FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

persepsi diri tentang islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

persepsi diri tentang islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

persepsi diri tentang islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

persepsi diri tentang islam Empty persepsi diri tentang islam

Post by keroncong Thu Nov 24, 2011 11:31 pm


Dalam persepsi gerakan Islam, khususnya dalam konsepsi dakwah Islam, Islam diyakini sebagai sebuah agama yang sempurna. Kesempurnaaan itu diyakini, dinyatakan oleh Tuhan sendiri dari penafsiran terhadap suatu ayat yang berbunyi: “Hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu”. Sempurna dalam hal ini diartikan antara lain: Islam memuat ajaran atau tuntutan hidup di segala bidang, sedari yang umum sampai kepada yang cukup detail, yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ajaran itu sesuai untuk segala tempat dan zaman. Karena itu Islam sebagai agama tidak memerlukan tambahan. Setiap tambahan akan berarti bid’ah yang harus ditolak. Dan karena konsep keagamaan itu dalam kenyataannya berkembang, maka timbul gerakan purifikasi “Kembali kepada al-Qur’an dan Hadist”. Dengan demikian, maka Islam adalah sebuah ajaran yang self-sufficient. Tidak memerlukan tambahan atau perkembangan apapun, misalnya wacana filsafat. Kenyataan historis memperlihatkan bahwa ilmuwan dan ulama Islam mempelajari berbagai filsafat yang pernah tumbuh, misalnya filsafat Yunani. Bahkan teologi Islam dinilai telah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat, bahkan mengembangkan berbagai pemikiran filsafat.

Sebagai agama yang paling sempurna, maka Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Agama selain Islam dianggap tidak benar atau sesat. Islamlah satu-satunya jalan keselamatan. Keyakinan seperti ini sebenarnya umum berlaku, terutama pada agama Kristen Katholik yang tidak mengakui kebenaran dan keselamatan di luar keyakinan Kristiani. Dengan rumusan yang lebih khusus, “tiada jalan keselamatan di luar jalan Yesus”.

Dengan munculnya konsep ideologi pada abad ke-19 di Eropa Barat, maka Islam dinyatakan pula sebagai sebuah ideologi. Gerakan politik Sarekat Islam di Indonesia umpamanya, menyatakan bahwa gerakannya berdasarkan “Dienul Islam”. Disini, organisasi tersebut mengidentikkan ideologi dengan agama atau keyakinan. Padahal jika didefinisikan ideologi itu sebagai suatu “science of ideas” (dari perkataaan “ideos” atau gagasan, dan “logos”, pengetahuan atau science), maka definisi tidak cocok dengan definisi Islam sebagai wahyu Tuhan. Sebaliknya, ideologi, seperti dicerminkan oleh ideologi-ideologi yang pernah lahir, seperti sosialisme, kapitalisme, demokrasi atau nasionalisme, sebenarnya adalah refleksi dari suatu kondisi tertentu, sehingga lahir gagasan-gagasan tentang masa depan. Karena itu, maka ideologi dimengerti juga sebagai “ilmu tentang masa depan”. Karena itulah agaknya, maka gerakan Islam lalu menggali ajaran-ajaran Islam untuk merumuskan masa depan yang diidam-idamkan.

Sebagai ideologi, maka Islam dipersepsikan sebagai ajaran yang mencakup “agama dan negara” (al-din wa al-daulah). Dengan perkataan lain, Islam mencakup agama dan politik. Dalam gerakan Islam, mendirikan suatu negara adalah suatu kewajiban dan sekaligus tujuan dari gerakan. Pandangan ini pernah dibantah oleh Syaikh Ali Abdul Razik yang berpendapat, bahwa Islam adalah suatu agama dan tidak memiliki konsep atau petunjuk kongkret dan operasional mengenai negara. Tapi diakui, bahwa Negara adalah sebuah kebutuhan bagi kaum Muslim. Tapi tidak berarti bahwa negara yang didirikan oleh kaum Muslim itu adalah “Negara Islam”, yaitu sebuah konsep yang punya sanksi keagamaan. Dengan perkataan lain, agama adalah urusan keduniaan masyarakat Muslim sendiri dan bukan merupakan perintah agama yang harus diikuti.

Sebagai suatu agama, Islam adalah satu, dan umat Islam merupakan suatu kesatuan yang utuh, sesuai dengan istilah al-Qur’an “al-ummat al-wahidah”. Dalam arti ini, tidak ada Islam-Islam liberal, fundamentalis, tradisionalis dan semacamnya. Dalam kenyataannya, memang terjadi perbedaan dalam pemahaman mengenai hakekat Islam. Masing-masing pemahaman itu mengklaim kebenaran bagi dirinya sendiri. Dari sinilah timbul persepsi, bahwa Islam itu memang secara empiris berwajah banyak (plural). Kenyataan inilah yang seharusnya diakui, sehingga, walaupun Islam itu satu, dalam arti sama-sama bersumber pada al-Qur’an dan Hadist, namun interpretasinya beragam. Di antara berbagai persepsi itu, tidak sebuah persepsipun yang berhak mengklaim paling benar. Bahkan yang diperlukan adalah saling pemahaman dan saling pengertian dan penghargaan, tanpa meniadakan sikap kritis.

Islam, dalam keyakinan umat Islam, harus dipeluk atau dijalankan secara penuh (kaffah). Tidak bisa diterima, pemelukan atau pengakuan sebagian saja dari Islam dan yang lain ditolak atau tidak dijalankan. Sebab, Islam adalah sebuah way of life atau ideologi yang komprehensif, holistik dan totalistik. Tidak ada pengertian bahwa Islam itu adalah agama yang relevan pada masa lalu, dan sebagian mungkin telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi, seperti pernah dikemukakan oleh St. Takdir Alisyahbana. Sebab Islam itu adalah agama yang universal, yang berlaku untuk setiap tempat dan zaman. Pandangan ini berkembang lebih jauh, sehingga Islam itu bersifat ahistoris dan tidak kontekstual. Padahal dalam kenyataannya, yang dipandang tidak berubah itu adalah interpretasi para ulama dan bukan Islam itu sendiri. Di lain pihak, interpretasi terhadap Islam terus bekembang, sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Atas dasar persepsi seperti itu maka, Islam dianggap sebagai “solusi” terhadap persoalan-persoalan kontemporer. Islam bukan sekedar “alternatif”, tetapi jawaban itu sendiri. Islam adalah jawaban terhadap semua persoalan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Solusi terhadap kemiskinan, bukanlah kapitalisme, sosialisme atau Negara kesejahteraan, melainkan Islam. Solusi terhadap krisis multidimensional dewasa ini juga dijawab dengan Islam. Disini Islam dianggap sebagai semacam “kunci Inggris” yang bisa mengatasi semua jenis permasalahan. Dalam kenyataannya, persoalan-persoalan itu dijawab secara normatif, bahkan seringkali dengan mengajukan ayat-ayat yang sama untuk bidang-bidang yang berbeda, karena memang banyak al Qur’an yang berlaku umum dan bersifat garis besar.

Dalam visi, umat Islam seringkali mengajukan masa Nabi dan Khalifah Yang Empat sebagai model. Dengan perkataan lain, gerakan Islam, khususnya faham Salafiyah, selalu mengajukan masa lampau sebagai modem masa depan, sebagai model masyarakat yang sempurna. Padahal, kehidupan pada masa sahabat-sahabat itu tidak bisa dikatakan sempurna sama sekali. Masa itu diliputi oleh konflik yang sangat sengit. Tiga dari empat khalifah itu berakhir dengan pembunuhan terhadap mereka. Proses suksesi kepemimpinan terjadi melalui jalan kekerasan. Imam Khomaini sendiri sebenarnya berpendapat, bahwa masa nabi dan para sahabatnya itu hanyalah masa awal yang harus terus menerus disempurnakan. Karena itu, masa itu tidak bisa disebut ideal, karena banyak lembaran-lembaran hitamnya.

Umat Islam atau para pemikir Muslim seringkali juga mengagung-agungkan zaman keemasan Islam yang merupakan puncak peradaban dunia di zaman pertengahan. Hal ini menimbulkan faham romantisme yang mengharapkan terjadinya kebangkitan Islam (renaissance), sebagaimana pernah terjadi di Eropa Barat. Padahal pada zaman kejayaan itu, juga terdapat feodalisme, absolutisme, penindasan, inkuisisi terhadap ulama dan cendekiawan, bahkan banyak terjadi peperangan antara berbagai dinasti. Peradaban Islam pada waktu itu juga sangat banyak menerima pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan lain. Peradaban Islam ternyata juga rapuh dari segi politik dan militer, sehingga mudah diruntuhkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar, sehingga akhirnya jatuh di bawah penjajahan Barat. Sekarang ini, terbukti, peradaban Barat memiliki dasar-dasar yang lebih kokoh sehingga mampu mendominasi dunia, termasuk dunia Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan krisis, mengapa kita tidak belajar saja dari kebudayaan barat yang sudah terbukti kekokohannya, dari pada bermimpi terhadap kebangkitan peradaban Islam di abad pertengahan?
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik