FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

status kewalian dan eksistensinya dalam tasawuf Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

status kewalian dan eksistensinya dalam tasawuf Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

status kewalian dan eksistensinya dalam tasawuf

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

status kewalian dan eksistensinya dalam tasawuf Empty status kewalian dan eksistensinya dalam tasawuf

Post by keroncong Sat Aug 06, 2016 6:08 pm

Diskursus tentang wali adalah diskursus tentang alam supranatural. Alam abstrak yang tidak dapat diketahui dengan memakai teleskop yang besar sekalipun. Cukup kita beriman atas eksistensinya.
 
Dalam beberapa konsep sufisme disebutkan bahwa dalam setiap detik dunia ini, ada satu orang yang paling baik di sisi Allah. Ia menjadi poros segala makhluk yang wujud. Ia manusia sempurna (al-insan al-kamil), mendapat titisan Nur Muhammad. Dalam dunia sufi, konsep ini disebut quthbiyah (lihat, Dzuhrul Islam, 169)
 
Ada sebuah pameo la ya’riful wali illal wali. Sebuah indikasi bahwa wali itu memang ada. Namun, siapa dan di mana wali itu berada adalah masalah yang tidak bisa memakai nalar akal untuk menemukannya.
 
Namun, ketika membaca refrensi-refrensi klasik yang bicara mengenai wali masih ada kerancuan dan–agaknya-kesalahpahaman, baik dalam klasifikasi wali atau interpretasinya.
 
Buktinya, seperti konsep wali Qutb–wali yang dalam satu masa hanya ada satu--dari kalangan Syiah beda dengan kriteria wali oleh kalangan tasawuf sendiri. Menurut Syiah wali harus seorang yang maksum (terjaga dari dosa kecil atau besar), disamping dia harus keturunan Ali ra. Sedangkan pendapat kalangan tasawuf sendiri tidak mensyaratkan Qutb dari ahl bait. Abu Amdin al-Maghrabi mengatakan Qutb tidakharus dari ahl bait. Karena Quthbiyah adalah anugerah Allah dan Dia berikan kepada siapa yang Dia  kehendaki. Maka bisa diberikan kea ahl bait atau bukan.
 
Di sini terjadi paradoksal argumen dalam inti konsep wali Qutb. Mayoritas ulama mengatakan bahwa wali Qutb hanya ada satu dalam satu masa, walaupun maksud dari satu masa itu tidak bisa ditentukan.
 
Jika konsep wali Qutb dari kubu Syiah dan tasawuf berbeda maka kesimpulannya adalah ada dua wali Qutb. Karena masing-masing kubu meyakini kebenaran konsepnya. Dan ini bertentangan dengan mayoritas ulama yang mengatakan bahwa Qutb hanya ada satu.
 
Namun, dari contoh di atas dapat ditarik benang merah bahwa perbedaan yang terjadi berada dalam wilayah furu’ (cabang), bukan ushul (pokok). Karena semua golongan sama-sama meyakini bahwa wali memang ada.
 
---
 
Pada masa ini banyak orang memberi label wali kepada seorang yang khariq lil ‘adah (bertingkah laku aneh atau khilaf, Madura. Ed.). Orang yang bisa berjalan di atas air, bisa terbang seperti layaknya burung adalah wali. Sepertinya wali diciptakan dan lahir oleh opini publik. Bila demikian, bisa saja, wali Qutb, misalnya, bukan hanya dua. Bahkan, bisa ada ratusan wali Qutb. Karena bukan lagi antara Syiah dan tasawuf saja yang berbeda, namun setiap orang memiliki persepsi yang berlainan tentang wali.
 
Di sinilah masalahnya. Sebetulnya siapa yang berhak memberi label wali. Lalu bagaimana proses pengangkatan seorang wali. Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Bukan? Karena wali adalah khilifatullah fil ardl. Kalau para nabi maksum maka para wali mahfudz. Maksudnya Allah tidak membiarkan para wali larut dalam euforia kekeliruan dalam melangkah, dengan proses Allah memberi ilham yang direspon oleh para wali seraya bertaubat (lihat Rasa’ilul ‘Abidin, 277)
 
Aِl-Shiddiq mengatakan, setiap wali Qutb yang telah menguasai ke-Qutb-annya harus dibai’at oleh segala rahasia, hewan dan makhluk konkrit selain manusia dan jin. Sedangkan manusia dan jin hanya sedikit dari mereka yang ikut dalam proses bai’at tersebut. Tentang bai’at ini Al-Shiddiq telah mengarang sebuah kitab khusus bernama Mubaya’atul Qutb (lihat, Rasa’il Ibn ‘Arabiy, 251)
 
Shahibu Rasa’ilul ‘Abidin mengatakan bahwa wali Qutb tersembunyi (tidak ada yang tahu kecuali Allah dan orang-orang yang diberi “fasilitas” untuk mengetahuinya oleh Allah). Mayoritas manusia tidak ada yang mengetahui kecuali segelintir saja. Hal itu karena beratnya tanggung jawab yang harus dipikul dan besarnya beban moral yang harus dia emban niscaya mata manusia tidak kuat untuk melihatnya.
 
Abu Hamid al-Ghazali mengatakan wali tidak kasat mata karena para wali itu tidak kuasa melihat para ulama’ul waqt (ulama semasa wali). Karena menurut mereka ulama’ul waqt adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang Allah (juhhal billah) dan ulama’ul waqt yang bodoh itu menganggap dirinya ulama.
 
Adapun pelabelan publik terhadap kewilayah-annya seseorang dengan tendensi khariq lil ‘adah memang tidak bisa disalahkan. Karena salah satu kekhususan wali adalah diberi karamat. Sebagaimana para nabi diberi mukjizat.
 
Sa’id ibn Salam al-Maghrabi mengatakan kadang wali itu terkenal dengan karamat-nya. Tapi dia tidak terlena dengan hal itu. Bahkan, berkeyakinan bahwa wali itu diberi karamat adalah wajib. Cerita-cerita para wali yang ada menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan para wali dikhususkan dengan karamat adalah benar. Abu Ali al-Daqqaq adalah satu pengikut pendapat ini. Hanya saja munculnya hal-hal yang aneh dari seseorang tidak bisa menjadi patokan utama dalam memberi status wali.
 
Tentang hal ini Al-Ghazali berkomentar bahwa bila ada orang yang bisa melakukan hal aneh tapi dia melakukan hal-hal yang  bertentangan dengan syariat maka dia adalah setan! (lihat, al-Tashawwuf wa al-Syar’i, 36, Sayyid Nur ibn Sayyid Ali)
 
Jadi, tataran pertama untuk mengatakan seseorang berstatus wali adalah konsistensinya terhadap syariat. Walaupun munculnya hal-hal aneh adalah salah satu tendensi untuk bisa mengatakan seorang itu wali atau tidak, namun hal itu tidak bisa dijadikan rujukan utama. Karena masih banyak pertimbangan lain yang harus diselesaikan.
 
Kesimpulannya, wali memang ada. Tapi status wali tidak bisa ditujukan kepada seseorang dengan memakai opini. Sebagaimana banyak terjadi. Bahkan, Abu Yazid al-Busthami mengatakan, “tidak ada seorang pun yang tahu tentang eksistensi wali di dunia atau di akhirat!.” Pameo apapun tentang wilayah seseorang tidak bisa menjadi justifikasi untuk bisa dibenarkan. Karena wali adalah salah satu rahasia dari sekian banyak rahasia Allah. Hanya segelintir orang saja yang mengetahui. Allahu a’lam.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik