Boleh memilih Pemimpin Non-Muslim
Halaman 1 dari 1 • Share
Boleh memilih Pemimpin Non-Muslim
[size=36]Memahami Bahtsul Masail GP Ansor Soal Pemimpin Non-Muslim[/size]
Bahtsul Masail pemuda NU Jawa, Madura, dan Bali. FOTO/Istimewa
0 Shares
Reporter: Ahmad Khadafi
14 Maret, 2017
Alasan dan konteks mengapa GP Ansor mebolehkan memilih pemimpin non-muslim.
tirto.id - Lajnah bahtsul masail dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang mengeluarkan keputusan bahwa seorang muslim tidak diharamkan untuk memilih pemimpin non-muslim (12/3) bukan hal mengejutkan. Selain karena Nahdlatul Ulama (NU) secara terbuka tidak condong pada salah satu pilihan politik, NU juga punya riwayat panjang dalam membolehkan atau membebaskan jamaah Nahdliyin pada pilihannya, terutama dalam memilih pemimpinnya jelang Pemilu atau Pilkada.
Pembahasan pada bahtsul masail adalah salah satu tradisi intelektual NU yang mengakomodasi ilmu-ilmu keislaman dalam kitab kuning yang ditulis dengan huruf Arab tanpa harakat (tanda baca), sehingga sering juga disebut “kitab gundul”. Istilah “kitab kuning” muncul karena umumnya kitab ini dicetak dengan kertas kualitas rendah berwarna kekuning-kuningan dan kadang lembarannya lepas karena tidak dijilid.
Tradisi ini lahir karena NU muncul sebagai representasi santri-santri pesantren yang sistem pengajaran beserta rujukan perspektif keagamaannya berasal dari kitab-kitab kuning. Pada akhirnya, keberadaan kitab kuning di pesantren bersinergi dengan sejarah inteletual dan kecakapan literasi jamaah Nahdliyin.
Masalahnya, dalam Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail (Zahro, 2004: 31), kitab kuning juga memiliki kekurangan. Seperti kurang mengikuti perkembangan ilmu fikih modern, yang artinya rata-rata sebagian pesantren cenderung berpatokan pada kitab hasil pemikiran ulama terdahulu, yang bisa saja kurang relevan dengan perkembangan zaman.
Sehingga kadang diperlukan cara-cara lain untuk menyikapi situasi, kondisi atau konteks tertentu yang mendesak. Arena seperti bahtsul masail adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kekurangan ini.
Kedua, dengan metode sorogan (guru/kiai mengajari seorang santri saja) maupun bandongan (guru/kiai mengajari banyak santri sekaligus membutuhkan waktu yang sangat lama karena santri harus memahami nahwu-shorof (ilmu linguistik bahasa Arab)-nya terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan pemahaman isi kitab kadang cukup lambat dipahami. Akan tetapi, aspek ini pada akhirnya membuat santri paham betul akan gramatikal sebuah hukum dalam Islam beserta penggunaannya dalam menghukumi sebuah perkara.
Tradisi kitab kuning inilah yang kemudian menjadi dasar dari bahtsul masail. Sebab, seperti pendekar-pendekar dalam dunia persilatan yang dikumpulkan dalam satu padepokan untuk mencari ilmu silat paling sakti, para santri akan mengkaji sebuah perkara dengan pendekatan-pendakatan dengan kajian kitab kuning untuk mencari kebenaran yang hakiki.
Duel ilmu pun akan terjadi antara satu santri dengan santri yang lain. Kadang berlangsung alot, sekalipun tidak jarang berlangsung jenaka. Artinya, bahtsul masail bukanlah arena perdebatan. Bukan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Semua peserta dipersilakan untuk menguji suatu perkara atau hukum dengan bekal pemahaman kitab-kitab kuning yang telah ditempa selama bertahun-tahun.
Salah satu alasan yang dikemukakan pada hasil dari bahtsul masail GP Ansor adalah dasar konstitusi negara. Dinyatakan bahwa setiap pemimpin tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut boleh dipilih.
“Seorang warga negara, dalam ranah pribadi, dapat memilih atau tidak memilih non-muslim sebagai pemimpin format pemerintahan,” jelas KH. Najib Bukhori di Kantor Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
“Terpilihnya non-muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-muslim terpilih sebagai kepala daerah,” jelas Kiai Najib.
Selain atas dasar konstitusi negara, keputusan ini juga bisa digunakan untuk meredakan ketegangan akibat isu pilkada DKI. Ketegangan yang punya peluang untuk saling membuat Islam saling berseteru. Seperti yang terjadi dengan munculnya beberapa spanduk yang menolak melakukan salat jenazah bagi umat muslim yang memilih pemimpin non-muslim beberapa waktu lalu.
Yaqut Cholil Qoumas menyayangkan semakin masifnya bentuk intoleransi ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. “Kalau orang disuruh meninggalkan kewajiban ini dosa siapa? Kan tidak boleh begitu,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor ini, yang juga merupakan putra K.H. Cholil Bisri ini.
Yaqut Cholil tidak hanya berpendapat, tapi bahkan mencoba menjadi bagian solusi. "Kalau ada warga Muslim yang meninggal dan tidak diurus jenazahnya karena perbedaan politik, saya perintahkan kepada sahabat-sahabat Ansor untuk merawat jenazah itu. Baik untuk menyalatkan, mengafani, menguburkan, bahkan menahlilkan selama 40 hari," ujarnya (baca juga: Pendapat Muhammadiyah dan GP Ansor Soal Spanduk Penolakan Salat Jenazah).
Hasil ini seolah melegitimasi apa yang disampaikan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi Ahmad. Ia mengatakan bahwa kendati MUI dan Muhamadiyah sudah jelas mengatakan memilih pemimpin kafir tidak boleh, namun NU punya fatwa yang membolehkan.
“NU membolehkan memilih pemimpin non muslim dalam tiga keadaan. Pertama, tidak ada muslim yang mampu menjadi pemimpin. Kedua, pemimpin muslim yang ada dianggap berpeluang berkhianat. Ketiga, non muslim tersebut tidak berbahaya bagi umat Islam,” katanya dalam diskusi bertema "PKB: Ahok atau Anies", di Tebet, Jakarta Selatan, pada Februari lalu.
Rumidi merujuk pada hasil muktamar NU di Pesantren Lirboyo, Jawa Timur pada tahun 1999. Di mana diperbolehkan memilih pemimpin non-muslim jika, pertama, memang tidak ada orang Islam yang mampu memimpin. Kedua, ada calon pemimpin yang beragama Islam, tapi karena dikhawatirkan berkhianat, maka diperbolehkan memilih alternatif non-muslim. Ketiga, jika pemimpin non-muslim dianggap tidak menjadi ancaman bagi umat Islam. Keempat, jika merujuk pada ayat yang mengharamkan asbabul nuzul-nya dianggap pada situasi peperangan, maka menjadi kurang relevan karena situasi saat ini sedang damai.
Perlu diketahui, pada era Muktamar NU 1999 berlangsung, situasi sedang pada masa Pemilu pertama era reformasi. Pemilu yang kemudian menghasilkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dengan Megawati sebagai Wakil Presiden memunculkan penolakan karena sosok Megawati yang dianggap tidak layak menjadi pemimpin karena perempuan. Hal yang kemudian segera direspons NU dengan pembahasan mengenai respons Islam terhadap sistem demokrasi.
Saat itu pembahasan mukmatar lebih menyoroti tentang bagaimana sikap Islam terhadap agenda yang lebih luas: sistem demokrasi. Dengan membahas demokrasi, maka risiko-risiko di dalamnya yang membuat perempuan atau seorang non-muslim menjadi pemimpin punya peluang bisa dikaji secara luas dengan cukup mendalam.
Beberapa dasar yang digunakan ulama pada waktu itu, seperti yang dikutip dari Studi Analisis Keputusan Muktamar XXX Nahdhlatul Ulama Tentang Respons Islam Terhadap Demokrasi (Taufiqurrohman, 2009: 55[t6] ), bahwa aturan dalam pemerintahan harus lebih didasarkan pada empat dasar.
Pertama, Al-Syura (musyawarah). Bahwa pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang punya kepentingan lebih diutamakan daripada memaksakan kehendak. Kedua, Al-Musawa (kesetaraan) merupakan kesamaan derajat. Di mana setiap warga negara punya hak yang sama untuk menjadi pemimpin.
Ketiga, Al-‘Adalah (keadilan) bahwa suatu keputusan baik secara hukum atau menjadikan seseorang menjadi pemimpin harus dilakukan dengan proses yang adil. Sebab dengan proses yang adil, diharapkan akan terpilih pemimpin yang adil pula. Keempat, Al-Hurriyah (kebebasan), yang menjadikan setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat. Sepanjang dilakukan dengan cara yang baik dan dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar.
Dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Van Bruinessen, 1999: 213), NU mengorganisir bahtsul masail pada tingkat cabang dan wilayah. Fatwa yang paling tinggi adalah yang keluar dari Muktamar Nasional Alim Ulama. Di mana fatwa-fatwa dari muktamar sebelumnya dikumpulkan dan diterbitkan menjadi satu untuk dijadikan sebagai rujukan.
Artinya, validitas dan reabilitas hasil Muktamar NU pada 1999 tersebut bisa dipertanggungjawabkan karena punya kedudukan paling tinggi. Itulah yang kemudian membuat kiai atau tokoh umat Islam tida ada yang berani membantah hasil keputusan Muktamar NU. Yang muncul kemudian adalah perbedaan tafsir akan hasil muktamar.
Paling tidak ada dua tafsir dari hasil muktamar NU tersebut. Pertama, seperti yang disampaikan KH. Salafudin Wahid (Gus Solah). Gus Solah menganggap bahwa premis umat muslim dilarang memilih pemimpin non-muslim harus diutamakan, baru kemudian ada ketentuan yang menyebabkan terjadi pengecualian jika keadaan dalam kondisi darurat. Tafsir kedua, premis yang diutamakan adalah umat muslim diperbolehkan memilih pemimpin non-muslim, dan ketentuan jika belum ada pemimpin muslim yang lebih baik berada sebagai kelengkapan syarat berikutnya.
Perbedaan tafsir akan hasil bahtsul masail sangat lumrah terjadi. Sebab sekalipun hasil yang keluar punya dasar kuat, sifat bahtsul masail tidaklah mengikat karena jamaah Nahdliyin sangat cair dan punya kecenderungan terhadap patron mereka masing-masing. Patron yang merujuk pada tokoh atau kiai. Artinya, jamaah Nahdliyin akan lebih mengikuti fatwa patron mereka daripada fatwa yang keluar dari GP Ansor maupun dari PBNU.
Bahtsul Masail pemuda NU Jawa, Madura, dan Bali. FOTO/Istimewa
0 Shares
Reporter: Ahmad Khadafi
14 Maret, 2017
dibaca normal 4 menit
- NU punya riwayat dalam membolehkan atau membebaskan jamaah Nahdliyin pada pilihan politiknya
- Bahtsul masail bukanlah arena perdebatan. Bukan untuk saling menjatuhkan satu sama lain.
Alasan dan konteks mengapa GP Ansor mebolehkan memilih pemimpin non-muslim.
tirto.id - Lajnah bahtsul masail dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang mengeluarkan keputusan bahwa seorang muslim tidak diharamkan untuk memilih pemimpin non-muslim (12/3) bukan hal mengejutkan. Selain karena Nahdlatul Ulama (NU) secara terbuka tidak condong pada salah satu pilihan politik, NU juga punya riwayat panjang dalam membolehkan atau membebaskan jamaah Nahdliyin pada pilihannya, terutama dalam memilih pemimpinnya jelang Pemilu atau Pilkada.
Pembahasan pada bahtsul masail adalah salah satu tradisi intelektual NU yang mengakomodasi ilmu-ilmu keislaman dalam kitab kuning yang ditulis dengan huruf Arab tanpa harakat (tanda baca), sehingga sering juga disebut “kitab gundul”. Istilah “kitab kuning” muncul karena umumnya kitab ini dicetak dengan kertas kualitas rendah berwarna kekuning-kuningan dan kadang lembarannya lepas karena tidak dijilid.
Tradisi ini lahir karena NU muncul sebagai representasi santri-santri pesantren yang sistem pengajaran beserta rujukan perspektif keagamaannya berasal dari kitab-kitab kuning. Pada akhirnya, keberadaan kitab kuning di pesantren bersinergi dengan sejarah inteletual dan kecakapan literasi jamaah Nahdliyin.
Masalahnya, dalam Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail (Zahro, 2004: 31), kitab kuning juga memiliki kekurangan. Seperti kurang mengikuti perkembangan ilmu fikih modern, yang artinya rata-rata sebagian pesantren cenderung berpatokan pada kitab hasil pemikiran ulama terdahulu, yang bisa saja kurang relevan dengan perkembangan zaman.
Sehingga kadang diperlukan cara-cara lain untuk menyikapi situasi, kondisi atau konteks tertentu yang mendesak. Arena seperti bahtsul masail adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kekurangan ini.
Kedua, dengan metode sorogan (guru/kiai mengajari seorang santri saja) maupun bandongan (guru/kiai mengajari banyak santri sekaligus membutuhkan waktu yang sangat lama karena santri harus memahami nahwu-shorof (ilmu linguistik bahasa Arab)-nya terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan pemahaman isi kitab kadang cukup lambat dipahami. Akan tetapi, aspek ini pada akhirnya membuat santri paham betul akan gramatikal sebuah hukum dalam Islam beserta penggunaannya dalam menghukumi sebuah perkara.
Tradisi kitab kuning inilah yang kemudian menjadi dasar dari bahtsul masail. Sebab, seperti pendekar-pendekar dalam dunia persilatan yang dikumpulkan dalam satu padepokan untuk mencari ilmu silat paling sakti, para santri akan mengkaji sebuah perkara dengan pendekatan-pendakatan dengan kajian kitab kuning untuk mencari kebenaran yang hakiki.
Duel ilmu pun akan terjadi antara satu santri dengan santri yang lain. Kadang berlangsung alot, sekalipun tidak jarang berlangsung jenaka. Artinya, bahtsul masail bukanlah arena perdebatan. Bukan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Semua peserta dipersilakan untuk menguji suatu perkara atau hukum dengan bekal pemahaman kitab-kitab kuning yang telah ditempa selama bertahun-tahun.
Untuk lebih memahami apa itu bahtsu masail, baca artikel kami yang lebih lengkap: Cara NU Menyikapi Perbedaan dengan Bahtsul Masail.
Salah satu alasan yang dikemukakan pada hasil dari bahtsul masail GP Ansor adalah dasar konstitusi negara. Dinyatakan bahwa setiap pemimpin tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut boleh dipilih.
“Seorang warga negara, dalam ranah pribadi, dapat memilih atau tidak memilih non-muslim sebagai pemimpin format pemerintahan,” jelas KH. Najib Bukhori di Kantor Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.
“Terpilihnya non-muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-muslim terpilih sebagai kepala daerah,” jelas Kiai Najib.
Selain atas dasar konstitusi negara, keputusan ini juga bisa digunakan untuk meredakan ketegangan akibat isu pilkada DKI. Ketegangan yang punya peluang untuk saling membuat Islam saling berseteru. Seperti yang terjadi dengan munculnya beberapa spanduk yang menolak melakukan salat jenazah bagi umat muslim yang memilih pemimpin non-muslim beberapa waktu lalu.
Tirto melakukan penelusuran yang rinci dan detail mengenai isu penolakan salat jenazah kepada para pendukung Ahok. Baca:
Sengkarut Pilkada Pada Jenazah Nenek Hindun
Rohbaniah Tak Nyoblos Tapi Ditolak Disolati
Sebelum Menolak Menyalati Jenazah, Belahlah Dadanya
Yaqut Cholil Qoumas menyayangkan semakin masifnya bentuk intoleransi ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. “Kalau orang disuruh meninggalkan kewajiban ini dosa siapa? Kan tidak boleh begitu,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor ini, yang juga merupakan putra K.H. Cholil Bisri ini.
Yaqut Cholil tidak hanya berpendapat, tapi bahkan mencoba menjadi bagian solusi. "Kalau ada warga Muslim yang meninggal dan tidak diurus jenazahnya karena perbedaan politik, saya perintahkan kepada sahabat-sahabat Ansor untuk merawat jenazah itu. Baik untuk menyalatkan, mengafani, menguburkan, bahkan menahlilkan selama 40 hari," ujarnya (baca juga: Pendapat Muhammadiyah dan GP Ansor Soal Spanduk Penolakan Salat Jenazah).
Hasil ini seolah melegitimasi apa yang disampaikan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi Ahmad. Ia mengatakan bahwa kendati MUI dan Muhamadiyah sudah jelas mengatakan memilih pemimpin kafir tidak boleh, namun NU punya fatwa yang membolehkan.
“NU membolehkan memilih pemimpin non muslim dalam tiga keadaan. Pertama, tidak ada muslim yang mampu menjadi pemimpin. Kedua, pemimpin muslim yang ada dianggap berpeluang berkhianat. Ketiga, non muslim tersebut tidak berbahaya bagi umat Islam,” katanya dalam diskusi bertema "PKB: Ahok atau Anies", di Tebet, Jakarta Selatan, pada Februari lalu.
Rumidi merujuk pada hasil muktamar NU di Pesantren Lirboyo, Jawa Timur pada tahun 1999. Di mana diperbolehkan memilih pemimpin non-muslim jika, pertama, memang tidak ada orang Islam yang mampu memimpin. Kedua, ada calon pemimpin yang beragama Islam, tapi karena dikhawatirkan berkhianat, maka diperbolehkan memilih alternatif non-muslim. Ketiga, jika pemimpin non-muslim dianggap tidak menjadi ancaman bagi umat Islam. Keempat, jika merujuk pada ayat yang mengharamkan asbabul nuzul-nya dianggap pada situasi peperangan, maka menjadi kurang relevan karena situasi saat ini sedang damai.
Perlu diketahui, pada era Muktamar NU 1999 berlangsung, situasi sedang pada masa Pemilu pertama era reformasi. Pemilu yang kemudian menghasilkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dengan Megawati sebagai Wakil Presiden memunculkan penolakan karena sosok Megawati yang dianggap tidak layak menjadi pemimpin karena perempuan. Hal yang kemudian segera direspons NU dengan pembahasan mengenai respons Islam terhadap sistem demokrasi.
Saat itu pembahasan mukmatar lebih menyoroti tentang bagaimana sikap Islam terhadap agenda yang lebih luas: sistem demokrasi. Dengan membahas demokrasi, maka risiko-risiko di dalamnya yang membuat perempuan atau seorang non-muslim menjadi pemimpin punya peluang bisa dikaji secara luas dengan cukup mendalam.
Beberapa dasar yang digunakan ulama pada waktu itu, seperti yang dikutip dari Studi Analisis Keputusan Muktamar XXX Nahdhlatul Ulama Tentang Respons Islam Terhadap Demokrasi (Taufiqurrohman, 2009: 55[t6] ), bahwa aturan dalam pemerintahan harus lebih didasarkan pada empat dasar.
Pertama, Al-Syura (musyawarah). Bahwa pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang punya kepentingan lebih diutamakan daripada memaksakan kehendak. Kedua, Al-Musawa (kesetaraan) merupakan kesamaan derajat. Di mana setiap warga negara punya hak yang sama untuk menjadi pemimpin.
Ketiga, Al-‘Adalah (keadilan) bahwa suatu keputusan baik secara hukum atau menjadikan seseorang menjadi pemimpin harus dilakukan dengan proses yang adil. Sebab dengan proses yang adil, diharapkan akan terpilih pemimpin yang adil pula. Keempat, Al-Hurriyah (kebebasan), yang menjadikan setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat. Sepanjang dilakukan dengan cara yang baik dan dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar.
Dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Van Bruinessen, 1999: 213), NU mengorganisir bahtsul masail pada tingkat cabang dan wilayah. Fatwa yang paling tinggi adalah yang keluar dari Muktamar Nasional Alim Ulama. Di mana fatwa-fatwa dari muktamar sebelumnya dikumpulkan dan diterbitkan menjadi satu untuk dijadikan sebagai rujukan.
Artinya, validitas dan reabilitas hasil Muktamar NU pada 1999 tersebut bisa dipertanggungjawabkan karena punya kedudukan paling tinggi. Itulah yang kemudian membuat kiai atau tokoh umat Islam tida ada yang berani membantah hasil keputusan Muktamar NU. Yang muncul kemudian adalah perbedaan tafsir akan hasil muktamar.
Paling tidak ada dua tafsir dari hasil muktamar NU tersebut. Pertama, seperti yang disampaikan KH. Salafudin Wahid (Gus Solah). Gus Solah menganggap bahwa premis umat muslim dilarang memilih pemimpin non-muslim harus diutamakan, baru kemudian ada ketentuan yang menyebabkan terjadi pengecualian jika keadaan dalam kondisi darurat. Tafsir kedua, premis yang diutamakan adalah umat muslim diperbolehkan memilih pemimpin non-muslim, dan ketentuan jika belum ada pemimpin muslim yang lebih baik berada sebagai kelengkapan syarat berikutnya.
Perbedaan tafsir akan hasil bahtsul masail sangat lumrah terjadi. Sebab sekalipun hasil yang keluar punya dasar kuat, sifat bahtsul masail tidaklah mengikat karena jamaah Nahdliyin sangat cair dan punya kecenderungan terhadap patron mereka masing-masing. Patron yang merujuk pada tokoh atau kiai. Artinya, jamaah Nahdliyin akan lebih mengikuti fatwa patron mereka daripada fatwa yang keluar dari GP Ansor maupun dari PBNU.
Terakhir diubah oleh njlajahweb tanggal Fri Mar 16, 2018 8:11 am, total 1 kali diubah
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Re: Boleh memilih Pemimpin Non-Muslim
[size=48]Kiai muda NU: Muslim dibolehkan memilih pemimpin non-Muslim[/size]
"Terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah,” ujar KH Najib Bukhori.
Rappler.com
Published 8:05 AM, March 13, 2017
Updated 8:05 AM, March 13, 2017
PEMIMPIN. Nahdlatul Ulama (NU) mengatakan memilih pemimpin non Muslim dibolehkan. Foto oleh ANTARA
JAKARTA, Indonesia - Sekitar 100 kiai muda Nahdlatul Ulama (NU) melalui forum bahtsul masail atau forum diskusi keagamaan memutuskan bahwa seorang Muslim dibolehkan memilih pemimpin non-Muslim. Dengan begitu, maka jika pemimpin non Muslim itu terpilih maka amanah yang diberikan juga sah dan mengikat, baik secara konstitusi dan agama.
“Terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah,” ujar KH Najib Bukhori saat menyampaikan hasil bahtsul masail di kantor Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta pada Minggu, 12 Maret.
Pada akhir pekan lalu, kiai muda dari berbagai pondok pesantren se-Indonesia membahas mengenai kepemimpinan di forum Bahtsul Masail Kiai Muda yang digelar PP GP Ansor dengan tema “Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia”. Mereka berpendapat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berdasarkan konstitusi negara, setiap warga negara boleh memilih pemimpin tanpa melihat latar belakang agama yang dianutnya.
“Seorang warga negara, dalam ranah pribadi, dapat memilih atau tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin formal pemerintahan,” tutur Najib.
Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan hasil bahtsul masail itu akan disosialisasikan ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dia juga mengimbau umat Islam di Indonesia untuk meredakan ketegangan pada setiap kontestasi politik, karena hal tersebut berpotensi memecah-belah umat Islam, sebagaimana terjadi di Jakarta.
Apalagi, kata Yaqut, kecenderungan intoleransi sesama umat Islam semakin kasat mata dan tergambar dengan adanya spanduk di sejumlah masjid yang tidak menerima pengurusan keagamaan jenazah Muslim bagi pemilih dan pendukung pemimpin non-Muslim.
“Akibat kontestasi politik di Jakarta yang makin tidak terkontral dan cenderung ganas, bukan tidak mungkin dapat menyebar di daerah lain,” kata dia.
KH Abdul Ghofur Maemun Zubair sebagai perumus bahtsul masail menambahkan, pandangan sebagian kelompok untuk tidak menyalatkan jenazah lawan politik justru merupakan cerminan sikap yang tidak sesuai dengan ajaran Islam maupun nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia. - dengan laporan ANTARA/Rappler.com
https://www.rappler.com/indonesia/berita/164020-kiai-muda-nu-muslim-boleh-pilih-pemimpin-non-muslim
"Terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah,” ujar KH Najib Bukhori.
Rappler.com
Published 8:05 AM, March 13, 2017
Updated 8:05 AM, March 13, 2017
PEMIMPIN. Nahdlatul Ulama (NU) mengatakan memilih pemimpin non Muslim dibolehkan. Foto oleh ANTARA
JAKARTA, Indonesia - Sekitar 100 kiai muda Nahdlatul Ulama (NU) melalui forum bahtsul masail atau forum diskusi keagamaan memutuskan bahwa seorang Muslim dibolehkan memilih pemimpin non-Muslim. Dengan begitu, maka jika pemimpin non Muslim itu terpilih maka amanah yang diberikan juga sah dan mengikat, baik secara konstitusi dan agama.
“Terpilihnya non-Muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-Muslim terpilih sebagai kepala daerah,” ujar KH Najib Bukhori saat menyampaikan hasil bahtsul masail di kantor Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta pada Minggu, 12 Maret.
Pada akhir pekan lalu, kiai muda dari berbagai pondok pesantren se-Indonesia membahas mengenai kepemimpinan di forum Bahtsul Masail Kiai Muda yang digelar PP GP Ansor dengan tema “Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia”. Mereka berpendapat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berdasarkan konstitusi negara, setiap warga negara boleh memilih pemimpin tanpa melihat latar belakang agama yang dianutnya.
“Seorang warga negara, dalam ranah pribadi, dapat memilih atau tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin formal pemerintahan,” tutur Najib.
Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan hasil bahtsul masail itu akan disosialisasikan ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dia juga mengimbau umat Islam di Indonesia untuk meredakan ketegangan pada setiap kontestasi politik, karena hal tersebut berpotensi memecah-belah umat Islam, sebagaimana terjadi di Jakarta.
Apalagi, kata Yaqut, kecenderungan intoleransi sesama umat Islam semakin kasat mata dan tergambar dengan adanya spanduk di sejumlah masjid yang tidak menerima pengurusan keagamaan jenazah Muslim bagi pemilih dan pendukung pemimpin non-Muslim.
“Akibat kontestasi politik di Jakarta yang makin tidak terkontral dan cenderung ganas, bukan tidak mungkin dapat menyebar di daerah lain,” kata dia.
KH Abdul Ghofur Maemun Zubair sebagai perumus bahtsul masail menambahkan, pandangan sebagian kelompok untuk tidak menyalatkan jenazah lawan politik justru merupakan cerminan sikap yang tidak sesuai dengan ajaran Islam maupun nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia. - dengan laporan ANTARA/Rappler.com
https://www.rappler.com/indonesia/berita/164020-kiai-muda-nu-muslim-boleh-pilih-pemimpin-non-muslim
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Re: Boleh memilih Pemimpin Non-Muslim
JAWABAN TERHADAP PARA PENGGUGAT “NON MUSLIM JADI PEMIMPIN”
JAWABAN TERHADAP SDR. SAHID JAYA
Assalamu Alaikum War./ Wab.
Mohon maaf , berhubung suatu kesibukan, baru sempat baca tuntas sanggahan Pak Sahid. Terimakasih atas responnya. Dan berikut ini kami akan jawab sesuai apa yang saya ketahui,
1).Hal pertama yg harus diketahui ialah bahwa Ngaji Al-Qur’an secara benar saja tidak cukup, tanpa disertai Pengkajian tentang seluk-beluk hukum Islam. Bahwa pada prisnsipnya hukum Islam itu luwes, tidak kaku, selalu memberi alternatif. Luwesnya hukum Islam bermain antara dua sisi hukum, yakni HUKUM AZIMAH, yaitu hukum dasar yg berlaku menurut asumsi umum; dan HUKUM RUKHSHAH, yakni hukum yang timbul sebagai kemudahan akibat adanya sebab-sebab tertentu. Misalnya : Bagaimana hukum makan dan minum di siang hari Ramadhan?. Bagi mereka yang melihat dari sisi hukum azimah pastilah jawabannya mengatakan: HARAM, karerna Al-Qur’an mewajibkan puasa Ramadhan. Tetapi bagi yang melihat dari sisi RUKHSHAH akan menjawab HALAL bagi org yang skit, atau musafir, atau umurnya sudah sangat lanjut (udzur)
2). Untuk dapat melihat batas-batas Hukum Azimah dan Hukum Rukhshah, agar pemahaman dalil tidak kaku, maka minimal kita harus mengetahui metode memahami dilalah (arti yg ditunjuk) ayat, dilengkapi dengan pengetahuan sejarah dan ilmu bantu sesuai konteks penerapan ayat. Untuk itu, saya tidak menggurui, tapi untuk memahami dalil-dalil syariat, minimal ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni teks (nash ayat/hadits), makna (illat, hikmah, sebab, syarat dan mani, yang berkenaan dengan ayat/hadits) dan ketiga ialah konteks penerapan dalil (tathbiq atau tanfidz).
3)Berikut ini saya akan tunjukkan dan jelaskan ayat-ayat yang Pak Sahid Jaya kemukakan itu dengan metode seperti yang saya sebutkan. Pada komentar 1 dan 7, Pak Sahid mengemukakan ayat-ayat ini:
TQS. 3. Aali ‘Imraan : 28. “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”
TQS. 4. An-Nisaa’ : 144. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”
TQS. 4. An-Nisaa’ : 138-139. “Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
Mohon pembaca perhatikan secara cermat teks (terjemahan) semua ayat tsb. di atas. Pada tiap ayat pasti kita menemukan kalimat “DENGAN MENINGGALKAN ORANG-ORANG MUKMIN” (من دون المؤمنين) pada tiga ayat tsb. Dalam ilmu tafsir dan ushul fikih, kalimat itu disebut “illat” atau (sebab yang jadi syarat kualifikasi) dilarangnya memilih pemimpin non Muslim, yaitu, jika kita MENINGGALKAN ORANG2 MUKMIN”. Tapi kalau kita memilih non Muslim tanpa meninggalkan org Mukmin, karena salah satu dari mereka, pemimpin utamanya sendiri atau wakilnya adalah Muslim, maka itu HALAL, karena di dalamnya tetap ada orang Mukmin, sehingga kita tidak disebut MENINGGALKAN ORANG MUKMIN. Sekali lagi Halal karena tidak termasuk dalam kategori “MENINGGALKAN ORANG MUKMIN”
4).Dilalah (pengertian) dari kata Waliy, (jamak: auliya’) yang dipahami di zaman Nabi dan Sahabat sudah sangat berbeda dengan pengertian Pemimpin dalam dunia moderen sekarang. Karena itu kita perlu mengetahui sejarah perubahan arti / maknanya, agar tidak kaku dalam penerapan (tanfidz) ayat. Di zaman Nabi dan sahabat pemimpin itu (Kaisar dan Raja atau Khalifah) adalah berkuasa absolut (mutlak) tanpa dikontrol, semua kekuasaan ada di tangannya, tanpa wakil; pokoknya yang berkuasa hanya dirinya. Di zaman moderen, pemimpin sudah bersifat kolektif, berdasarkan teori Trias Politika, kekuasaan terbagi menjadi tiga (pemerintah /eksekutif, Parlemen/Legislatif, Kehakiman/Yudikatif). Jadi tida kada lagi Pemimpin berkuasa mutlak seperti masa Nabi dan sahabat, karena sekarang dikontrol oleh kekuasaan lain, yakni MPR/DPR dan Kehakiman (MA dan Kejaksaan Agung). Jadi tidak perlu khawatir, jika suatu saat ada pemerintah (ada wakil Gubernur non Muslim), karena tetap dikontrol oleh Presiden dan Gubernur di atasnya, DPRD, Pengadilan, Kejaksaan dan KPK, yang semuanya adalah bahagian dari Pemimpin kolektif.
Jadi yang haram secara AZIMAH menurut dilalah “Waliy” yg ada di zaman Nabi, ialah jika seorang non Muslim dipilih jadi pemimpin yang memegang semua kekuasaan Presiden, MPR/DPR,/DPRD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, KPK, Kejaksaan, Panglima TNI semuanya dipegang oleh satu orang sendirian, yang berstatus non Muslim, atau semua dipegang (dibagi-bagi) oleh banyak orang yang semuanya non Muslim. Tetapi sepanjang di antara mereka Penguasa2 itu ada Muslim (bahkan lebih banyak muslimnya) walaupun ada di antaranya Non Muslim, demi kebersamaan dan persatuan bangsa, maka hukumnya TIDAK HARAM. Jadi untuk zaman sekarang, dalil itu perlu diterapkan sesuai konteks pengertiannya dan konteks zamannya yang sudah berubah dan berbeda dengan konteks zaman Nabi dan shabat. Kaedah hukum ushul fikih mengatakan: alhukmu yaduru ma’a al-llah, wujudan wa ‘adaman (Hukum berubah sesuai illah / sebab/konteksnya, ada atau tidak adanya konteks itu). Karena dilalah “Waliy” pemimpin yg berkuasa mutlak (absolut) memegang semua kekuasaan sendirian sudah tidak ada sekarang, maka hukum haramnya pun turut tidak ada (hilang).
5).Dilalah lafazh kafir juga perlu dipahami secara benar. Masih banyak ustadz kita tidak dapat membedakan antara kafir dan ahl kitab, sehingga semua non Muslim, termasuk ahli kitab dicapn semuanya kafir secara mutlak. Padahal ahlu kitab itu tidak mutlak (tdk semuanya) kafir. Yang kafir mutlak itu ialah mereka yang tidak percaya adanya Tuhan (Mulhid) atau percaya banyak Tuhan (musyrik). Telah terjadi perdebatan panjang di Twitter antara saya dgn sejumlah ustadz seperti itu. Kesimpulanya, alasan-alasan saya yang menunjukkan bhw tdak semua ahlu kitab (Kristen, Yahudi) itu kafir, tdk dapat dipatahkan oleh mereka. Kalau pembaca tdk sempat ikuti diskusi itu melalui twitter, silakan baca rangkuman disekusinya yang saya sdh muat di blog saya juga Islam Rahmah http://wp.me/p1n8EA-8E . Mereka memang menggebu-gebu “mengeroyok” saya, sampai mereka mengemukakan dalil pamungkasnya dengan mengutip Q.S.Al-Al-Ankabut ayat 47, padahal dalam ayat itu justru ada kalimat yg berbunyi : wa min haula’i man yu’min (di antara merekas ahl kitab itu ada yang berima). Dengan demikian non Muslim (Kristen) bisa saja dipilih,. Karena tidak termasuk dlm kategori “kafir/musyrik” dalam ayat-ayat larangan yang telah dikutip oleh Pak Sahid.
6)Adapun ayat-ayat yang langsung menyebut Yahudi dan Kristen (Nahsrani) yang dilarang dipilih pemimpin seperti ayat QS. 5. Al-Maa-idah : 51. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM.”
Larangan dalam ayat tersebut adalah sesuai konteks KEZALIMAN di zaman Nabi SAW, ditandai dengan adanya kata ZALIM di akhir ayat. Bhw pada masa itu kaum Yahudi dan Kristen bekerjasama dengan bangsa Romawi yang sedang menjajah (menzalimi) sebagian bangsa Arab, sehingga dilarang bekerjasama, berteman dan mengambil mereka pemimpin. Jadi ‘illat” nya ialah KEZALIMAN, dan itulah sebabnya ayat itu diakhiri dengan kata2 ZALIM.
Tetapi dalam konteks kedamaian, maka Rasulullah SAW menerima Yahudi dan Nasrani (Kristen), bekerjasama dengan mereka membangun negara Madinah, sama-sama menyusun Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dan salah satu pasal Piagam Madinah berbunyi: Kaum Yahudi (ahl Kitab) dan Muslim, bekerjasama dan bahu membahu dalam membela negeri Madinah, menghadapi musuh bersama, dan saling menasehati untuk kebajikan bukan unuk permusuhan dan dosa. Jadi dalam konteks kedamaian masyarakat (seperti halnya di Madinah zaman Nabi, dan di Indonesia zaman sekarang) ayat yang harus diterapkan ialah Q.S. Al-Mumtahanah: 8: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik bekerjasama) dan berlaku adil terhadap orang-orang (umat agama lain) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Di zaman Nabi, untuk warga Madinah yang damai, ayat yg mengandung permusuhan dengan Yahudi dan Nashrani tidak diterapkan. Bahkan sebaliknya, Nabi pernah menerima kaum Nashrani secara damai bertamu di Masjid Nabawi di Madinah dan mengizinkan mereka beribadah di dalamnya (lihat Tafsir Al-Qurthubiy, Juz IV hal. 4-5). Karena itulah semua ayat yang dikemukakan oleh Pak Sahjid Jaya yang bernuansa permusuhan abadi dg non Muslim, tidak diterapkan oleh Nabi SAW sendiri dalam masyarakat damai di Madinah. Terjemahan Ayat-ayat yang dikutip Pak Sahid itu ialah: QS. 5. Al-Maa-idah : 57, QS. 9. At-Taubah : 23, QS. 58. Al-Mujaadilah : 22, QS. 3. Aali ‘Imraan : 118, QS. 9. At-Taubah : 16, QS. 28. Al-Qashash : 86, QS. 60. Al-Mumtahanah : 13, QS. 3. Aali ‘Imraan : 149-150, QS. 4. An-Nisaa’ : 141, TQS. 5. Al-Maa-idah : 80-81, QS. 60. Al-Mumtahanah : 1, QS. 60. Al-Mumtahanah : 5. QS. 58. Al-Mujaadilah : 14-15. Bukan berarti ayat-ayat itu tidak berlaku, semuanya tetap berlaku sesuai konteksnya pada masa-masa terjadi kezaliman, permusuhan di zaman atau negeri lain. Tapi dalam negeri Madinah dizaman Nabi dan negeri Indonesia zaman sekarang, masyarakat berada dalam kedamaian dan kebersamaan.
Ketika Nabi membangun negara damai di Madinah, maka yang diterapkan ialah ayat-ayat tentang kedamaian dan kerjasama dengan kaum ahlu kitab (Yahudi dan Kristen). Sejaran Nabi seperti itu harus dipelajari oleh para ustadz kita, agar dalam proses tathbiq atau tanfidz (menerapkan) ayat, tidak salah menerapkannya.
Kini pun Indonesia adalah negara damai, Muslim berdamai dengan non Muslim, khususnya kaum Kristen, bukan negara perang, karena itu yang harus diterapkan ialah perdamaian dengan mencontoh Rasulullah SAW. Setahu saya, kaum minortas tanpa kecuali (khususnya Kristen) di Indonesia tidak ada yang sengaja menghina, melecehkan dan apalagi mau memusuhi umat Islam dan agama Islam, seperti yang diisyaratkan dalam ayat-ayat yang dikutip oleh Pak Sahid. Dengan demikian tak ada alasan untuk memusuhi mereka. Bahkan mungkin sebaliknya, telah terbukti ada-ada saja orang Islam yang menyegel, membakar bahkan mengebom gereja kaum Kristiani, tanpa alasan-alasan yang dibenarkan syariat. Seolah-olah orang-orang yang mengaku Muslim itu ingin menciptakan permusuhan abadi, padahal Rasulullah SAW datang dengan agama Islam yang bersifat al-Salam (sejahtera dan damai) sebagai wujud risalah beliau yang Rahmatan Lil-alamin.
Jadi kita tidak cukup sekadar hanya NGAJI literlek / lafazh ayat per-ayat saja, tetapi perlu MENGKAJI lebih jauh, dengan mempertimbangkan tiga hal, yakni dilalah ayat (nash) dan perubahan-perubahan kandungannya dari zaman ke zaman; kemudian makna nash (illat/sebab/hikmah) yang merupakan landasan rasional adanya hukum; dan tanfidz (konteks penerapan) nya, sehingga ayat-ayat Azimah bisa memberi peluang adanya Rukhshah (dispensasi), pada zaman dan tempat tertentu.
Demikian jawaban saya, Walahu A’lam bi al-Shawab
https://islam-rahmah.com/tag/pemimpin-non-muslim/
JAWABAN TERHADAP SDR. SAHID JAYA
Assalamu Alaikum War./ Wab.
Mohon maaf , berhubung suatu kesibukan, baru sempat baca tuntas sanggahan Pak Sahid. Terimakasih atas responnya. Dan berikut ini kami akan jawab sesuai apa yang saya ketahui,
1).Hal pertama yg harus diketahui ialah bahwa Ngaji Al-Qur’an secara benar saja tidak cukup, tanpa disertai Pengkajian tentang seluk-beluk hukum Islam. Bahwa pada prisnsipnya hukum Islam itu luwes, tidak kaku, selalu memberi alternatif. Luwesnya hukum Islam bermain antara dua sisi hukum, yakni HUKUM AZIMAH, yaitu hukum dasar yg berlaku menurut asumsi umum; dan HUKUM RUKHSHAH, yakni hukum yang timbul sebagai kemudahan akibat adanya sebab-sebab tertentu. Misalnya : Bagaimana hukum makan dan minum di siang hari Ramadhan?. Bagi mereka yang melihat dari sisi hukum azimah pastilah jawabannya mengatakan: HARAM, karerna Al-Qur’an mewajibkan puasa Ramadhan. Tetapi bagi yang melihat dari sisi RUKHSHAH akan menjawab HALAL bagi org yang skit, atau musafir, atau umurnya sudah sangat lanjut (udzur)
2). Untuk dapat melihat batas-batas Hukum Azimah dan Hukum Rukhshah, agar pemahaman dalil tidak kaku, maka minimal kita harus mengetahui metode memahami dilalah (arti yg ditunjuk) ayat, dilengkapi dengan pengetahuan sejarah dan ilmu bantu sesuai konteks penerapan ayat. Untuk itu, saya tidak menggurui, tapi untuk memahami dalil-dalil syariat, minimal ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni teks (nash ayat/hadits), makna (illat, hikmah, sebab, syarat dan mani, yang berkenaan dengan ayat/hadits) dan ketiga ialah konteks penerapan dalil (tathbiq atau tanfidz).
3)Berikut ini saya akan tunjukkan dan jelaskan ayat-ayat yang Pak Sahid Jaya kemukakan itu dengan metode seperti yang saya sebutkan. Pada komentar 1 dan 7, Pak Sahid mengemukakan ayat-ayat ini:
TQS. 3. Aali ‘Imraan : 28. “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”
TQS. 4. An-Nisaa’ : 144. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”
TQS. 4. An-Nisaa’ : 138-139. “Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
Mohon pembaca perhatikan secara cermat teks (terjemahan) semua ayat tsb. di atas. Pada tiap ayat pasti kita menemukan kalimat “DENGAN MENINGGALKAN ORANG-ORANG MUKMIN” (من دون المؤمنين) pada tiga ayat tsb. Dalam ilmu tafsir dan ushul fikih, kalimat itu disebut “illat” atau (sebab yang jadi syarat kualifikasi) dilarangnya memilih pemimpin non Muslim, yaitu, jika kita MENINGGALKAN ORANG2 MUKMIN”. Tapi kalau kita memilih non Muslim tanpa meninggalkan org Mukmin, karena salah satu dari mereka, pemimpin utamanya sendiri atau wakilnya adalah Muslim, maka itu HALAL, karena di dalamnya tetap ada orang Mukmin, sehingga kita tidak disebut MENINGGALKAN ORANG MUKMIN. Sekali lagi Halal karena tidak termasuk dalam kategori “MENINGGALKAN ORANG MUKMIN”
4).Dilalah (pengertian) dari kata Waliy, (jamak: auliya’) yang dipahami di zaman Nabi dan Sahabat sudah sangat berbeda dengan pengertian Pemimpin dalam dunia moderen sekarang. Karena itu kita perlu mengetahui sejarah perubahan arti / maknanya, agar tidak kaku dalam penerapan (tanfidz) ayat. Di zaman Nabi dan sahabat pemimpin itu (Kaisar dan Raja atau Khalifah) adalah berkuasa absolut (mutlak) tanpa dikontrol, semua kekuasaan ada di tangannya, tanpa wakil; pokoknya yang berkuasa hanya dirinya. Di zaman moderen, pemimpin sudah bersifat kolektif, berdasarkan teori Trias Politika, kekuasaan terbagi menjadi tiga (pemerintah /eksekutif, Parlemen/Legislatif, Kehakiman/Yudikatif). Jadi tida kada lagi Pemimpin berkuasa mutlak seperti masa Nabi dan sahabat, karena sekarang dikontrol oleh kekuasaan lain, yakni MPR/DPR dan Kehakiman (MA dan Kejaksaan Agung). Jadi tidak perlu khawatir, jika suatu saat ada pemerintah (ada wakil Gubernur non Muslim), karena tetap dikontrol oleh Presiden dan Gubernur di atasnya, DPRD, Pengadilan, Kejaksaan dan KPK, yang semuanya adalah bahagian dari Pemimpin kolektif.
Jadi yang haram secara AZIMAH menurut dilalah “Waliy” yg ada di zaman Nabi, ialah jika seorang non Muslim dipilih jadi pemimpin yang memegang semua kekuasaan Presiden, MPR/DPR,/DPRD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, KPK, Kejaksaan, Panglima TNI semuanya dipegang oleh satu orang sendirian, yang berstatus non Muslim, atau semua dipegang (dibagi-bagi) oleh banyak orang yang semuanya non Muslim. Tetapi sepanjang di antara mereka Penguasa2 itu ada Muslim (bahkan lebih banyak muslimnya) walaupun ada di antaranya Non Muslim, demi kebersamaan dan persatuan bangsa, maka hukumnya TIDAK HARAM. Jadi untuk zaman sekarang, dalil itu perlu diterapkan sesuai konteks pengertiannya dan konteks zamannya yang sudah berubah dan berbeda dengan konteks zaman Nabi dan shabat. Kaedah hukum ushul fikih mengatakan: alhukmu yaduru ma’a al-llah, wujudan wa ‘adaman (Hukum berubah sesuai illah / sebab/konteksnya, ada atau tidak adanya konteks itu). Karena dilalah “Waliy” pemimpin yg berkuasa mutlak (absolut) memegang semua kekuasaan sendirian sudah tidak ada sekarang, maka hukum haramnya pun turut tidak ada (hilang).
5).Dilalah lafazh kafir juga perlu dipahami secara benar. Masih banyak ustadz kita tidak dapat membedakan antara kafir dan ahl kitab, sehingga semua non Muslim, termasuk ahli kitab dicapn semuanya kafir secara mutlak. Padahal ahlu kitab itu tidak mutlak (tdk semuanya) kafir. Yang kafir mutlak itu ialah mereka yang tidak percaya adanya Tuhan (Mulhid) atau percaya banyak Tuhan (musyrik). Telah terjadi perdebatan panjang di Twitter antara saya dgn sejumlah ustadz seperti itu. Kesimpulanya, alasan-alasan saya yang menunjukkan bhw tdak semua ahlu kitab (Kristen, Yahudi) itu kafir, tdk dapat dipatahkan oleh mereka. Kalau pembaca tdk sempat ikuti diskusi itu melalui twitter, silakan baca rangkuman disekusinya yang saya sdh muat di blog saya juga Islam Rahmah http://wp.me/p1n8EA-8E . Mereka memang menggebu-gebu “mengeroyok” saya, sampai mereka mengemukakan dalil pamungkasnya dengan mengutip Q.S.Al-Al-Ankabut ayat 47, padahal dalam ayat itu justru ada kalimat yg berbunyi : wa min haula’i man yu’min (di antara merekas ahl kitab itu ada yang berima). Dengan demikian non Muslim (Kristen) bisa saja dipilih,. Karena tidak termasuk dlm kategori “kafir/musyrik” dalam ayat-ayat larangan yang telah dikutip oleh Pak Sahid.
6)Adapun ayat-ayat yang langsung menyebut Yahudi dan Kristen (Nahsrani) yang dilarang dipilih pemimpin seperti ayat QS. 5. Al-Maa-idah : 51. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM.”
Larangan dalam ayat tersebut adalah sesuai konteks KEZALIMAN di zaman Nabi SAW, ditandai dengan adanya kata ZALIM di akhir ayat. Bhw pada masa itu kaum Yahudi dan Kristen bekerjasama dengan bangsa Romawi yang sedang menjajah (menzalimi) sebagian bangsa Arab, sehingga dilarang bekerjasama, berteman dan mengambil mereka pemimpin. Jadi ‘illat” nya ialah KEZALIMAN, dan itulah sebabnya ayat itu diakhiri dengan kata2 ZALIM.
Tetapi dalam konteks kedamaian, maka Rasulullah SAW menerima Yahudi dan Nasrani (Kristen), bekerjasama dengan mereka membangun negara Madinah, sama-sama menyusun Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dan salah satu pasal Piagam Madinah berbunyi: Kaum Yahudi (ahl Kitab) dan Muslim, bekerjasama dan bahu membahu dalam membela negeri Madinah, menghadapi musuh bersama, dan saling menasehati untuk kebajikan bukan unuk permusuhan dan dosa. Jadi dalam konteks kedamaian masyarakat (seperti halnya di Madinah zaman Nabi, dan di Indonesia zaman sekarang) ayat yang harus diterapkan ialah Q.S. Al-Mumtahanah: 8: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik bekerjasama) dan berlaku adil terhadap orang-orang (umat agama lain) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Di zaman Nabi, untuk warga Madinah yang damai, ayat yg mengandung permusuhan dengan Yahudi dan Nashrani tidak diterapkan. Bahkan sebaliknya, Nabi pernah menerima kaum Nashrani secara damai bertamu di Masjid Nabawi di Madinah dan mengizinkan mereka beribadah di dalamnya (lihat Tafsir Al-Qurthubiy, Juz IV hal. 4-5). Karena itulah semua ayat yang dikemukakan oleh Pak Sahjid Jaya yang bernuansa permusuhan abadi dg non Muslim, tidak diterapkan oleh Nabi SAW sendiri dalam masyarakat damai di Madinah. Terjemahan Ayat-ayat yang dikutip Pak Sahid itu ialah: QS. 5. Al-Maa-idah : 57, QS. 9. At-Taubah : 23, QS. 58. Al-Mujaadilah : 22, QS. 3. Aali ‘Imraan : 118, QS. 9. At-Taubah : 16, QS. 28. Al-Qashash : 86, QS. 60. Al-Mumtahanah : 13, QS. 3. Aali ‘Imraan : 149-150, QS. 4. An-Nisaa’ : 141, TQS. 5. Al-Maa-idah : 80-81, QS. 60. Al-Mumtahanah : 1, QS. 60. Al-Mumtahanah : 5. QS. 58. Al-Mujaadilah : 14-15. Bukan berarti ayat-ayat itu tidak berlaku, semuanya tetap berlaku sesuai konteksnya pada masa-masa terjadi kezaliman, permusuhan di zaman atau negeri lain. Tapi dalam negeri Madinah dizaman Nabi dan negeri Indonesia zaman sekarang, masyarakat berada dalam kedamaian dan kebersamaan.
Ketika Nabi membangun negara damai di Madinah, maka yang diterapkan ialah ayat-ayat tentang kedamaian dan kerjasama dengan kaum ahlu kitab (Yahudi dan Kristen). Sejaran Nabi seperti itu harus dipelajari oleh para ustadz kita, agar dalam proses tathbiq atau tanfidz (menerapkan) ayat, tidak salah menerapkannya.
Kini pun Indonesia adalah negara damai, Muslim berdamai dengan non Muslim, khususnya kaum Kristen, bukan negara perang, karena itu yang harus diterapkan ialah perdamaian dengan mencontoh Rasulullah SAW. Setahu saya, kaum minortas tanpa kecuali (khususnya Kristen) di Indonesia tidak ada yang sengaja menghina, melecehkan dan apalagi mau memusuhi umat Islam dan agama Islam, seperti yang diisyaratkan dalam ayat-ayat yang dikutip oleh Pak Sahid. Dengan demikian tak ada alasan untuk memusuhi mereka. Bahkan mungkin sebaliknya, telah terbukti ada-ada saja orang Islam yang menyegel, membakar bahkan mengebom gereja kaum Kristiani, tanpa alasan-alasan yang dibenarkan syariat. Seolah-olah orang-orang yang mengaku Muslim itu ingin menciptakan permusuhan abadi, padahal Rasulullah SAW datang dengan agama Islam yang bersifat al-Salam (sejahtera dan damai) sebagai wujud risalah beliau yang Rahmatan Lil-alamin.
Jadi kita tidak cukup sekadar hanya NGAJI literlek / lafazh ayat per-ayat saja, tetapi perlu MENGKAJI lebih jauh, dengan mempertimbangkan tiga hal, yakni dilalah ayat (nash) dan perubahan-perubahan kandungannya dari zaman ke zaman; kemudian makna nash (illat/sebab/hikmah) yang merupakan landasan rasional adanya hukum; dan tanfidz (konteks penerapan) nya, sehingga ayat-ayat Azimah bisa memberi peluang adanya Rukhshah (dispensasi), pada zaman dan tempat tertentu.
Demikian jawaban saya, Walahu A’lam bi al-Shawab
https://islam-rahmah.com/tag/pemimpin-non-muslim/
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Re: Boleh memilih Pemimpin Non-Muslim
[size=50]Kiai Muda NU: Argumen Umat Islam Tidak Melarang Pilih Pemimpin Non-Muslim[/size]
Selasa, 14 Maret 2017 07:58 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gerakan Pemuda Ansor dalam forum kajian keagamaan menyimpulkan bahwa umat Islam boleh memilih pemimpin non-muslim.
Pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyyah 2 Terpadu, Yogjakarta, KH. Irwan Masduqi, pandangan tersebut sudah sejalan dengan prinsip memilih pemimpin dalam Islam.
"Prinsip memilih pemimpin dalam Islam adalah memilih calon yang memiliki kemampuan dan jujur, sehingga mampu mengemban amanah rakyat secara adil," kata KH. Irwan dalam keterangan yang diterima, Selasa (14/3/2017).
"Rasulullah SAW pernah memercayakan para sahabatnya untuk hijrah ke Ethiopia mencari suaka dari pemerintahan Raja Najasyi yang Kristen, tetapi adil. Intinya pemimpin harus adil," tambahnya.
Menurutnya, ada beberapa pihak yang sengaja mengutip ayat-ayat al-Quran untuk melarang memilih pemimpin Non-Muslim.
Tapi ayat-ayat tersebut umumnya turun dalam kondisi perang.
"Ayat-ayat al-Quran yang sering dikutip untuk melarang memilih Non-Muslim sebagai pemimpin sejatinya turun dalam konteks sejarah yang khusus pada zamannya, yakni ketika kaum Muslimin diperangi," katanya.
Namun, ia menambahkan, bahwa konteks Indonesia berbeda dengan konteks di masa lampau.
"Dari situlah para ahli tafsir berpendapat bahwa larangan mengangkat pemimpin Non-Muslim adalah ketika Non-Muslim tersebut nyata-nyata memerangi kaum Muslimin. Hal ini akan berbeda hukumnya ketika dalam kondisi damai, seperti di Indonesia. Jadi, di Indonesia tidak ada larangan untuk memilih pemimpin Non-Muslim," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kiai Muda NU: Argumen Umat Islam Tidak Melarang Pilih Pemimpin Non-Muslim, http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/14/kiai-muda-nu-argumen-umat-islam-tidak-melarang-pilih-pemimpin-non-muslim.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/14/kiai-muda-nu-argumen-umat-islam-tidak-melarang-pilih-pemimpin-non-muslim
Selasa, 14 Maret 2017 07:58 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gerakan Pemuda Ansor dalam forum kajian keagamaan menyimpulkan bahwa umat Islam boleh memilih pemimpin non-muslim.
Pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyyah 2 Terpadu, Yogjakarta, KH. Irwan Masduqi, pandangan tersebut sudah sejalan dengan prinsip memilih pemimpin dalam Islam.
"Prinsip memilih pemimpin dalam Islam adalah memilih calon yang memiliki kemampuan dan jujur, sehingga mampu mengemban amanah rakyat secara adil," kata KH. Irwan dalam keterangan yang diterima, Selasa (14/3/2017).
"Rasulullah SAW pernah memercayakan para sahabatnya untuk hijrah ke Ethiopia mencari suaka dari pemerintahan Raja Najasyi yang Kristen, tetapi adil. Intinya pemimpin harus adil," tambahnya.
Menurutnya, ada beberapa pihak yang sengaja mengutip ayat-ayat al-Quran untuk melarang memilih pemimpin Non-Muslim.
Tapi ayat-ayat tersebut umumnya turun dalam kondisi perang.
"Ayat-ayat al-Quran yang sering dikutip untuk melarang memilih Non-Muslim sebagai pemimpin sejatinya turun dalam konteks sejarah yang khusus pada zamannya, yakni ketika kaum Muslimin diperangi," katanya.
Namun, ia menambahkan, bahwa konteks Indonesia berbeda dengan konteks di masa lampau.
"Dari situlah para ahli tafsir berpendapat bahwa larangan mengangkat pemimpin Non-Muslim adalah ketika Non-Muslim tersebut nyata-nyata memerangi kaum Muslimin. Hal ini akan berbeda hukumnya ketika dalam kondisi damai, seperti di Indonesia. Jadi, di Indonesia tidak ada larangan untuk memilih pemimpin Non-Muslim," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kiai Muda NU: Argumen Umat Islam Tidak Melarang Pilih Pemimpin Non-Muslim, http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/14/kiai-muda-nu-argumen-umat-islam-tidak-melarang-pilih-pemimpin-non-muslim.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/14/kiai-muda-nu-argumen-umat-islam-tidak-melarang-pilih-pemimpin-non-muslim
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Re: Boleh memilih Pemimpin Non-Muslim
Assalamu’alaikum wr wb
Redaksi NU Online yang terhormat. Hampir setiap kali menjelang pemilihan, kerap beredar isu-isu miring yang melekat pada para calon pemimpin terutama isu-isu sensitif seperti liberal dari segi ekonomi, antek partai terlarang, rasial, atau keyakinan agama. Sedangkan sementara ini ada benar-benar orang non muslim yang menjadi pemimpin. Yang saya tanyakan, apakah kita sebagai seorang muslim boleh memilih pemimpin non muslim? Terima kasih atas keterangannya. (Abdurrahman/Jakarta)
Jawaban
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Penanya yang budiman. Semoga Allah merahmati kita semua. Pemimpin menempati posisi penting dalam Islam. Karena pemimpin memegang kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mulai dari kesehatan, transportasi, tata kelola sumber daya alam, kesejahteraan, dan pelbagai kebijakan publik lainnya.
Penanya yang budiman, ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.
Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).
Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.
Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).
Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.
Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.
Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak kearifan hukum Islam.
Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar menjelang pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.
“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman.”
Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari yang saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.
Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).
Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama.
Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami, kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.
Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim. Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track record mereka. Kami juga berharap kepada warga untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa penjelasan kami ditangkap dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
http://www.nu.or.id/post/read/81486/pemimpin-non-muslim-dalam-islam
Redaksi NU Online yang terhormat. Hampir setiap kali menjelang pemilihan, kerap beredar isu-isu miring yang melekat pada para calon pemimpin terutama isu-isu sensitif seperti liberal dari segi ekonomi, antek partai terlarang, rasial, atau keyakinan agama. Sedangkan sementara ini ada benar-benar orang non muslim yang menjadi pemimpin. Yang saya tanyakan, apakah kita sebagai seorang muslim boleh memilih pemimpin non muslim? Terima kasih atas keterangannya. (Abdurrahman/Jakarta)
Jawaban
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Penanya yang budiman. Semoga Allah merahmati kita semua. Pemimpin menempati posisi penting dalam Islam. Karena pemimpin memegang kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mulai dari kesehatan, transportasi, tata kelola sumber daya alam, kesejahteraan, dan pelbagai kebijakan publik lainnya.
Penanya yang budiman, ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.
وَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِي شَيْء من ولايات الْمُسلمين إِلَّا فِي جباية الْجِزْيَة من أهل الذِّمَّة أَو جباية مَا يُؤْخَذ من تِجَارَات الْمُشْركين. فَأَما مَا يجبى من الْمُسلمين من خراج أَو عشر أَو غير ذَلِك فَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِيهِ، وَلَا تَوْلِيَة شَيْء من أُمُور الْمُسلمين، قَالَ تَعَالَى: {وَلنْ يَجْعَل الله للْكَافِرِينَ على الْمُؤمنِينَ سَبِيلا} وَمن ولى ذِمِّيا على مُسلم فقد جعل لَهُ سَبِيلا عَلَيْهِ.
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.
Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).
Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.
ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).
Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.
Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.
Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak kearifan hukum Islam.
Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar menjelang pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman.”
Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari yang saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.
والمعنى لا تتخذوا أولياء ولا أصفياء من غير أهل ملتكم ثم بين سبحانه وتعالى علة النهي عن مباطنتهم فقال تعالى: لا يَأْلُونَكُمْ خَبالًا
Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).
Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama.
Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami, kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.
Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim. Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track record mereka. Kami juga berharap kepada warga untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa penjelasan kami ditangkap dengan baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
http://www.nu.or.id/post/read/81486/pemimpin-non-muslim-dalam-islam
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Re: Boleh memilih Pemimpin Non-Muslim
Moslemtoday.com : Mengejutkan, Penafsiran Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Kitab Tafsir Al-Mishbah tentang penjelasan Surat Al-Maidah ayat 51 mengisyaratkan bolehnya memilih pemimpin Non-Muslim. (Baca juga : Resmi, Inilah Pernyataan Sikap MUI Pusat Terkait Pernyataan Sdr. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Menurut Prof. Quraish Shihab, Surat Al-Maidah ayat 51 di atas tidaklah berdiri sendiri namun memiliki kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan ayat lain berimplikasi pada kesimpulan akhir. Padahal, Al-Maidah ayat 51 merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.
“Konsekuensi dari sikap orang yang memusuhi Al-Qur’an, enggan mengikuti tuntunannya…”
Pada ayat sebelumnya, Al-Qur’an diturunkan untuk meluruskan apa yang keliru dari kitab Taurat dan Injil akibat ulah kaum-kaum sebelumnya. Jika mereka – Yahudi dan Nasrani, enggan mengikuti tuntunan Al-Qu’ran, maka mereka berarti memberi ‘peluang’ pada Allah untuk menjatuhkan siksa terhadap mereka karena dosa-dosa yang mereka lakukan.
“Jadi, mereka dinilai enggan mengikuti tuntunan Tuhan tapi senang mengikuti tuntunan jahiliah,” katanya dalam pengajian Tafsir Al-Qur’an di salah satu stasiun TV swasta.
Baca juga :
- Inilah Jawaban Umar Bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu Tentang Penafsiran QS. Al-Maidah Ayat 51
- Prof.Din Syamsuddin : Pernyataan Ahok Penistaan terhadap Kitab Suci Al-Qur’an dan Agama Islam
- Pesan Terbuka Ustadz Arifin Ilham Buat Ahok, “Bapak Sudah Menghina Keyakinan Kami”
- Nasehat Emas DR. Muhammad Arifin Badri Buat Umat Islam Jakarta Terkait Penghinaan Terhadap Al-Quran Oleh Ahok
Lalu, dilanjutkan oleh ayat 51 surat Al-Maidah. Kalau memang seperti itu sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani – mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Qur’an, keinginannya mengikuti jahiliyah, – “Maka wahai orang-orang beriman janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagaiawliya.”
Bagi Quraish Shihab, hubungan ayat ini dan ayat sebelumnya sangat ketat. “Kalau begitu sifat-sifatnya, jangan jadikan mereka awliya. Nah, awliya itu apa?,” tanyanya memantik diskusi sebelum mengkaji lebih dalam.
‘Awliya’ ialah jamak atau bentuk plural dari ‘wali’. Di Indonesia, kata ini populer sehingga ada kata wali-kota, wali-nikah dst. Wali ialah, kata penulis Tafsir Al Misbah ini, pada mulanya berarti “yang dekat”. Karena itu,waliyullah juga bisa diartikan orang yang dekat dengan Allah.
“Wali kota itu berarti yang mestinya paling dekat dengan masyarakat. Orang yang paling cepat membantu Anda, ialah orang yang paling dekat membantu Anda. Nah, dari sini lantas dikatakan bahwa wali itu pemimpin atau penolong.”
Adapun wali dalam pernikahan – apalagi terhadap anak gadis – sebenarnya fungsinya melindungi anak gadis itu dari pria yang hanya ingin ‘iseng’ padanya. Seseorang yang dekat pada yang lain, berarti ia senang padanya. Karena itu, iblis jauh dari kebaikan karena ia tidak senang.
“Dari sini, kata ‘wali’ yang jamaknya ‘awliya’ memiliki makna bermacam-macam.”
Yang jelas, kata jebolan Al Azhar Mesir ini, kalau ia dalam konteks hubungan antar manusia, berarti persahabatan yang begitu kental. Sedemikan hingga tidak ada lagi rahasia di antara mereka. Demikian pula hubungan suami-istri yang dileburkan oleh cinta.
“Dalam ayat ini, jangan angkat mereka –Yahudi dan Nasrani- yang sifatnya seperti dikemukakan pada ayat sebelumnya menjadi wali atau orang dekatmu. Sehingga engkau membocorkan rahasia kepada mereka.”
Baca juga :
- (Video) Aa Gym : Ini adalah Perbuatan Melampaui Batas, Ahok Harus Memohon Maaf Secara Terbuka kepada Umat Islam
- Bukannya Minta Maaf, Ahok Akan Laporkan Balik Pihak Yang Melaporkannya ke Bareskrim
- Ustadz Felix Siauw : Mengimaninya Saja Tidak, Si Ahok Seolah Ingin Berlagak Lebih Tahu dari Para Mufassir
Dengan demikian, ‘awliya’ bukan sebatas bermakna pemimpin, kata Quraish Shihab. “Itu pun, sekali lagi, jika mereka enggan mengikuti tuntunan Allah dan hanya mau mengikuti tuntunan Jahiliyah seperti ayat yang lain.”
Contohnya, jika mereka juga menginginkan kemaslahatan untuk kita, boleh tidak kita bersahabat? Quraish Shihab kembali bertanya, jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir dan pilot kurang pandai yang Muslim, “pilih mana?” sontak jamaah yang hadir pun tertawa.
Atau, pilihan antara dokter kafir yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman. Dalam konteks seperti ini, bagi Quraish Shihab, tidak dilarang. Yang terlarang ialah melebur sehingga tidak ada lagi perbedaan termasuk dalam kepribadian dan keyakinan. Karena tidak ada lagi batas, kita menyampaikan hal-hal yang berupa rahasia pada mereka.
“Itu yang terlarang.”
Namun kalau pergaulan sehari-hari, dagang, membeli barang dari tokonya dsb, tidaklah dilarang. Selanjutnya ayat ini berbicara tentang sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Artinya, sebagian orang Yahudi bekerjasama dengan orang Nasrani yang walaupun keduanya beda agama namun kepentingannya sama, yaitu mencederai kalian. Oleh sebab itu, Al-Qur’an berpesan, “Siapa yang menjadikan mereka itu orang yang dekat, yaitu meleburkan kepribadiannya sebagai Muslim sehingga sama keadaannya (sifat-sifatnya) dengan mereka, oleh ayat ini diaggap sama dengan mereka.”
Terakhir, Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang zalim. Menurut Quraish Shihab, petunjuk ada dua macam; umum dan khusus. Petunjuk khusus itu, memberi tahu dan mengantar. Allah memberi tahu kepada semua manusia tentang ini baik dan itu buruk tapi tidak semua diantar oleh-Nya. Di sisi lain ada yang tidak sekedar diberitahu jalan baik, namun juga diantar jika orang itu menginginkan. Meski demikian, Allah tidak memberi petunjuk khusus mereka yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya.
http://www.moslemtoday.com/mengejutkan-tafsir-prof-dr-quraish-shihab-tentang-surat-al-maidah-ayat-51-isyaratkan-bolehnya-memilih-pemimpin-non-muslim/
njlajahweb- BANNED
-
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119
Similar topics
» Memilih Pemimpin Beriman
» Rois Syuriah PBNU: Muslim dan non muslim berhak jadi pemimpin
» Umat Islam tidak Boleh Pilih AHOK sebagai PEMIMPIN
» Pemimpin Kafir bagi Muslim
» Kemenangan Jokowi - Ahok = Bukti bahwa Muslim Memilih Logis
» Rois Syuriah PBNU: Muslim dan non muslim berhak jadi pemimpin
» Umat Islam tidak Boleh Pilih AHOK sebagai PEMIMPIN
» Pemimpin Kafir bagi Muslim
» Kemenangan Jokowi - Ahok = Bukti bahwa Muslim Memilih Logis
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik