FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

kristen dan demokrasi Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

kristen dan demokrasi Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

kristen dan demokrasi

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

kristen dan demokrasi Empty kristen dan demokrasi

Post by keroncong Wed May 31, 2017 11:33 am

Demokrasi adalah sebuah sistim penataan hidup kemasyarakatan yang diperkembangkan dalam dunia moderen. Bentuk-bentuk awal dimulai di Yunani pada abad ke-6 SM. Ditemukan pula ciri-cirinya dalam masyarakat Ma’in (Yemen kuno) abad ke-2 SM. Ada yang menyatakan bahwa masyarakat suku-suku Indonesia yang belum mengenal sistim monarki menjalankan demokrasi dalam bentuk musyawarah.
Dari Barat Sekuler
Umumnya diterima bahwa sistim demokrasi merupakan pilihan ideal untuk penataan sosial masyarakat moderen dalam bentuk nation state. Apalagi negara dengan kebhinekaan masyarakat seperti di Indonesia. Adakah kaitan antara agama dengan demokrasi moderen? Dari sejarah kebudayaan Barat, di mana demokrasi moderen berkembang, agama Kristen tidak menjadi motor dalam proses demokrasi. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa demokrasi muncul justru sebagai alternatif terhadap sistim kekuasaan absolut yang pada masa itu didukung gereja. Pembaharuan kebudayaan Barat (Renaissance), pembaharuan gereja (Reformasi), gerakan Pencerahan (Enlightenment), sistim ekonomi kapitalisme, dan perkembangan ilmu dan teknologi moderen merupakan faktor-faktor yang menentukan perkembangan masyarakat Eropa (Barat) dan Amerika ke arah masyarakat moderen. Puncak-puncaknya ditandai 3 revolusi besar: Revolusi Amerika, Revolusi Perancis dan kemudian Revolusi Industri (Inggeris). Kedua revolusi yang pertama mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang terkait dengan pengakuan terhadap hak-hak asasi politik warga negara. Pembaharuan gereja (Reformasi) bermakna dalam memecah kekuasaan tunggal Gereja, yang dalam kerjasama dengan pusat-pusat kekuasaan lokal meruntuhkan Corpus Christianum, dan memungkinkan proses transformasi Eropa Abad-abad Pertengahan menjadi Eropa moderen. Namun tetaplah jelas bahwa agama (gereja) bukanlah sumber gagasan-gagasan demokrasi moderen. Para pemikir sistim demokrasi dari Perancis, Inggeris atau Amerika pada abad ke-17 - 19 bukanlah para teolog atau pemimpin agama. Baru kemudian gagasan-gagasan dasar demokrasi seperti kebebasan, keadilan, anti diskriminasi dan penegakan hak-hak asasi manusia lainnya, serta aspek-aspek lain yang terkait seperti rekonsiliasi sosial dan kelestarian fungsi ekologi mendapat perhatian dan dukungan pemikiran teologi dan aktivitas gereja.
Ada pemikiran yang melihat kemajuan Barat sebagai buah dari perjumpaan 3 pilar kebudayaan yang masing-masing diperkembangkan dari jalinan warisan tradisi-tradisi yang berbeda dalam sejarahnya: pemikiran kritis obyektif dari tradisi filsafat Yunani, sistim hukum dari tradisi Romawi, dan pandangan sejarah yang linear dari tradisi Yahudi-Kristen. Ketiga akar budaya tersebut memungkinkan manusia menjadi subyek atas sejarah dan alam ciptaan, suatu posisi yang mendukung kreativitas, baik dalam pengembangan ilmu dan aplikasi teknologisnya maupun dalam penataan sosial, yang tidak terikat pada mitos, doktrin agama atau kekuatan lain yang menghalangi pengembangan potensi manusia. Alur pikiran itu mungkin ada benarnya, namun ketika dengan itu dijatuhkan penilaian pejoratif terhadap kebudayaan non-Barat sebagai yang terikat pada pandangan monisme di mana manusia tidak diakui sebagai subyek, orang mengajukan keberatan-keberatan serius.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa selain dampak sosial dan politik Reformasi, peran gereja bagi perkembangan demokrasi di Barat dapat ditelusuri dalam 2 jejak sejarah gereja. Yang pertama munculnya sistem kepemimpinan presbiterial dalam gereja pada abad ke-17 di Inggeris, yang sekaligus menentang dominasi kepemimpinan tunggal dan memperluas gagasan kesetaraan warga gereja sesuai doktrin Protestan mengenai imamat am orang beriman. Yang kedua berkaitan dengan perkembangan kapitalisme, yang merupakan dukungan ekonomi bagi pengembangan demokrasi. Sebagaimana dalam tesis Max Weber yang terkenal --namun banyak dipersoalkan-- bahwa sistim kapitalisme didukung oleh etika Protestan.
Bagaimanapun perkembangan yang penting dalam sejarah Kekristenan di Barat -–yang berpengaruh ke seluruh dunia Kriisten sejak itu–- adalah penemuan kembali gereja terhadap hubungannya dengan politik, yakni bukan berada di atas atau di dalam pemerintahan duniawi, sebagaimana berlangsung di Eropa sejak masa Konstantinus Agung sampai akhir Abad Pertengahan (disebut dalam sejarah Barat sebagai the Constantinian Era), melainkan mendampingi kekuasaan politik secara kritis, sesuai tradisi para nabi dan yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Ajaran ‘dua pedang di tangan gereja’ (gereja memegang kuasa rohani maupun kuasa duniawi sehingga raja-raja harus tunduk kepada Sri Paus) pada Abad-abad Pertengahan ditinggalkan. Gereja menarik diri dari dunia politik praktis yang berurusan langsung dengan perjuangan mencapai tampuk kekuasaan. Dalam dunia moderen, adanya partai politik Kristen pada prinsipnya lebih untuk menjalankan peran moral kenabian daripada mengimpikan negara atau pemerintahan Kristen. Prinsip utama dalam peran itu adalah supaya penguasa menegakkan keadilan, menciptakan perdamaian dan memajukan kesejahteraan seluruh rakyat. Karena itu, menurut Alkitab, pemerintah adalah ‘hamba Allah’ untuk mewujudkan kebaikan (Roma 13), tetapi sebaliknya pemerintah yang lalim dan korup adalah si binatang yang muncul dari dalam laut (Wahyu 13).
Apakah di luar pengaruh kebudayaan Barat dapat juga diperkembangkan sistim demokrasi? Dasar-dasar demokrasi, seperti sistim pemerintahan yang memisahkan fungsi-fungsi kekuasaan (trias politika), asas kedaulatan rakyat, dan hak-hak (politik) warga negara memang tidak berkembang di luar peradaban Barat. Monarki absolut yang umumnya dilegitimasi agama berganti-ganti memerintah dunia kuno di Mesir, Babilonia, Persia dan wilayah-wilayah berkebudayaan India, Cina, dan juga dunia Islam. Lebih seribu tahun Nusantara mengalami pemerintahan silih berganti dari Kerajaan Hindu, Buddha dan Islam sampai fihak Barat datang dengan kuasa penjajahan. Dan berbeda dengan di Barat, di dunia non Barat tidak berkembang kekuatan-kekuatan dan pemikiran kreatif yang membebaskan manusia dari cengekeraman penguasa absolut yang dilegitimasi agama. Demokrasi mempunyai habitatnya dalam masyarakat di mana agama memasuki periode substansi etika bagi pengembangan kebudayaan. Ketika gereja masih menekankan formalisme agama dan bersekutu dengan para penguasa absolut maka dunia Barat berada dalam periode Middle Ages (abad ke-5 - 16 M), yang oleh para humanis disebut sebagai a thousand-year period of darkness and ignorance. Baru kemudian setelah gereja tergusur dari panggung kekuasaan formal maka agama Kristen memasuki peran lain yang lebih bermakna dan substansial, yakni memberikan dasar-dasar moral-etik bagi pengembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang dewasa, rasional dan terbuka. Itulah sekularisasi. Dengan penekanan pada substansi moral-etik agama tidak mudah diekploitasi atau dimanipulasi kepentingan politik yang beroristasi kekuasaan.
Jadi, pertanyaan mengenai hubungan agama dan demokrasi -–dengan mengacu pada sejarah Barat–- menunjuk pada pentingnya reformasi dan transformasi agama, dari formalisme dan keterjalinan dengan kekuasaan menjadi kekuatan moral individual dan sosial yang berada di luar namun tetap menjalankan fungsi kritis-konstruktif terhadap kekuasaan. Dalam hal ini suatu partai politik dengan bendera agama mestinya bukanlah untuk membangunan suatu religius state, melainkan lebih pada pengembangan a religiously-based political ethics.
Formalisme versus Substansialisme
Dari titik ini kita dapat membahas hubungan agama dan demokrasi dari sudut yang lain: apakah masyarakat yang ditopang kebudayaan non-Barat, seperti dunia Islam, dapat mengembangkan demokrasi?
Pertanyaan ini bersifat historis, dalam arti jawabannya ditentukan oleh faktor-faktor kesejarahan, termasuk atau khususnya hubungan dengan dunia Barat. Untuk kasus dunia Islam, hubungan dengan Barat diwarnai oleh konflik dan konfrontasi, baik pergulatan dunia Mediteranian yang berpuncak pada perang-perang salib (abad ke 11-13), maupun era kolonialisme, pasca kolonialisme dan (pasca) perang dingin, termasuk dampak luas dari peristiwa 11 September 2001lalu.
Dalam alur pemikiran di atas, tantangan demokrasi dalam dunia Islam meliputi beberapa aspek. Secara internal usaha-usaha yang menekankan substansi (etika) Islam dalam format demokrasi moderen berhadapan dengan kecenderungan formalisme dan jalinan dengan kekuasaan, yang demikian kuat (misalnya dalam gagasan-gagasan Islamic state atau Islamic ideology). Bahtiar Efendy, salah seorang pemikir muda Islam, menyimpulkan bahwa pertentangan antara fihak yang cenderung legalistik dan formalistik dengan yang melihat Islam dalam dimensinya yang lebih substantif ikut mempersulit dan bahkan faktor yang dominan dalam upaya melakukan sintesis antara Islam dan negara (Teologi Baru Politik Islam, h. 8).
Di Indonesia perkembangan yang cukup menarik adalah perjuangan para intelektual Islam sejak periode pergerakan kemerdekaan mengembangkan ideologi Islam dalam rangka membentuk negara Islam. Malahan ada usaha-usaha secara sempalan mendirikan negara Islam (DI/TII). Pertarungan ideologis pada periode demokrasi liberal yang gagal dan tampilnya dominasi militer memunculkan gagasan-gagasan baru yang lebih ke arah substansi Islam dengan meninggalkan ide Islamic state ke Islamic society dengan gagasan masyarakat madani sebagai salah satu puncak wacananya. Dengan menyinggung masyarakat madani, kita memasuki suatu bentuk dari upaya Islam mewujudkan demokrasi. Istilah ‘masyarakat madani’ masih kontroversial karena penafsiran yang berbeda-beda. Bagaimana pun, istilah ini mengandung di dalamnya upaya Islam untuk mengembangkan sistim kemasyarakat moderen yang tidak sekadar meniru demokrasi moderen dari Barat, melainkan memberinya corak dan subtansi Islam.
Dalam hubungan itu adanya kecenderungan dewasa ini meng-aplikasikan syari’a Islam dalam kehidupan nasional secara legal-konstitusional dapat dilihat sebagai kemunduran ke arah formalisme agama dalam kekuasaan. Tetapi dapat pula merupakan bingkai bagi pengembangan gagasan masyarakat madani, yakni jika aplikasi syari’ah Islam terarah pada substansi yang diformulasi dan diterapkan dalam kerangka penguatan nilai-nilai moral keagamaan suatu civil society. Jika tidak demikian maka kecenderungan tersebut merupakan aborsi terhadap pengembangan gagasan masyarakat madani. Catatan ini mengedepankan salah satu faktor dalam kelemahan masyarakat Islam mengembangkan demokrasi, yakni kecenderungan yang formalistik-ideologis. Di samping perbedaan itu, kekuatan-keluatan politik Islam juga diperlemah oleh perpecahan-perpecahan, yang nampaknya lebih disebabkan oleh ambisi kekuasaan daripada perbedaan substansial mengenai format dan ideologi perjuangan politik.
Selain faktor internal tersebut, kelemahan lainnya berkaitan dengan beberapa kenyataan sosial yang menghambat pengembangan demokrasi, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran politik masyarakat, pluralitas budaya dan kaitan etnis dan kedaerahan, lemahnya kelas menengah terpelajar, serta dominasi militer dalam politik. Hal-hal yang disebutkan ini bukan saja menjadi masalah bagi politik Islam, melainkan juga bagi pengembangan demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.
Di lain fihak, politik Islam Indonesia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik yang menolak Islam sebagai pilihan ideologis. Sejarah politik Indonesia sejak pergerakan kemerdekaan mewariskan perbedaan-perbedaan yang mendasar. Tetapi kesepakatan yang dicapai dalam perumusan Pancasila pada tahun 1945 sebenarnya merupakan tonggak penting bagi pengembangan suatu kebersamaan yang demokratis dalam alam kemerdekaan, keadilan, dan persaudaraan masyarakat kita yang serba majemuk, termasuk kemajemukan agama. Dan terlepas dari semua penyimpangan terhadap Pancasila selama ini, kelima prinsip dasar di dalamnya tetap relevan bagi kehidupan bangsa kita. Pancasila mencakup berbagai aspek yang saling melengkapi bagi pengembangan kehidupan nasional yang religius, humanistik, bersatu, demokratis, dan berkeadilan sosial.
Dewasa ini kita menyaksikan munculnya kelompok-kelompok radikal keagamaan -–dewasa ini khususnya Islam–- yang mennimbulkan kecemasan dengan gagasan-gagasan politik kegamaan yang legalistik dan formalistik dan disertai mobilisasi massa dengan dukungan kekuatan-kekuatan para-militer, yang menciderai citra Islam sebagai agama damai. Tetapi di fihak lain ada perkembangan yang menggembirakan bahwa para cendekiawan dari masing-masing agama terus berusaha mengembangkan gagasan-gagasan kreatif yang bertolak dari ajaran agama masing-masing untuk menjawab kebutuhan kita menjadi bangsa yang maju dan demokratis. Masa depan demokrasi Indonesia akan juga ditentukan -–selain faktor-faktor lain seperti peran politik tentara–- oleh kemampuan cendekiawan dan umat Islam memperhubungkan substansi Islam dengan tuntutan demokrasi moderen. Bahtiar Efendi menunjuk pada 3 alur pemikiran dalam kalangan pembaruan Islam Indonesia, “yang berusaha mengembangkan format politik Islam yang lebih memperhatikan isi (susbstance), daripada bentuk (form).” Ketiganya meliputi pembaruan pemikiran keagamaan, pembaruan politik dan birokrasi, dan transformasi sosial. Sebagai penutup pengantar ini dapat dikutip harapannya dalam usaha menjembatani kesenjangan ideologi antara Islam dan negara:
“Islam tidak seharusnya diposisikan secara antagonistik dalam hubungannya dengan negara. Dalam hal ini, adalah penting untuk tidak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Sebaliknya, hubungan di antara keduanya dapat bersifat komplementer. Pandangan seperti ini didorong oleh kenyataan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karenanya, dari sudut pandang keagamaan tidak ada kewajiban bagi orang islam untuk mempersoalkan legitimasi konstruksi negara Indonesia yang berdasarkan pancasila.” (Teologi Baru Politik Islam, h. 21).
--------------
Makassar, 27 Maret 2002
*Zakaria J. Ngelow, teolog Kristen, dosen pada STT INTIM MAKASSAR. Summary:
1. Modern democracy emerged in the West from a background of the decline of Corpus Christianum. Supported by Enlightenment and other factors in the Western history, American, French and Industrial revolutions. Democracy development went hand in hand with development of modern science and technology, capitalism economy and human rights.
2. There were some tracks of Christian indirect support to the development of modern democracy, but in general democracy is not a religious achievement. Only recently Christian theological thoughts engaged with problems of democracy.
3. It is a striking phenomenon that modern democracy developed in Western or western influenced societies. Are the non-Western cultures immune to democracy? Why did great civilizations of non-Western worlds seem to be unfit to democratic systems?
4. In the case of Islamic countries, reluctance to apply democracy partly is caused by unharmonious relationship to the West almost from the beg
inning of Islam emergence as political and economical power in the Mediterranean and then in the long period of colonialism until the recent development. Democracy regarded and rejected as a Western cultural value.
5. The most important factor is the tendency among Muslim politicians to apply Islamic political principles in a rigid, legalistic and formalistic way. But this tendency is countered by a more substantive approach by modern enlightened Islamic scholars. The future of Indonesian democracy will be determined by the efforts of this groups. Of course some other factors like economic and military roles are significant. Another significant factor is political education among Muslim to free them from religious political exploitation or manipulation.
6. The concept of ‘masyarakat madani” (Islamic type of civil society) should be developed into a creative and complementary way with Pancasila.
Zakaria Ngelow
----------------
International conference on: Democratic challenges in Muslim Countries,
Hotel Sahid Makassar, 27 March 2002,
organized by
Ifo-RESO (Institue for Religious and Social Change Studies)

keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik