FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pengantar buku islam rahmatan lil alamin Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pengantar buku islam rahmatan lil alamin Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

pengantar buku islam rahmatan lil alamin

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

pengantar buku islam rahmatan lil alamin Empty pengantar buku islam rahmatan lil alamin

Post by keroncong Fri Nov 25, 2011 6:24 pm

pengantar buku islam rahmatan lil alamin 627006031

Bagaimana menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh dunia atau Rahmatan Lil ‘Alamin? Pertanyaan tersebut hingga kini terus menjadi topik perbincangan banyak kalangan di berbagai penjuru dunia, utamanya di kalangan umat Islam Indonesia. Sebab, pasca tragedi 11 September, masyarakat Islam dan dunia digemparkan dengan isu kekerasan dan terorisme global yang bertentangan dengan prinsip perdamaian, kemanusiaan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Kehadiran buku “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” yang ditulis oleh Choirul Mahfud tepat pada waktunya dalam merespons dinamika Islam kontemporer. Signifikansi topik yang dikemukakan buku ini terletak pada latar sosio-politik dan agama di aras glokal (global dan lokal), sekaligus memberi solusi alternatif atas ragam masalah mengenai Islam yang kerapkali distigmatisasikan sebagai agama kekerasan dan terorisme.

Stigma tersebut akhir-akhir ini terus mengemuka seiring dengan maraknya aksi terorisme dan bom bunuh diri di berbagai belahan dunia yang ditandai dengan hancurnya gedung kembar WTC di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Terlepas dari benar atau salah, pihak tertuduh yang melakukan aksi pengeboman tersebut, kebetulan, adalah Osama bin Laden dari Jaringan Al-Qaeda. Dari kasus tersebut, banyak pengamat Barat menjadikan “instrument” pembenar bahwa Islam merupakan ajaran yang menebar kekerasan dan terorisme. Bahkan, Samuel P Huntington (2004) dalam buku barunya, “Who Are We?: The Challenges to America's National Identity,” menegaskan kembali atas tesisnya tentang benturan peradaban (the Clash of Civilizations), bahwa musuh baru bagi Barat adalah ''Islam'', khususnya yang ''militan, fundamental atau radikal''.
Penegasan Huntington tersebut bukan tanpa alasan, sebab belakangan ini ketegangan antara Islam dan Barat kembali menguat. Utamanya, terkait dengan aksi terorisme dan penerbitan kartun Nabi Muhammad serta isu ekstremisme lainnya. Pertanyaannya apakah gejala seperti ini bisa disebut sebagai fenomena baru Islam phobia? Jawabannya mungkin bisa dan sebaliknya, tidak. Sebagaimana kita ketahui, belakangan ini, Islam dan kaum Muslim acapkali menjadi sasaran “ikonisasi, simbolisasi”, khususnya oleh pencitraan-pencitraan yang dilakukan media massa Barat. Pencitraan tersebut akhirnya berdampak melekatnya berbagai “citra” negatif pada wajah Islam. Wajah Islam saat ini direpresentasikan oleh figur-figur seperti Osama bin Laden, Amrozi, Dr. Azhari, dan pemandangan perang, pedang, kekerasan, terorisme, hingga bom bunuh diri.

John L. Esposito, dalam sebuah artikel melukiskan suasana hubungan Islam dan Barat kembali mengalami pasang surut, terkadang baik lantas buruk. Bila kita tengok ke belakang, masih segar dalam ingatan kita beberapa “modus” pencitraan Barat atas Islam di media massa Barat, diantaranya adalah: krisis Suez (1955-1956), Perang Arab-Israel (1967), krisis minyak (1973-1974), Revolusi Iran (1978-1979), kasus Salman Rushdie (1989), krisis Aljazair (1990-an), Perang Teluk (1991), dan pemburuan teroris Osamah bin Laden di Afghanistan (2002) Invasi AS ke Irak (2003), karikatur Nabi Muhammad (2005) dan belakangan reaksi nuklir “perdamaian” Iran (2006).

Pencitraan buruk sebagaimana tersebut di atas jelas berlebihan, kurang mendasar dan terkesan simplistis. Sebab, Islam secara substansial bukanlah ajaran yang menghendaki kekerasan, bunuh diri dengan cara apapun atau membolehkan terorisme. Sebab, terorisme identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi yang acapkali menimbulkan konskuensi negatif dan tidak kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam seperti humanisme, keadilan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Pada titik krusial ini, muncul beberapa pertanyaan kritis yang hingga kini belum tuntas terjawab, adakah korelasi fungsional antara Islam dan Terorisme? Bisakah individu, kelompok atau gerakan keagamaan apa pun yang diduga dalang terorisme sebagai representasi suatu agama (Islam) dan sistem kepercayaan tertentu, baik dalam ranah ajaran maupun pengikutnya? Pertanyaan tersebut perlu diajukan dan dijawab oleh semua pihak, khususnya kaum agamawan.

Selain itu, umat Islam dunia sudah seharusnya bersikap dan menyuarakan dengan lantang tapi santun, bahwa Islam adalah ajaran yang menebar kedamaian dan keselamatan sembari diiringi langkah konkrit dengan ikut berpartisipasi dalam penciptaan perdamaian dunia. Pernyataan sikap semacam itu penting, karena stigma negatif tersebut disadari atau tidak telah merugikan umat Islam di seantero dunia dan memperburuk citra Islam.

Tawaran alternatif dalam buku bunga rampai yang ditulis Choirul Mahfud ini perlu diapresiasi bersama dalam rangka pemulihan kembali (recovery) atas pencitraan buruk terhadap Islam belakangan ini. Menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh dunia atau rahmatan lil ‘alamin bukan rahmatan lil muslimin menjadi penting agar tidak terjebak pada keberislaman yang ekslusif, privat, parsial dan primordial.

Menebar Islam sebagai Rahmat
Diskursus “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” memang bukan topik baru, tapi bahasan ini masih terus aktual sebab dalam tataran sosial bukan doktrinal selalu saja masih dijumpai banyak rintangan operasional yang perlu dicari solusinya. Secara substansial, topik Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin meliputi beberapa hal, diantaranya adalah: menjunjung tinggi nilai-nilai hikmah (bijaksana), ‘adl (adil), tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), i'tidal (konsisten) dan syura (musyawarah). Selain itu, juga kemampuan umat mengadopsi nilai-nilai masyarakat modern tanpa menghilangkan identitas diri, seperti multikulturalisme, demokrasi, HAM, rasionalitas, civil society, keterbukaan, dan lain-lain. Sebab, bukankah benar pernyataan Imam Ali bahwa “Kebenaran itu adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukmin, maka ambillah kebenaran itu dengan segera dari manapun sumbernya”.

Seiring derasnya arus globalisasi, kini Islam diperhadapkan dengan banyak tantangan sekaligus kesempatan. Manakala umat Islam tidak bisa merebut peran dan kesempatan di ruang publik global (global public sphere) serta tidak siap menghadapi arus baru globalisasi, maka bisa dipastikan akan terbelakang dan mundur. Ziaudin Sardar, seorang pemikir muslim, mengingatkan bahwa kini umat Islam telah terjajah oleh Barat. Bagi Sardar, keterjajahan dunia Islam atas Barat yang paling mengerikan adalah ‘imperialisme epistemologis’. Berbeda dengan Sardar, Bassam Tibi (2000) dalam buku “Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan kekacauan Dunia Baru” mengungkapkan bahwa kini sedang terjadi tarik ulur antara ashalah wa al-hadatsah (otentisitas dan modernitas) di tubuh umat Islam. Pada satu pihak, Islam ingin menjadi modern, dan merasa ketakutan akan hilangnya ‘identitas Islam’ di lain pihak. Pada titik ini, muncul sebuah pertanyaan, mungkinkah kita menjadi modern tanpa Barat, padahal “modernitas” adalah produk peradaban Barat?

Jawaban atas pertanyaan di atas kembali bergantung pada umat Islam di seluruh dunia. Menurut hemat penulis, Islam akan mampu menjadi lebih modern dibanding Barat, manakala Islam mau memberi tawaran alternatif yang bermanfaat bagi dunia. Dengan lain bahasa, Islam akan bisa memimpin bila mampu menebar nilai-nilai rahmatan lil’alamin bukan hanya rahmatan lil muslimin.

Dalam konteks ruang publik global, perebutan peran bukan lagi hal yang asing dan aneh sebagaimana banyak diungkap oleh ahli sosiologi dan komunikasi semacam Max Weber dan Juergen Habermas. Pada titik ini, Islam juga dituntut untuk mampu melakukan adaptasi (adaptable). Sebab, kemampuan agama untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan ruang publik akan menjawab kesuksesan agama itu sendiri. Sebagai agama yang paling banyak bersentuhan dengan masalah-masalah publik sudah pasti bukan perkara mudah bagi Islam untuk memperebutkan ruang ini, karena kondisi dan semangat zaman tak lagi sama seperti sebelumnya. Penaklukan ruang tak bisa lagi dilakukan dengan kekerasan dan paksaan ideologi monolitis. Tapi sebaliknya, harus dengan cara-cara yang bisa diterima oleh penghuni ruang tersebut secara sukarela.

Konsep ruang publik di dunia modern sedemikian kompleks sehingga ia tak lagi bisa disamakan dengan konsep serupa di masa lalu Islam. Juergen Habermas, filsuf yang mempopulerkan istilah itu, mengartikan ruang publik sebagai tempat di mana perbedaan keyakinan dan pendapat dapat ditampung dan dibicarakan secara bebas. Bagi Habermas, ruang publik bukan hanya dapat mencairkan berbagai perbedaan, tapi juga mampu menciptakan budaya egaliter dan partisipasi setiap orang. Sebagaimana dalam Islam dijelaskan pada ayat Al-Qur’an: Q.S. 33:35; Q.S. 49:13; Q.S. 4:1.

Sikap menghormati dan toleransi yang diperlihatkan beberapa doktrin Islam akan memungkinkan agama ini menempatkan diri dalam ruang publik. Persoalannya adalah sejauh mana Islam bisa mengikuti “aturan main” yang diterapkan dalam ruang ini. Di sinilah dilema Islam ketika ia harus memutuskan untuk mendeprivatisasi dirinya. Kasus-kasus yang selama ini terjadi di Indonesia bisa kita jadikan rujukan betapa Islam harus berjuang memposisikan dirinya agar tetap bisa diterima oleh semua pihak.

Konflik dan ketegangan antar agama dan peradaban di dunia, seperti kerusuhan di Pattani Thailand, Poso, Palu, Palestina-Israel dan lain-lain, sudah seharusnya diselesaikan dengan menempuh jalan dialog. Tapi, menurut hemat saya, dialog tersebut harus dialogis. Dialog yang dialogis penting dilakukan sebab selama ini jalan dialog selain tidak dialogis juga tidak setara, seimbang dan adil. Selain jalan dialog dialogis, lebih penting lagi adalah membangun solidaritas dunia yang diwujudkan secara nyata dengan terus menjaga perdamaian dunia yang mendasarkan pada etika kehidupan global yang adil, damai dan sejahtera.

Oleh: Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, M.A
(Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

blog penulis: http://www.choirulmahfud.blogspot.com/


Terakhir diubah oleh ichreza tanggal Fri Nov 25, 2011 6:53 pm, total 1 kali diubah
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

pengantar buku islam rahmatan lil alamin Empty Re: pengantar buku islam rahmatan lil alamin

Post by musicman Fri Nov 25, 2011 6:35 pm

sekedar saran..bagaimana kl juga dicantumkan sumber dan linknya..?

agar pembaca bisa melihat sekalian sumber aslinya...dan terhindar dr tuduhan Fitnah dr pihak2 yg anti akan Islam...

trims...
:lkj:
musicman
musicman
LETNAN SATU
LETNAN SATU

Male
Posts : 2225
Kepercayaan : Islam
Join date : 07.10.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik