FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

al wala wal bara Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

al wala wal bara Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

al wala wal bara

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

al wala wal bara Empty al wala wal bara

Post by Segoroasin Wed Dec 14, 2011 3:19 am

1. DEFINISI AL-WALA' WAL BARA'

Wala' adalah kata mashdar dari fi'il "waliya" yang artinya dekat. Yang dimaksud dengan wala' di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka.

Sedangkan bara' adalah mashdar dari bara'ah yang berarti me-mutus atau memotong. " artinya memotong pena. Maksudnya di sini ialah memutus hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.

2. KEDUDUKAN AL-WALA' WAL BARA' DALAM ISLAM

Di antara hak tauhid adalah mencintai ahlinya yaitu para muwahhidin, serta memutuskan hubungan dengan para musuhnya yaitu kaum musyrikin. Allah berfirman:

"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menu-naikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang-siapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (Al-Maidah: 55-56)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka men-jadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Maidah: 51)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil mu-suhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia ..." (Al-Mumtaha-nah: 1)

"Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pe-lindung bagi sebagian yang lain." (Al-Anfal: 73)

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (Al-Mujadilah: 22)

Dari ayat-ayat di atas jelaslah tentang wajibnya loyalitas kepada orang-orang mukmin, dan memusuhi orang-orang kafir; serta kewa-jiban menjelaskan bahwa loyal kepada sesama umat Islam adalah ke-bajikan yang amat besar, dan loyal kepada orang kafir adalah bahaya besar.

Kedudukan al-wala' wal bara' dalam Islam sangatlah tinggi, kare-na dialah tali iman yang paling kuat. Sebagaimana sabda Rasulullah :


"Tali iman paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (HR. Ibnu Jarir)

Dan dengan al-wala' wal bara'-lah kewalian Allah dapat tergapai. Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu :


"Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi wala' karena Allah dan memusuhi karena Allah maka sesungguhnya dapat diperoleh kewalian Allah hanya dengan itu. Dan seorang hamba itu tidak akan merasakan lezatnya iman, sekali pun banyak shalat dan puasanya, sehingga ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum persaudaraan manusia berdasarkan kepentingan duniawi, yang demikian itu tidaklah bermanfaat sedikit pun bagi para pelakunya." (HR. Thabrani dalam Al-Kabir)

Maka jelaslah bahwa menjalin wala' atau loyalitas dan ukhuwah selain karena Allah tidak ada gunanya di sisi Allah .

3. MUDAHANAH DAN KAITANNYA DENGAN AL-WALA' WAL BARA'

Mudahanah artinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Maka berbaik hati, ber-murah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu kelakukannya maka itulah mudahanah.

Kaitan mudahanah dengan al-wala'wal bara' tampak dari arti dan definisi yang kita paparkan tersebut, yaitu meninggalkan penging-karan terhadap orang-orang yang bermaksiat padahal ia mampu me-laksanakannya. Bahkan sebaliknya ia menyerah kepada mereka dan berpura-pura baik kepada mereka. Hal ini berarti meninggalkan cinta karena Allah dan permusuhan karena Allah. Bahkan ia semakin mem-berikan dorongan kepada para pendurhaka dan perusak. Maka orang penjilat atau mudahin seperti ini termasuk dalam firman Allah :

"Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka per-buat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka per-buat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik)." (Al-Ma'idah: 78-80)

4. MUDARAH SERTA PENGARUHNYA TERHADAP AL-WALA' WAL BARA'

Mudarah adalah menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejaha-tan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika ditakutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dila-kukan. Dalam sebuah hadits disebutkan:


"Sejahat-jahat kamu adalah orang-orang yang ditakuti manusia karena mereka khawatir akan kejahatannya." (HR. Ibnu Abu Dunya dengan redaksi senada)

Dari Aisyah radhiallaahu anha bahwasanya seorang laki-laki meminta izin masuk menemui Nabi , seraya berkata, "Dia saudara yang jelek dalam keluarga". Kemudian ketika orang itu masuk dan menghadap Nabi beliau berkata kepadanya dengan ucapan yang lembut. Maka Aisyah berkata, "Engkau tadi berkata tentang dia seperti apa yang engkau katakan". Maka Rasulullah bersabda,


'Sesungguhnya Allah membenci 'fuhsy' (ucapan keji) dan 'tafahuhusy' (berbuat keji)." (HR. Ahmmad dalam Musnad )

Nabi telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia me-nemui Nabi -padahal orang itu jahat- karena beliau menginginkan kemaslahatan agama. Maka hal itu menunjukkan bahwa mudarah ti-dak bertentangan dengan al-wala' wal bara', kalau memang mengan-dung kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memeperingan keja-hatan.

Ini adalah salah satu metode dalam berdawah kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi terhadap orang-orang munafik karena khawatir akan kejahatan mereka dan untuk menun-dukkan hati mereka dan orang lain.

5. BEBERAPA CONTOH TENTANG SETIA DAN MEMUSUHI KARENA ALLAH

a. Sikap Nabi Ibrahim alaihissalam dan pengikutnya terhadap ka-umnya yang kafir. Allah berfirman:

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mere-ka berkata kepada kaum mereka: 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, ka-mi ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja'." (Al-Mutahanah: 4)

Imam Ibnu Katsir berkata, "Allah berkata kepada hamba-hambaNya yang mukmin yang diperintahkanNya untuk memerangi, memusuhi dan menjauhi orang-orang kafir, "Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia", maksudnya adalah pengikut-pengikutnya yang mukmin.

"Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah'," maksudnya, kami melepaskan diri dari kalian dan dari tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah.

"Kami ingkari (kekafiran) mu" , maksudnya dien-mu dan jalan-mu.

"Dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya", maksudnya telah disyari'atkan per-musuhan dan kebencian -mulai dari sekarang- antara kami dan kalian selama kalian tetap kafir. Maka selamanya kami berlepas diri dari kalian serta membenci kalian.

"Sampai kamu beriman kepada Allah saja" , maksudnya sampai kalian mentauhidkan Allah semata, tanpa syirik dan membuang semua tuhan yang kalian sembah bersamaNya.

Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa al-wala' wal bara' adalah ajaran Nabi Ibrahim, yang kita diperintahkan untuk mengikutinya. Allah menceritakan hal tersebut agar kita mencontohnya. Dia berfir-man, "Telah terdapat bagimu teladan yang baik." Dan pada penutup ayat, Allah berfirman:

"Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada tela-dan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pa-hala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan bara-ngsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahakaya lagi terpuji." (Al-Mumtahanah: 6)

b. Sikap orang-orang Anshar Terhadap Saudara-saudaranya dari Kaum Muhajirin. Allah berfirman:

"Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan te-lah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan me-reka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9)

Maksudnya, orang-orang yang tinggal di Darul Hijrah, yaitu Madinah, sebelum kaum Muhajirin, dan kebanyakan mereka beriman sebelum Muhajirin, mereka mencintai dan menyayangi orang-orang yang berhijrah kepada mereka, karena kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, dengan membagikan harta benda mereka tanpa merasa iri terhadap keutamaan yang diberikan kepada Muhajirin daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri juga sangat membutuhkan.

Ini adalah puncak itsar (mengutamakan saudara) dan wala' kepada Allah terhadap para penolong Rasulullah .

c. Sikap Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul terha-dap kemunafikan ayahnya yang berkata dalam salah satu pertempuran:

"Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya." (Al-Munafiqun: 8)

Dia menginginkan al-a'azzu (orang yang kuat) adalah dirinya sedangkan al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah . Ia mengancam akan mengusir Rasulullah dari Madinah. Maka ketika hal itu di-dengar oleh anaknya, Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur, dan dia mendengar bahwa Rasulullah ingin membunuh ayahnya yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga kata-kata lainnya, maka Abdullah menemui Rasulullah dan berkata, 'Wahai Rasulullah, saya mendengar bahwa anda ingin membunuh Abdullah bin Ubay, ayah saya. Jika anda benar-benar ingin melakukannya, ma-ka saya bersedia membawa kepalanya kepada anda". Maka Rasulullah bersabda, "Bahkan kita akan bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita."

Maka tatkala Rasulullah dan para sahabat kembali pulang ke Madinah, Abdullah bin Abdullah berdiri menghadang di pintu kota Madinah dengan menghunus pedangnya. Orang-orang pun berjalan melewatinya. Maka ketika ayahnya lewat, ia berkata kepada ayahnya, "Mundur!" Ayahnya bertanya keheranan, "Ada apa ini, jangan kurang ajar kamu!" Maka ia menjawab, "Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum Rasulullah mengizinkanmu, karena beliau adalah al-aziz (yang mulia) dan engkau adalah adz-dzalil (yang hina)." Maka ketika Rasulullah datang padahal beliau berada di pasukan bagian belakang, Abdullah bin Ubay mengadukan anaknya kepada beliau. Anak-nya, Abdullah berkata, "Demi Allah wahai Rasulullah , dia tidak boleh memasuki kota sebelum Anda mengizinkannya." Maka Rasulullah pun mengizinkannya, lalu Abdullah berkata, "Karena Rasulu-llah mengizinkan maka lewatlah sekarang."

6. MENYAYANGI DAN MEMUSUHI PARA AHLI MAKSIAT

Penjelasan di atas adalah tentang pemberian wala' kepada sesama mukmin sejati dan permusuhan kepada kafir sejati. Adapun golongan ketiga yaitu orang mukmin yang banyak melakukan dosa besar, pada dirinya terdapat iman dan kefasikan, atau iman dan kufur kecil yang tidak sampai pada tingkat murtad . Bagaimana hukumnya dalam hal ini?!

Jawabannya adalah bahwa orang itu terdapat hak muwalah (diberi wala') dan mu'adah (dimusuhi). Dia disayangi karena imannya, dan dimusuhi karena kemaksiatannya dengan tetap memberikan nasihat untuknya; memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran dan mengucilkannya bilamana pengucilan itu memang membu-atnya jera dan malu.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Apabila berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid'ah, maka dia berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya. Maka ber-kumpullah pada diri orang tersebut hal-hal yang mewajibkan pemulia-an dan mengharuskan penghinaan. Maka dia berhak mendapatkan ini dan itu. Seperti pencuri miskin; dia dipotong tangannya karena mencuri, lalu ia diberi harta dari baitul mal yang bisa mencukupinya. Ini-lah hukum asal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ber-beda dengan Khawarij, Mu'tazilah dan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Mereka hanya mengelompokkan manusia dalam dua golongan: orang-orang yang dapat pahala saja atau mendapat siksa saja." Ini sangatlah jelas bagi masalah yang sangat penting ini.

7. MENYAMBUT DAN IKUT MERAYAKAN HARI RAYA ATAU PESTA ORANG-ORANG KAFIR SERTA BERBELASUNGKAWA DALAM HARI DUKA MEREKA

A. Hukum Menyambut dan Bergembira dengan Hari Raya Mereka

Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari sikap mem-benci orang-orang kafir ialah menjauhi syi'ar dan ibadah mereka. Se-dangkan syi'ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam ber-kewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasul untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi menyatakan kepadanya;


"Apakah di sana ada berhala dari berhala-hala orang Jahiliyah yang disembah?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya, "Apa-kah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya mereka?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam." (HR. Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam menga-gungkan syi'ar-syi'ar mereka atau menjadi wasilah yang menghantarkan kepada syirik. Begitupula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka. Dan di antaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para saha-bat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan:

Pertama: Bersifat umum, sepertti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat me-nyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketepatan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan adalah menyelisihinya telah diisya-ratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehi-langan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apa pun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan kedua: karena hal itu adalah bid'ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya me-nyerupai mereka dalam hal itu."

Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin ber-tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka; seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, me-liburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah atau pun yang lain-nya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau men-jual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak atau pun yang lainnya melakukan per-mainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan. Ring-kasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh . Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal ter-sebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar kekufuran. Sego-longan ulama mengatakan, "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi." Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Siapa yang mengikuti negara-negara 'ajam (non-Islam) dan melakukan perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat."

B. Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka Dengan Hal-hal yang Mubah serta Ber-ta'ziyah pada Musibah Mereka.

Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahni'ah ) atau ucapan bela-sungkawa (ta'ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala' dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Ma-ka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaima-na haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan ba-gi mereka.

Ibnul Qayyim berkata, "Hendaklah berhati-hati jangan sampai ter-jerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, "Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu", atau "memberkatimu dalam agamamu", atau berkata, "Semoga Allah memuliakanmu". Kecuali jika berkata, "Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam", atau yang senada dengan itu. Itu semua tahni'ah dengan perkara-perkara umum. Tetapi jika tahni'ah dengan syi'ar-syi'ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, "Selamat hari raya Natal" umpamanya atau "Berbahagialah dengan hari raya ini" atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib; bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau yang sebangsanya. Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan uca-pan selamat kepada seseorang yang melakukan bid'ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama wira'i (sangat menjauhi yang makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni'ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka Allah dan laknatNya."

Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahni'ah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni'ah atas hari-hari raya mereka atau syi'ar-syi'ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.

8. HUKUM MEMINTA BANTUAN KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

A. DALAM BIDANG BISNIS ATAU PEKERJAAN

Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudha-ratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disem-bunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi." (Ali Imran: 118)

Imam Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, "Janganlah engkau menjadikan orang-orang non muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu."

Syaikh Ibnu Taimiyah mengatakan, "Para peneliti telah mengetahui bahwa orang-orang ahli dzimmah dari Yahudi dan Nashrani mengirim berita kepada saudara-saudara seagamanya tentang rahasia-rahasia orang Islam. Di antara bait-bait yang terkenal adalah:

"Setiap permusuhan dapat diharapkan kasih sayangnya,kecuali permusuhan orang yang memusuhi karena agama."

Karena itulah mereka dilarang memegang jabatan yang memba-wahi orang-orang Islam dalam bidang pekerjaan, bahkan mempeker-jakan orang Islam yang kemampuannya masih di bawah orang kafir itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi umat Islam dalam agama dan dunia mereka. Sedikit tapi dari yang halal diberkati Allah, sedangkan banyak tapi dari yang haram dimurkai Allah."

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan:

1. Tidak boleh mengangkat orang kafir untuk kedudukan yang membawahi orang-orang Islam, atau yang memungkinkan dia menge-tahui rahasia-rahasia umat Islam; misalnya para menteri atau para penasihat, karena Allah berfirman:

"... janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu." (Ali Imran: 118)

Atau juga diangkat menjadi pegawai pemerintahan di daerah negara Islam.

2. Diperbolehkan mengupah orang-orang kafir untuk melaku-kan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang tidak menimbulkan suatu bahaya dalam politik negara Islam, umpamanya menjadi guide (pe-nunjuk jalan), pemborong konstruksi bangunan, proyek perbaikan ja-lan, dan sejenisnya dengan syarat tidak ada orang Islam yang mampu untuk itu. Karena baginda Nabi dan Abu Bakar radhiallaahu anhu pernah mengu-pah seorang laki-laki musyrik dari Bani Ad-Diil sebagai penunjuk jalan ketika berhijrah ke Madinah. (HR. Al-Bukhari)

B. DALAM URUSAN PERANG

Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Dan yang benar adalah diperbolehkan, apabila diperlukan dalam keadaan darurat, juga bila orang yang dimintai pertolongan dari mereka itu dapat dipercaya dalam masalah jihad.

Ibnul Qayyim berkata tentang manfaat perjanjian Hudaibiyah: "Di antaranya, bahwa meminta bantuan kepada orang musyrik yang dapat dipercaya dalam hal jihad adalah diperbolehkan ketika benar-benar diperlukan, dan pada orang (musyrik) itu juga terdapat maslahah yaitu dia dekat dan mudah untuk bercampur dengan musuh dan dapat mengambil kabar dan rahasia mereka.

Juga diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat, Imam Zuhry meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah meminta pertolongan kepa-da orang-orang Yahudi dalam perang Khaibar (tahun 7 H), dan Sof-wan bin Umaiyah ikut serta dalam perang Hunain padahal ia pada saat itu musyrik. Termasuk darurat misalnya jumlah orang-orang kafir lebih banyak dan sangat ditakutkan, dengan syarat dia berpandangan baik terhadap kaum muslimin. Adapun jika tidak diperlukan maka tidak diperbolehkan meminta bantuan kepada mereka, karena orang kafir itu sangatlah dimungkinkan berkhianat dan bisa jadi menjadi senjata makan tuan, oleh karena buruknya hati mereka. Tapi yang tampak dari ucapan Syaikh Ibnu Taimiyah adalah boleh meminta per-tolongan kepada mereka secara mutlak.

9. MENGUTAMAKAN TINGGAL DAN BEKERJA DI NEGARA KAFIR

Bekerjanya seorang muslim untuk mengabdi atau melayani orang kafir adalah haram, karena hal itu berarti penguasaan orang kafir atas orang muslim serta penghinaannya. Iqamah atau bertempat tinggal terus-menerus di antara orang-orang kafir juga diharamkan. Karena itu Allah mewajibkan hijrah dari negara kafir menuju negara muslim dan mengancam yang tidak mau berhijrah tanpa uzdur syar'i. Juga meng-haramkan seorang muslim bepergian ke negara kafir kecuali karena alasan syar'i dan mampu menunjukkan ke-Islamannya, kemudian jika selesai tujuannya maka ia harus segera kembali ke negara Islam.

Adapun pekerjaan seorang muslim kepada orang kafir yang tidak bersifat melayani seperti menjahit atau membangun tembok dan lain sebagainya dari setiap pekerjaan yang ada dalam tanggungannya, ma-ka hal ini diperbolehkan, karena tidak ada unsur penghinaan. Hal ini berdasarkan riwayat Ali Radhiallaahu anhu , ia berkata:


"Saya bekerja untuk seorang perempuan Yahudi dengan upah setiap timba air ditukar dengan sebutir kurma. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada Rasulullah dan aku bawakan bebe-rapa butir kurma lalu beliau pun memakan sebagian kurma tersebut bersama saya." (HR. Al-Bukhari)


"Dan Khabbab bekerja untuk Al-'Ash bin Wa'il di Makkah sedang Nabi mengetahuinya dan beliau pun menyetujuinya." (HR. Al-Bukhari)

Hal ini menunjukkan dibolehkannya pekerjaan serupa ini, karena ia merupakan akad tukar-menukar seperti halnya jual beli, tidak me-ngandung penghinaan terhadap muslim, tidak menjadikannya sebagai abdi dan tidak bertentangan dengan sifat bara'-nya dari mereka dan dari agama mereka.

Adapun yang mengutamakan bekerja pada orang-orang kafir dan bertempat tinggal (menetap) bersama mereka daripada bekerja dan ber-iqamah di tengah-tengah kaum muslimin, ia memandang kebo-lehan wala' kepada mereka dan ridha terhadap agama mereka maka tidak syak lagi bahwa hal itu adalah murtad, keluar dari Islam. Apa-bila ia melakukan hal yang demikian itu karena tamak terhadap dunia atau kekayaan yang melimpah di negara mereka dengan perasaan benci kepada agama mereka dan tetap menjaga agamanya, maka hal itu diharamkan dan dikhawatirkan membawa dampak buruk terhadap dirinya, yang akhirnya menjadikannya ridha dengan agama mereka.

10. HUKUM MENIRU KAUM KUFFAR, MACAM-MACAM DAN DAMPAKNYA

A. Hukumnya

Meniru kaum kuffar dalam hal-hal yang menjadi kekhasan mere-ka atau adat mereka adalah haram dan diancam dengan ancaman yang keras, karena itu merupakan bentuk wala' kepada mereka. Padahal Rasulullah bersabda:


"Barangsiapa bertasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum maka ia termasuk dari mereka." (HR. Ahmad, Abu Daud dan di- shahih-kan oleh Ibnu Hibban)

Kemudian keharamannya berbeda-beda menurut mafsadah (keru-sakan) yang ditimbulkannya serta dampak-dampak yang disebabkan olehnya.

B. Macam-macamnya

Meniru dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka terbagi menjadi beberapa bagian; ada yang kufur, ada yang mengarah kepada kekufuran atau kefasikan dan ada yang makksiat biasa.

Bagian Pertama:

Meniru mereka dalam ajaran atau bagian dari agama mereka yang batil, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, atau mengkultus-kan sebagian makhluk dengan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan kecil di samping Allah dengan beri'tikaf di atas kuburan mereka, atau mentaati mereka dalam penghalalan dan pengharaman, serta menghu-kumi selain apa yang diwahyukan oleh Allah, ini adalah kufur kepada Allah atau merupakan wasilah yang menghantarkan kepada kekufur-an. Rasulullah melaknat orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat-tempat ibadah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Allah berfirman:

"Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) mereka mempertuhankan Al-Masih putra Maryam ..." (At-Taubah: 31)

Maka perbuatan mereka menjadikan para pendeta sebagai tuhan selain Allah I adalah kufur. Sedangkan mendirikan bangunan di atas kuburan adalah penghantar kepada kekufuran.

Bagian Kedua:

Meniru mereka dalam bid'ah-bid'ah yang mereka adakan dalam agama mereka dalam hari-hari raya yang batil, ini hukumnya adalah haram.

Bagian Ketiga:

Meniru mereka dalam adat istiadat dan akhlak mereka yang buruk serta budaya mereka yang kotor, juga penampilan mereka yang ter-cela, seperti mencukur jenggot, mengumbar aurat dan lain sebagainya. Ini adalah permasalahan yang sangat luas dan semua itu adalah haram hukumnya, termasuk dalam sabda Rasulullah , "Siapa yang ber-tasyabbuh dengan suatu kaum maka ia termasuk golongannya."

Karena menyerupai mereka secara lahir menunjukkan wala' mereka secara batin.

Adapun hal-hal yang bukan menjadi ciri khas mereka, bahkan merupakan hal-hal milik bersama semua manusia, seperti mempelajari industri yang sangat bermanfaat, membangun kekuatan, memanfaat-kan apa yang dibolehkan Allah, semisal perhiasan yang telah dikeluar-kan untuk para hambaNya, memakan hasil-hasil bumi yang baik; maka semua ini tidak disebut taqlid (meniru), bahkan termasuk ajaran agama kita. Dan pada dasarnya ia adalah milik kita, sedangkan mereka dalam hal ini hanya mengikuti kita. Allah berfirman:

"Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?' Kata-kanlah: 'Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beri-man dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di Hari Kiamat'." (Al-A'raf: 32)

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ..." (Al-Anfal: 60)

"Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mem-pergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa." (Al-Hadid: 25)

Allah mengabarkan bahwa besi mengandung banyak daya guna untuk manusia secara umum.

C. Beberapa Dampak Negatif Taqlid

1. Taqlid kepada kuffar mengandung wala' kepada mereka, karena menyerupai mereka dalam lahirnya menunjukkan rasa kecintaan kepada mereka dalam batinnya. Seandainya membenci mereka, tentu tidak mau menirunya.

2. Taqlid kepada kuffar menunjukkan kekagumannya kepada mere-ka dan apa yang ada pada mereka serta ketidaksenangannya kepa-da ajaran Islam dan penghinaannya kepada orang-orang Islam.

3. Taqlid kepada kuffar mengandung makna pengekoran kepada mereka dan peleburan syakhshiyah (kepribadian) umat Islam serta penghancuran eksistensi mereka.

4. Taqlid kepada kuffar melemahkan kaum muslimin dan menjadi-kan mereka bergantung kepada musuh-musuh mereka serta men-jadikan mereka malas berproduksi, dan pada akhirnya senang me-minta balas kasihan kepada orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi pada saat ini.

5. Taqlid kepada kuffar berarti ikut membantu mereka dalam meng-hidupkan dan mengembangkan bid'ah serta kemusyrikan mereka.

6. Taqlid kepada kuffar merusak agama kaum muslimin dengan terciptanya berbagai bid'ah dengan khurafat yang diambil dari agama kaum kuffar.

11. BENTUK-BENTUK TAQLID KEPADA KUFFAR YANG BURUK

Yaitu melampaui batas dalam menyenangi dan menggandrungi perkara-perkara sepele yang tidak banyak artinya, dan menggelutinya sampai lupa kepada Allah, lalai dari ketaatan kepadaNya serta lalai dan meninggalkan amal usaha yang berguna bagi dunia dan agama-nya. Mereka melakukan hal ini sebagai akibat dari kekosongan hidup yang dialaminya; hidup tanpa aqidah, tanpa ibadah dan tanpa keba-jikan yang ditabungkan untuk akhirat. Mereka melakukan karena terpedaya dan terkecoh oleh bangsa-bangsa lain yang terus-menerus mengupayakan untuk menjauhkan mereka dari agama dan akhirat me-reka. Apapun yang memalingkan dari agama dan ibadah adalah haram hukumnya, sekali pun bernilai materi yang tinggi seperti harta kekayaan. Allah telah mengharamkan perbuatan menyibukkan diri dengan materi yang jauh dari akhirat. Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah." (Al-Muna-fiqun: 9)

Maka bagaimanakah dengan hal-hal yang tidak bernilai, tidak berharga dan tidak berfaedah? Di antara hal-hal ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang mereka sebut sebagai dunia seni; seni suara, seni musik, seni tari, seni drama, dunia pentas dan panggung serta gedung-gedung bioskop yang banyak didatangi oleh orang-orang yang bingung, jauh dari jalan kebenaran dan jalan yang serius dalam kehidupan.

2. Menggeluti dunia gambar, fotografi, lukisan dan pembuatan pa-tung-patung dan lain sebagainya yang mereka sebut-sebut sebagai seni yang indah.

3. Banyak di antara pemuda yang hidupnya mati-matian demi meng-geluti beberapa cabang olah raga, sampai ia lupa kepada Allah, lupa ketaatan, menelantarkan shalat dan lupa kewajiban-kewa-jiban lain dalam rumah maupun sekolah. Semestinya yang lebih pantas bagi mereka adalah mengarahkan perhatian pada apa yang baik bagi umat dan tanah airnya serta berjuang untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.

Di antara hal-hal tersebut di atas ada yang diharamkan dalam agama, ada pula yang dibolehkan sebatas tidak mengalahkan apa yang lebih bermanfaat daripadanya. Apalagi umat Islam dewasa ini sedang menghadapi berbagai macam tantangan dari para musuhnya. Tentu yang lebih utama adalah menghemat waktu dan kekuatan untuk meng-hadapi tantangan-tantangan ini, untuk memadamkan atau memper-kecil pengaruh dan bahayanya. Orang-orang Islam sebenarnya tidak mempunyai waktu luang untuk bersantai-ria dengan segala macam hiburan itu. Dan Allah-lah tempat kita meminta pertolongan.

12. SIKAP PASIF KAUM MUSLIMIN DAN PROBLE-MATIKANYA

Di antara sikap wala' dan mahabbah karena Allah antar-umat Islam adalah seorang muslim harus mempedulikan urusan masyara-katnya secara umum dan mempedulikan urusan saudaranya sesama muslim secara khusus. Rasulullah bersabda:


"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang dan kelembutannya adalah bagaikan satu jasad. Manakala suatu anggota tubuhnya mengadu kesakitan, maka sekujur tubuhnya itu menanggungnya, tidak tidur malam dan demam." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ini adalah gambaran masyarakat muslim. Adapun gambaran antar-pribadi muslim adalah seperti yang disabdakan oleh baginda Rasul :


"Orang mukmin satu dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, yang sebagian menguatkan sebagian yang lain. Dan beliau merajutkan antara jari-jemarinya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Maka kewajiban kaum muslimin, baik secara individu maupun kelompok adalah memperhatikan berbagai problema yang ada di an-tara mereka, dan problema yang ada antara mereka dengan musuh-musuh mereka, sehingga mereka mau menjalin ukhuwah Islamiyah. Allah berfirman:

"... sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu ..." (Al-Anfal: 1)

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antar-kedua saudaramu ..." (Al-Hujurat: 10)

Dan hendaknya mereka memperhatikan jihad melawan musuh-musuh mereka. Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui keke-rasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah: 123)

Maksudnya ialah mempersiapkan diri sebelum berjihad dengan menyelesaikan berbagai problematika yang mengganjal, menyatukan barisan, memperbaiki kondisi dan mempersiapkan segala peralatan. Maka barangsiapa yang tidak mempedulikan problematika kaum muslimin, bahkan bersikap pasif, maka hal itu menunjukkan lemahnya iman, atau juga berarti bahwa dia itu munafik yang memberikan wala' kepada kuffar. Allah berfirman tentang orang-orang munafik:

"(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: 'Bukan-kah kami (turut berperang) beserta kamu?' Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: 'Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?'." (An-Nisa': 141)

Allah menjelaskan bahwa sikap kaum munafik terhadap per-masalahan umat Islam adalah pasif, menunggu dan menonton siapa yang menang akan menjadi kawan.

Adapun mukmin yang benar selalu memiliki karakter nasihat (kesetiaan), baik dalam ucapannya, amalnya dan kiprahnya dalam masya-rakatnya. Rasulullah bersabda:


"Agama itu adalah nasihat (kesetiaan)." Beliau mengucapkan tiga kali. Kami bertanya, "Untuk siapa ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, untuk RasulNya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya." (HR. Muslim)

Demikianlah mudah-mudahan Allah memperbaiki kondisi umat Islam dengan meluruskan aqidah mereka, memperbaiki bangsa dan para pemimpin mereka, dan semoga menyatukan hati mereka serta membulatkan tekad mereka.

Semoga shalawat serta salam tetap tercurah untuk Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya. Amin. *
Segoroasin
Segoroasin
SERSAN SATU
SERSAN SATU

Male
Posts : 100
Join date : 13.12.11
Reputation : 1

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik