataan seperti di atas?. Oleh karena itu, ketika Abu Sufyan keluar, dia berkata kepada kaumnya:
لَقَدْ أَمِرَ أَمْرُ اْبنِ أَبِيْ كَبْشَةٍ إِنَّهُ لَيَخَافُهُ مَلِكُ بَنِيْ اْلأَصْفَرِ
“Sungguh urusan Ibnu Abi Kabsyah telah menjadi besar, Raja Bani Al-Ashfar (bangsa berkulit putih) telah gentar kepada-nya”.
“Amira“ maksudnya adalah “adzuma” (besar) seperti dalam firman Allah:
لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا.
“Sungguh telah datang kepadamu sesuatu yang besar”.
Dan ternyata Nabi benar-benar telah mampu menaklukkan semua wilayah dan kekuasaan Heraklius dengan cahaya dakwah bukan dengan kebesaran pribadi beliau, karena dakwah beliau datang di muka bumi untuk menebarkan dakwah Islam dan membinasakan berhala serta kesyirikan dan para pendukungnya.
Begitu juga para Khulafa’ur Rasyidin setelah Nabi Muhammad telah menaklukkan semua wilayah dan kekuasaan Hiraklius dengan dakwah dan syariat beliau.
Jika demikian, maka wajib bagi setiap da'i untuk bersabar sebab kesudahan yang baik pasti berpihak pada mereka dengan syarat mereka jujur bersama Allah baik ketika masih hidup atau sesudah mati.
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusaka-kannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-A’raf: 128).
Dan Allah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 90).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» bekal-bekal menuju pelaminan
» bekal dalam perjuangan dakwah
» Kasrin Ngaku Berhaji dengan Bekal Rp 2 Juta, Bersama Sosok yang Tak Terlihat
» kewajiban seorang hamba
» Einstein Ternyata Seorang Syi'ah?
» bekal dalam perjuangan dakwah
» Kasrin Ngaku Berhaji dengan Bekal Rp 2 Juta, Bersama Sosok yang Tak Terlihat
» kewajiban seorang hamba
» Einstein Ternyata Seorang Syi'ah?
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik