FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

skisme dalam islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

skisme dalam islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

skisme dalam islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

skisme dalam islam Empty skisme dalam islam

Post by keroncong Sun Aug 26, 2012 11:17 am

Apa yang dimaksud "air"? Kata mazhab Hanafi, air itu termasuk
air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air
teh). Kata mazhab yang lain, air mutlak saja. "Debu" meliputi
pasir dan tanah, kata Syafi'i; tanah saja, kata Hambali;
tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah,
pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah
oleh Ja'fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).

Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash
yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal
Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar,
ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih
operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan
sebagainya.

SEBAB-SEBAB YANG BERKENAAN DENGAN SUNNAH

Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil
lagi. Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil
pelajaran dari hadits: apakah yang diberitakan hadits itu
Sunnah atau bukan. Manakah yang sunnah, mengampuni para
tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah saw. pada Fath
Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada
perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah,
menjilati jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah
sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu.

Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits.
Hadits dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup
pengalaman yang berlainan bersama Rasulullah saw. Ada yang
menyertai Nabi hampir setiap saat, dan ada yang berjumpa
dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan bahwa mayit akan
disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki
orang yang menangisi mayat. 'Aisyah menolak hadits 'Umar ini.
Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, 'Aisyah
berkata, "Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn
Umar). Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah
lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah saw. Mereka menangisi
jenazah itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang
disiksa." [5]

SEBAB-SEBAB BERKENAAN DENGAN PERBEDAAN KAIDAH USHUL FIQH

Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada
kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu
berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang
terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi'i, Maliki, Hambali.
Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan
tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1)
"Deralah mereka 80 deraan," (2) "Jangan terima kesaksian
mereka selama-lamanya," dan (3) "Mereka itulah orang-orang
fasik." Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah
deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian
penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua
mazhah --selain Hanafi-- memilih rnenjawab "ya" untuk
pertanyaan-pertanyaan di atas.

Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul
Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad
yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan,
qaul shahabat, dan sebagainya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali
apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986:
99-103).

1. Sepakat pada yang qath'i, siap berbeda pada yang dzhann-i:
Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar.
Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muamalah
yang disetujui bersama, apa pun mazhabnya. Kedua, bertalian
dengan cabang-cabang (furu') dari pokok-pokok di atas yang
memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan
Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah
kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari
perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh mazhab
mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah --semuanya percaya
kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari
Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl
al-Sunnah dan Syi'ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku'
dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang
penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari
pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir,
mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita
akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan
dalil-dalil qath'i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil
dzanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling
menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk
pengembangan wawasan tentang Islam.

2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip
silaturahim:

Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang
dzanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat
ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya
maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik
hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama
ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur'an (kalau berkenaan dengan
penafsiran al-Qur'an). Ukuran aqli --yang saya definisikan
sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu
proposisi-- hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli.
Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat.
Ini cara untuk menghindarkan "terburu-buru" menangkap ruh dari
suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak
ijtihad dan menafsirkan al-Qur'an karena ruh ajaran Islam itu
egalitarian, terjebak dalam keterburu--buruan. Mencurigai
hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya,
betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan
prinsip egalitarian al-Qur'an [6] adalah mendahulukan kritik
'aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan
keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam
Mahdi, misalnya.

Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi
betapapun kuatnya, pendapat itu tetap dzhanni. Di
tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh
tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat.
Ini saya sebut prinsip shilaturrahim. Ibnu Mas'ud berpendapat
shalat Dzuhur dan 'Ashar di Mina harus di qashar. Ketika
Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas'ud shalat juga empat
rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, "Perselisihan itu semua
jelek" -(al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat
rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama
menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi
khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan
kemaslahatan umat. Imam Syafi'i tidak membaca qunut pada
shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak
jauh dari situ.

Di Indonesia, banyak paham timbul --barangkali setelah
melakukan taryih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham
kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan
meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung
menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui
dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain.
Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan
seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak
berujung.

3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan
mana yang qath'i dan dzanni, mengkritik hadits, melakukan
tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang.
Al-Qur'an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan,
"Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang
melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?" (QS. al-Ra'd:16);
"Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama
kegelapan dan cahaya" (QS. Fathir:19); "Katakan, apakah sama
orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan"
(QS. al-Zumar:9) "Allah mengangkat derajat orang yang beriman
dan memiliki ilmu pengetahuan" (QS. Al-Mujadilah: 11).
Mengizinkan setiap orang berijtihad --tanpa mempedulikan
perbedaan mereka dalam pengetahuan agama-- dapat menimbulkan
chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan
orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu
mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi
yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala
yang berbentuk kriteria. "Berijtihad" tanpa ilmu berarti
membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti
anarkhi.

Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang
pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad
sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan
ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan
pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti,
hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya.

CATATAN

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah,
al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan
hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid
Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq,
Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974.

2) Al-Sayyid Murtadha al-'Askari menulis studi perbandingan
antara Sunnah dan Syi'ah dalam Ma'alim al-Madrasatain
(Teheran: Al-Bi'tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai
madrasah al-khilafah dan Syi'ah sebagai madrasah al-imamah.

3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam
kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah;
Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak
al-Shakihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201.

4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab
Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi'ah.
Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian
dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang
mendukung Syi'ah, sehingga Syi'ah sering disebut sebagai
Sabaiyyah.

5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz.
Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup
banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah),
dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada
bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit.

6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur'an, prinsip pewarisan
kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering
ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30;
6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa
pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang
benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian
hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang
sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar
al-Fikr al-Arabi.

Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma'alim at-Madrasatain, Teheran:
Bittsah.

Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah: Dar
al-Mu'alim

Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh 'ala al-Madzahib
al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi'ah wa al-Hakimun, Beirut:
Dar al-Jawad.

-------------, 1982, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Khaumsah,
tidak diketahui penerbitnya.

Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, "Ulu al-Amr 'inda Madzahib
al-Islamiyah," dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran:
Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.

Durant, Will, 1950, The story of Civilization, Vol.IV, New
York: Simon and Schuster.

-------------, 1953, The story of Civilization, Vol.V. New
York: Simon and Schuster.

Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan
Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies,
London.

Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of
Shi'a Islam. Beirut: American University.

Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs,
Cambridge.

Rahmat, J., 1986, "Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur'an dan
Sejarah" dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilemma,
Bandung: Mizan.

Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah
al-Najah.

Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi'a, Tidak diketahui
penerbitnya.

Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut:
Dar al-Fikr.

Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall,
Trans. M. Weir. Calcutta.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik