Demokrasi Yusuf al-Qardhawi ( buat yg anti demokrasi silahkan jawab )
Halaman 1 dari 1 • Share
Demokrasi Yusuf al-Qardhawi ( buat yg anti demokrasi silahkan jawab )
Dr. Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani.beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis. Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.
“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan. Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. Saya katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Komentar saya,
Dr.Yusuf Al-Qadhawi mengatakan, bahwa dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan berada di tangan rakyat. Dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Dan inilah menurut saya inti dari baiknya demokrasi. Karena dengan demokrasi, apa-apa yang dijanjikan oleh Allah swt akan memungkinkan untuk terwujud. Seandainya kita sebagai penduduk negeri mau.
Coba kita perhatikan firman Allah swt di bawah ini,
“jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS.AL-A’raf:96)
Rakyat ataupun penduduk sebuah negara memegang peranan penting dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Dan perhatikan juga yang ini,
“ dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami selama mereka sabar (dalam menegakan kebenaran). Mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah :24)
Sama seperti ayat yang di atas, pemimpin yang baik juga merupakan salah satu janji_Nya Allah swt, seandainya penduduk negeri mempercayainya. Dan itu kembali akan sangat bergantung kepada rakyat dan penduduk negeri itu sendiri.
Dan seandainya kita perhatikan dan kita tela’ah, kesemuanya itu sudah terakomodir dalam yang namanya demokrasi. Oleh karena itulah maka DR.Yusuf Al-Qordhawi mengatakan bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Dan beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis. Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.
Oleh karena dari sekian banyak kelemahan yang ada dalam demokrasi, namun saya kira, demokrasi masih tetep menjadi pilihan terbaik. Dalam demokrasi sangat terbuka pintu lebar untuk tegaknya syari’at islam. Seandainya kita sebagai warga negara menginginkannya. Namun demikian, kita juga musti ingat, bahwa dengan demokrasi juga, terbuka pintu lebar untuk tegaknya hukum-hukum yang lain. Bahkan yang sagat bertolak belakang dengan islam sekalipun. Karena memang kesemuanya itu, akan sangat bergantung kepada yang namanya penduduk sebuah negara.
Selain itu beliau juga mengatakan, “Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan. Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. Saya katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Komentar saya,
Kekuasaan terpilihlah yang memiliki otoritas legislatif untuk rakyat. Dan ini berarti, kesemuanya itu akan bergantung kepada rakyat negara itu. Seandainya kita sebagai penduduk negeri menginginkan negara yang berasaskan islam, maka itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Baca juga orang bodoh berlogika di belakang!!!
Kenapa saya bisa berkata demikian……?
Karena memang pada sistim demokrasi kita lah sebagai penduduk negara yang menentukan. Kita bisa mendelegasikan kepemimpinan kepada yang kita sukai. Apakah dia itu orang-orang yang kuat keislamannya, seorang koruptor, pezinah ataupun pemabuk sekalipun.(dan inilah sebenar-benarnya kelemahan demokrasi yang musti di waspadai dan difahami oleh seluruh penduduk negara ini)!!!!!
Oleh karena itu DR.Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. beliau katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Lalu mengapa beliau mengatakan secara teoritis….?
Karena memang itu tidak menjadi kenyataan. Sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tidak dapat dengan mudah menerapkan azas-azas islam di dalamnya. Padahal kalau menurut logika dan teori demokrasi, negara yang berazaskan islam itu, akan terbentuk dengan sendirinya apa bila sebuah negara itu berpenduduk mayoritas muslim. Dan karena itu pulalah beliau pada awal pembahasannya mengatakan “ bahwa demokrasi adalah alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bahkan beliau juga berpendapat mengenai sisi liberalisme yang ada pada demokrasi itu.
Oleh karena itu, saya kurang setuju dengan para ulama yang memojokan beliau dengan perkataan bahwa beliau itu seorang pendukung demokrasi. Karena memang dalam hal ini, janganlah kita menilai maksud daripada perkataan seseorang, tapi adakah sesuatu dalam perkataanya itu yang dapat kita ambil manfaatnya.
Maka daripada itu, terlepas dari siapa itu DR.Yusuf Al-Qardhawi, dan apakah beliau itu pendukung ataupun bukan pendukung demokrasi, namun yang terpenting dalam hal ini adalah, adakah dari perkataan beliau yang dapat bermanfaat bagi kita sebagai pemeluk agama dan warga negara.
Dan terakhir saya akan tuliskan perkataan beliau yang lainnya. Yang mudah-mudahan lebih membantu anda dalam memahami pendapat daripada beliau.
Beliau mengatakan, Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.
Apa yang salah kira-kira……?
Dan meskipun hanya sepotong, tapi saya mendapatkan manfaat dan beberapa penekanan dalam perkataan beliau meskipun belum tentu maksudnya seperti itu. Karena sekali lagi saya katakan, maksud perkataan seseorang itu tidaklah terlalu penting. Karena yang terpenting adalah apa yang kita dapat dari perkataannya itu.
Dan inilah manfaat yang saya dapatkan dari yang sepotong itu.
Hendaknya kita menekankan pemahaman kita pada konteks sebuah sistim pemerintahan di luar sistim pemerintahan islam. Dan memang demokrasi lah yang terbaik. Untuk sekarang ini.
Dalam sistim demokrasi ada sebuah celah besar yang dapat kita manfaatkan bagi terciptanya negara yang berzaskan islam seandainya kita sebagai penduduk negara menginginkannya.
Dalam sebuah negara yang menganut sistim demokrasi ada kecenderungan negara yang berpenduduk muslim akan menjadi negara islam, negara yang berpenduduk pemabuk akan menjadi negara pemabuk dan lain sebagainya.
Namun kesemuanya itu hanyalah teori belaka. Yang mana kenyataanya jauh dari yang kita harapkan.
Negara indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim diisi oleh para koruptor, pezina, perampok dan lain sebagainya. Padahal kita sebagai penduduk negeri sudah diberi kesempatan untuk memilih!
Apa salah demokrasi…..!!!!
buat yang anti pada demokrasi, mari kita diskusikan bersama hal ini....!
“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan. Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. Saya katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Komentar saya,
Dr.Yusuf Al-Qadhawi mengatakan, bahwa dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan berada di tangan rakyat. Dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Dan inilah menurut saya inti dari baiknya demokrasi. Karena dengan demokrasi, apa-apa yang dijanjikan oleh Allah swt akan memungkinkan untuk terwujud. Seandainya kita sebagai penduduk negeri mau.
Coba kita perhatikan firman Allah swt di bawah ini,
“jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS.AL-A’raf:96)
Rakyat ataupun penduduk sebuah negara memegang peranan penting dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Dan perhatikan juga yang ini,
“ dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami selama mereka sabar (dalam menegakan kebenaran). Mereka meyakini ayat-ayat kami.” (As-Sajdah :24)
Sama seperti ayat yang di atas, pemimpin yang baik juga merupakan salah satu janji_Nya Allah swt, seandainya penduduk negeri mempercayainya. Dan itu kembali akan sangat bergantung kepada rakyat dan penduduk negeri itu sendiri.
Dan seandainya kita perhatikan dan kita tela’ah, kesemuanya itu sudah terakomodir dalam yang namanya demokrasi. Oleh karena itulah maka DR.Yusuf Al-Qordhawi mengatakan bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Dan beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis. Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.
Oleh karena dari sekian banyak kelemahan yang ada dalam demokrasi, namun saya kira, demokrasi masih tetep menjadi pilihan terbaik. Dalam demokrasi sangat terbuka pintu lebar untuk tegaknya syari’at islam. Seandainya kita sebagai warga negara menginginkannya. Namun demikian, kita juga musti ingat, bahwa dengan demokrasi juga, terbuka pintu lebar untuk tegaknya hukum-hukum yang lain. Bahkan yang sagat bertolak belakang dengan islam sekalipun. Karena memang kesemuanya itu, akan sangat bergantung kepada yang namanya penduduk sebuah negara.
Selain itu beliau juga mengatakan, “Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan. Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. Saya katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Komentar saya,
Kekuasaan terpilihlah yang memiliki otoritas legislatif untuk rakyat. Dan ini berarti, kesemuanya itu akan bergantung kepada rakyat negara itu. Seandainya kita sebagai penduduk negeri menginginkan negara yang berasaskan islam, maka itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Baca juga orang bodoh berlogika di belakang!!!
Kenapa saya bisa berkata demikian……?
Karena memang pada sistim demokrasi kita lah sebagai penduduk negara yang menentukan. Kita bisa mendelegasikan kepemimpinan kepada yang kita sukai. Apakah dia itu orang-orang yang kuat keislamannya, seorang koruptor, pezinah ataupun pemabuk sekalipun.(dan inilah sebenar-benarnya kelemahan demokrasi yang musti di waspadai dan difahami oleh seluruh penduduk negara ini)!!!!!
Oleh karena itu DR.Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. beliau katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Lalu mengapa beliau mengatakan secara teoritis….?
Karena memang itu tidak menjadi kenyataan. Sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tidak dapat dengan mudah menerapkan azas-azas islam di dalamnya. Padahal kalau menurut logika dan teori demokrasi, negara yang berazaskan islam itu, akan terbentuk dengan sendirinya apa bila sebuah negara itu berpenduduk mayoritas muslim. Dan karena itu pulalah beliau pada awal pembahasannya mengatakan “ bahwa demokrasi adalah alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bahkan beliau juga berpendapat mengenai sisi liberalisme yang ada pada demokrasi itu.
Oleh karena itu, saya kurang setuju dengan para ulama yang memojokan beliau dengan perkataan bahwa beliau itu seorang pendukung demokrasi. Karena memang dalam hal ini, janganlah kita menilai maksud daripada perkataan seseorang, tapi adakah sesuatu dalam perkataanya itu yang dapat kita ambil manfaatnya.
Maka daripada itu, terlepas dari siapa itu DR.Yusuf Al-Qardhawi, dan apakah beliau itu pendukung ataupun bukan pendukung demokrasi, namun yang terpenting dalam hal ini adalah, adakah dari perkataan beliau yang dapat bermanfaat bagi kita sebagai pemeluk agama dan warga negara.
Dan terakhir saya akan tuliskan perkataan beliau yang lainnya. Yang mudah-mudahan lebih membantu anda dalam memahami pendapat daripada beliau.
Beliau mengatakan, Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.
Apa yang salah kira-kira……?
Dan meskipun hanya sepotong, tapi saya mendapatkan manfaat dan beberapa penekanan dalam perkataan beliau meskipun belum tentu maksudnya seperti itu. Karena sekali lagi saya katakan, maksud perkataan seseorang itu tidaklah terlalu penting. Karena yang terpenting adalah apa yang kita dapat dari perkataannya itu.
Dan inilah manfaat yang saya dapatkan dari yang sepotong itu.
Hendaknya kita menekankan pemahaman kita pada konteks sebuah sistim pemerintahan di luar sistim pemerintahan islam. Dan memang demokrasi lah yang terbaik. Untuk sekarang ini.
Dalam sistim demokrasi ada sebuah celah besar yang dapat kita manfaatkan bagi terciptanya negara yang berzaskan islam seandainya kita sebagai penduduk negara menginginkannya.
Dalam sebuah negara yang menganut sistim demokrasi ada kecenderungan negara yang berpenduduk muslim akan menjadi negara islam, negara yang berpenduduk pemabuk akan menjadi negara pemabuk dan lain sebagainya.
Namun kesemuanya itu hanyalah teori belaka. Yang mana kenyataanya jauh dari yang kita harapkan.
Negara indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim diisi oleh para koruptor, pezina, perampok dan lain sebagainya. Padahal kita sebagai penduduk negeri sudah diberi kesempatan untuk memilih!
Apa salah demokrasi…..!!!!
buat yang anti pada demokrasi, mari kita diskusikan bersama hal ini....!
pies- KOPRAL
-
Age : 50
Posts : 33
Kepercayaan : Islam
Location : sumedang
Join date : 10.12.11
Reputation : 0
Re: Demokrasi Yusuf al-Qardhawi ( buat yg anti demokrasi silahkan jawab )
Semenjak dunia barat mulai merambah dan mendominasi kekuatan – kekuatan dunia islam, maka pada saat itu pula sinkritisme budaya dan pemikiran mulai berkembang dengan pesat antara dunia barat dengan dunia islam.
Sisa perang salib yang terjadi tiga periode (1045 M sampai 1291M) sungguh sangat menyita perhatian umat islam. Meskipun umat islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan tersebut terjadi di wilayahnya. Dan kerugian yang terbesar bagi dunia islam adalah kehebatan dunia barat dalam menyerap informasi pengetahuan dan pemikiran dunia islam karena dari situ kemudian menjadi cikal-bakal dunia barat untuk bangkit kembali serta mendominasi kekuatan timur dengan segala bentuk pemikirannya.
Negeri-negeri islam yang pertama kali jatuh ke tangan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan militer Eropa waktu itu (Badri Yatim, 1997, hal 175). Dan dengan jatuhnya beberapa negeri Islam ke tangan Eropa, membuat dunia barat semakin mudah menancapkan cakar pemikiran-pemikirannya. Meskipun demikian tidak lantas kita langsung apriori dan menganggap negatif pada setiap pemikiran dan penemuan barat. Karena beberapa penguasa muslim pernah beradaptasi dengan pemikiran barat baik di bidang pemerintahan, militer maupun moneter.
Pemikiran-pemikiran dan teknik yang relatif baru itu baik bagi para pembaharu dan masyarakat, tetapi peran elit politik secara mendasar merupakan kelanjutan dari bentuk Islam adaptif. Tidak satupun pembaharu yang meninggalkan Islam, tetapi pembaharu yang mereka lakukan itu terutama sekali tidak berkaitan dengan isu-isu indoktrinasi dengan munculnya orientasi peran mereka secara keagamaan. Seperti khalifah yang awal dan Umayyah, merka menggunakn teknik-teknik dalam suatu cara pragmatik untuk memperkuat negara. Begitu pula, seperti Umayyah, mereka kadang-kadang dikritik oleh muslim konservatif dan fundamentalis karena sikap kompromisnya yang implisit dalam sikap adaptif mereka (John Ober + Vall, 1997, hal 125-126).
Demikian pula dengan konsep pemerintahan yang didasari azas demokrasi, banyak tokoh intelektual muslim memilih sikap kompromis terhadap pemikiran itu, dengan dikonfigurasi pada subtansi dari sistem pemerintahan Islam yang ternafasi oleh al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun banyak juga yang menolak konsep demokrasi itu bahkan menganggapnya kufur bagi siapa saja yang memakai konsep tersebut. Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara obyektif tentang kelompok yang adaptif terhadap konsep demokrasi serta kelompok yang menolaknya dan akan dikaji dari sudut pandang normativitas dan historitas Islam terhadap konsep demokrasi tersebut.
Ciri-ciri Sistem Politik Islam
Memahami suatu permasalahan merupakan setengah jalan dari usaha pemecahannya. Dengan demikian apabila sudah ada pemahaman terhadap masalah kesimpang-siuran antara Islam dan demokrasi, maka hal itu sudah cukup untuk membuka jalan menuju pemecahannya (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 160).
Oleh karena itu menjadikan Islam bertentangan dengan demokrasi atau sesuai dengan demokrasi adalah sesuatu yang terlalu berlebihan dan belum sampai pada pemahaman yang benar. Untuk itu supaya pemahaman itu bersifat shahih (benar), haruslah dikaji dan dipahami terlebih dahulu konsep politik Islam, mengenai ciri-cirinya, baru setelah itu dikaji juga tentang konsep demokrasi sebagai dasar sistem pemerintahan modern.
Adapun mengenai ciri-ciri negara (pemerintahan) menurut Islam dapat dibatasi sebagai berikut :
1. Kepemimpinan (Kedaulatan) Negara Dipegang Penuh Oleh Syariat (Al-qur’an, As-sunah, Ijma’ dan Qiyas)
Dalam Islam Allah-lah pemegang kedaulatan penuh dalam memimpin suatu negara dari sisi ketentuan hukum yang diberlakukan. Karena makna Daulat tersebut adalah yang memiliki kehendak dan wewenang, maka jika Allah (as-syari’) yang memiliki daulat, artinya segala ketentuan hukum yang diberlakukan dalam suatu negara harus tidak bertentangan dengan kedaulatan Syara’ (Al-qur’an dan Al-Hadits).
Kedaulatan syara’ tersebut nantinya dijalankan oleh penguasa yang telah dipilih oleh umat (rakyat) sehingga penguasa di sini merupakan konstitusi yang sangat tinggi untuk menjalankan kedaulatan syara’ yang diberikan padanya dalam bentuk undang-undang. Sehingga legalitas kekuasan di negara Islam tegak dan berlangsung dengan usaha mengimplementasikan sistem undang-undang Islam secara keseluruhan, tanpa membedakan antara hukum-hukum yang mengatur tingkah laku seorang muslim sebagai anak bangsa dan hakim, dengan nilai-nilai pokok dan tujuan-tujuannya yang mulia yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan alHadits nabi.
Dengan demikian kedaulatan syara’ tersebut tidak mungkin terlaksana jika pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya, atau rakyat yang memilihnya adalah bukan komunitas muslim yang tidak terikat dengan hukum syara’. Sehingga kedaulatan syara’ tersebut bisa berjalan dalam suatu negara Islam, jika didukung oleh komunitas muslim yang terikat dengan syara’ serta pemimpin yang adil, capable dan egaliter.
2. Kekuasaan Dipegang Penuh oleh Umat
Umat (rakyat) yang menentukan pilihan terhadap jalannya kekuasaan dan persetujuannya merupakan syarat bagi kelangsungan orang-orang yang menjadi pilihannya. Mayoritas Ahlussunnah, Mu’tazillah, Khawarij, dan Najariyah mengatakan “Sesungguhnya cara penetapan imamah atau kepemimpinan adalah melalui pemilihan dari umat “ (Al Baghdadi, hal 279).
Dengan demikian, umat merupakan pemilik kepemimpinan secara umum. Dia berhak memilih dan mencabut jabatan imam (pemimpin). Dengan kata lain, umat adalah pemilik utama kekuasaan tersebut (Dr. M. Dhiya’uddin, hal 217).
Dr. Usman Khalil, seorang dosen hukum tata negara, menyebutkan “Fiqih Islam tidak menganggap seorang wali sebagai pemegang hak otoritas, tetapi menganggap otoritas itu hak umat saja, yang dijalankan oleh seorang wali dalam kedudukannya sebagai karyawan atau wakil yang mewakilinya. Dengan demikian, umat berhak untuk mencabutnya apabila dia menemukan alasan yang jelas atas pencabutan tersebut”. (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 162).
Oleh karena itu seseorang yang telah ditunjuk oleh rakyat untuk mengelola urusan pemerintahan berarti bahwa ia mendapat tugas-tugas administratif yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang terikat dengan syara’. Jadi ia bertanggung jawab pada Allah di satu pihak dan di lain pihak bertanggung jawab kepada rakyat pada umumnya. Dengan demikian seorang negarawan yang memposisikan dirinya sebagai penguasa absolut yang tidak mau bertanggung jawab kepada rakyatnya, ia bukan khalifah, tetapi seseorang pemerkosa hak-hak rakyat (usurper). (Abul A’la Al-Maududi, 1996, hal 34)
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa :
1. Pemilik otoritas kedaulatan adalah Allah yang nantinya dijalankan oleh seorang pemimpin. Dan yang memiliki otoritas kekuasaan untuk menentukan pemimpin tersebut adalah rakyat.
2. Karena kekuasaan berada di tangan rakyat, maka penentu pemimpin adalah rakyat melalui majelis perwakilan rakyat. Sekaligus majelis tersebut mampu memecat pemimpin itu jika dianggap ia telah melanggar ketentuan perundang-undangan syara’.
Dengan demikian tugas majelis perwakilan rakyat dalam Islam sebagai berikut :
a. Memilih dan mengangkat pemimpin negara.
b. Mencabut kekuasaan pemimpin negara jika terjadi pelanggaran undang-undang syara’.
c. Menetapkan undang-undang syara’ yang harus dijadikan pedoman negara untuk kemudian diserahkan pelaksanaannya pada pemimpin negara.
Dari sini bisa dikaji bahwa pemisahan kekuasaan itu memang perlu supaya tidak terjadi kediktatoran sebagaimana pada masa-masa kekhilafahan Islam (Umawiyyah sampai Abbasiyyah). Namun pemisahan kekuasaan tersebut hanya pada dua lembaga negara di atas, bukan tiga seperti yang diungkapkan oleh dunia modern (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Adapun yang dimaksud dengan dua lembaga tersebut adalah lembaga kekhilafahan (lembaga kekuasaan negara yang meliputi bidang eksekutif dan yudikatif); pada lembaga ini bisa dipegang satu orang yaitu pemimpin negara. Namun untuk memudahkan pekerjaan pemimpin negara tersebut maka boleh didelegasikan kewenangan yudikatif pada orang lain yang ditunjuk (Qodil Qudlot). Sedangkan kekuasaan legislatif berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat dengan sumber pokok undang-undangnya pada syara’.
3. Keadilan Antar Manusia
Dasar ketiga yang merupakan tumpuan bangunan negara ialah bahwa semua rakyatnya mempunyai persamaan hak dihadapan undang-undang Allah yang harus dilaksanakan atas mereka semua, dengan prinsip keadilan tanpa membedakan posisi mereka dalam negara, sebagaimana telah dinyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa Allah memerintahkan agar Rasulullah SAW mengumandangkan :
“… dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kalian” (Q.S 42 :15)
Kita semua tahu, bahwa nenek moyang kita adalah satu. Kesemuanya diciptakan min nafsin waahidah (dari diri yang satu) (QS An-Nisa’ [4]:1). Semuanya mendapatkan perlindungan dan penghormatan yang telah ditetapkan di dalam Al–Qur’an tanpa melihat kepada agama dan RAS. Rasulullah SAW sendiri pada khutbah wada’ telah mengisyaratkan kepada makna kesatuan asal manusia. Beliau bersabda “Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan ketahuilah bahwa bapak kalian juga satu.”
Dari situ, sebuah negara akan mengalami kehancuran jika tidak menerapkan prinsip keadilan.. Karena dinasti Muawiyyah mengalami kehancuran ketika penguasanya tidak bersikap adil, yaitu menjadikan orang-orang non Arab (Mawaali) sebagai masyarakat nomer dua, masyarakat yang termarginalkan dalam struktur pemerintahan maupun hukum. Semua itu bersumber pada fanatisme Arabic semata. (DR. M. Sayid Al-Wakil, 1998, hal 64 - 70).
4. Kebebasan Adalah Hak Bagi Semua Orang
Pengekspresian manusia akan kebebasan dirinya merupakan wajah lain dari aqidah Tauhid. Pengucapan dua kalimat syahadat merupakan ikrar pengabdian dirinya hanya untuk Allah SWT semata, dan juga kebebasan dirinya dari segala macam kekuasaan manusia. Allah SWT telah membuka jalan kepada kita menuju kehendak-Nya saja, tetapi Dia tidak memaksa kita untuk menuju kepada kehendak-Nya tersebut. Dia memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih. Dengan demikian, jika menghendaki, kita dapat memilih jalan sesuai dengan syari’at, sebagaimana kita juga dapat menempuh jalan bertentangan dengan perintah-Nya serta mengabaikan syari’at.
Namun demikian, karena penguasa harus menjalankan undang-undang syara’ yang diajukan oleh MPR, maka setiap pelanggaran syara’ tersebut akan mendapatkan sangsi dari negara. Sehingga kebebasan tersebut di atas tetap harus terkait dengan kemaslahatan syara’ secara umum serta tidak melanggar kebebasan orang lain. Dan negara memang tidak akan memaksakan peraturan negara Islam pada yang non-muslim, karena perundang-undangan mereka telah ditentukan secara khusus dan siapapun yang memasuki koridor hukum, maka kebebasan dia terbatasi oleh hukum, bukan oleh tirani penguasa. Jadi jangan ditafsiri keliru, bahwa kebebasan individu dalam negara Islam terbatasi. Karena tidak ada satupun negara yang -- meski negara sekuler sekalipun -- memberi kebebasan mutlak. Sebab kebebasan mutlak itu akan justru menghancurkan sebuah negara. Oleh karena itulah, kebebasan itu terkoridori oleh hukum yang berlaku di negara tersebut. Dan kalau pemerintahan itu berdasarkan Islam maka koridor yang membatasinya adalah hukum Islam positif.
5. Permusyawaratan
Ciri yang kelima dari negara Islam adalah keharusan bagi para pemimpin negara dan pejabatnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin (melalui MPR).
Adapun yang dimaksud dengan musyawarah menurut Kaum Salaf adalah musyawarah sebagai tukar pikiran antara para ahli dalam suatu permasalahan kemudian hasil dari musyawarah tersebut dijadikan ketetapan. Sedangkan menurut definisi modern, musyawarah adalah pengambilan keputusan melalui berbagai macam pendapat para ahli pada hal-hal yang berkaitan dengan keputusan-keputusan tersebut pada setiap kondisi global.
Kemudian bagaimana jika terjadi kebuntuan pada musyawarah, apakah diperkenankan mengambil keputusan melalui voting (suara terbanyak) ?
Dalam kaitan di atas DR Yusuf Qordhowi berkata dalam kitabnya Fatawa Mu’aashirah, Juz II hal 636 sebagai berikut :
“Kemudian di sana terdapat urusan-urusan yang tidak masuk ke dalam arena pemungutan suara dan tidak ada kaitannya dengan pemungutan suara, karena urusan-urusan tersebut merupakan ketetapan yang tidak dapat diubah, kecuali jika masyarakat itu sendiri yang berubah menjadi tidak muslim.
Tidak ada istilah pemungutan suara dalam syari’at-syari’at yang sudah pasti prinsip-prinsip agamanya, dan hal-hal yang sudah diketahui secara pasti dalam agama. Tetapi pemungutan suara hanya ada dalam masalah-masalah ijtihadiyyah yang mencakup banyak pendapat, di mana orang-orang di dalamnya saling berbeda pendapat; misalnya dalam pemilihan salah satu kandidat yang akan menduduki suatu jabatan. Contoh yang lain, pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas, atau untuk mengatur pembangunan sarana-sarana perdagangan, industri, rumah sakit dan lain-lain yang termasuk apa yang disebut para Fuqoha sebagai Mashalihul Mursalah (Kepentingan Umum). Seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau menghentikannya, mewajibkan pembayaran pajak atau meniadakannya dan lain sebagainya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini, apakah harus ditinggalkan begitu saja atau sebaliknya harus dipecahkan ? Apakah tarjih (penguatan suatu pendapat atas pendapat lain) harus dilakukan tanpa menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat? Ataukah harus menujukkan pendapat mana yang lebih kuat ?
Akal, hukum dan realitas akan mengharuskan dijelaskannya pendapat mana yang lebih kuat. Dan pendapat mana yang lebih kuat dalam suatu perbedaan pendapat adalah – menurut Yusuf Qordhowi -- yang mendapatkan suara mayoritas.”
Pendapat beliau harus diberi catatan khusus, yaitu jika yang bermusyawarah tersebut adalah sama- sama ahlinya, maka pendapat mayoritas bisa dijadikan ketetapan. Namun jika yang bermusyawarah tersebut adalah orang yang bukan ahlinya dan yang ahli adalah satu orang saja maka pendapat mayoritas di sini tidak berlaku, namun kembali pada pendapat seorang ahli tersebut.
Sebagaimana telah kita lihat bahwa Rasulullah SAW ikut bergabung dengan pendapat mayoritas pada saat terjadi perang Uhud dan keluar untuk berhadapan dengan orang-orang musyrik yang berada di luar Madinah, padahal pada saat itu Rasulullah SAW dan para pembesar sahabat berpendapat untuk menetap dan mengadakan peperangan di dalam Madinah. Hal itu terjadi karena kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan berada di luar Madinah dan kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan harus ada di dalam Madinah adalah sama-sama ahlinya di bidang peperangan.
Sedangkan pada kasus peperangan Badar, di mana pasukan Rasulullah setuju berada di dekat sumur, Al-Hubab bin Al-Mundzir berpendapat lain. Pendapat Al-Hubab ternyata disetujui oleh Rasulullah dan beliau mengikuti pendapat tersebut. Dalam kasus ini ada beberepa tafsiran sebagai berikut:
a. Mendengar penjelasan Al-Mundzir tentang taktik perang, para sahabat yang lain setuju dengan pendapatnya sehingga Rasulullah mengambil pendapat mayoritas sahabat yang sepakat dengan pendapat Al-Mundzir.
b. Atau, Al-Hubab bin Al-Mundzir adalah satu-satunya orang yang ahli perang. Hal ini dapat dilihat dari diamnya para sahabat (tidak membantah pendapatnya) sehingga berdasarkan kenyataan itu Rasulullah memilih pendapat Al-Mundzir karena keahliannya, meskipun ia sendirian.
Demikianlah ciri – ciri dari negara Islam. Dan tegaknya negara tersebut harus berdasar pada ciri-ciri di atas.
Wallaahu a’lamu bish showaab
* Kumpulan nasyroh dakwah dan makalah karya Ustadz Drs. Junaidi Sahal (Materi Halaqah Sughra UAKI Unibraw)
Sisa perang salib yang terjadi tiga periode (1045 M sampai 1291M) sungguh sangat menyita perhatian umat islam. Meskipun umat islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan tersebut terjadi di wilayahnya. Dan kerugian yang terbesar bagi dunia islam adalah kehebatan dunia barat dalam menyerap informasi pengetahuan dan pemikiran dunia islam karena dari situ kemudian menjadi cikal-bakal dunia barat untuk bangkit kembali serta mendominasi kekuatan timur dengan segala bentuk pemikirannya.
Negeri-negeri islam yang pertama kali jatuh ke tangan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan militer Eropa waktu itu (Badri Yatim, 1997, hal 175). Dan dengan jatuhnya beberapa negeri Islam ke tangan Eropa, membuat dunia barat semakin mudah menancapkan cakar pemikiran-pemikirannya. Meskipun demikian tidak lantas kita langsung apriori dan menganggap negatif pada setiap pemikiran dan penemuan barat. Karena beberapa penguasa muslim pernah beradaptasi dengan pemikiran barat baik di bidang pemerintahan, militer maupun moneter.
Pemikiran-pemikiran dan teknik yang relatif baru itu baik bagi para pembaharu dan masyarakat, tetapi peran elit politik secara mendasar merupakan kelanjutan dari bentuk Islam adaptif. Tidak satupun pembaharu yang meninggalkan Islam, tetapi pembaharu yang mereka lakukan itu terutama sekali tidak berkaitan dengan isu-isu indoktrinasi dengan munculnya orientasi peran mereka secara keagamaan. Seperti khalifah yang awal dan Umayyah, merka menggunakn teknik-teknik dalam suatu cara pragmatik untuk memperkuat negara. Begitu pula, seperti Umayyah, mereka kadang-kadang dikritik oleh muslim konservatif dan fundamentalis karena sikap kompromisnya yang implisit dalam sikap adaptif mereka (John Ober + Vall, 1997, hal 125-126).
Demikian pula dengan konsep pemerintahan yang didasari azas demokrasi, banyak tokoh intelektual muslim memilih sikap kompromis terhadap pemikiran itu, dengan dikonfigurasi pada subtansi dari sistem pemerintahan Islam yang ternafasi oleh al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun banyak juga yang menolak konsep demokrasi itu bahkan menganggapnya kufur bagi siapa saja yang memakai konsep tersebut. Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara obyektif tentang kelompok yang adaptif terhadap konsep demokrasi serta kelompok yang menolaknya dan akan dikaji dari sudut pandang normativitas dan historitas Islam terhadap konsep demokrasi tersebut.
Ciri-ciri Sistem Politik Islam
Memahami suatu permasalahan merupakan setengah jalan dari usaha pemecahannya. Dengan demikian apabila sudah ada pemahaman terhadap masalah kesimpang-siuran antara Islam dan demokrasi, maka hal itu sudah cukup untuk membuka jalan menuju pemecahannya (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 160).
Oleh karena itu menjadikan Islam bertentangan dengan demokrasi atau sesuai dengan demokrasi adalah sesuatu yang terlalu berlebihan dan belum sampai pada pemahaman yang benar. Untuk itu supaya pemahaman itu bersifat shahih (benar), haruslah dikaji dan dipahami terlebih dahulu konsep politik Islam, mengenai ciri-cirinya, baru setelah itu dikaji juga tentang konsep demokrasi sebagai dasar sistem pemerintahan modern.
Adapun mengenai ciri-ciri negara (pemerintahan) menurut Islam dapat dibatasi sebagai berikut :
1. Kepemimpinan (Kedaulatan) Negara Dipegang Penuh Oleh Syariat (Al-qur’an, As-sunah, Ijma’ dan Qiyas)
Dalam Islam Allah-lah pemegang kedaulatan penuh dalam memimpin suatu negara dari sisi ketentuan hukum yang diberlakukan. Karena makna Daulat tersebut adalah yang memiliki kehendak dan wewenang, maka jika Allah (as-syari’) yang memiliki daulat, artinya segala ketentuan hukum yang diberlakukan dalam suatu negara harus tidak bertentangan dengan kedaulatan Syara’ (Al-qur’an dan Al-Hadits).
Kedaulatan syara’ tersebut nantinya dijalankan oleh penguasa yang telah dipilih oleh umat (rakyat) sehingga penguasa di sini merupakan konstitusi yang sangat tinggi untuk menjalankan kedaulatan syara’ yang diberikan padanya dalam bentuk undang-undang. Sehingga legalitas kekuasan di negara Islam tegak dan berlangsung dengan usaha mengimplementasikan sistem undang-undang Islam secara keseluruhan, tanpa membedakan antara hukum-hukum yang mengatur tingkah laku seorang muslim sebagai anak bangsa dan hakim, dengan nilai-nilai pokok dan tujuan-tujuannya yang mulia yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan alHadits nabi.
Dengan demikian kedaulatan syara’ tersebut tidak mungkin terlaksana jika pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya, atau rakyat yang memilihnya adalah bukan komunitas muslim yang tidak terikat dengan hukum syara’. Sehingga kedaulatan syara’ tersebut bisa berjalan dalam suatu negara Islam, jika didukung oleh komunitas muslim yang terikat dengan syara’ serta pemimpin yang adil, capable dan egaliter.
2. Kekuasaan Dipegang Penuh oleh Umat
Umat (rakyat) yang menentukan pilihan terhadap jalannya kekuasaan dan persetujuannya merupakan syarat bagi kelangsungan orang-orang yang menjadi pilihannya. Mayoritas Ahlussunnah, Mu’tazillah, Khawarij, dan Najariyah mengatakan “Sesungguhnya cara penetapan imamah atau kepemimpinan adalah melalui pemilihan dari umat “ (Al Baghdadi, hal 279).
Dengan demikian, umat merupakan pemilik kepemimpinan secara umum. Dia berhak memilih dan mencabut jabatan imam (pemimpin). Dengan kata lain, umat adalah pemilik utama kekuasaan tersebut (Dr. M. Dhiya’uddin, hal 217).
Dr. Usman Khalil, seorang dosen hukum tata negara, menyebutkan “Fiqih Islam tidak menganggap seorang wali sebagai pemegang hak otoritas, tetapi menganggap otoritas itu hak umat saja, yang dijalankan oleh seorang wali dalam kedudukannya sebagai karyawan atau wakil yang mewakilinya. Dengan demikian, umat berhak untuk mencabutnya apabila dia menemukan alasan yang jelas atas pencabutan tersebut”. (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 162).
Oleh karena itu seseorang yang telah ditunjuk oleh rakyat untuk mengelola urusan pemerintahan berarti bahwa ia mendapat tugas-tugas administratif yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang terikat dengan syara’. Jadi ia bertanggung jawab pada Allah di satu pihak dan di lain pihak bertanggung jawab kepada rakyat pada umumnya. Dengan demikian seorang negarawan yang memposisikan dirinya sebagai penguasa absolut yang tidak mau bertanggung jawab kepada rakyatnya, ia bukan khalifah, tetapi seseorang pemerkosa hak-hak rakyat (usurper). (Abul A’la Al-Maududi, 1996, hal 34)
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa :
1. Pemilik otoritas kedaulatan adalah Allah yang nantinya dijalankan oleh seorang pemimpin. Dan yang memiliki otoritas kekuasaan untuk menentukan pemimpin tersebut adalah rakyat.
2. Karena kekuasaan berada di tangan rakyat, maka penentu pemimpin adalah rakyat melalui majelis perwakilan rakyat. Sekaligus majelis tersebut mampu memecat pemimpin itu jika dianggap ia telah melanggar ketentuan perundang-undangan syara’.
Dengan demikian tugas majelis perwakilan rakyat dalam Islam sebagai berikut :
a. Memilih dan mengangkat pemimpin negara.
b. Mencabut kekuasaan pemimpin negara jika terjadi pelanggaran undang-undang syara’.
c. Menetapkan undang-undang syara’ yang harus dijadikan pedoman negara untuk kemudian diserahkan pelaksanaannya pada pemimpin negara.
Dari sini bisa dikaji bahwa pemisahan kekuasaan itu memang perlu supaya tidak terjadi kediktatoran sebagaimana pada masa-masa kekhilafahan Islam (Umawiyyah sampai Abbasiyyah). Namun pemisahan kekuasaan tersebut hanya pada dua lembaga negara di atas, bukan tiga seperti yang diungkapkan oleh dunia modern (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Adapun yang dimaksud dengan dua lembaga tersebut adalah lembaga kekhilafahan (lembaga kekuasaan negara yang meliputi bidang eksekutif dan yudikatif); pada lembaga ini bisa dipegang satu orang yaitu pemimpin negara. Namun untuk memudahkan pekerjaan pemimpin negara tersebut maka boleh didelegasikan kewenangan yudikatif pada orang lain yang ditunjuk (Qodil Qudlot). Sedangkan kekuasaan legislatif berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat dengan sumber pokok undang-undangnya pada syara’.
3. Keadilan Antar Manusia
Dasar ketiga yang merupakan tumpuan bangunan negara ialah bahwa semua rakyatnya mempunyai persamaan hak dihadapan undang-undang Allah yang harus dilaksanakan atas mereka semua, dengan prinsip keadilan tanpa membedakan posisi mereka dalam negara, sebagaimana telah dinyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa Allah memerintahkan agar Rasulullah SAW mengumandangkan :
“… dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kalian” (Q.S 42 :15)
Kita semua tahu, bahwa nenek moyang kita adalah satu. Kesemuanya diciptakan min nafsin waahidah (dari diri yang satu) (QS An-Nisa’ [4]:1). Semuanya mendapatkan perlindungan dan penghormatan yang telah ditetapkan di dalam Al–Qur’an tanpa melihat kepada agama dan RAS. Rasulullah SAW sendiri pada khutbah wada’ telah mengisyaratkan kepada makna kesatuan asal manusia. Beliau bersabda “Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan ketahuilah bahwa bapak kalian juga satu.”
Dari situ, sebuah negara akan mengalami kehancuran jika tidak menerapkan prinsip keadilan.. Karena dinasti Muawiyyah mengalami kehancuran ketika penguasanya tidak bersikap adil, yaitu menjadikan orang-orang non Arab (Mawaali) sebagai masyarakat nomer dua, masyarakat yang termarginalkan dalam struktur pemerintahan maupun hukum. Semua itu bersumber pada fanatisme Arabic semata. (DR. M. Sayid Al-Wakil, 1998, hal 64 - 70).
4. Kebebasan Adalah Hak Bagi Semua Orang
Pengekspresian manusia akan kebebasan dirinya merupakan wajah lain dari aqidah Tauhid. Pengucapan dua kalimat syahadat merupakan ikrar pengabdian dirinya hanya untuk Allah SWT semata, dan juga kebebasan dirinya dari segala macam kekuasaan manusia. Allah SWT telah membuka jalan kepada kita menuju kehendak-Nya saja, tetapi Dia tidak memaksa kita untuk menuju kepada kehendak-Nya tersebut. Dia memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih. Dengan demikian, jika menghendaki, kita dapat memilih jalan sesuai dengan syari’at, sebagaimana kita juga dapat menempuh jalan bertentangan dengan perintah-Nya serta mengabaikan syari’at.
Namun demikian, karena penguasa harus menjalankan undang-undang syara’ yang diajukan oleh MPR, maka setiap pelanggaran syara’ tersebut akan mendapatkan sangsi dari negara. Sehingga kebebasan tersebut di atas tetap harus terkait dengan kemaslahatan syara’ secara umum serta tidak melanggar kebebasan orang lain. Dan negara memang tidak akan memaksakan peraturan negara Islam pada yang non-muslim, karena perundang-undangan mereka telah ditentukan secara khusus dan siapapun yang memasuki koridor hukum, maka kebebasan dia terbatasi oleh hukum, bukan oleh tirani penguasa. Jadi jangan ditafsiri keliru, bahwa kebebasan individu dalam negara Islam terbatasi. Karena tidak ada satupun negara yang -- meski negara sekuler sekalipun -- memberi kebebasan mutlak. Sebab kebebasan mutlak itu akan justru menghancurkan sebuah negara. Oleh karena itulah, kebebasan itu terkoridori oleh hukum yang berlaku di negara tersebut. Dan kalau pemerintahan itu berdasarkan Islam maka koridor yang membatasinya adalah hukum Islam positif.
5. Permusyawaratan
Ciri yang kelima dari negara Islam adalah keharusan bagi para pemimpin negara dan pejabatnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin (melalui MPR).
Adapun yang dimaksud dengan musyawarah menurut Kaum Salaf adalah musyawarah sebagai tukar pikiran antara para ahli dalam suatu permasalahan kemudian hasil dari musyawarah tersebut dijadikan ketetapan. Sedangkan menurut definisi modern, musyawarah adalah pengambilan keputusan melalui berbagai macam pendapat para ahli pada hal-hal yang berkaitan dengan keputusan-keputusan tersebut pada setiap kondisi global.
Kemudian bagaimana jika terjadi kebuntuan pada musyawarah, apakah diperkenankan mengambil keputusan melalui voting (suara terbanyak) ?
Dalam kaitan di atas DR Yusuf Qordhowi berkata dalam kitabnya Fatawa Mu’aashirah, Juz II hal 636 sebagai berikut :
“Kemudian di sana terdapat urusan-urusan yang tidak masuk ke dalam arena pemungutan suara dan tidak ada kaitannya dengan pemungutan suara, karena urusan-urusan tersebut merupakan ketetapan yang tidak dapat diubah, kecuali jika masyarakat itu sendiri yang berubah menjadi tidak muslim.
Tidak ada istilah pemungutan suara dalam syari’at-syari’at yang sudah pasti prinsip-prinsip agamanya, dan hal-hal yang sudah diketahui secara pasti dalam agama. Tetapi pemungutan suara hanya ada dalam masalah-masalah ijtihadiyyah yang mencakup banyak pendapat, di mana orang-orang di dalamnya saling berbeda pendapat; misalnya dalam pemilihan salah satu kandidat yang akan menduduki suatu jabatan. Contoh yang lain, pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas, atau untuk mengatur pembangunan sarana-sarana perdagangan, industri, rumah sakit dan lain-lain yang termasuk apa yang disebut para Fuqoha sebagai Mashalihul Mursalah (Kepentingan Umum). Seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau menghentikannya, mewajibkan pembayaran pajak atau meniadakannya dan lain sebagainya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini, apakah harus ditinggalkan begitu saja atau sebaliknya harus dipecahkan ? Apakah tarjih (penguatan suatu pendapat atas pendapat lain) harus dilakukan tanpa menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat? Ataukah harus menujukkan pendapat mana yang lebih kuat ?
Akal, hukum dan realitas akan mengharuskan dijelaskannya pendapat mana yang lebih kuat. Dan pendapat mana yang lebih kuat dalam suatu perbedaan pendapat adalah – menurut Yusuf Qordhowi -- yang mendapatkan suara mayoritas.”
Pendapat beliau harus diberi catatan khusus, yaitu jika yang bermusyawarah tersebut adalah sama- sama ahlinya, maka pendapat mayoritas bisa dijadikan ketetapan. Namun jika yang bermusyawarah tersebut adalah orang yang bukan ahlinya dan yang ahli adalah satu orang saja maka pendapat mayoritas di sini tidak berlaku, namun kembali pada pendapat seorang ahli tersebut.
Sebagaimana telah kita lihat bahwa Rasulullah SAW ikut bergabung dengan pendapat mayoritas pada saat terjadi perang Uhud dan keluar untuk berhadapan dengan orang-orang musyrik yang berada di luar Madinah, padahal pada saat itu Rasulullah SAW dan para pembesar sahabat berpendapat untuk menetap dan mengadakan peperangan di dalam Madinah. Hal itu terjadi karena kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan berada di luar Madinah dan kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan harus ada di dalam Madinah adalah sama-sama ahlinya di bidang peperangan.
Sedangkan pada kasus peperangan Badar, di mana pasukan Rasulullah setuju berada di dekat sumur, Al-Hubab bin Al-Mundzir berpendapat lain. Pendapat Al-Hubab ternyata disetujui oleh Rasulullah dan beliau mengikuti pendapat tersebut. Dalam kasus ini ada beberepa tafsiran sebagai berikut:
a. Mendengar penjelasan Al-Mundzir tentang taktik perang, para sahabat yang lain setuju dengan pendapatnya sehingga Rasulullah mengambil pendapat mayoritas sahabat yang sepakat dengan pendapat Al-Mundzir.
b. Atau, Al-Hubab bin Al-Mundzir adalah satu-satunya orang yang ahli perang. Hal ini dapat dilihat dari diamnya para sahabat (tidak membantah pendapatnya) sehingga berdasarkan kenyataan itu Rasulullah memilih pendapat Al-Mundzir karena keahliannya, meskipun ia sendirian.
Demikianlah ciri – ciri dari negara Islam. Dan tegaknya negara tersebut harus berdasar pada ciri-ciri di atas.
Wallaahu a’lamu bish showaab
* Kumpulan nasyroh dakwah dan makalah karya Ustadz Drs. Junaidi Sahal (Materi Halaqah Sughra UAKI Unibraw)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Demokrasi Yusuf al-Qardhawi ( buat yg anti demokrasi silahkan jawab )
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas jawabannya.
Supaya tidak terjadi kesalah pahaman dalam menanggapi tulisan saya prihal demokrasi, maka di sini saya akan berusaha untuk menerangkan siapa saya. Sehingga pembaca dapat dengan tepat menanggapi tulisan saya di atas.
Menurut saya,
• Sistim pemerintahan demokrasi dan pemerintahan islami jelas berbeda. Dan pemerintahan islami lah yang terbaik.
• Kita sebagai umat muslim musti hati-hati dengan demokrasi. Dan itu adalah sebuah keniscayaan.
• Tapi ingat, sekarang adalah zamannya demokrasi. Dan mungkin hanya pemerintahan yang seperti inilah yang memungkinkan sekarang ini.
• Oleh karena itu, melawan demokrasi dengan demokrasi itu sendiri akan terasa lebih baik dan lebih menjanjikan.
• Dan saya berharap, kita bisa keluar dari yang namanya demokrasi. Pada suatu waktu nanti. Semoga……!
Dr.Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik ( ingat, beliau katakan alternatif ) untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani ( alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bukan yang terbaik jika dibandingkan dengan sistim pemerintahan islami. Dan itu semua tersirat dalam kata-katanya di atas ). Dan beliau juga katakan, "Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis. Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai. Dan perkataan ini seakan memberikan pencerahan kepada kita prihal bagaimana sebaiknya melawan sebuah sistim yang namanya demokrasi. Beliau seolah-olah ingin mengatakan, bahwa ada celah dalam demokrasi yang bisa kita ( sebagai umat islam ) gunakan untuk melawan demokrasi itu sendiri. Tapi dengan catatan, seandainya kita ( sebagai penduduk negeri menginginkannya ).
“ dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar (dalam menegakan kebenaran). Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah :24)
Seburuk apapun kualitas pemilu di sebuah negara, seandainya penduduk negeri itu selalu menegakan kebenaran dan meyakini ayat-ayat_Nya, maka secara otomatis akan menghasilkan para pemimpin yang memerintah dengan ketentuan-ketentuan yang telah Allah swt tetapkan. ( pemerintahan yang islami ). Karena memang itulah janji Allah swt. Dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya. Termasuk demokrasi.
Oleh karena dari sekian banyak kelemahan yang ada dalam demokrasi, namun saya kira, demokrasi masih tetep menjadi pilihan terbaik. Dalam demokrasi sangat terbuka pintu lebar untuk tegaknya syari’at islam. Seandainya kita sebagai warga negara menginginkannya. Namun demikian, kita juga musti ingat, bahwa dengan demokrasi juga, terbuka pintu lebar untuk tegaknya hukum-hukum yang lain. Bahkan yang sagat bertolak belakang dengan islam sekalipun. Karena memang kesemuanya itu, akan sangat bergantung kepada yang namanya penduduk sebuah negara.
Selain itu beliau juga mengatakan, "Kekuasaan yang terpilih" inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau "pemerintah", menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan. Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. Saya katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Komentar saya,
Kekuasaan terpilihlah yang memiliki otoritas legislatif untuk rakyat. Dan ini berarti, kesemuanya itu akan bergantung kepada rakyat negara itu. Seandainya kita sebagai penduduk negeri menginginkan negara yang berasaskan islam, maka itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Kenapa saya bisa berkata demikian……?
Karena memang pada sistim demokrasi kita lah sebagai penduduk negara yang menentukan. Kita bisa mendelegasikan kepemimpinan kepada yang kita sukai. Apakah dia itu orang-orang yang kuat keislamannya, seorang koruptor, pezinah ataupun pemabuk sekalipun.(dan inilah sebenar-benarnya kelemahan demokrasi yang musti di waspadai dan difahami oleh seluruh penduduk negara ini)!!!!!
Oleh karena itu DR.Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. beliau katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Lalu mengapa beliau mengatakan secara teoritis….?
Karena memang itu tidak menjadi kenyataan. Sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tidak dapat dengan mudah menerapkan azas-azas islam di dalamnya. Padahal kalau menurut logika dan teori demokrasi, negara yang berazaskan islam itu, akan terbentuk dengan sendirinya apa bila sebuah negara itu berpenduduk mayoritas muslim. Dan karena itu pulalah beliau pada awal pembahasannya mengatakan “ bahwa demokrasi adalah alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bahkan beliau juga berpendapat mengenai sisi liberalisme yang ada pada demokrasi itu.
Oleh karena itu, saya kurang setuju dengan para ulama yang memojokan beliau dengan perkataan bahwa beliau itu seorang pendukung demokrasi. Karena memang dalam hal ini, janganlah kita menilai maksud daripada perkataan seseorang, tapi adakah sesuatu dalam perkataanya itu yang dapat kita ambil manfaatnya.
Maka daripada itu, terlepas dari siapa itu DR.Yusuf Al-Qardhawi, dan apakah beliau itu pendukung ataupun bukan pendukung demokrasi, namun yang terpenting dalam hal ini adalah, adakah dari perkataan beliau yang dapat bermanfaat bagi kita sebagai pemeluk agama dan warga negara.
Dan terakhir saya akan tuliskan perkataan beliau yang lainnya. Yang mudah-mudahan lebih membantu anda dalam memahami pendapat daripada beliau.
Beliau mengatakan, Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.
Apa yang salah kira-kira……?
Dan meskipun hanya sepotong, tapi saya mendapatkan manfaat dan beberapa penekanan dalam perkataan beliau meskipun belum tentu maksudnya seperti itu. Karena sekali lagi saya katakan, maksud perkataan seseorang itu tidaklah terlalu penting. Karena yang terpenting adalah apa yang kita dapat dari perkataannya itu.
Dan inilah manfaat yang saya dapatkan dari yang sepotong itu.
• Hendaknya kita menekankan pemahaman kita pada konteks sebuah sistim pemerintahan di luar sistim pemerintahan islam. Dan memang demokrasi lah yang terbaik. Untuk sekarang ini.
• Dalam sistim demokrasi ada sebuah celah besar yang dapat kita manfaatkan bagi terciptanya negara yang berzaskan islam seandainya kita sebagai penduduk negara menginginkannya.
• Dalam sebuah negara yang menganut sistim demokrasi ada kecenderungan negara yang berpenduduk muslim akan menjadi negara islam, negara yang berpenduduk pemabuk akan menjadi negara pemabuk dan lain sebagainya.
• Namun kesemuanya itu hanyalah teori belaka. Yang mana kenyataanya jauh dari yang kita harapkan.
• Negara indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim diisi oleh para koruptor, pezina, perampok dan lain sebagainya. Padahal kita sebagai penduduk negeri sudah diberi kesempatan untuk memilih!
• Apa salah demokrasi…..!!!!
dan untuk lebih memahami alur pemikiran saya tolong baca juga " ini negara demokrasi bung" dan " elo aja kali gue kagak"
Supaya tidak terjadi kesalah pahaman dalam menanggapi tulisan saya prihal demokrasi, maka di sini saya akan berusaha untuk menerangkan siapa saya. Sehingga pembaca dapat dengan tepat menanggapi tulisan saya di atas.
Menurut saya,
• Sistim pemerintahan demokrasi dan pemerintahan islami jelas berbeda. Dan pemerintahan islami lah yang terbaik.
• Kita sebagai umat muslim musti hati-hati dengan demokrasi. Dan itu adalah sebuah keniscayaan.
• Tapi ingat, sekarang adalah zamannya demokrasi. Dan mungkin hanya pemerintahan yang seperti inilah yang memungkinkan sekarang ini.
• Oleh karena itu, melawan demokrasi dengan demokrasi itu sendiri akan terasa lebih baik dan lebih menjanjikan.
• Dan saya berharap, kita bisa keluar dari yang namanya demokrasi. Pada suatu waktu nanti. Semoga……!
Dr.Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik ( ingat, beliau katakan alternatif ) untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani ( alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bukan yang terbaik jika dibandingkan dengan sistim pemerintahan islami. Dan itu semua tersirat dalam kata-katanya di atas ). Dan beliau juga katakan, "Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis. Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai. Dan perkataan ini seakan memberikan pencerahan kepada kita prihal bagaimana sebaiknya melawan sebuah sistim yang namanya demokrasi. Beliau seolah-olah ingin mengatakan, bahwa ada celah dalam demokrasi yang bisa kita ( sebagai umat islam ) gunakan untuk melawan demokrasi itu sendiri. Tapi dengan catatan, seandainya kita ( sebagai penduduk negeri menginginkannya ).
“ dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar (dalam menegakan kebenaran). Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah :24)
Seburuk apapun kualitas pemilu di sebuah negara, seandainya penduduk negeri itu selalu menegakan kebenaran dan meyakini ayat-ayat_Nya, maka secara otomatis akan menghasilkan para pemimpin yang memerintah dengan ketentuan-ketentuan yang telah Allah swt tetapkan. ( pemerintahan yang islami ). Karena memang itulah janji Allah swt. Dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya. Termasuk demokrasi.
Oleh karena dari sekian banyak kelemahan yang ada dalam demokrasi, namun saya kira, demokrasi masih tetep menjadi pilihan terbaik. Dalam demokrasi sangat terbuka pintu lebar untuk tegaknya syari’at islam. Seandainya kita sebagai warga negara menginginkannya. Namun demikian, kita juga musti ingat, bahwa dengan demokrasi juga, terbuka pintu lebar untuk tegaknya hukum-hukum yang lain. Bahkan yang sagat bertolak belakang dengan islam sekalipun. Karena memang kesemuanya itu, akan sangat bergantung kepada yang namanya penduduk sebuah negara.
Selain itu beliau juga mengatakan, "Kekuasaan yang terpilih" inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau "pemerintah", menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan. Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. Saya katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Komentar saya,
Kekuasaan terpilihlah yang memiliki otoritas legislatif untuk rakyat. Dan ini berarti, kesemuanya itu akan bergantung kepada rakyat negara itu. Seandainya kita sebagai penduduk negeri menginginkan negara yang berasaskan islam, maka itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Kenapa saya bisa berkata demikian……?
Karena memang pada sistim demokrasi kita lah sebagai penduduk negara yang menentukan. Kita bisa mendelegasikan kepemimpinan kepada yang kita sukai. Apakah dia itu orang-orang yang kuat keislamannya, seorang koruptor, pezinah ataupun pemabuk sekalipun.(dan inilah sebenar-benarnya kelemahan demokrasi yang musti di waspadai dan difahami oleh seluruh penduduk negara ini)!!!!!
Oleh karena itu DR.Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. beliau katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Lalu mengapa beliau mengatakan secara teoritis….?
Karena memang itu tidak menjadi kenyataan. Sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tidak dapat dengan mudah menerapkan azas-azas islam di dalamnya. Padahal kalau menurut logika dan teori demokrasi, negara yang berazaskan islam itu, akan terbentuk dengan sendirinya apa bila sebuah negara itu berpenduduk mayoritas muslim. Dan karena itu pulalah beliau pada awal pembahasannya mengatakan “ bahwa demokrasi adalah alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bahkan beliau juga berpendapat mengenai sisi liberalisme yang ada pada demokrasi itu.
Oleh karena itu, saya kurang setuju dengan para ulama yang memojokan beliau dengan perkataan bahwa beliau itu seorang pendukung demokrasi. Karena memang dalam hal ini, janganlah kita menilai maksud daripada perkataan seseorang, tapi adakah sesuatu dalam perkataanya itu yang dapat kita ambil manfaatnya.
Maka daripada itu, terlepas dari siapa itu DR.Yusuf Al-Qardhawi, dan apakah beliau itu pendukung ataupun bukan pendukung demokrasi, namun yang terpenting dalam hal ini adalah, adakah dari perkataan beliau yang dapat bermanfaat bagi kita sebagai pemeluk agama dan warga negara.
Dan terakhir saya akan tuliskan perkataan beliau yang lainnya. Yang mudah-mudahan lebih membantu anda dalam memahami pendapat daripada beliau.
Beliau mengatakan, Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.
Apa yang salah kira-kira……?
Dan meskipun hanya sepotong, tapi saya mendapatkan manfaat dan beberapa penekanan dalam perkataan beliau meskipun belum tentu maksudnya seperti itu. Karena sekali lagi saya katakan, maksud perkataan seseorang itu tidaklah terlalu penting. Karena yang terpenting adalah apa yang kita dapat dari perkataannya itu.
Dan inilah manfaat yang saya dapatkan dari yang sepotong itu.
• Hendaknya kita menekankan pemahaman kita pada konteks sebuah sistim pemerintahan di luar sistim pemerintahan islam. Dan memang demokrasi lah yang terbaik. Untuk sekarang ini.
• Dalam sistim demokrasi ada sebuah celah besar yang dapat kita manfaatkan bagi terciptanya negara yang berzaskan islam seandainya kita sebagai penduduk negara menginginkannya.
• Dalam sebuah negara yang menganut sistim demokrasi ada kecenderungan negara yang berpenduduk muslim akan menjadi negara islam, negara yang berpenduduk pemabuk akan menjadi negara pemabuk dan lain sebagainya.
• Namun kesemuanya itu hanyalah teori belaka. Yang mana kenyataanya jauh dari yang kita harapkan.
• Negara indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim diisi oleh para koruptor, pezina, perampok dan lain sebagainya. Padahal kita sebagai penduduk negeri sudah diberi kesempatan untuk memilih!
• Apa salah demokrasi…..!!!!
dan untuk lebih memahami alur pemikiran saya tolong baca juga " ini negara demokrasi bung" dan " elo aja kali gue kagak"
pies- KOPRAL
-
Age : 50
Posts : 33
Kepercayaan : Islam
Location : sumedang
Join date : 10.12.11
Reputation : 0
Re: Demokrasi Yusuf al-Qardhawi ( buat yg anti demokrasi silahkan jawab )
pies wrote:Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas jawabannya.
Supaya tidak terjadi kesalah pahaman dalam menanggapi tulisan saya prihal demokrasi, maka di sini saya akan berusaha untuk menerangkan siapa saya. Sehingga pembaca dapat dengan tepat menanggapi tulisan saya di atas.
Menurut saya,
• Sistim pemerintahan demokrasi dan pemerintahan islami jelas berbeda. Dan pemerintahan islami lah yang terbaik.
• Kita sebagai umat muslim musti hati-hati dengan demokrasi. Dan itu adalah sebuah keniscayaan.
• Tapi ingat, sekarang adalah zamannya demokrasi. Dan mungkin hanya pemerintahan yang seperti inilah yang memungkinkan sekarang ini.
• Oleh karena itu, melawan demokrasi dengan demokrasi itu sendiri akan terasa lebih baik dan lebih menjanjikan.
• Dan saya berharap, kita bisa keluar dari yang namanya demokrasi. Pada suatu waktu nanti. Semoga……!
Dr.Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik ( ingat, beliau katakan alternatif ) untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani ( alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bukan yang terbaik jika dibandingkan dengan sistim pemerintahan islami. Dan itu semua tersirat dalam kata-katanya di atas ). Dan beliau juga katakan, "Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis. Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai. Dan perkataan ini seakan memberikan pencerahan kepada kita prihal bagaimana sebaiknya melawan sebuah sistim yang namanya demokrasi. Beliau seolah-olah ingin mengatakan, bahwa ada celah dalam demokrasi yang bisa kita ( sebagai umat islam ) gunakan untuk melawan demokrasi itu sendiri. Tapi dengan catatan, seandainya kita ( sebagai penduduk negeri menginginkannya ).
“ dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar (dalam menegakan kebenaran). Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah :24)
Seburuk apapun kualitas pemilu di sebuah negara, seandainya penduduk negeri itu selalu menegakan kebenaran dan meyakini ayat-ayat_Nya, maka secara otomatis akan menghasilkan para pemimpin yang memerintah dengan ketentuan-ketentuan yang telah Allah swt tetapkan. ( pemerintahan yang islami ). Karena memang itulah janji Allah swt. Dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghalanginya. Termasuk demokrasi.
Oleh karena dari sekian banyak kelemahan yang ada dalam demokrasi, namun saya kira, demokrasi masih tetep menjadi pilihan terbaik. Dalam demokrasi sangat terbuka pintu lebar untuk tegaknya syari’at islam. Seandainya kita sebagai warga negara menginginkannya. Namun demikian, kita juga musti ingat, bahwa dengan demokrasi juga, terbuka pintu lebar untuk tegaknya hukum-hukum yang lain. Bahkan yang sagat bertolak belakang dengan islam sekalipun. Karena memang kesemuanya itu, akan sangat bergantung kepada yang namanya penduduk sebuah negara.
Selain itu beliau juga mengatakan, "Kekuasaan yang terpilih" inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau "pemerintah", menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan. Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan. Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. Saya katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Komentar saya,
Kekuasaan terpilihlah yang memiliki otoritas legislatif untuk rakyat. Dan ini berarti, kesemuanya itu akan bergantung kepada rakyat negara itu. Seandainya kita sebagai penduduk negeri menginginkan negara yang berasaskan islam, maka itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Kenapa saya bisa berkata demikian……?
Karena memang pada sistim demokrasi kita lah sebagai penduduk negara yang menentukan. Kita bisa mendelegasikan kepemimpinan kepada yang kita sukai. Apakah dia itu orang-orang yang kuat keislamannya, seorang koruptor, pezinah ataupun pemabuk sekalipun.(dan inilah sebenar-benarnya kelemahan demokrasi yang musti di waspadai dan difahami oleh seluruh penduduk negara ini)!!!!!
Oleh karena itu DR.Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya. beliau katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Lalu mengapa beliau mengatakan secara teoritis….?
Karena memang itu tidak menjadi kenyataan. Sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tidak dapat dengan mudah menerapkan azas-azas islam di dalamnya. Padahal kalau menurut logika dan teori demokrasi, negara yang berazaskan islam itu, akan terbentuk dengan sendirinya apa bila sebuah negara itu berpenduduk mayoritas muslim. Dan karena itu pulalah beliau pada awal pembahasannya mengatakan “ bahwa demokrasi adalah alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Bahkan beliau juga berpendapat mengenai sisi liberalisme yang ada pada demokrasi itu.
Oleh karena itu, saya kurang setuju dengan para ulama yang memojokan beliau dengan perkataan bahwa beliau itu seorang pendukung demokrasi. Karena memang dalam hal ini, janganlah kita menilai maksud daripada perkataan seseorang, tapi adakah sesuatu dalam perkataanya itu yang dapat kita ambil manfaatnya.
Maka daripada itu, terlepas dari siapa itu DR.Yusuf Al-Qardhawi, dan apakah beliau itu pendukung ataupun bukan pendukung demokrasi, namun yang terpenting dalam hal ini adalah, adakah dari perkataan beliau yang dapat bermanfaat bagi kita sebagai pemeluk agama dan warga negara.
Dan terakhir saya akan tuliskan perkataan beliau yang lainnya. Yang mudah-mudahan lebih membantu anda dalam memahami pendapat daripada beliau.
Beliau mengatakan, Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.
Apa yang salah kira-kira……?
Dan meskipun hanya sepotong, tapi saya mendapatkan manfaat dan beberapa penekanan dalam perkataan beliau meskipun belum tentu maksudnya seperti itu. Karena sekali lagi saya katakan, maksud perkataan seseorang itu tidaklah terlalu penting. Karena yang terpenting adalah apa yang kita dapat dari perkataannya itu.
Dan inilah manfaat yang saya dapatkan dari yang sepotong itu.
• Hendaknya kita menekankan pemahaman kita pada konteks sebuah sistim pemerintahan di luar sistim pemerintahan islam. Dan memang demokrasi lah yang terbaik. Untuk sekarang ini.
• Dalam sistim demokrasi ada sebuah celah besar yang dapat kita manfaatkan bagi terciptanya negara yang berzaskan islam seandainya kita sebagai penduduk negara menginginkannya.
• Dalam sebuah negara yang menganut sistim demokrasi ada kecenderungan negara yang berpenduduk muslim akan menjadi negara islam, negara yang berpenduduk pemabuk akan menjadi negara pemabuk dan lain sebagainya.
• Namun kesemuanya itu hanyalah teori belaka. Yang mana kenyataanya jauh dari yang kita harapkan.
• Negara indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim diisi oleh para koruptor, pezina, perampok dan lain sebagainya. Padahal kita sebagai penduduk negeri sudah diberi kesempatan untuk memilih!
• Apa salah demokrasi…..!!!!
Harga Mahal sebuah demokratisasi
DEMOKRATISASI. Itulah kata kunci dari berbagai keruwetan dan kekisruhan yang terjadi di negeri ini. Semua pihak yang bertikai, maupun yang sekedar ikut meramaikan, selalu menggunakan jargon demokrasi dan demokratisasi dalam setiap pembelaan mereka terhadap sikap dan langkah yang mereka ambil. Di depan sejumlah budayawan di Istana Bogor hari Minggu kemarin, Gus Dur mengatakan: "Mudah-mudahan dalam periode saya menjadi Presiden, paling pokok terjadi transisi menuju demokrasi" (Kompas, 5/02/01). Hanya saja fakta di lapangan --baik di kalangan elit maupun kawulo alit-- menunjukkan berbagai anomali dan berbagai kegilaan alias democrazy. Hantu atau monster macam apa yang namanya demokrasi itu? Apa saja korbannya? Apa bahayanya ditinjau bagi bangsa dan umat Islam? Apa solusi Islam sebagai alternatif?
Demokratisasi dan Korban-korbannya
Demokrasi adalah konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Lima tahun sekali rakyat dilibatkan dalam pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi. Pesta tersebut selain menghabiskan triliunan uang negara maupun rakyat sendiri, juga menghabiskan perhatian, pikiran, energi, bahkan tidak jarang meneteskan darah dan air mata. Namun rakyat tampak senang, meski harus menderita di bawah telapak kaki rezim yang berkuasa yang telah mereka pilih dan mereka dukung dengan suka cita. Setiap ada sikap kritis, apalagi yang muncul dari para muballigh dan aktivis Islam, langsung disumbat. Agar tidak muncul lagi yang sama, para aktivis Islam itu diculik dan disiksa, sebagaian masuk penjara, sebagian lagi dibunuh. Masjid-masjid ditutup dari ceramah politik. MUI dan guru-guru agama serta pengurus DKM diperalat dan ditakut-takuti agar mengatakan agama harus dipisahkan dari negara, agama yang suci jangan dikotori dengan kegiatan-kegiatan politik (Bahkan Gus Dur semasa menjadi ketua PBNU dulu mengatakan politik itu bagi warga NU adalah najis.). Itulah gambaran politik di era Demokrasi Terpimpin rezim Soekarno dan era Demokrasi Pancasila rezim Soeharto bagian pertama, yakni tatkala pengaruh kaum minoritas non muslim dan kaum abangan sangat kuat di tubuh partai Golkar dengan think-thank-nya CSIS.
Pada awal dekade 90-an rezim Soeharto dikitari oleh tokoh-tokoh ICMI yang dipimpin Habibie. Terjadilah proses "penghijauan" di Golkar dan TNI. Rezim Soeharto yang dicap "ijo royo-royo" itu mulai digugat, dinilai tidak demokratis. Padahal pada saat-saat itulah keran keterbukaan mulai dibuka.
Proses demokratisasi versi baru pun dihembuskan untuk menggeser diktator Soeharto. Soeharto dan para pendukung nya waktu itu selalu berkilah bahwa bangsa Indonesia punya demokrasi Pancasila yang tak bisa diukur dengan demokrasi ala Barat.
Hembusan itu begitu kuat khususnya setelah Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) dan terpilih kembali sebagai Ketua PBNU mengalahkan Abu Hasan di Muktamar NU Cipasung, dan merayakan kemenangan itu dengan pesta Gus Dur OK di Diskotik Casablanca. Kenapa desakan itu begitu kuat? Karena Gus Dur yang memainkan dukungan kaum tradisonalis NU itu di-backup oleh kelompok minoritas Nasrani dan kalangan LSM yang mendapat dukungan dari luar negeri memainkan peranan sebagai oposisi terhadap rezim Soeharto babak akhir. Sekalipun demikian Gus Dur adalah pemain politik yang sangat piawai karena masih mampu berangkulan dengan Soeharto karena dalam sejumlah kampanye dia sempat mendampingi Mbak Tutut Soeharto dan termasuk yang dimintai nasihat oleh Soeharto saat akan lengser dari jabatannya. Walhasil, lengsernya Soeharto --setelah krisis moneter yang berbuntut krisis ekonomi pada tahun 1997 -- oleh gerakan reformasi pimpinan Amien Rais dianggap sebagai tonggak bagi penegakan demokrasi versi aslinya. Ucapan tokoh-tokoh AS saat lengsernya Pak Harto pada bulan Mei 1998 menunjukkan hal itu.
Habibie, Wapres yang menggantikan Soeharto, tampak ingin menjadi seorang pemimpin demokratis yang diakui dunia. Dia keluarkan berbagai peraturan dan keputusan untuk itu, termasuk --yang paling fatal-- jajak pendapat untuk kemerdekaan Timtim, kebebasan pers, dan mengadakan pemilu 1999. Untuk memantapkan posisinya dalam menghadapi pemilu yang sampai didatangi mantan Presiden AS Jimmy Carter, Habibie di depan para santri Pondok Gontor mengungkapkan dukungan Clinton. Toh Habibie terjungkir karena kalah opini pers, khususnya berkaitan dengan pansus Bank Bali yang mengeksploitir media massa TV sedemikian rupa.
Gus Dur, pendiri Fordem, mbah-nya LSM, memiliki link internasional yang kuat, menggantikan Habibie. Setelah dilantik, ia mengokohkan dirinya sebagai demokrat, mengeluarkan berbagai pernyataan dan kebijakan yang melindungi dan memanjakan minoritas, sekalipun harus mengorbankan mayoritas. Pernyataannya di Bali, pada perayaan natal, dll. jelas menunjukkan hal itu. Termasuk sikapnya yang selalu ingin bermesraan dengan negara Yahudi Israel.
Hari-hari ini, Gus Dur sebagaimana dua presiden sebelumnya harus mengadapi badai ak-bat blunder dari pemerintahan demokratis itu sendiri. Gus Dur, sang pejuang demokrasi harus siap ditembak dengan peluru-peluru yang dibuatnya sendiri. Para pendukung Gus Dur yang sangat sederhana dan fanatik itu, yang tentu tidak rela kyainya dikritik sedemikian rupa, harus menerima dianggap sebagai orang-orang yang perlu belajar demokrasi. Reformasi pun berjalan setengah hati. Pengadilan KKN Soeharto semakin tidak jelas. Tommy yang terpidana saja tak tereksekusi. Bisnis asing hasil KKN toh malah dilindungi. Beberapa koruptor kelas kakap dihukum ringan. Malah banyak konglomerat teman-teman para koruptor masih tenang saja bahkan keputusan pemerintah tentang imlek dan barongsai membuat spekulasi bahwa kedudukan mereka semakin kuat. Bukti nyatanya, mereka semakin tak tersentuh. Sementara aset-aset negara yang ada di BUMN banyak dijual murah kepada pihak asing. Kisruh di Jakarta pun membuat gerakan sparatis semakin berani, terbukti pada serangan OPM terhadap Kopasus pada tanggal 3/2/2001.
Itulah negeri yang selalu dipimpin demokrasi. Tidak pernah sepi dari konflik antara anak bangsa sendiri. Tidak beda antara demokrasi versi reformasi, dengan demokrasi Pancasila, maupun demokrasi terpimpin. Rakyat yang menjadi korban-korban telah menjadi fakta sejarah.
BAHAYA DEMOKRASI BAGI UMAT ISLAM
Disadari atau tidak, demokratisasi membentuk bahaya tersendiri bagi umat Islam. Pertama, bahaya yang paling besar bagi umat Islam, demokrasi nampak menjadi berhala baru yang merusak aqidah, hukum syara', dan akhlaq kaum muslimin. Secara aqidah, dengan demokrasi, umat Islam dikikis aqidahnya. Tokoh-tokoh demokrasi selalu menyerang agar umat Islam jangan merasa benar sendiri. Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar. Jelas ini bisa meragukan keyakinan umat kepada Islam sebagai agama satu-satunya yang diridloi oleh Allah SWT(lihat QS. Ali Imran 19) dan rugilah orang yang mencari agama selain Islam (lihat QS. Ali Imran 85). Nampak bau taklid tokoh demokrasi kepada orang-orang kafir padahal Allah SWT sudah mewanti-wanti mereka. Dia SWT berfirman:
"Hai orang-orang beriman, jika kalian mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman (menjadi murtad)" (QS. Ali 'Imran: 100 ).
Dari segi hukum syara, demokrasi menolak hukum Islam dengan dalih negara ini bukan negara Islam dan bukan milik orang Islam. Negara plural. Padahal syari'at Islam, bukanlah syari'at buatan orang Islam dan khusus untuk orang Islam. Dia buatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan manusia dan menurunkan syari'atnya dan mengutus rasul-Nya sebagai rahmat-Nya atas seluruh alam.
Kerusakan moral atau akhlaq akibat meninggalkan syari'at Allah --lantaran tidak sopannya manusia kepada Tuhan mereka-- kiranya tidak perlu diuraikan lagi.
Kedua, demokratisasi telah memecah belah persatuan umat Islam dalam berbagai partai politik yang memperjuangkan demokrasi dan aspirasi kelompoknya sendiri. Umat pun terpecah belah oleh perkara-perkara yang bukan asasi. Perpecahan itu begitu menyedihkan karena telah sampai terjadi penggunaan ayat-ayat Al Qur'an untuk membela tindakan kelompoknya (misalnya penggunaan QS. Hujurat 9 --tanpa melihat konteksnya-- untuk memerangi kelompok yang dianggap berontak kepada tokoh mereka yang jadi kepala negara) sementara kalau diajak kepada pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh (hudud, jinayat, ta'zir, dll), mereka mengatakan kita bukan negara agama! Umumnya tokoh muslim demokrat yang berpecah belah itu, selalu mengajak agar semua kembali kepada konstitusi dan melaksanakan perbedaan pendapat dengan koridor demokrasi, padahal Allah SWT menuntun mereka agar dalam menyelesaikan konflik kembali kepada Allah dan Rasul-Nya (Al Quran dan Sunnah) jika mereka masih beriman (lihat QS. An Nisa 59).
Ketiga, demokratisasi melanggengkan konspirasi internasional untuk mengubur Islam dan agar umat lupa kepada cita-cita hidup di bawah naungan kalimat tauhid, khilafah Islamiyah. Manakala ada partai umat islam yang setia dengan nilai-nilai demokrasi sekalipun harus mengorbankan nilai-nilai Islam, dijadikan bukti bahwa Islam memang sesuai dengan demokrasi. Manakala ada kelompok umat Islam yang setia kepada nilai-nilai islam dan bertekad menegakkan Islam mendapatkan simpati umat sehingga menang dalam pemilu yang demokratis --seperti FIS di Aljazair-- maka dibikinlah berbagai sandiwara agar kelompok itu tidak mencapai kekuasaan. Dan apabila ada kelompok Islam yang tidak mau kompromi dengan sistem demokrasi, maka dibuatlah berbagai opini bahwa kelompok tersebut bukanlah Islam yang sebenarnya, disifati sebagai kelompok sempalan (bukan mainstream) fundamentalis, ekstrimis, teroris, dan berbagai tuduhan jahat lainnya agar umat menjauh darinya.
ISLAM SOLUSI, BUKAN POLUSI
Islam adalah solusi. Islam menjawab masalah-masalah pemerintahan dengan hukum-hukumnya yang khas, yang berbeda dengan demokrasi. Islam memberikan wewenang mutlak kepada kepala negara yang telah dipilih oleh rakyat secara suka rela untuk menjalankan amanat Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Jika rakyat sudah mengangkat, mereka tak punya wewenang untuk menurunkannya. Yang berhak memecatnya hanyalah keputusan Mahkamah Mazhalim yang menilai bahwa kepala negara telah jauh melampaui batas-batas hukum Islam dan tidak mungkin diluruskan kembali. Jika Mahkamah tidak berfungsi, rakyat akan melakukan gerakan amar ma'ruf nahi munkar dan bila perlu gerakan fisik, khususnya jika terjadi kekufuran yang nyata dilakukan penguasa. Jika belum sampai kondisi yang sangat buruk itu, rakyat tetap harus taat selama penguasa memerintahkan perkara-perkara yang bukan maksiat kepada Allah SWT. Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. Nabi saw. bersabda: "Mendengar dan taat (kepada khalifah/penguasa penerap hukum Islam) wajib atas seorang muslim baik pada perkara yang dia sukai maupun benci, selama tidak diperintah melakukan perbuatan maksiat (melanggar aturan Allah SWT). Jika dia diperintah bermaksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat".
Islam mewajibkan kepala negara agar menjamin kesejahteraan warga negara, bukan sebagian golongan minoritas. Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) warga negara tanpa terkecuali. Islam mewajibkan negara menjamin agar kebutuhan kolektif rakyat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan, dapat diperoleh rakyat secara gratis. Untuk itu pemerintah sebagai wakil seluruh umat (bukan partai tertentu) harus mengelola bumi, air, udara dan kekayaan alam guna memenuhi kebutuhan kolektif tersebut. Sedangkan kebutuhan pokok, pemerintah menjamin stoknya, menyediakan lapangan kerja agar rakyat berpenghasilan, dan menjadi pintu terakhir bagi mereka yang miskin dan terlantar.
Islam membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kezhaliman yang dilakukan oleh para pejabat, orang-orang kuat, dan penguasa. Islam mewajibkan negara senantiasa menegakkan hukum Islam yang berlaku sama bagi seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim. Jika ada seorang muslim mencuri di toko orang Kong Hu Cu, dia tetap dihukum potong tangan, Allah berfirman:
"Laki-laki pencuri dan perempuan pencuri potonglah tangan keduanya" (QS. Al Maidah 38).
Jika ada seorang gadis Nasrani berzina dengan seorang bujangan Hindu, maka keduanya akan dicambuk 100 kali, Allah berfirman:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah setiap dari keduanya seratus kali dera" (QS. An Nuur 2).
Anak pejabat yang mencambuk seorang rakyat jelata, pasti akan dikenai hukum qishas, yakni balas cambuk, atau membayar tebusan (diat) dimana hak pilihan hukum itu ada pada korban, bukan pada hakim atau pihak lain. Sementara itu, negara menggerakkan jihad fi sabilillah untuk menaklukkan berbagai negeri kafir untuk membebaskan rakyat mereka dari kezhaliman sistem dan penguasa kufur di sana.
Islam memberdayakan seluruh umat agar tidak terpedaya oleh kelompok elit tertentu. Islam memberikan kemerdekaan berbicara sebatas kebenaran yang hakiki. Siapapun yang diam atas kebenaran yang harus dia ucapkan, maka orang itu dikategorikan sebagai setan bisu. Tentu saja bicara melebihi batas kebenaran, bicara bohong, palsu dan batil, adalah sejawat setan pembisik. Dengan ketentuan seperti ini, orang yang kampung sekalipun berani berbicara tajam kepada kepala negara. Ketika seorang Baduwi berkata bakal hendak meluruskan (bukan menjatuhkan) Khalifah Umar bin Khaththab r.a. dengan pedangnya, beliau malah mengucapkan alhamdulillah masih ada orang yang akan meluruskan Umar.
KHATIMAH
Sudah nyata demokratisasi memberikan implikasi sangat buruk kepada kaum muslimin, baik ekonomi, politik, sosial, keamanan, bahkan keyakinan. Orientasi politik ekonomi keduniaan semata yang diajarkan oleh ideologi demokrasi telah mengesampingkan orientasi dunia akhirat sehingga yang terjadi kerusakan semata.
Jika sudah demikian, masihkah kita berharap kepada demokrasi buatan manusia dan melupakan sistem peraturan Ilahi? Mari kita renungkan peringatan Allah SWT.
"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta" (QS. Thaha 124).
Jelaslah betapa mahal harga proses demokratisasi yang dialam bangsa muslim terbesar di dunia ini. Kapankah mereka bertaubat dan kembali? Wallahu a'lam!
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Re: Demokrasi Yusuf al-Qardhawi ( buat yg anti demokrasi silahkan jawab )
Webster's New World Dictionary
1. government in which people hold the power either directly or
through elected representatives; rule by the ruled 2. a country,
state, etc. with such government 3. majority rule 4. the principle
of the equality of rights, opportunity, and treatment, or the
practice of this principle 5. the common people, esp. as the
wielders of power
George Kennan, Policy Planning Study 23
... we have about 50% of the world's wealth, but only 6.3% of its
population ... Our real task in the coming period is to devise a
pattern of relationships which will permit us to maintain this
position of disparity ... To do so, we will have to dispense with
all sentimentality ... We should cease to talk about vague and ...
unreal objectives such as human rights, the raising of living
standards, and democratization. (Written in 1948, for the U.S.
Dept. of State, Mr. Kennan was awarded The Peace Prize of the
German Book Trade.)
Howard Zinn, A People's History of The United States
We hold these truths to be self-evident, that all men are created
equal, that they are endowed by their Creator with certain
unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the
pursuit of Happiness. . . Some Americans were clearly omitted from
this circle of united interest drawn by the Declaration of
Independence: Indians, black slaves, women. . . . . . the reality
behind the Declaration of Independence was that a rising class of
important people needed to enlist on their side enough Americans
to defeat England, without disturbing too much the relations of
wealth and power that had developed over 150 years of colonial
history. . .
At the Constitutional Convention, Hamilton suggested a President
and Senate chosen for life. The Convention did not take his
suggestion. But neither did it provide for popular elections,
except in the case of the House of Representatives, where the
qualifications were set by the state legislatures (which required
property-holding for voting in almost all the states), and
excluded women, Indians, slaves.
Noam Chomsky, Secrets, Lies and Democracy
A society can have the formal trappings of a democracy and not be
democratic at all. The Soviet Union, for example had elections.
The US obviously has a formal democracy with primaries, elections,
referenda, recalls, and so on. But what is the content of this
democracy in terms of popular participation?
Over long periods, the involvement of the public in planning or
implementation of public policy has been quite marginal. This is a
business run society.
Karen Armstrong, A History of God
Henceforth women were marginalized and became second-class
citizens in the new civilizations of the Oikumene. Their position
was particularly poor in Greece, for example - a fact which
Western people should remember when they decry the patriarchical
attiudes of the Orient. The democratic ideal did not extend to the
women of Athens, who lived in seclusion and were despised as
inferior beings.
HRH, The Prince of Wales, Islam And The West
Islamic countries like Turkey, Egypt, and Syria gave women the
vote as early as Europe did its women -- and much earlier than in
Switzerland! In those countries women have long enjoyed equal pay,
and the opportunity to play a full working role in their
societies. The rights of Muslim women to property and inheritance,
to some protection if divorced, and to the conducting of business,
were rights prescribed by the Quran twelve hundred years ago, even
if they were not everywhere translated into practice. In Britain
at least, some of these rights were novel even to my grandmother's
generation!
Indian Ambassador M. N. Masud, Understanding Islam
If true democracy is not confined to the form or model of
government but is the way of life of a people wherein man is
treated with respect and given dignity, irrespective of what he is
or what he is not, then Islamic society, from the very birth of
Islam, has been nearest to the ideal, much nearer to it than has
been, perhaps, any other society in the recorded history of man.
1. government in which people hold the power either directly or
through elected representatives; rule by the ruled 2. a country,
state, etc. with such government 3. majority rule 4. the principle
of the equality of rights, opportunity, and treatment, or the
practice of this principle 5. the common people, esp. as the
wielders of power
George Kennan, Policy Planning Study 23
... we have about 50% of the world's wealth, but only 6.3% of its
population ... Our real task in the coming period is to devise a
pattern of relationships which will permit us to maintain this
position of disparity ... To do so, we will have to dispense with
all sentimentality ... We should cease to talk about vague and ...
unreal objectives such as human rights, the raising of living
standards, and democratization. (Written in 1948, for the U.S.
Dept. of State, Mr. Kennan was awarded The Peace Prize of the
German Book Trade.)
Howard Zinn, A People's History of The United States
We hold these truths to be self-evident, that all men are created
equal, that they are endowed by their Creator with certain
unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the
pursuit of Happiness. . . Some Americans were clearly omitted from
this circle of united interest drawn by the Declaration of
Independence: Indians, black slaves, women. . . . . . the reality
behind the Declaration of Independence was that a rising class of
important people needed to enlist on their side enough Americans
to defeat England, without disturbing too much the relations of
wealth and power that had developed over 150 years of colonial
history. . .
At the Constitutional Convention, Hamilton suggested a President
and Senate chosen for life. The Convention did not take his
suggestion. But neither did it provide for popular elections,
except in the case of the House of Representatives, where the
qualifications were set by the state legislatures (which required
property-holding for voting in almost all the states), and
excluded women, Indians, slaves.
Noam Chomsky, Secrets, Lies and Democracy
A society can have the formal trappings of a democracy and not be
democratic at all. The Soviet Union, for example had elections.
The US obviously has a formal democracy with primaries, elections,
referenda, recalls, and so on. But what is the content of this
democracy in terms of popular participation?
Over long periods, the involvement of the public in planning or
implementation of public policy has been quite marginal. This is a
business run society.
Karen Armstrong, A History of God
Henceforth women were marginalized and became second-class
citizens in the new civilizations of the Oikumene. Their position
was particularly poor in Greece, for example - a fact which
Western people should remember when they decry the patriarchical
attiudes of the Orient. The democratic ideal did not extend to the
women of Athens, who lived in seclusion and were despised as
inferior beings.
HRH, The Prince of Wales, Islam And The West
Islamic countries like Turkey, Egypt, and Syria gave women the
vote as early as Europe did its women -- and much earlier than in
Switzerland! In those countries women have long enjoyed equal pay,
and the opportunity to play a full working role in their
societies. The rights of Muslim women to property and inheritance,
to some protection if divorced, and to the conducting of business,
were rights prescribed by the Quran twelve hundred years ago, even
if they were not everywhere translated into practice. In Britain
at least, some of these rights were novel even to my grandmother's
generation!
Indian Ambassador M. N. Masud, Understanding Islam
If true democracy is not confined to the form or model of
government but is the way of life of a people wherein man is
treated with respect and given dignity, irrespective of what he is
or what he is not, then Islamic society, from the very birth of
Islam, has been nearest to the ideal, much nearer to it than has
been, perhaps, any other society in the recorded history of man.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» ini negara demokrasi bung....!
» demokrasi peradaban sampah
» menyoal demokrasi dan islam
» Demokrasi dan sekularisme
» Benarkah Demokrasi itu sistem diktator?
» demokrasi peradaban sampah
» menyoal demokrasi dan islam
» Demokrasi dan sekularisme
» Benarkah Demokrasi itu sistem diktator?
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik