FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

perceraian Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

perceraian Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

perceraian

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

perceraian Empty perceraian

Post by keroncong Sat Dec 15, 2012 4:53 pm

Kehidupan rumah tangga adalah perjalanan yang penuh dengan pasang surut. Kadang hubungan antara suami istri begitu mesra dan menyenangkan, namun di saat lain bisa panas dan mencemaskan. Baik suami maupun istri bisa menjadi penyebab timbulnya persoalan. Memahami bagaimana Islam memberikan tuntunan dalam menyelesaikan ketidakharmonisan hubungan suami istri sangat penting untuk diketahui kedua pihak.

Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah ikatan yang suci dan agung. Al Qur’an mensifatkan hubungan pernikahan dengan istilah yang tidak diberikan kepada ikatan/hubungan yang lainnya, seperti yang tersurat dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Bagaimana kalian akan mengambil kembali harta yang telah kalian berikan kepada istri-istri kalian, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidza).” (An Nisa’: 21)

Dengan mitsaqan ghalidza ini, seorang laki-laki dan seorang wanita menjadi sepasang suami istri setelah sebelumnya mereka hidup terpisah sebagai seorang individu. Memang dalam hitungan mereka itu berbilang, namun pada hakikatnya mereka itu satu. Al Qur’an pun telah menggambarkan kuatnya ikatan antara sepasang insan ini:

“Para istri itu adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (Al Baqarah: 187)

Ayat yang mulia di atas merupakan ungkapan kedekatan antara keduanya. Masing-masing saling merasakan ketenangan dan saling menutupi dari apa yang tidak halal. (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 1/211-212 , Tafsir Ibnu Katsir, 1/226) .

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan seorang suami merasa tenang dengan istrinya dan Dia tumbuhkan antara keduanya rasa cinta dan kasih sayang.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia jadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang.” (Ar-Rum: 21)

Suami istri ini akan merasakan kebahagiaan hidup dengan pasangannya apabila keduanya bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menjalin ikatan hidup bersama di atas keikhlasan. Mereka maksudkan dengan kehidupan bersama itu untuk tolong-menolong menjalankan tugas yang mulia, bukan ingin mengambil keuntungan untuk diri sendiri tanpa memperdulikan kerugian pada yang lain. Seorang suami punya hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah, dia harus dihargai, dihormati dan dimuliakan. Seorang istri harus menjauhi segala yang dibenci dan tidak disukai oleh suaminya dan sebaliknya dia harus menjadi sebab dan sumber kebahagiaan bagi suami.

Di sisi lain, suami berkewajiban untuk memberikan nafkah, menunaikan perkara yang dapat memberikan kebaikan bagi istrinya dan menjaganya jangan sampai jatuh ke dalam kejelekan, membaguskan pergaulan dengannya, bersikap lunak dan sabar atas kekurangannya, tidak mencari-cari kesalahannya dan memaafkan sedikit ketergelinciran yang dilakukannya.

Islam sangat menjaga ikatan suci ini agar tidak sampai terlepas atau sekedar goncang. Namun sebagai dua insan yang masing-masing memiliki watak, tabiat dan kepribadian yang berbeda, ditambah lagi pengaruh dari luar, kadang terjadi kesenjangan hubungan antara keduanya. Ketika itu mungkin didapatkan istri tidak taat kepada suaminya, meninggalkan kewajiban atau suami mendzalimi istrinya, tidak memenuhi haknya ataupun masing-masing melanggar hak pasangannya dan enggan menunaikan kewajiban. Inilah yang dinamakan nusyuz oleh para fuqaha (ahli fikih).

Pengertian Nusyuz
Nusyuz bisa terjadi dari pihak istri dan bisa pula dari pihak suami ataupun dari kedua belah pihak. Dan nusyuz ini bisa berupa ucapan ataupun perbuatan dan bisa kedua-duanya, ucapan sekaligus perbuatan.

1. Nusyuz dari istri
Ibnu Taimiyyah t mengatakan: “Nusyuz-nya istri adalah ia tidak mentaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau ia keluar rumah tanpa minta izin kepada suami dan semisalnya dari perkara yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu` Fatawa, 32/277).

Termasuk nusyuz-nya istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Dan juga ia meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji dan sebagainya.

Penyebutan nusyuz dari istri ini datang dalam firman-Nya:
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini1 ) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka.” (An Nisa’: 34)

2. Nusyuz dari suami

Nusyuz-nya suami dengan sikapnya yang melampaui batas kepada istrinya, menyakitinya dengan mendiamkannya atau memukulnya tanpa alasan syar‘i, tidak menafkahinya dan mempergaulinya dengan akhlak yang buruk.

Al Qur’an menyebutkan nusyuz-nya suami ini dalam firman-Nya:
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An Nisa’:128)

Apabila seorang istri melihat suaminya menjauh darinya, mungkin karena kebencian suami terhadapnya atau ketidaksukaannya terhadap beberapa perkara yang ada pada dirinya seperti parasnya yang jelek, usianya atau karena ketuaannya ataupun perkaranya yang lain, maka tidak masalah bagi keduanya untuk mengadakan kesepakatan. (Tafsir Ath Thabari, 5/305-306)

3. Nusyuz dari kedua belah pihak

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan perselisihan antara kedua pihak dengan firman-Nya:
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…” (An Nisa’: 35)

Sebab Terjadinya Nusyuz

Seorang suami yang bahagia dalam kehidupan rumah tangganya adalah suami yang menunaikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya dan dia memperoleh hak-haknya dari istri yang telah Allah tetapkan untuknya. Sedangkan istri yang berbahagia adalah istri yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dan memenuhi hak-hak suaminya.

Namun terkadang salah seorang dari pasangan suami istri ini ataupun kedua-duanya berbuat nusyuz, tidak menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan hingga kebahagiaan yang didamba hanya sebatas fatamorgana.

Nusyuz ini ditimbulkan oleh beberapa sebab, bisa jadi sebabnya datang dari pihak istri atau dari pihak suami, pihak kerabat atau orang luar, atau karena faktor lain.

Pertama, sebab yang datang dari pihak istri, di antaranya:
• Seorang istri sibuk berkarier di luar rumah hingga menelantarkan urusan rumah tangganya, bahkan suami pun tersia-siakan.
• Istri tidak mengetahui bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga, tidak mengerti hak dan kewajibannya terhadap suami.
• Khayalan seorang wanita sebelum menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam bayangannya pernikahan itu ibarat taman bunga yang selalu indah, harum semerbak, didampingi seorang kekasih yang selalu sejalan, penuh cinta dan pengertian. Namun ketika ia memasuki kehidupan rumah tangga, ia tidak mendapatkan apa yang dia khayalkan sebelumnya hingga kekecewaan merebak di hatinya.

Kedua, sebab yang timbul dari pihak suami. Terkadang suami menjadi sebab kedurhakaan istrinya, misalnya karena ia terlalu bakhil kepada keluarganya, sangat emosional, keras dan kaku dalam tindakan, melangkah dan bertindak tanpa peduli dengan istri dan tidak berupaya memberi pemahaman padanya atau mengajaknya bertukar pendapat.

Ketiga,sebab nusyuz dari pihak keluarga istri. Seperti wanita yang menikah dengan seorang laki-laki karena dipaksa oleh walinya, padahal ia tidak menyukai laki-laki tersebut, sehingga ketika memasuki kehidupan rumah tangga dengannya, ia tidak bisa mentaatinya atau malah membencinya.

Keempat, sebab nusyuz karena faktor lain. Seperti adanya perbedaan kejiwaan dan akhlak antara suami istri, meningkatnya taraf kehidupan/ekonomi keluarga, menyimpangnya pemikiran salah seorang dari keduanya, atau sakitnya salah seorang dari mereka atau cacat sehingga menghalanginya untuk menunaikan kewajibannya. (An Nusyuz, hal. 28-33, Shalih bin Ghanim As Sadlan)

keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

perceraian Empty Re: perceraian

Post by keroncong Sat Dec 15, 2012 4:54 pm

Islam telah memberikan bimbingan untuk mengatasi suami atau istri yang berbuat nusyuz. Islam juga tidak melarang bila perpisahan terpaksa diambil karena kedua pihak tidak bisa lagi disatukan.

Mengobati Istri yang Berbuat Nusyuz

Bila terjadi problem dalam rumah tangga tidak sepantasnya pasangan suami istri langsung memutuskan perceraian, sementara permasalahan itu bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa harus memutuskan ikatan nikah. Demikian pula bila terjadi nusyuz dari pihak istri, Islam memberikan jalan untuk menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam Al Qur’an:
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa’: 34)

Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas c: “Istri itu diberi nasehat kalau memang ia mau menerima nasehat. Kalau tidak, ia ditinggalkan di tempat tidurnya bersamaan dengan itu ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)

Bila cara nasehat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr (dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga maka barulah ditempuh cara pukulan namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 177)

1. Memberi nasehat dan bimbingan
Ini merupakan langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasehat dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Ibnu Qudamah t mengatakan: “Dalam nasehat itu ia ditakut-takuti kepada Allah , diingatkan apa yang Allah wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan mentaatinya, diperingatkan akan dosa bila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian bila tetap durhaka kepada suami dan ia boleh dipukul dan di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasehat.” (Al-Mughni, 7/241).

2. Al Hajr
Terkadang seorang istri tidak cukup diberi nasehat untuk menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr. Ibnu Abbas c menafsirkan hajr ini dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat tidurnya dan memunggunginya. As-Sudi, Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan: “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)

3. Pukulan
Terkadang penyembuhan dan pendidikan butuh sedikit kekerasan, karena ada tipe manusia yang tidak bisa disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberi kekerasan fisik. Dan termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan Al Qurthubi t dengan pukulan pendidikan (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (Al Mughni, 7/242)

Disyaratkan pukulan itu tidak terlalu keras hingga mematahkan tulang atau meninggalkan bekas sebagaimana pesan Rasulullah  dalam haji Wada`:
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorangpun yang kalian tidak sukai untuk menginjak permadani kalian1. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang keras. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf”. (Shahih, HR. Muslim no. 1218)
Yang dimaksud2 kata Al-Hasan Al-Bashri t yaitu pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504). Atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang. (Ruhul Ma‘ani, 5/25)
‘Atha t pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang maksud:
Ibnu ‘Abbas menjawab: “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma`ani, 5/25)

Al-Imam An-Nawawi t setelah membawakan hadits di atas, beliau berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.” Beliau mensifati pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184).
Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah, karena Rasulullah  telah memperingatkan:
“Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)

Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah dan masuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak ataupun budaknya dengan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)

Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk mendzalimi para istri. (Al-Jami` li Ahkamil Qur’an, 1/113)

Bagaimana bila Suami yang Berbuat Nusyuz?

Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya, namun tentunya ia tidak bisa menempuh cara hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki dan lemahnya kemampuan serta kekuatannya.

Seorang istri yang cerdas akan mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya sebagai suami yang baik sebagaimana sedia kala, sebagai ayah yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati nusyuz suaminya ia bisa melakukan hal-hal berikut ini:
• Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia dibalik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?
• Menasehati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah wajibkan padanya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.
• Sepantasnya bagi istri untuk selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya senang padanya. Maka ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Al Qur’an berikut ini:

“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)

Berkata Al-Imam Ath-Thabari t: “Istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling darinya maka dibolehkan baginya untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya atau ia menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami dalam rangka mencari simpati dan rasa ibanya, juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai).” (Tafsir Ath-Thabari, 5/306)

Ibnu Qudamah t berkata: “Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha suaminya dan kapan saja istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya atau nafkahnya atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.” (Al-Mughni, 7/243)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t berkata tentang ayat di atas: “Maka yang lebih baik pada keadaaan ini, keduanya melakukan perbaikan dan perdamaian dengan cara si istri merelakan gugurnya sebagian haknya yang semestinya dipenuhi suami asalkan ia tetap hidup bersamanya (tidak dicerai), atau ia ridha diberi nafkah yang sedikit, diberi pakaian dan tempat tinggal seadanya, atau dalam hal giliran3 ia menggugurkan haknya tersebut atau dengan cara ia menghadiahkan hari dan malam gilirannya kepada madunya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 206)

Mendamaikan Sengketa antara Kedua Pihak

Allah  berfirman:
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…”. (An-Nisa’: 35)

Bila terjadi perselisihan antara suami istri dan tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di antara keduanya atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dan mereka bersepakat, dua orang hakim itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak, satu dari pihak suami dan yang lain dari pihak istri. Namun jika tidak ada maka boleh dari selain keluarga. (Al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hal. 473).

Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali maka kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat), dan ini yang dipegangi oleh madzhab Malikiyyah, satu riwayat dari Syafi‘iyyah dan satu riwayat dari Hanabilah. (Al-Muwaththa‘ karya Al-Imam Malik, 2/584, Al-Mughni 7/243-244).

Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawab.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik