FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

makna spiritual di balik ibadah haji  Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

makna spiritual di balik ibadah haji  Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

makna spiritual di balik ibadah haji

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

makna spiritual di balik ibadah haji  Empty makna spiritual di balik ibadah haji

Post by keroncong Sun Jul 10, 2016 12:03 pm

 Ibadah haji merupakan Rukun Islam ke-5 dan hanya ditujukan bagi mereka yang mampu. Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya pelaksanaan ibadah haji sungguh sangatlah berat, karena membutuhkan persiapan matang, mulai dari fisik, mental, sampai materi. Jadi sesungguhnya dalam melaksanakan haji kita tidak boleh main-main mengingat beratnya persiapan tersebut. Tetapi, insyaAllah dengan niat yang ikhlas dan atas dasar keimanan semua halangan akan mudah untuk dilalui.
Lalu apakah haji itu sebenarnya? Apakah hanya sekadar “jalan-jalan” ke Baitullah (rumah Allah SWT)? Atau ada makna lain yang tersembunyi. Sesungguhnya ada dua dimensi dalam pelaksanaan haji, yaitu: dimensi vertikal (hablumminallah) dan dimensi horizontal (hablumminannas). Haji, jika kita lihat dari tatacara pelaksanaannya, merupakan suatu rangkaian pengulangan sejarah dari tiga anak manusia dalam upaya mereka mencapai tauhid. Mereka itu adalah Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail AS, dan Siti Hajar (istri kedua Nabi Ibrahim AS dan ibunda Nabi Ismail AS). Sekarang saya akan mencoba merunutkan arti penting dari rukun haji.
                                                    Makna Ihram
Sebelumnya, pernahkah kita bertanya mengapa diwajibkan memakai pakaian ihram pada waktu haji? Lalu mengapa pakaian ihram tersebut tidak boleh dijahit? Mengapa harus berwarna putih dan a terbuat dari bahan yang sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus merujuk kepada firman Allah SWT yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dengan status yang sama yakni sebagai khalifah di bumi (QS. 6:165, QS. 10:14) dan sesungguhnya yang membedakan manusia dihadapan Allah Swt. adalah iman dan taqwa (QS. 49:13).
Saat memakai ihram, maka manusia dibebaskan dari status-status yang bersifat duniawi. Kita tidak akan pernah tahu siapa saja yang sedang berhaji ketika itu. Mungkin ada pengusaha, artis, atau mungkin pejabat. Ketika kita berhaji, maka satu-satunya status yang melekat pada diri kita adalah sebagai hamba Allah SWT. Tidak lebih!
         Makna lain yang terkandung dalam pemakaian pakaian ihram adalah sesungguhnya kita menghadap Allah SWT dalam ketelanjangan. Itu sebabnya kita dilarang menjahit ihram. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita datang menghadap Allah Swt. dalam ketelanjangan? Sebenarnya hal tersebut merupakan perumpamaan dimana kita diminta untuk menghadap Allah SWT dengan apa adanya, tidak terjebak oleh materi duniawi, seperti pakaian sehari-hari yang, kembali, dapat melekatkan kita kepada status di  tengah masyarakat.
Selain itu, pernahkah Anda menyadari bahwa dengan memakai ihram, sesungguhnya kita diingatkan bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah abadi, melainkan hanya senda-gurau belaka (QS. 29:64). Dalam hal ini, pakaian ihram dianalogikan sebagai kain kafan yang setiap saat dapat membalut tubuh kita. Untuk itu, kita harus menyadari benar konsep innalillahi wa innailaihi raji’un yang mengandung arti bahwa kita semua adalah makhluk ciptaan Allah SWT dan kepada-Nyalah kita akan kembali.
Pemaparan di atas merupakan makna dari ihram apabila ditinjau dari dimensi yang pertama, yaitu dimensi vertikal. Lalu apakah makna ihram apabila dilihat dari dimensi horizontal? Sesungguhnya, makna yang terkandung sangatlah sederhana yaitu kita diminta menanggalkan segala kepalsuan dan diminta untuk senantiasa bertindak apa adanya. Salahsatu budaya negatif dari masyarakat Indonesia yang mengandung unsur kepalsuan tersebut adalah budaya hipokrit (munafik) atau mungkin kita lebih mengenalnya dalam kalimat Asal Bapak Senang (ABS). Hipokrit merupakan suatu sikap dimana kita melegalkan kedustaan demi tercapainya keinginan pribadi. Sebagai contoh, kita sering mendengar seseorang memuji atasannya demi kenaikan pangkat, bukan karena atasannya memang layak dipuji karena kepribadiannya ataupun etos kerjanya.
          Di samping itu, dengan memakai pakaian ihram kita disadarkan untuk melepaskan diri dari kesombongan, klaim superioritas, maupun ketidaksamaan derajat atas manusia yang lain. Oleh karena itu, kita diharuskan agar senantiasa berbuat baik dan mengedepankan sikap saling menghormati. Apabila hal ini dapat terwujud, maka cita-cita akan perdamaian, toleransi, ataupun kerukunan masyarakat akan lebih mudah untuk direalisasikan.
                                                     Makna Thawaf
Thawaf merupakan rangkaian dari ibadah haji dimana kita diharuskan untuk mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Pada hakikatnya, thawaf dapat diartikan sebagai tindakan meniru perilaku alam semesta yang senantiasa “berdzikir” kepada Allah SWT. Melalui pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya benda-benda alam senantiasa bergerak. Gunung yang besar dan kukuh ternyata bergerak (bergeser), bulan bergerak dengan mengelilingi bumi, bumi bergerak dengan mengelilingi matahari, dan mataharipun bergerak mengelilingi pusat dari gugusan-gugusan bintang yaitu galaksi Bima Sakti (Milky Way) atau yang kita kenal dengan sebutan Black Hole. Inilah makna thawaf dalam dimensi vertikal, yaitu penegasan bahwa sesungguhnya kita merupakan bagian dari alam semesta yang tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta serta dan diharuskan untuk senantiasa mengingat-Nya.
Dalam dimensi horizontal, kita diminta senantiasa hidup dengan penuh keteraturan seperti keteraturan gerak benda-benda alam raya. Bayangkan, apabila gerakan yang dilakukan oleh benda-benda tersebut tidak teratur, tentunya akan mengakibatkan chaos (suatu keadaan dengan penuh ketidakteraturan) yang tentunya dapat membawa kehancuran. Sama halnya dengan benda-benda alam tersebut, manusia juga dapat mengalami kehancuran apabila tidak hidup dalam keteraturan karena dapat memicu konflik. Keseimbangan hidup, itulah kunci agar kita dapat hidup dalam keteraturan, ingat, alam raya diciptakan juga atas dasar konsep keseimbangan (QS. 55: 7-9).
        Selain soal keteraturan, dalam melaksanakan thawaf kita juga diingatkan bahwa sesungguhnya kehidupan setiap manusia senantiasa berputar. Mungkin hari ini kita berada dalam kebahagian, tetapi mungkin esok kita hidup dalam kesusahan. Sesungguhnya semua itu merupakan cobaan dari Allah SWT. yang ingin menguji sampai sejauhmana tingkat keimanan kita.
                                                         Makna Sa’i
Setelah berthawaf, maka kita diminta melakukan sa’i, yaitu berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah. Agar lebih mudah memahami sa’i, maka ada baiknya kita kembali mengingat peristiwa sewaktu Nabi Ibrahim AS meninggalkan anaknya, Nabi Ismail AS, beserta istrinya, Siti Hajar di suatu lahan tandus yang sekarang ini kita kenal dengan nama Mekkah. Kecintaan dan keikhlasan kepada Allah SWT adalah wujud dari dimensi vertikal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran. Mungkinkah Anda meninggalkan istri dan anak Anda yang baru lahir di sebuah lahan tandus dan tidak berpenghuni? Adakah alasan lain untuk melakukan hal tersebut selain dari wujud kecintaan dan keikhlasan Anda kepada Allah SWT, Tuhan sekalian alam? Sesungguhnya ini adalah wujud konkrit dari apa yang kita sebut dengan Tauhid.
Keikhlasan Nabi Ibrahim AS meninggalkan istri dan anaknya dan keikhlasan Siti Hajar untuk ditinggalkan suami tercinta, karena semata-mata perintah Allah SWT merupakan suatu hal yang dapat kita jadikan pelajaran. Apalagi pada masa yang sekarang ini saat kita mudah melalaikan perintah Allah SWT, bahkan yang sederhana seperti menjaga kebersihan sampai yang wajib seperti shalat, karena hal-hal yang bersifat duniawi.
Wahai anak-anak Adam masihkah engkau tidak menyadari bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanya senda-gurau belaka, dan sesungguhnya akhirat itu merupakan kehidupan yang sebenarnya?! Janganlah pernah bergantung kepada suatu hal yang hanya sesaat, tetapi bergantunglah kepada sesuatu yang abadi, yaitu Allah SWT. Mengapa demikian? karena sesungguhnya bergantung kepada suatu yang sesaat merupakan suatu kesia-siaan.
     Dalam dimensi horizontal sa’i, merupakan wujud dari kasih-sayang ibu kepada anaknya. Diceritakan bahwa ketika Siti Hajar ditinggalkan, ia memiliki cukup persiapan air. Tetapi, ketika persediaan itu mulai berkurang, rasa panik mulai menghinggapi dirinya dan ia pun segera berlari-lari dari bukit Shafa ke bukit Marwah untuk mencari air. Ketika ia mulai lelah karena tidak menemukan air, tiba-tiba ia tercengang ketika melihat air yang memancar dari bawah padang pasir. Kemudian secara spontan ia seakan berbicara kepada air yang memancar itu agar berkumpul karena takut air itu akan kembali ke dalam pasir. Air inilah yang kini kita kenal dengan istilah air Zam-Zam yang berasal dari bahasa Ibrani yang berarti “kumpullah-kumpullah”.
Dalam makna yang lain, sa’i mengajarkan kepada kita bahwa apabila kita ingin mendapatkan sesuatu, maka kita harus berusaha dahulu. Hanya saja, sekarang ini manusia menginginkan sesuatu yang instan, karena tidak ingin lagi bersusah payah apabila ingin mendapatkan sesuatu. Bahkan, terkadang sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya itu.
                                                     Makna Wuquf
Wuquf di (bukit) Arafah merupakan rangkaian ibadah haji setelah sa’i. Konon, saat Nabi Adam AS diturunkan ke bumi, beliau terpisah dengan istrinya yaitu Siti Hawa, kemudian Allah SWT mempertemukan mereka kembali di bukit Arafah. Oleh karena itu, ada semacam anggapan bahwa bukit Arafah adalah Bukit Jodoh, apabila seseorang berdo’a di bukit tersebut untuk mendapatkan jodoh, konon dia akan mendapatkan jodoh. Tetapi, sesungguhnya itu semua tidak lebih dari sekadar mitos.
     Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa haji itu adalah Arafah, maksudnya adalah bahwa tidak akan diterima haji seseorang apabila ia meninggalkan wuquf di Arafah. Lalu pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya menyebabkan wuquf di Arafah sangat penting? Hal itu disebabkan karena ketika sedang melakukan wuquf, Nabi Muhammad Saw. mendapat wahyu terakhir yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah meridhai Islam sebagai agama umat manusia (QS. 5:3). Selain itu, Nabi juga pernah menyampaikan khutbatul wada’ (khutbah perpisahan) yaitu khutbah terakhir Nabi sebelum meninggal beberapa bulan kemudian.
      Dalam khutbah tersebut ada beberapa hal penting yang perlu dihayati, khutbah tersebut dibuka oleh Nabi dengan pertanyaan: “Wahai sekalian umat manusia, tahukah kamu dalam bulan apa kamu ini, di hari apa kamu ini, dan di negeri apa kamu ini?” Kemudian para hadirin menjawab: “Kita semuanya ada dalam hari yang suci, bulan yang suci, dan di tanah yang suci.”
       Mendengar jawaban tersebut, Nabi melanjutkan khutbahnya: “Oleh karena itu, ingatlah bahwa hidupmu, hartamu, dan kehormatanmu itu suci, seperti sucinya harimu ini, dan bulanmu ini, di negeri yang suci ini, sampai kamu datang menghadap Tuhan.” Sejenak Nabi terdiam, tetapi kemudian berkata lagi: “Sekarang dengarkan aku, dengarkanlah aku, maka kamu akan hidup tenang; ingatlah kamu tidak boleh menindas orang, tidak boleh berbuat zhalim kepada orang lain, dan tidak boleh mengambil harta orang lain.”
        Dari penjelasan di atas, makna wuquf dari dimensi vertikal adalah kembali sucinya kita di mata Allah SWT. Tetapi, sucinya diri kita harus selalu disertai makna horizontal wuquf, yaitu dimana kita harus senantiasa menghargai dan menghormati orang lain dengan cara tidak menindas, tidak berbuat zhalim, dan tidak mengambil harta orang lain.
                                                         Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sesungguhnya dalam pelaksanaan ibadah haji, nilai-nilai kemanusiaan sangat dikedepankan. Jika kita memerhatikan ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang membahas masalah haji, maka semua ayat-ayat tersebut menekankan kepada kemaslahatan dan perikemanusiaan. Bahkan, khutbah terakhir Nabi di Arafah dapat dikatakan sebagai pidato (khutbah) pertama yang mengangkat tema Hak Asasi Manusia (HAM) yang sekarang ini sedang banyak dibicarakan oleh kalangan Barat.
       Oleh sebab itu, jika kita berbicara tentang haji mabrur, maka yang dimaksud adalah bagaimana kita dapat mewujudkan makna ibadah haji tersebut dalam solidaritas sosial.
Di kalangan kaum sufi, ada suatu kisah menarik yang dapat memberi gambaran mengenai hal ini. Alkisah, ada sepasang suami-istri yang sederhana, tetapi bertekad menunaikan haji. Untuk mewujudkan tekad tersebut, mereka bekerja keras dan bersusah-payah, hasil yang mereka peroleh kemudian mereka tabung.
      Setelah bertahun-tahun menabung, akhirnya tabungan mereka telah cukup untuk bekal perjalanan. Mereka pun akhirnya berhaji. Tetapi, sebelum sampai ke Mekkah, mereka melewati sebuah kampung yang rata-rata penduduknya sangat miskin. Mereka melihat banyak anak-anak yang menderita busung lapar; mereka juga melihat anak-anak yang tidak berpakaian. Suami-istri itu iba. Mereka berpikir bahwa naik haji memang merupakan perintah Tuhan, tetapi itu hanya dinikmati oleh mereka berdua. Padahal, di depan mereka sedang terlihat pemandangan yang mengenaskan. Mereka kemudian berpikir, “Bukankah lebih baik apabila bekal kita diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan?”
       Akhirnya mereka berdua sepakat memberikan tabungan mereka selama bertahun-tahun itu kepada penduduk kampung tersebut. Mereka pun batal berhaji. Namun, ketika sampai di rumah, ada seseorang, yang mereka tidak kenal sama sekali, yang menyambut mereka dengan ucapan: “Selamat datang dari haji mabrur wahai hamba Allah yang mulia.”
Mendengar ucapan tersebut, mereka sama sekali tidak mengerti. Mereka pun menjelaskan bahwa mereka tidak jadi berhaji. Tetapi, orang tersebut menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan di perjalanan itulah yang sesungguhnya disebut haji mabrur. Setelah berkata demikian, orang tersebut kemudian menghilang. Dalam riwayat, orang tersebut adalah malaikat yang diserupakan dengan manusia oleh Allah SWT.
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil substansi sesungguhnya dari apa yang disebut dengan haji mabrur, yang ternyata dapat diperoleh tanpa melakukan ibadah haji secara formal. Kini marilah kita renungkan sindiran dari guru kita, Buya Hamka (Alm) kepada mereka yang baru pulang dari Tanah Suci dengan pertanyaan: “Apakah ada oleh-oleh lain yang kau bawa selain air zam-zam?”
Tentu kita dapat memahami bahwa “oleh-oleh” yang dimaksud di sini adalah haji mabrur. Semoga saudara-saudara kita yang kini sedang berhaji dapat menjadi haji mabrur dalam makna yang sesungguhnya. Last but not least, sungguh percuma bagi mereka yang berhaji apabila tidak dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya mari kita berdoa dengan ketulusan jiwa dan hati kita, semoga semua jamaah calon haji Kota dan Kabupaten Bima, musim haji 1433 H/2012 M ini, dapat melaksanakan prosesi manasik haji dan umrah dengan sebaik baiknya, dan meraih haji mabrur/haji yang diterima Allah, haji yang berkualitas yang tidak ada lain balasannya, kecuali surganya Allah SWT. Amin ya rabbal alamin
Penulis adalah Sekretaris Imum MUI Kota Bima
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

makna spiritual di balik ibadah haji  Empty Re: makna spiritual di balik ibadah haji

Post by SEGOROWEDI Sun Jul 10, 2016 12:56 pm

dari adam sampai isa, gak ada yang mengenal apalagi mekakukan dan mengajarkan ritual haji
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

makna spiritual di balik ibadah haji  Empty Re: makna spiritual di balik ibadah haji

Post by njlajahweb Sun Oct 08, 2017 11:55 am

Quote
Setelah bertahun-tahun menabung, akhirnya tabungan mereka telah cukup untuk bekal perjalanan. Mereka pun akhirnya berhaji. Tetapi, sebelum sampai ke Mekkah, mereka melewati sebuah kampung yang rata-rata penduduknya sangat miskin. Mereka melihat banyak anak-anak yang menderita busung lapar; mereka juga melihat anak-anak yang tidak berpakaian. Suami-istri itu iba. Mereka berpikir bahwa naik haji memang merupakan perintah Tuhan, tetapi itu hanya dinikmati oleh mereka berdua. Padahal, di depan mereka sedang terlihat pemandangan yang mengenaskan. Mereka kemudian berpikir, “Bukankah lebih baik apabila bekal kita diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan?”
Akhirnya mereka berdua sepakat memberikan tabungan mereka selama bertahun-tahun itu kepada penduduk kampung tersebut. Mereka pun batal berhaji. Namun, ketika sampai di rumah, ada seseorang, yang mereka tidak kenal sama sekali, yang menyambut mereka dengan ucapan: “Selamat datang dari haji mabrur wahai hamba Allah yang mulia.”
Mendengar ucapan tersebut, mereka sama sekali tidak mengerti. Mereka pun menjelaskan bahwa mereka tidak jadi berhaji. Tetapi, orang tersebut menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan di perjalanan itulah yang sesungguhnya disebut haji mabrur. Setelah berkata demikian, orang tersebut kemudian menghilang. Dalam riwayat, orang tersebut adalah malaikat yang diserupakan dengan manusia oleh Allah SWT.
Dari kisah di atas, kita dapat mengambil substansi sesungguhnya dari apa yang disebut dengan haji mabrur, yang ternyata dapat diperoleh tanpa melakukan ibadah haji secara formal.

tanggapan
baiklah, aku percaya akan hal ini
njlajahweb
njlajahweb
BANNED
BANNED

Female
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119

Kembali Ke Atas Go down

makna spiritual di balik ibadah haji  Empty Re: makna spiritual di balik ibadah haji

Post by njlajahweb Sun Oct 08, 2017 12:05 pm

jadi begini, diantara orang yang naik haji ke mekah memang ada yang bisa diterima AllohSWT, tapi hanya kepada orang-orang islam yang naik hajinya dengan sikap hati yang benar, kecuali yang tidak.

dan yang termasuk kecuali yang tidak itu, adalah jika orang islam tersebut naik haji untuk ketenaran namanya
njlajahweb
njlajahweb
BANNED
BANNED

Female
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119

Kembali Ke Atas Go down

makna spiritual di balik ibadah haji  Empty Re: makna spiritual di balik ibadah haji

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik