FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

ide dan realitas islam di masa khulufaur rasyidin Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

ide dan realitas islam di masa khulufaur rasyidin Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

ide dan realitas islam di masa khulufaur rasyidin

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

ide dan realitas islam di masa khulufaur rasyidin Empty ide dan realitas islam di masa khulufaur rasyidin

Post by Segoroasin Tue Dec 13, 2011 3:41 pm

Dengan suatu ledakan yang hebat, Islam mengubah jalan sejarah dunia pasca Nabi. Iman, keteguhan hati, keberanian dan nasib baik, digabung dengan kelemahan-kelemahan dari dalam diri lawan-lawannya menjadikannya mampu menaklukkan negara dan kota-kota dalam waktu dekat. Damsyik (637 M), Baitul Maqdis, Mesopotamia dan Babilonia, Hulwan (640 M), Nihawan (642 M), Isfahan (643 M) dan Persia jatuh ke tangan Arab. Kerajaan besar yang sudah berabad-abad umurnya seperti Persia dan Mesir -- pernah merupakan kegemilangan pada masa silam -- tidak terwujud lagi. Sedangkan Bizantium yang kuat didesak mundur sampai ke Taurus, bukit barisan Tandus yang memisahkan asia Kecil dan benua induknya.[1]

Tidak hanya di daratan, bahkan dilautan pun pasukan Islam berjaya. Di bawah komando khalifah ‘Usman bin ’Affan, pasukan Islam mampu merobek-robek Laut Tengah sampai Lautan Hindia dan Cina.

Peperangan Laut pertama itu terjadi pada tahun 674 M. Hal ini bisa dibuktikan adanya makam Ummi Haram, seorang wanita yang pernah dido’akan Rasululloh SAW. untuk masuk dalam golongan pejuang laut pertama bagi umat Islam, yang terletak di pulau Ciping.[2]

Kejayaan Islam itu terjadi pada masa ke-Khilafahan Ar-Rasyidah, yang dengan pancaran risalah nubuwwah dan ide-ide cemerlangnya mampu mengatasi kekuasaan teritorial Persi yang begitu kuat itu. Tulisan ini mengkaji ide-ide mereka serta menganalisanya dengan merefleksikan secara logis pada realitas pemerintahan sesudahnya.



Kekhilafahan yang Adil dan Benar (Khilafah Ar-Rasyidah)

Meskipun Rasulullah tidak menentukan dan menunjuk seorang khalifah (pengganti beliau), namun tokoh-tokoh Islam pada waktu itu sadar, bahwa mereka membutuhkan seorang pemimpin. Sehingga di tengah-tengah prosesi pemakaman Rasulullah, mereka mengadakan musyawaraah untuk memilih pemimpin mereka. Inilah akar munculnya permusuhan antara Suni dan Syi’ah, karena mereka menganggap terjadinya rekayasa pada hasil musyawarah itu dengan tidak melibatkan ‘Ali r.a. Beliau pada waktu itu dedang menunggui prosesi pemakaman Rasulullah.

Ummat telah menamakan sistem khilafah ini sebagai “Khilafah yang adil dan benar” atau “Al-Khilafah Ar-Rasyidah”. Dan itulah kata-kata yang menjelaskan bahwa cara ini adalah suatu cara yang benar bagi penggantian kedudukan Rasulullah menurut pandangan kaum muslimin, kecuali Syi’ah.



A. Proses Pemilihan Kholifah Pada Masa Itu

Ketika terjadi musyawarah di Bani Tsaqifaah, sebenarnya kalau diteliti ada terjadi tarik-menarik antara kelompok pendatang (Muhajirin) dengan kelompok asli (Anshor). Sampai kemudian muncul ‘Umar bin Khattab r.a. yang dengan langsung mencalonkan Abu Bakar r.a. Dan itu diikuti oleh tokoh-tokoh Madinah dengan membai’atnya.[3]

Hal itu bisa dilihat dari indikator tampilnya ‘Umar bin Khatthab r.a. yang seolah-olah menjadi penengah di antara mereka. Dan merekapun menerima sebagai sebuah keputusan hasil musyawarah. ‘Ali r.a. pada mulanya enggan menerima, namun setelah mengetahui itu adalah hasil musyawarah dan telah dibai’at maka ‘Ali r.a. menyetujuinya.[4]

Adapun ‘Umar r.a. yang langsung main tunjuk terhadaap Abu Bakar r.a. bukanlah sebuah indikasi adanya rekayasa. Namun ‘Umar r.a. berusaha menyelamatkan komunitas Islam itu dari pertikaian mengenai kepemimpinan; karena di negara mana pun justru munculnya gejolak adalah dari suksesi kepemimpunan. ‘Umar r.a. berusaha untuk menghindari hal itu, meskipun akhirnya pasca mereka (Ar-Rasyidah) terjadi gejolak yang sangat memilukan. Analisa di atas bisa dilihat dari perkataan ‘Umar r.a. :

“Sesungguhnya kami waktu itu tidak mempunyai pilihan lain yang lebih kuat dari melakukan bai’at kepada Abu Bakar r.a. Sekiranya kami meninggalkan tempat itu sebelum melakukan bai’at, kami khawatir bahwa mereka akan melangsungkan bai’at lainnya dan setelah itu kami hanya dapat mengikuti mereka dalam sesuatu yang kami setujui atau kami menentang mereka, maka kebenaran pun pasti akan terjadi ...”[5]

Berdasarkan ucapan beliau itu, maka menjelang detik-detik wafatnya, beliau menentukan tim formatur pemilihan khalifah, dengan satu catatan, siapapun yang menentang maka harus dibunuh serta anak beliau jangan sampai dijadikan khalifah. Hal tersebut dimaksudkan supaya tidak terjadi gejolak kekuasaan.

Tim formatur tersebut terdiri atas ‘Ali bin Abi Thalib r.a., ‘Usman bin ‘Affan r.a., Sa’ad bin Abi Waqqash r.a., Thalhah r.a., Zubair bin Awwam r.a. dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf r.a. Maka, beliau pun berkeliling untuk mengadakan referendum. Dari hasil sigi tersebut diketahui bahwa kebanyakan rakyat menghendaki ‘Usman bin ‘Affan r.a. Berdasarkan itu, maka ‘Usman r.a pun dipilih sebagai khalifah dan dibai’at dihadapan orang banyak.[6]

Setelah ‘Usman bin ‘Affan terbunuh, maka kepemimpinan itu ada di pihak ‘Ali r.a. Dan beliau pun dipilih melalui musyawarah ahli Syura dan tokoh-tokoh Islam. Setelah itu beliau dibai’at oleh kaum muslimin. Namun demikian yang perlu dicermati, bahwa pasca ‘Usman r.a. ini terjadi kekacauan selama lima hari. Pada waktu itulah warga Mesir mengadakan dukungannya pada ‘Ali r.a. dan diikuti oleh umat Islam untuk membai’atnya.[7]

Setelah beliau dibai’at, maka Thalhah r.a. dan Zubair r.a. menuntut diusutnya pembunuh ‘Usman r.a. Namun ‘Ali r.a. menundanya dengan alasan bahwa pengusutan ini justru akan memperkeruh situasi politik dalam negeri, karena -- perkiraan ‘Ali r.a. -- kasus pembunuhan ‘Usman r.a. merupakan problem yang sangat kompleks dengan melibatkan tiga wilayah Islam, yakni Basrah, Kuffah dan Mesir [8]. Apakah cerita pengangkatan ‘Ali r.a. adalah hasil kolusi 3 wilayah tersebut sehingga ‘Ali r.a. enggan untuk meneruskan pengusutan itu ataukah justru karena ketiga wilayah itu memberikan kontribusi yang tidak sedikit pada pemerintahan Islam tersebut, sehingga apabila terjadi pengusutan dan ditarik benang merah pada ketiga wilayah itu justru akan terjadi konflik yang lebih parah karena melibatkan tiga kota besar itu ? Secara politis ‘Ali r.a. mampu meredam konflik dengan kedua sahabatnya itu - yang kemudian ‘Aisyah r.a. juga bergabung - ketimbang konflik politik antar wilayah.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan sementara baahwa proses pemilihan keempat pemimpin tersebut sebagai berikut :

1) Pola pemilihan tersebut dapat dikategorikan sebagai pemilihan dengan 2 tahap; tahap pertama dengan pemilihan figur khalifah itu sendiri, disebut dengan istilah Bai’at Al-in’iqod dan bisa dilakukan oleh sebagian muslimin (Ahlul Halli wal ‘Aqli / tim formatur); Kedua adalah pengukuhan keabsahan dengan ditunjukkan keta’atan pada mereka, biasa disebut Bai’at li-Tho’at[9]

2) Berdasarkan musyawarah - meskipun pola / cara pemilihannya berbeda - dan sangat dihindari adanya pemaksaan dan kekerasan



B. Kedaulatan dan Kekuasaan Pada Masa Ar-Rasyidah

Ada satu hal lagi yang sangat menarik dan patut untuk dikaji adalah fenomena kedaulatan (sovereignty) dan kekuasaan. Karena di tangan Ar-Rasyidah tersebut, rasa aman tentang masa depan baik di bidang politik, sosial dan ekonomi sangat dijamin dan terjaga. Hal ini disebabkan bahwa mereka hanya sebagai pelaksana hukum-hukum Allah. Sedangkan kedaulatan sepenuhnya ada ditangan Allah. Hal ini tentu berbeda dengan kedaulatan dalam pemahaman ideologi demokrasi yang dipraktekkan kebanyakan negara modern. Ternyata sistem politik yang dianggap palong modern itu gagal menciptakan keadilan sosio-ekonomi, sosio-politik dan juga keadilan hukum. Jurang lapisan si kaya--miskin menganga lebar, hak-hak politik rakyat hanya terbaatas sampai pada formalitas-simbolis empat atau lima tahun sekali. Dalam praktek, yang memperoleh perlindungan hukum hanyalah mereka yang datang dari lapisan atas. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, rule of law tetap sebagai slogan bak pepesan kosong.

Dalam diskursus Sistem Politik Demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Pemerintahan yang didasarkan pada Kedaulatan Rakyat berarti pemerintahan yang tegak dari, oleh dan untuk rakyat, yaitu hukum-hukum harus berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan untuk rakyat.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan konsep yang dijalankan oleh Ar-Rasyidah, di mana mereka hanya menjalankan amanat Allah, yaitu hukum-hukum-Nya, karena kedaulaatan ada di tangan-Nya. Dan jika kedaulatan ada di tangan rakyat berarti penentu hukum-hukum dan perundang-undangan adalah rakyat.[10] Jadi, dari konsep overeignty inilah Khilafah Ar-Rasyidah bisa melaksanakan tugas-tugas dan janji-janji terhadap rakyatnya karena mereka hanya meneruskan risalah kenabian dan menegakkan otoritas dan soverenitas tertinggi ada pada Tuhan. Tuhan saja yang berhak menentukan dan menciptakan hukum yang sebenarnya (The Real Law and Giver) [lihat Al-Qur’an : 12:40, 3:154 & 79, 16:116].

Adapun mengenai “kekuasaan” tetap berada di tangan rakyat, yang kemudian menunjuk pemimpinnya berdasarkan musyawarah. Kemudian pemimpin tersebut melaksanakan kekuasaan yang diberikan rakyat yaitu melaksanakan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan melaksanakan aturan-aturan yang dibuat rakyat (legislatif) sebagaimana dalam sistem demokrasi. Hal inilah yang dilakukan oleh Khulafa’ Ar-Rasyidah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar r.a. ketika baru saja diangkat sebagai khalifah :

“... jika aku bertindak dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, ta’atilah aku. Tetapi, jika aku mengabaikan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, tidak layak kalian menta’atiku.”[11]



C. Teori Kekhilafaan Versus Kerajaan

Karena kasus politik yang tidak bisa diselesaikan oleh ‘Ali r.a., maka dinasti Mu’awiyyah mampu menumbangkan kekuasaan ‘Ali r.a. Semenjak itu, sistem pemilihan khalifah (Amirul Mukminin) berubah dari musyawarah ke arah paksaan, dari bai’at yang sukarela ke arah bai’at di bawah pedang. Sehingga banyak penulis-penulis Islam menganggap bahwa fase itu adalah fase perubahan dari sistem Khalifah ke arah sistem Al-Mulk (Kerajaan). Termasuk misalnya Abul A’la Al-Maududi mengatakan : banyak terjadi perubahan baik dalam bidang politik (pengangkatan khalifah) maupun dalam bidang ekonomi, kondisi Baitu Al-Mal, atau - menurut beliau - hilangnya kekuasaan hukum (Allah) pada masa mereka.

Penulis berpendapat bahwa apa yang dikatakan intelektual muslim tentang perubahan itu tidaklah salah. Namun jika secara jeli kita lihat maka apa yang dikatakan adanya perubahan adalah perubahan “etika politik” bukan perubahan sistem politik. Hal ini bisa dilihat dari indikator di bawah ini :

Misalnya sistem pengangkatan khalifah. Pada masa Khulafa-u Ar-Rasyidah dengaan sistem Bai’at melalui musyawarah diantara Ahlul Halli wal ‘Aqli dan disahkan oleh seluruh muslimin secara sukarela. Namun pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah tetap menggunakan sistem Bai’at, baik bai’at dari tim formatur maupun oleh kaum muslimin. Yang berbeda adalah etika politik mereka yang memaksakan bai’at itu dan merekayasanya serta obyek yang dibai’at adalah anak/keturunan khalifah sebelumnya.

Adapun kerajaan yang biasa dipahami oleh orang-orang modern adalah kerajaan dengan memiliki putra mahkota untuk melanjutkan raja sebelumnya, tanpa sistem Bai’at.

Oleh karena itu, kerajaan yang menerapkan sistem Bai’at bisa disebut pula kekhilafahan, meskipun tidak sebaik ke-khilafahan Ar-Rasyidah, karena Bai’at bisa juga terjadi pada sistem kerajaan[12]. Adapun kekhilafahan yang terjadi pada masa dinasti Umawiyyah dan Abbasiyyah banyak melanggar etika kemanusiaan, meskipun tetap mereka disebut khilafah, karena mereka tetap menjalankan syari’at / hukum Allah sebagai pemangku kedaulatan[13]. Misalnya, mereka memerintahkan persamaan manusia sebagaimana ruh Islam, tetapi prakteknya raja-raja mereka dalam mengangkat pegawai -- pegawi kerajaan masih bernuansakan ashobiyyah (fanatisme); karena memang kerajaan, menurut Ibnu Khaldun, adalah puncak dari ashobiyyah[14]. Mereka tetap memberlakukan Baitu Al-Mal, namun fungsinya mereka ubah ke arah akumulasi dan distribusi kekayaan keluarga raja[15].

Dari sini bisa disimpulkan bahwa kerajaan dinasti pasca Khilafah Ar-Rosyidah adalah khilafah juga, namun sudah terkena bias dan nafsu para rajanya sehingga sistem ini sudah bernuansakan etika yang busuk. Berbeda dengan sistem kerajaan Eropa, yang mereka sejak awal sudah menyiapkan putra mahkota tanpa melalui pemilihan dan musyawarah.



Khatimah

Demikianlah kajian kritis ini ditulis sebagai bahan diskusi yang mungkin menarik. Sebenarnya ide dan realitas khilafah pada masa Ar-Rasyidah sangat banyak yang harus dikaji dan dianalisa secara kritis, namun karena keterbatasan waktu, maka hanya tiga point di atas, yaitu Masalah Pemilihan, Kedaulatan dan Kekuasaan serta Teori Khilafah.

Dari tulisan di atas secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pemilihan khalifah dilakukan dengan Bai’at, baik Bai’at Al-In’iqad maupun Bai’at litho’at, melalui musyawarah, tanpa pemaksaan dan kekerasan.

2. Kedaulatan ada di tangan Allah selaku penentu dan pencipta hukum yang sebenarnya (The Real Law and Giver) serta di bawah pengawasan Tuhan (A Limited Popular Sovereignty Under the Suzerainty of God) seperti diistilahkan oleh Abul A’la Al-Maududi.

3. Ada dua macam kekhilafahan pada awal dan pertengahan serta akhir Islam Turki Usmani, yaitu Khalifah Ar-Rasyidah dan Khilafah Al-’Ashiyah.



* Kumpulan nasyroh dakwah dan makalah karya Ustadz Drs. Junaidi Sahal (Materi Halaqah Sughra UAKI Unibraw)




[1] ---------, Sejarah Ringkas Islam, terjemahan dari A Concise History of Islam, TP, Djambatan : Amsterdam, 1957, hal. 10

[2] Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh(terjemahan), Lentera, Jakarta, 1995, hal. 20

[3] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Mizan, Bandung, 1996, hal. 112

[4] Prof.K Ali, Sejarah Islam Pra Modern (terjemahan), Jakarta, 1996, hal. 152

[5] Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, Fathul Bari, Beirut, TT, Jilid 12, hal. 25

[6] opcit., hal. 114

[7] Prof.K Ali, Sejarah Islam Pra Modern (terjemahan), Jakarta, 1996, hal. 138

[8] Ibid., hal. 138

[9] Taqiyyuddin An-Nabhany, Nizhomul Hukmi Fiil-Islam, Al-Quds, TT, hal. 63

Dr. Abdullah, Al-Imamah Al-‘Udhma, Dar Ath-Thoibah, 1409 H, hal. 220

[10] Taqiyyuddin An-Nabhany, Nizhomul Hukmi Fiil-Islam, Al-Quds, TT, hal. 38

[11] Prof.K Ali, Sejarah Islam Pra Modern (terjemahan), Jakarta, 1996, hal. 91

[12] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Dar Al-Fikr, Beirut, TT, hal. 165

[13] Taqiyyuddin An-Nabhany, Syakhshiyyah Islamiyyah, Al-Quds, TT, Jilid II, hal. 9

[14] Taqiyyuddin An-Nabhany, Syakhshiyyah Islamiyyah, Al-Quds, TT, Jilid II, hal. 159

[15] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Mizan, Bandung, 1996, hal. 206

Segoroasin
Segoroasin
SERSAN SATU
SERSAN SATU

Male
Posts : 100
Join date : 13.12.11
Reputation : 1

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik