FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

mengekspresikan nilai islam dalam diri Dai Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

mengekspresikan nilai islam dalam diri Dai Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

mengekspresikan nilai islam dalam diri Dai

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

mengekspresikan nilai islam dalam diri Dai Empty mengekspresikan nilai islam dalam diri Dai

Post by paman tat Mon Apr 13, 2015 3:27 pm

Catatan Untuk Naqib: Setelah mendapatkan taujih ini diharapkan agar kader mampu konsisten dalam mengekspresikan nilai Islam dalam dirinya, meskipun lingkungan dan masyarakat jauh dari nilai Islam dan mampu membangkitkan kelesuan dirinya dengan mengaca dan melihat sosok dai-dai terdahulu.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Ashshalatu was salamu ala rusulillah shallahu ‘alaihi wa sallam.

3:146 Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa (Wa ka-ayyin min nabiyyi qaatala ma’ahu ribbiyyuuna katsiir). Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyyerah (kepada musuh) (famaa wahanuu limaa ashaabahum fii sabiilillaahi wa maa dha’ufuu wa maastakaanuu) Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar (Wallaahu yuhibbush-shaabiriin ) “.
Ikhwati Fillah…
Dakwah yang sedang kita lakoni sekarang bukanlah dakwah yang baru. Gerakan dakwah yang mempunyai akar sejarah panjang. Karenanya, kita tidak kekurangan referensi dan pengalaman. Referensi dan pengalaman yang ada pun bukan hanya pada keberhasilan dan kesuksesannya saja, tetapi juga disisipi dengan kasus-kasus kegagalan dan ketergelinciran pelakunya di sepanjang zaman. Memang, kegagalan dan ketergelinciran pelakunya tidaklah harus menjadi kebanggaan generasi penerusnya. Tetapi semua itu merupakan kekayaan dakwah yang menjadi modal untuk bekerja lebih baik dan lebih berhasil di masa-masa mendatang.
Sejak dulu hingga sekarang, izzatud du’at (kebanggaan para pelaku dakwah) akan kebenaran dakwah selalu menjadi sumber kekuatannya dalam berdakwah dan berjuang. Kekuatan karena yakin dan tsiqah dengan janji Allah, kemenangan di dunia atau gugur syahid di jalan-Nya. Menang dengan tegaknya syariat dan nilai Islam atau gugur syahid di tengah jalan mulia menuju cita-cita.
Ikhwati Fillah…
Tarbiyah yang kita lakukan selama ini harus mampu meningkatkan kualitas iman dan amal kita. Izzah (kebanggaan) kita akan Islam juga harus semakin besar. Dengan keizzahan tersebut, seseorang diharapkan tidak terbuai dengan kesenangan dunia, meskipun halal. Dan dengan keizzahan pula seseorang terus bekerja dan berjuang untuk cita-cita, tidak tergoda untuk istirahat atau izin beberapa saat untuk mengejar target duniawi tertentu atau sedih memikirkan kondisi keluarga, istri dan anak.
Ikhwati Fillah…
Sekali lagi kita harus mengaca dengan keteguhan dan ketsabatan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, seorang ahli hadits, ahli fiqih (Imam Mazhab Hambali) dan seorang dai. Dalam kitab Thabaqat Al-Hanabilah disebutkan bahwa ketika Ahmad bin Daud, Abu Sa’id Al-Wasithi menemui Imam Ahmad di penjara sebelum dicambuk ia berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdullah (Imam Ahmad), Anda punya tanggungan keluarga yang harus Anda urus, Anda juga punya anak serta Anda sudah beruzur (karena usia).” Dengan mantap dan izzah imaniyah, beliau menjawab, “Jika demikian cara berpikir Anda wahai Abu Sa’id, maka sebenarnya Anda sudah istirahat dari perjuangan.”
Pemikiran dan perkataan semacam ini sudah banyak terlontar dari para dai. Dai yang ingin pensiun, ingin menghabiskan sisa usianya untuk karir, untuk keluarga, untuk penghidupan, untuk cita-citanya pribadi. Mereka sibuk dengan usaha mereka, dengan perusahaan mereka, dengan keluarga mereka dan dengan ambisi-ambisi mereka. Mereka beranggapan, mereka sudah selesai melaksanakan kewajibannya ketika mereka masih muda dulu dan ketika mereka masih sangat dibutuhkan dakwah. Dalam pandangan mereka, sekarang dakwah sudah mempunyai kader-kader baru yang segar dan siap untuk menghabiskan waktunya di dakwah sama sepertinya dulu. Pada hakikatnya ucapan-ucapan mereka itu adalah ucapan peristirahatan dari segala tugas dakwah. Ucapan orang yang tertipu dengan pemahaman keislamannya yang sempit. Pemahaman yang tidak membuat mereka merasa sedih dan pilu dengan nasib dan kondisi umat Islam saat ini. Perjuangan Islam tidak mengenal kata istirahat sampai ketentuan Allah datang kepada kita, menang atau gugur syahid.
Ikhwati Fillah…
Buat apa sukses di karir kalau hanya di dunia, buat apa keluarga mapan materi jika hanya di dunia, buat apa usaha maju pesat jika tidak menambah ketsabatan dan pengorbanan di jalan dakwah. Buat apa menjadi konglomerat jika tidak bisa mencontoh Utsman bin Affan r.a. atau Abdurrahman bin Auf r.a. atau Abu Bakar Siddiq r.a. atau sahabat lainnya yang berhasil dalam usaha tapi tidak meninggalkan dakwah, bahkan menjadi pilar utama dakwah di masa Rasulullah saw.
Ikhwati Fillah…
Keletihan dan kecapekan kita dalam dakwah dan tarbiyah tidaklah membuat ajal kita menjadi cepat atau memendekkan usia atau membuat tubuh kita menjadi aus. Tetapi justru akan meninggikan derajat para dai dan membuat usianya menjadi lebih bermanfaat dan penuh dengan keberkahan.
Coba kita lihat apa yang dirasakan Basyar bin Al-Harits, seorang zahid dan ulama tsiqah pada masa Imam Ahmad yang lepas dari incaran penguasa karena ketenarannya dalam zuhud dan kecintaan masyarakat kepadanya. Ia terkenal dengan kecintaannya kepada Imam Ahmad dan di hari Imam Ahmad disiksa oleh algojo pemerintahan Al-Mu’tashim Billah, ia berkata, “Sampai saat ini Imam Ahmad telah disiksa cambuk sebanyak 17 cambukan (dari 30 cambukan).” Kemudian Basyar menjulurkan kakinya, sambil melihat betis kakinya ia berkata, “Alangkah buruknya betis (kaki) ini yang tidak terbelenggu apapun, tapi tidak dapat membela lelaki ini (imam Ahmad).”
Buah dari izzah imaniyah yang dapat dirasakan seorang mukmin adalah kesadaran bahwa dalam Islam terdapat kekuatan yang hakiki yang terefleksi dalam diri seseorang untuk mengekspresikan Islam yang utuh. Kepalsuan yang terdapat dalam teori, prinsip, gaya hidup dan pandangan jahiliyah senantiasa mengajak orang banyak untuk mengekspresikannya. Dengan izzah imaniyah, meskipun kebanyakan orang tertipu dan terbawa fitnah dunia atau godaan dunia, ia mampu bertahan dan dapat mengekspresikan Islam dalam dirinya agar umat dan generasi penerusnya tidak ikut terjebak dengan doktrin dan godaan yang ada.
Sebelum Imam Ahmad memerankan pribadinya sebagai umat, jauh sebelum itu nabi Ibrahim a.s. pernah mengekspresikan dirinya sebagai imam (umat). Penegasan Allah dalam Al-Qur'an tentang hal itu merupakan catatan yang harus dipahami agar tidak muncul pesimistis dalam diri dai ketika ia hanya seorang diri harus memerankan dan mengekspresikan nilai-nilai Islam.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam (umat) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (Q.S. An-Nahl: 120)
Ibnu Taimiyah mengomentari bahwa saat itu Nabi Ibrahim a.s. hanya seorang diri saja yang beriman, sementara masyarakat masih dalam kekafiran dan kejahiliyahan.
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Ibrahim berkata kepada istrinya, Sarah, “Wahai Sarah, tidak ada seorang pun di muka bumi saat ini yang beriman kecuali aku dan engkau.”
Dari kejadian ini dapat disimpulkan bahwa rasa katerasingan pada diri seorang mukmin bukanlah katerasingan yang hakiki. Justru masyarakat yang sesat dan kafir itulah sebenarnya yang asing dan tersesat di dunia yang luas ini.
Sehingga ketika sebagian orang menyangka bahwa Abdul Wahab ‘Azzam berada dalam katerasingan dengan cepat ia meluruskan pandangan tersebut dengan mengatakan, “Temanku berkata kepadaku bahwa ia melihatku sebagai seorang asing di tengah manusia, tanpa kawan seorang pun. Aku katakan kepadanya, “Penilaian Anda tidak benar, justru merekalah yang asing (dalam dunia masing-masing yang sempit dan gelap). Saya berada di duniaku yang luas dan inilah jalanku (yang jelas dan terang).”
Adapun keterasingan ghuraba yang disebutkan dalam hadits Nabi (thuuba lil ghurabaa’) adalah keterasingan dalam realita. Artinya asing karena jarangnya dan sedikitnya jumlah mereka dibandingkan dengan masyarakat banyak. Sedangkan di alam hati dan perasaan, sesungguhnya seorang mukmin dekat dan akrab dengan nilai-nilai keimanan, jauh dari katerasingan nilai rabbani.
paman tat
paman tat
SERSAN MAYOR
SERSAN MAYOR

Male
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik