badai-badai sekularisasi
Halaman 1 dari 1 • Share
badai-badai sekularisasi
Dunia, kata Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai ruhani dan agama. Dalam
istilah Cox, ini disebut disenchantment of nature, berasal dari terjemahan die
Entzauberung der Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog
Jerman. Dalam pandangannya, sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini
dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan
supernatural yang menjaga dunia ini.
Disebabkan kekuatan ghaib itulah,
maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan
sewenang-wenang. Padahal, pembebasan dunia ini dari nilai-nilai gaib itu menjadi
syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus
mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan
hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa
supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang.
Jadi, dengan
cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari
alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam
tabi'i (nyata) bukanlah suatu entitas suci (divine entity).
Bukan hanya
terhadap alam sebagai salah dimensi bagian dunia, sekularisasi juga aspek
kehidupan dunia lainnya terutama dalam politik. Konsep sekularisasi dalam
politik diistilahkan dengan Desacralization of politics, yang bermakna bahwa
politik tidaklah sakral. Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan
dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama terhadap institusi politik
harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan
sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah.
Segala macam
kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh
berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas
otoritas 'kuasa suci'. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular
menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan
politik).
Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik,
sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama
(deconsecration of values). Mereka akan menyatakan, bahwa kebenaran adalah
relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus
dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh
faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan
sistem nilainya ke atas orang lain.
Manusia sekular mempercayai bahwa
'wahyu langit' bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh
kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai,
terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi
meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai.
Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk
perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta
proaktif dalam proses evolusi.
Dengan konsep itu, manusia sekuler bisa
tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak
konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif.
Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat" dan bukan yang
dikonsepkan dalam al-Quran.
Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox,
mendapatkan sambutan hangat oleh para pemikir Kristen Barat pada tahun 60-an.
Robert N. Bellah, yang dipengaruhi gagasan Marxist, juga tidak terlepas dari
pemikiran Cox. Karyanya 'Beyond Belief' memiliki banyak kesejajaran dengan apa
yang telah diungkapkan Cox. Bellah juga melanjutkan gagasan sekularisasi dalam
bidang politik dengan gagasan 'civil religion'.
Konsep sekularisasi yang
dianut Bellah juga kepanjangan gagasan sekularisasi yang dikembangkan Cox.
Bellah menjustifikasi pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan
Problem-Problem Modernisasi.
Nurcholish Madjid dan
Sekularisasi
Nurcholish Madjid, pada tanggal 3 Januari 1970 mempopulerkan
gagasan sekularisasi dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan
Persami, di Menteng Raya 58, Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah
berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat".
Gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki
Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan
tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Setelah itu, berjubellah para
propagandis sekularisasi di Indonesia.
Gagasan sekularisasi Nurcholish
Madjid menunjukkan, bahwa gagasan tokoh pembaru di Indonesia itu mengadopsi
pemikiran Harvey Cox, Robert N. Bellah dan Talcott Parsons, yang mengelaborasi
gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Memang, gagasan Cox, Bellah dan
Parsons dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid dan dicarikan justifikasinya dalam
ajaran Islam. Namun, sayangnya, Nurcholish mengabaikan perbedaan prinsip antara
konsepsi dan sejarah Kristen dengan konsepsi dan sejarah Islam.
Menurut
Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna
suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia
berpendapat:
“Kata-kata ‘sekular’ dan ‘sekularisasi’ berasal dari bahasa
Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu,
sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini.
Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang
berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata
waktu, maka mundus adalah kata ruang".
Setelah mengungkap etimologi kata
sekular, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel
dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian
menjelaskan:
"Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah
sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam
dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata
"duniawi" itu diganti dengan kata "sekular", sehingga dikatakan, manusia adalah
makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan
juga secara
kenyataan."
Jadi, secara etimologis, kata Nurcholish,
tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia
adalah makhluk sekular. Ia menjelaskan lagi:
"Dalam permulaan
pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang
dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina.
Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran
Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam
yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang
berlaku umum di dunia Barat waktu itu."
Nurcholish, mengutip pendapat
Harvey Cox ketika membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Nurcholish
menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara "sekularisasi" dan
"sekularisme" semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara
rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi
tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode
guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan
pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode
itu.
Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu
proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah
terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme
adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu
diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.
Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat
Islam.
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari
justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan
sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung
negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa
manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini
dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam
dengan ajaran
Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis
kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi
besar-besaran pada diri seorang Animis.
Manusia ditunjuk sebagai khalifah
Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasio.
Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini.
Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi.
Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep "Hari Dunia"
dan "Hari Agama". Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur
hubungan antara manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah
hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang
kita jalani
ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur
perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish
melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga
menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-
Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran
duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut
norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/ spiritual keagamaan bukanlah hasil
kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah
duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai
bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang
erat.
Sebelum Nurcholish menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam
ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar
sekularisasi ada di dalam ajaran- ajaran Bible.* Adnin Armas
istilah Cox, ini disebut disenchantment of nature, berasal dari terjemahan die
Entzauberung der Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog
Jerman. Dalam pandangannya, sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini
dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan
supernatural yang menjaga dunia ini.
Disebabkan kekuatan ghaib itulah,
maka bagi tokoh-tokoh agama konservatif, dunia ini tidak boleh diperlakukan
sewenang-wenang. Padahal, pembebasan dunia ini dari nilai-nilai gaib itu menjadi
syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus
mengeksploitasi alam seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan
hidup agama apa pun. Jika dunia ini dianggap sebagai manifestasi dari kuasa
supernatural, maka sains tidak akan maju dan berkembang.
Jadi, dengan
cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari
alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam
tabi'i (nyata) bukanlah suatu entitas suci (divine entity).
Bukan hanya
terhadap alam sebagai salah dimensi bagian dunia, sekularisasi juga aspek
kehidupan dunia lainnya terutama dalam politik. Konsep sekularisasi dalam
politik diistilahkan dengan Desacralization of politics, yang bermakna bahwa
politik tidaklah sakral. Jadi, unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan
dari politik. Oleh sebab itu juga, peran ajaran agama terhadap institusi politik
harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan
sosial yang juga akan membenarkan munculnya proses sejarah.
Segala macam
kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh
berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas
otoritas 'kuasa suci'. (Dari gagasan ini bisa dipahami, jika kaum sekular
menolak mati-matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan
politik).
Sebagaimana halnya sekularisasi dalam dunia dan politik,
sekulariasi juga terjadi dalam kehidupan dengan penyingkiran nilai-nilai agama
(deconsecration of values). Mereka akan menyatakan, bahwa kebenaran adalah
relatif. Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus
dikosongkan dari nilai-nilai agama. Karena perspektif seseorang dipengaruhi oleh
faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan
sistem nilainya ke atas orang lain.
Manusia sekular mempercayai bahwa
'wahyu langit' bisa difahami karena terjadi dalam sejarah, yang dibentuk oleh
kondisi sosial dan politik tertentu. Jadi, sebenarnya, semua sistem nilai,
terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu dan tertentu. Sekularisasi
meletakkan tanggungjawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai.
Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk
perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta
proaktif dalam proses evolusi.
Dengan konsep itu, manusia sekuler bisa
tidak akan mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak
konsep-konsep Islam yang tetap (tsawabit), karena semuanya dianggap relatif.
Kebenaran bagi mereka adalah yang “berlaku di masyarakat" dan bukan yang
dikonsepkan dalam al-Quran.
Gagasan sekularisasi yang dipopulerkan Cox,
mendapatkan sambutan hangat oleh para pemikir Kristen Barat pada tahun 60-an.
Robert N. Bellah, yang dipengaruhi gagasan Marxist, juga tidak terlepas dari
pemikiran Cox. Karyanya 'Beyond Belief' memiliki banyak kesejajaran dengan apa
yang telah diungkapkan Cox. Bellah juga melanjutkan gagasan sekularisasi dalam
bidang politik dengan gagasan 'civil religion'.
Konsep sekularisasi yang
dianut Bellah juga kepanjangan gagasan sekularisasi yang dikembangkan Cox.
Bellah menjustifikasi pendapat Cox ketika mendiskusikan Tradisi Islam dan
Problem-Problem Modernisasi.
Nurcholish Madjid dan
Sekularisasi
Nurcholish Madjid, pada tanggal 3 Januari 1970 mempopulerkan
gagasan sekularisasi dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan
Persami, di Menteng Raya 58, Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah
berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat".
Gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki
Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan
tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Setelah itu, berjubellah para
propagandis sekularisasi di Indonesia.
Gagasan sekularisasi Nurcholish
Madjid menunjukkan, bahwa gagasan tokoh pembaru di Indonesia itu mengadopsi
pemikiran Harvey Cox, Robert N. Bellah dan Talcott Parsons, yang mengelaborasi
gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Memang, gagasan Cox, Bellah dan
Parsons dimodifikasi oleh Nurcholish Madjid dan dicarikan justifikasinya dalam
ajaran Islam. Namun, sayangnya, Nurcholish mengabaikan perbedaan prinsip antara
konsepsi dan sejarah Kristen dengan konsepsi dan sejarah Islam.
Menurut
Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna
suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia
berpendapat:
“Kata-kata ‘sekular’ dan ‘sekularisasi’ berasal dari bahasa
Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu,
sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini.
Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang
berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata
waktu, maka mundus adalah kata ruang".
Setelah mengungkap etimologi kata
sekular, Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang paralel
dalam bahasa Yunani kuno, Latin, dan bahasa Arab (al-Quran). Nurcholish kemudian
menjelaskan:
"Itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah
sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Maka, benar jika kita mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam
dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata
"duniawi" itu diganti dengan kata "sekular", sehingga dikatakan, manusia adalah
makhluk sekular. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan
juga secara
kenyataan."
Jadi, secara etimologis, kata Nurcholish,
tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang manusia
adalah makhluk sekular. Ia menjelaskan lagi:
"Dalam permulaan
pemakaiannya, istilah sekular memang lebih banyak menunjukkan pengertian tentang
dunia, yang secara tersirat tergambarkan sifat-sifatnya yang rendah dan hina.
Tetapi, lama kelamaan pengertian yang tidak adil itu, dalam dunia pemikiran
Barat, menjadi berkurang dan menghilang. Pengertian bahwa dunia ini adalah alam
yang rendah dan hina merupakan tanggungjawab filsafat-filsafat hidup yang
berlaku umum di dunia Barat waktu itu."
Nurcholish, mengutip pendapat
Harvey Cox ketika membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Nurcholish
menjelaskan tentang ini, dengan menyatakan, pembedaan antara "sekularisasi" dan
"sekularisme" semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara
rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi
tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode
guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan
pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode
itu.
Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu
proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah
terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme
adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu
diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.
Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat
Islam.
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari
justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Ia, misalnya, menyatakan, gagasan
sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung
negasi dan afirmasi. Menurut tafsirannya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa
manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini
dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam
dengan ajaran
Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis
kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi
besar-besaran pada diri seorang Animis.
Manusia ditunjuk sebagai khalifah
Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran, atau rasio.
Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini.
Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi.
Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.
Nurcholish melanjutkan argumentasinya, di dalam Islam ada konsep "Hari Dunia"
dan "Hari Agama". Hari agama ialah masa di mana hukum-hukum yang mengatur
hubungan antara manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku ialah
hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Pada Hari Dunia yang sekarang
kita jalani
ini, belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur
perikehidupan ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia.
Nurcholish
melanjutkan argumentasinya, bahwa kalimat Basmallah (Atas nama Tuhan), juga
menunjukkan bahwa manusia adalah Khalifah Tuhan di atas bumi. Selain itu, al-
Rahman menunjukkan sifat kasih Tuhan di dunia ini (menurut ukuran-ukuran
duniawi), sedangkan al-Rahim menunjukkan sifat Kasih itu di akhirat (menurut
norma-norma ukhrawi). Penghayatan nilai/ spiritual keagamaan bukanlah hasil
kegiatan yang serba rasionalistis. Demikian pula sebaliknya, masalah-masalah
duniawi tidak dapat didekati dengan metode spiritualistis. Keduanya mempunyai
bidang yang berbeda, meskipun antara iman dan ilmu itu terdapat pertalian yang
erat.
Sebelum Nurcholish menjustifikasi bahwa akar sekularisasi ada dalam
ajaran Islam, Harvey Cox sebelumnya juga sudah berpendapat bahwa akar
sekularisasi ada di dalam ajaran- ajaran Bible.* Adnin Armas
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Similar topics
» Cinta Ditengah Badai
» Arab Saudi - Era Baru di Tengah Badai Ekonom
» Mengatasi Badai Hidup Kotbah Yusak Cipto
» Lewati Badai dengan 4 Wajah - Kotbah Pdt Iin Cipto
» Pdt.Minarto Jonathan kotbah menghadapi badai masalah hidup
» Arab Saudi - Era Baru di Tengah Badai Ekonom
» Mengatasi Badai Hidup Kotbah Yusak Cipto
» Lewati Badai dengan 4 Wajah - Kotbah Pdt Iin Cipto
» Pdt.Minarto Jonathan kotbah menghadapi badai masalah hidup
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik