FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

administrasi pemerintahan islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

administrasi pemerintahan islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

administrasi pemerintahan islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

administrasi pemerintahan islam Empty administrasi pemerintahan islam

Post by paman tat Sat Jan 03, 2015 7:17 pm

Penanganan urusan negara serta kepentingan rakyat itu diatur oleh departemen, jawatan dan unit-unit yang didirikan untuk menjalankan urusan negara serta memenuhi kepentingan rakyat tersbeut. Di setiap departemen akan diangkat direktur jendral, juga di setiap jawatan akan diangkat kepala jawatan yang mengurusi jawatannya, termasuk yang bertanggungjawab secara langsung terhadap jawatan tersebut. Seluruh pimpinan itu bertanggungjawab kepada orang yang memimpin departemen, jawatan dan unit-unit mereka yang lebih tinggi, dari segi --pertanggungjawaban terhadap-- kegiatan mereka serta bertanggungjawab kepada wali, dari segi --pertanggungjawaban terhadap-- keterikatan pada hukum dan sistem secara umum.

A. Aparat Administrasi Merupakan Masalah Teknis
Aparat administrasi (jihazul idari) itu merupakan salah satu cara (uslub) dan sarana (media) dalam melaksanakan tugas. Sehingga tidak memerlukan adanya dalil secara khusus, selain cukup hanya dengan adanya dalil secara umum yang menunjukkan hukum asalnya. Dan tidak bisa dikatakan, bahwa uslub itu merupakan perbuatan manusia sehingga tidak bisa begitu saja berjalan kecuali harus sesuai dengan hukum-hukum syara'. Tidak bisa dikatakan demikian, karena aktivitas-aktivitas tersebut telah dijelaskan hukum asalnya oleh dalil syara' secara umum. Sehingga dalil itu mencakup setiap masalah yang merupakan cabang (substansi) dari perbuatan tersebut. Kecuali apabila ada dalil syara' yang menjelaskan perbuatan cabang (substansi) tersebut, sehingga perbuatan itu harus mengikuti dalil tersebut. Sebagai contoh, Allah berfirman:

"Dan bayarkanlah zakat.." (Q.S. Al Baqarah: 277)Ayat ini merupakan dalil umum (tentang perintah mengeluarkan zakat). Kemudian ada dalil-dalil tentang aktivitas-aktivitas cabang (substansial) dari perintah zakat tersebut. Semisal, dalil tentang ketentuan nishab, para amil serta kelompok orang yang wajib dipungut zakat. Semuanya itu merupakan aktivitas cabang dari perintah: "Dan bayarkanlah zakat.." (Q.S. 2: 277). Dan tidak pernah ada dalil yang menjelaskan bagaimana cara para amil tersebut melakukan penarikan zakat itu. Apakah mereka pergi dengan mengendarai kendaraan atau jalan kaki. Apakah mereka akan menyewa pekerja untuk membantu mereka atau tidak. Apakah mereka akan mencatatnya dengan buku. Apakah mereka akan membuat satu tempat untuk dijadikan tempat berkumpul. Apakah mereka akan mempergunakan alat penyimpan untuk menyimpan zakat yang berhasil mereka kumpulkan. Apakah alat penyimpan tersebut mereka buat semacam bangker di dalam tanah atau berbentuk rumah seperti lumbung padi. Serta apakah zakat uang tersebut akan dikumpulkan dengan karung atau dengan kotak. Semuanya maupun yang lain adalah aktivitas cabang (substansial) dari perintah: "Dan bayarkanlah zakat.." (Q.S. 2: 277). Dan semuanya itu tercakup di dalam dalil umum tersebut, karena tidak ada satu dalil khusus pun yang menjelaskan tentang masalah itu. Dan demikianlah ketentuan tentang cara (uslub) itu. Karena itu, uslub itu adalah perbuatan yang merupakan aktivitas substansial yang --hukum asalnya-- telah dijelaskan oleh dalil umum. Oleh karena itu, perbuatan cabang (substansi) itu tidak memerlukan dalil lagi. Sebab dalil hukum asalnya yang umum itu sudah merupakan dalil bagi aktivitas cabang tersebut.
Sedangkan membentuk departemen atau mengangkat orang yang mengurusi kepentingan-kepentingan rakyat dalam setiap jawatan (unit) yang harus diurusi itu adalah perbuatan asal dan bukan perbuatan cabang. Dimana aktivitas itu membutuhkan dalil. Sedangkan dalilnya adalah af'al Rasul. Rasulullah saw. telah melakukan tugas pemerintahan, dimana beliau juga melakukan tugas yang bersifat teknis. Beliau pernah melakukan tabligh dan kegiatan teknis serta mengurusi kepentingan kaum muslimin sekaligus. Tentang beliau telah melakukan tabligh sudah jelas. Sedangkan tentang beliau melaksanakan kegiatan teknis itu dalilnya adalah adanya wahyu yang memerintahkan beliau untuk memungut zakat (shadakah). Dimana memungut shadaqah itu merupakan kegiatan teknis. Beliau diperintah memotong tangan pencuri dan kegiatan memotong tangan itu merupakan kegiatan yang bersifat teknis. Beliau diperintah untuk merajam orang yang melakukan zina, mecambuk orang yang menuduh orang lain berbuat zina serta memerangi para pembangkang, semuanya itu merupakan kegiatan yang bersifat teknis. Beliau juga pernah menghancurkan berhala dengan tangan beliau sendiri dimana itu pun merupakan kegiatan teknis. Beliau juga pernah mengutus orang untuk menghancurkan berhala itu, dimana mengutus orang itu juga merupakan kegiatan teknis. Beliau juga pernah membunuh, menawan, dimana itu pun merupakan kegiatan teknis. Beliau juga memerintahkan orang untuk berbuat adil dan beliau menegakkannya. Dimana beliau menjatuhkan hukuman hudud (perdata) bagi para pelanggar, apapun bentuk pelanggaran mereka. Beliau juga akan membalas kepada siapa pun sesuai dengan apa yang mereka lakukan, dimana itu pun merupakan kegiatan teknis.
Sedangkan dalil tentang mengupayakan kepentingan rakyat, disamping mengurusi kepentingan mereka, serta mengangkat para penulis untuk mencatat kepentingan itu, sesungguhnya Nabi saw. telah mengurusi kepentingan penduduk Madinah. Dimana beliau pernah juga mengangkat orang lain, selain beliau sendiri, untuk mengurusi urusan-urusan tersebut. Ali Bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian, apabila beliau mengadakan perjanjian. Serta penulis perdamaian, apabila beliau mengadakan perdamaian. Ini juga merupakan kegiatan teknis, bukan kegiatan pemerintahan. Haris Bin Auf Al Mari bertugas membawa cincin --yang menjadi stemple-- beliau, dimana ini pun merupakan kegiatan teknis, bukan kegiatan pemerintahan. Mu'aiqib Bin Fatimah sebagai penulis rampasan perang (ghanimah), dimana ini pun merupakan kegiatan teknis dan bukan kegiatan pemerintahan. Hudzaifah Bin Al Yaman bertugas mencatat penghasilan tanah Hijaz, dimana ini pun merupakan kegiatan teknis, bukan kegiatan pemerintahan. Abdullah Bin Arqam menjadi pencatat (sensus penduduk) orang-orang yang tinggal dan kabilah mereka beserta jumlah air yang mereka butuhkan. Begitulah, semuanya merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah melakukan kegiatan teknis sebagaimana beliau juga melakukan kegiatan pemerintahan.
Akan tetapi, Nabi saw. telah menentukan tugas para dirjen departemen yang telah beliau angkat itu untuk melakukan tugas tertentu, semisal mencatat ghanimah (hasil rampasan perang), menaksir pendapatan penduduk ataupun yang lain. Sementara itu, beliau tidak pernah menentukan kegiatan-kegiatan substansial, yang akan mereka upayakan dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, bagi para kepala unit yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila beliau tidak menentukan berarti kegiatan-kegiatan itu merupakan substansi dari hukum kegiatan asal. Sehingga orang yang diperintahkan untuk melaksanakan kegiatan itu boleh saja memilih cara apapun yang bisa dilakukan untuk melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya, agar bisa melaksanakan urusan-urusan itu dengan cara yang paling mudah.

B. Memenuhi Kepentingan Rakyat Termasuk Ri'ayatus Syu'un
Karena memenuhi urusan rakyat termasuk kegiatan ri'ayatus syu'un, sedangkan kegiatan ri'ayatus syu'un itu adalah semata-mata wewenang khalifah, maka khalifah itu boleh mengadopsi teknis administrasi (uslub idari) yang dia kehendaki lalu dia perintahkan agar hal itu dilaksanakan. Karena, khalifah juga diperbolehkan membuat semua bentuk perundang-undangan dan sistem administrasi (nidlam idari), lalu mengharuskan seluruh rakyat untuk melaksanakannya. Karena, semuanya itu merupakan kegiatan-kegiatan substansial. Khalifah juga diperbolehkan untuk memerintahkan salah satu di antaranya, kemudian mengikat semua orang agar melaksanakan aturan itu, dan bukan dengan aturan yang lain. Maka, pada saat itu hukum mentaatinya menjadi wajib. Sebab hal itu berarti mengharuskan untuk mengikuti salah satu hukum yang telah diadopsi oleh khalifah. Dimana terikat dengan perintah itu mengharuskan meninggalkan yang lain. Karena statusnya sama persis seperti ketika khalifah mengadopsi hukum-hukum yang lain. Dimana dalam masalah ini, dia tidak menyimpang dari hukum-hukum syara'.
Maka, tidak boleh dikatakan bahwa cara-cara (uslub) itu merupakan sesuatu yang mubah, sehingga setiap orang berhak untuk melakukan cara apapun yang dia kehendaki. Dan kalau khalifah mengharuskan salah satu perkara yang mubah serta mencegah perkara mubah yang lain, maka itu berarti dia telah mengharamkan perkara yang mubah. Tidak bisa dikatakan demikian, karena ketika khalifah mengadopsi cara (uslub) tertentu itu tidak berarti dia telah mewajibkan perkara mubah yang satu, serta mengharamkan perkara mubah yang lain. Melainkan dia telah melakukan tabanni (adopsi) terhadap hukum syara' yang telah dijadikan oleh syara' sebagai haknya. Dimana dia telah melakukan hal-hal yang bisa memudahkannya untuk melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, dia boleh mengadopsinya, sedangkan bagi rakyat wajib terikat dengan apa yang telah diadopsinya, dan tidak boleh melaksanakan yang lain, kalau dia mencegahnya.
Hanya saja, perkara mubah itu merupakan perkara mubah yang boleh dipergunakan untuk mengurusi urusan rakyat, sehingga mubah bagi khalifah untuk mengurusi urusan rakyat dengan perkara tersebut. Karena hak untuk mengurusi urusan rakyat itu adalah wewenangnya, dan bukannya mubah bagi semua orang. Sebab, mereka tidak memiliki wewenang untuk mengurus urusan tersebut. Oleh karena itu, terikat dengan apa yang telah diadopsi oleh khalifah itu adalah bagian dari kewajiban taat (kepada khalifah), bukan bagian dari menjadikan perkara yang asalnya mubah menjadi fardlu.

C. Rincian Kegiatan Administrasi
Hal ini berhubungan dengan kegiatan administrasi, dari segi penanganannya itu sendiri. Sedangkan berhubungan dengan rincian-rincian kegiatan administrasi itu, bisa diambil dari fakta kegiatan administrasi tersebut. Karena dengan meneliti faktanya, akan nampak bahwa di sana ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh khalifah sendiri atau oleh para pembantunya (mu'awin). Baik kegiatan pemerintahan, yaitu kegiatan penerapan hukum syara' ataupun kegiatan administrasi, yaitu melaksanakan semua urusan yang bersifat substansial bagi semua orang. Dimana hal itu memerlukan cara dan sarana-sarana tertentu. Oleh karena itu, harus ada aparat khusus yang dimiliki khalifah dalam rangka mengurusi urusan-urusan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tangungjawab-tangungjawab kekhilafahan tersebut. Disamping itu, ada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan rakyat yang harus dipenuhi. Dimana hal-hal itu membutuhkan cara dan sarana-sarana tertentu untuk melaksanakannya. Karena itu, maka adanya aparat khusus untuk memenuhi kepentingan rakyat itu merupakan suatu keharusan.
Perangkat itu terdiri dari departemen, jawatan, dan unit-unit. Departemen itu merupakan jawatan tertinggi bagi jawatan negara yang lain, semisal Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Industri dan sebagainya. Semua departemen itu mengurusi departemennya sendiri, beserta jawatan-jawatan dan unit-unit di bawahnya. Sedangkan jawatan itu mengurusi urusan jawatannya sendiri, beserta unit-unit di bawahnya. Adapun unit-unit itu mengurusi urusan unit itu sendiri, beserta bagian-bagian dan sub bagian-sub bagian di bawahnya.
Departemen-departemen, jawatan-jawatan, serta unit-unit itu dibentuk dan didirikan semata-mata untuk menjalankan urusan-urusan negara, serta memenuhi kepentingan-kepentingan rakyat.
Agar bisa menjaga jalannya departemen-departemen, jawatan-jawatan, serta unit-unit itu maka harus diangkat para penanggungjawabnya. Sehingga di setiap departemen akan diangkat seorang dirjen, yang secara langsung mengurusi urusan departemen tersebut. Serta bertugas untuk mengarahkan semua jawatan dan unit di bawahnya. Di setiap jawatan, dan unit itu harus ditunjuk seorang kepala yang bertanggungjawab secara langsung terhadap urusan jawatan dan unit tersebut, beserta bagian dan sub bagian di bawahnya.
Inilah penjelasan tentang fakta tata administrasi departemen-departemen tersebut, atau apa yang disebut dengan instansi negara. Dimana instansi itu merupakan perangkat umum bagi semua rakyat, termasuk bagi siapa saja yang hidup dalam lindungan negara Islam. Instansi-instansi itu biasanya disebut "Diwan", sehingga ada yang menyebut dengan "Dawawinud Daulah" (instansi-instansi negara). Sebagian ahli fikih menyebutnya dengan sebutan "Diwan". Sedangkan tata administrasi bagi departemen-departemen atau diwan itu, belum pernah ada pada masa Rasulullah saw. dengan ketentuan (aturan) khusus. Tetapi beliau hanya mengangkat pencatat untuk setiap departemen. Mereka masing-masing itu layaknya kepala instansi yang sekaligus menjadi pencatatnya.
Orang yang mula-mula membuat diwan di dalam Islam itu adalah Umar Bin Khattab ra. Adapun sebab-sebab yang menyebabkan dia membuat diwan itu adalah, ketika dia mengutus seorang utusan dengan membawa _hurmuzan, lalu orang itu berkata kepada Umar: "Ini adalah utusan yang keluarganya telah engkau beri harta. Bagaimana kalau salah seorang di antara mereka ada yang terlupakan, dan dia tetap menahan dirinya, lalu dari mana bawahanmu bisa mengetahuinya? Buatlah diwan untuk mengurusi mereka." Maka, Umar bertanya kepadanya tentang diwan tersebut, kemudian dia menjelaskannya kepada Umar.
Abid Bin Yahya meriwayatkan dari Al Harits Bin Nufail, bahwa Umar ra. meminta pendapat kaum muslimin untuk membuat diwan. Lalu Ali Bin Abi Thalib ra. berkata: "Engkau bagi saja harta yang telah terkumpul padamu, tiap setahun sekali. Dan jangan sedikit pun engkau menyimpannya." Lalu Utsman ra. menyampaikan usul: "Aku melihat orang-orang mempunyai harta banyak sekali. Kalau tidak pernah dihitung, hingga tidak tahu mana yang sudah dipungut dan mana yang belum, aku khawatir masalah ini akan merebak." Kemudian Al Walid Bin Hisyam mengusulkan: "Aku pernah berada di Syam, lalu aku melihat raja-raja di sana membuat diwan, dan mengatur para prajuritnya (dengan diwan itu). Maka, buatlah diwan dan aturlah prajurit (seperti mereka)." Umar akhirnya mengambil usulan Walid tersebut. Lalu beliau memanggil Uqail Bin Abi Thalib, Mukhrimah Bin Naufal, Jubeir Bin Muth'im, dimana mereka semuanya merupakan pemuda-pemuda Quraisy. Beliau memerintahkan: "Catatlah semua orang itu menurut tempat tinggal mereka."
Setelah Islam mulai merambah dan nampak di Irak, maka diwanul istiifa' (instansi pengumpul harta fa'i) dan instansi pengumpul harta mulai berjalan sebagaimana praktek yang terjadi sebelumnya di sana. Dimana diwan Syam menggunakan gaya Romawi, karena Syam --ketika itu-- merupakan bagian dari kerajaan Romawi. Sedangkan diwan Irak menggunakan gaya Persia, karena Irak --ketika itu-- merupakan bagian dari kerajaan Persia. Kemudian pada masa Abdul Malik Bin Marwan, beliau mentransfer diwan Syam (dengan gaya Romawi) tersebut ke Arab pada tahun 81 Hijriyah. Lalu disusul dengan pembentukan diwan-diwan sesuai dengan kebutuhan yang tuntutan untuk menangani kepentingan rakyat. Semisal, diwan yang dikhususkan untuk mengurusi pasukan itu bertugas untuk mengangkat dan memberi gaji. Diwan yang dikhususkan untuk mengurusi pekerjaan, bertugas untuk memberikan instruksi dan upah. Diwan yang dikhususkan untuk mengurusi para amil (pimpinan daerah tingkat II) dan wali (pejabat daerah tingkat I) bertugas mengurusi pengangkatan dan pemberhentiannya. Diwan yang dikhususkan mengurusi kas negara (baitul mal) itu bertugas mengurusi pendapatan dan pengeluaran. Dan begitu seterusnya. Maka, pembentukan diwan-diwan itu semua berhubungan dengan kebutuhan, dimana teknisnya bisa berbeda-beda dari masa ke masa, karena perbedaan cara dan sarananya.
Di setiap departemen itu akan diangkat dirjen departemen, dan para pegawai departemen. Dirjen departemen itu, bisa saja diberi wewenang untuk mengangkat para pegawainya, sekalipun pada kesempatan yang berbeda para pegawai itu bisa saja langsung diangkat (dari atas) untuk menjadi pegawai dirjen departemen tersebut.
Oleh karena itu, pembentukan departemen yang bertugas mengurusi kepentingan rakyat, atau yang disebut dengan diwan itu sesuai dengan kebutuhan serta cara (uslub) dan sarana-sarana yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sehingga setiap saat bisa saja tidak sama, bahkan setiap daerah pun bisa beragam, termasuk di setiap negeri, juga bisa saja tidak sama.
Masalah ini berhubungan dengan masalah pembentukan sebuah departemen atau diwan tersebut. Sedangkan dari segi tanggungjawab para pegawainya, karena mereka adalah para pekerja, dimana pada saat yang bersamaan mereka adalah rakyat, maka dalam kapasitas mereka sebagai pekerja, yaitu melaksanakan tugas-tugas mereka, mereka semuanya bertanggungjawab kepada dirjen departemen, kepala jawatan atau unit kerja mereka. Sedangkan dalam kapasitas mereka sebagai rakyat, maka mereka bertanggungjawab kepada khalifah, serta wajib terikat dengan hukum-hukum syara' serta sistem-sistem administrasi yang ada.D. Strategi Menangani Departemen
Strategi untuk menangani departemen itu dilandasi dengan landasan; sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, serta profesional dalam penanganan. Ini diambil dari realitas pelayanan terhadap kebutuhan itu sendiri. karena umumnya orang yang mempunyai kebutuhan itu menginginkan kebutuhannya dilayani dengan cepat dan terpenuhi dengan sempurna (profesional). Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kesempurnaan dalam segala hal. Maka, apabila kalian membunuh (dalam hukuman qishas), sempunakanlah pembunuhannya. Dan apabila kalian, menyembelih maka sempurnakanlah sembelihannya." (H.R. Imam Muslim)
Karena itu, kesempurnaan dalam menunaikan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syara'. Sedangkan untuk bisa mencapai kesempurnaan dalam menunaikan urusan itu, penanganannya harus memenuhi tiga kriteria: 1) sederhana dalam aturan, karena dengan kesederhanaan itu akan menyebabkan kemudahan. Sebaliknya aturan yang rumit akan menyebabkan kesulitan. 2) Cepat dalam pelayanan, karena kecepatan itu bisa mempermudah bagi orang yang mempunyai kebutuhan. 3) Pekerjaan itu ditangani oleh orang yang ahli (profesional). Semuanya mengharuskan kesempurnaan kerja, sebagaimana yang dituntut oleh hasil kerja itu sendiri.

E. Yang Boleh Menjadi Pegawai Negeri
Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan serta memenuhi kualifikasi di atas, baik laki-laki maupun perempuan; muslim maupun non muslim, maka boleh diangkat menjadi dirjen departemen untuk menangani departemen manapun. Mereka juga boleh diangkat menjadi pegawai pada departemen setempat.
Ketentuan di atas diambil dari hukum-hukum ijarah (kontrak tenaga atau jasa), karena itu boleh mengontrak pekerja (ajir) secara mutlak, baik muslim maupun non muslim. Hal itu berdasarkan keumuman dalil ijarah (kontrak tenaga atau jasa). Allah SWT. berfirman:
"Apabila mereka (para wanita yang kau ceraikan) telah menyusui (anak-anak hasil pernikahan) kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya." (Q.S. At Thalaq: 6)
Ayat ini maknanya umum. Rasulullah saw. juga bersabda:

"Tetapi, orang yang bekerja hanya akan diberikan upahnya, apabila pekerjaannya selesai."
Hadits ini maknanya juga bersifat umum. Hanya saja, Rasulullah saw. pernah mengontrak tenaga seorang laki-laki dari Bani Diil, dimana orang itu masih mengikuti agama kaumnya (kafir-musyrik). Hadits ini menunjukkan bahwa mengontrak tenaga orang non muslim hukumnya mubah sebagaimana mengontrak tenaga orang Islam. Begitu pula diperbolehkan mengontrak tenaga atau jasa seorang wanita, sebagaimana mengontrak tenaga atau jasa seorang pria, berdasarkan keumuman dalil-dalil tersebut.
Oleh karena itu, wanita boleh menjadi kepala instansi (daairah) di salah satu instansi negara, termasuk boleh menjadi pegawai di instansi setempat. Orang non muslim juga boleh menjadi kepala di salah satu instansi negara, termasuk boleh juga menjadi salah seorang pegawai di instansi setmpat. Karena mereka statusnya adalah menjadi pekerja (ajir), sedangkan dalil tentang akad ijarah (kontrak tenaga atau jasa) itu bersifat umum.
Adapun pengecualian bagi orang yang menjadi pegawai atau kepala itu haruslah orang yang memiliki kewarganegaraan, adalah karena dialah yang terkena wilayah pemberlakukan hukum syara'. Sedangkan orang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau orang yang tidak menjadikan negara Islam sebagai tanah airnya --sekalipun muslim-- jelas tidak terkena wilayah pemberlakuan hukum itu. Karena adanya hadits Rasulullah saw. ketika beliau menasehati panglima perangnya:

"Kemudian serulah mereka agar mau hijrah dari negeri mereka (negara kafir) ke negara kaum muhajirin (negara Islam). Lalu sampaikanlah kepada mereka, apabila mereka mau melakukannya, maka mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban seperti orang-orang muhajirin."Mafhum-nya, apabila mereka tidak bersedia hijrah, maka mereka tidak memiliki hak seperti kami. Mereka juga tidak akan terkena kewajiban seperti kami, sekalipun mereka adalah muslim. Jadi, hal-hal yang telah disebutkan itu, berkaitan dengan siapa saja yang terkena wilayah hukum. Karena itu, kalau tidak ada pengecualian, niscaya hukum syara' akan memperbolehkan untuk mengontrak tenaga atau jasa orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, karena keumuman dalil-dalil tentang ijarah (kontrak tenaga atau jasa) di atas.

F. Pegawai Negera Statusnya Adalah Ajir (pekerja)
Para kepala dan pegawai di instansi negara statusnya adalah ajir (pekerja) yang termasuk dalam ketentuan hukum ijarah (kontrak tenaga atau jasa). Maka pengangkatan, pemberhentian, pemutasian serta pendisiplinan mereka dilakukan oleh kepala instansi yang menjadi atasan masing-masing departemen, jawatan atau unit-unit yang lain, sesuai dengan aturan-aturan administrasi yang ada.
Ketentuan ini diambil dari hukum-hukum yang berlaku bagi ajir (pekerja). Sebab, pekerja harus terikat dengan hal-hal yang telah ditentukan dalam akad kerjanya. Sebagaimana dia harus terikat dengan syarat-syarat yang bisa menyempurnakan akad tersebut. Karena akad senantiasa menjadikan dua orang yang melakukan akad tersebut terikat dengan syarat-syarat yang bisa menyempurnakan akad itu. Apabila seorang pekerja telah dikontrak untuk satu masa kerja tertentu, maka dia tidak boleh diberhentikan karena terikat dengan masa kerja tertentu yang telah diteken sebelumnya.
Adapun kewajiban terikat dengan aturan-aturan administrasi itu, adalah dalam rangka mengikuti syarat-syarat ijarah (kontrak tenaga atau jasa) --yang telah ditentukan sebelumnya-- dimana syarat-syarat itu harus dipenuhi. Nabi saw. bersabda:

"Orang-orang Islam, (melakukan kerja) tergantung syarat-syarat (yang telah disepakati) mereka."
Sedangkan pemutasian pegawai dari satu tugas ke tugas lain itu, adalah untuk mengikuti akad ijarah (kontrak tenaga atau jasa). Karena itu, mereka akan dipekerjakan sesuai dengan akad pengangkatannya.
Sementara orang yang bertanggungjawab terhadap pengangkatan, pemutasian, pendisiplinan serta pemberhentian mereka adalah orang yang memimpin instansi yang menjadi atasan masing-masing departemen, jawatan dan unit-unit kerja mereka. Karena dialah yang bertanggungjawab terhadap departemen, di mana dia bekerja. Dan dialah yang memiliki wewenang sesuai dengan tanggungjawab yang telah dibebankan kepadanya.

paman tat
paman tat
SERSAN MAYOR
SERSAN MAYOR

Male
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik