FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pajak dalam islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pajak dalam islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

pajak dalam islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

pajak dalam islam Empty pajak dalam islam

Post by keroncong Sun Jul 15, 2012 2:59 am

Masdar F. Mas'udi

Secara formal, solusi pertama sebenarnya sudah dimulai di
hampir setiap negeri dengan sistem pajak (tax)-nya, bahkan
pajak progresif. Hanya saja, fungsi pajak sebagai penjamin
keadilan, terutama bagi yang lemah, masih harus
ditransformasikan dengan sekuat tenaga. Terikat oleh persepsi
jahiliyahnya mengenai pajak, masyarakat di mana-mana masih
menganggap pajak sebagai hutang rakyat terhadap negara dan
untuk negara. Karuan saja yang terjadi adalah bahwa prioritas
utama dan terutama dari pengalokasian (pentasarufan) uang
pajak adalah untuk memperkuat eksistensi dan wibawa negara,
bahkan sering dengan korban rakyat sendiri. Atau jika korban
itu tak lagi dimungkinkan dari kalangan rakyat sendiri,
dicarinya dari rakyat bangsa negeri-negeri lain. [23]

Bahwa negara (state) perlu diperkuat, memang ada gunanya. Akan
tetapi negara yang perlu diperkuat itu adalah negara yang
berikrar untuk menjadi pelayan ('amil) bagi kepentingan
rakyat; bukan negara yang justru merasa bangga ketika bisa
nyatroni dan menggagahi rakyat. Negara yang boleh diperkuat
adalah negara yang menyadari sepenuhnya bahwa uang pajak yang
ada ditangannya adalah amanat Tuhan yang harus dipergunakan
bagi keadilan dan kesejahteraan bersama, yang dimulai justru
dari lapisannya yang paling tidak berdaya. Sistem perpajakan
sebagai soko guru lembaga negara masih harus ditransformasikan
sedemikian rupa, sehingga penggunaannya sejalan dengan wasiat
Tuhan penguasa segala penguasa. "Sungguh, sedekah (upeti/
pajak) itu milik orang-orang fakir, orang-orang miskin, untuk
keperluan negara sendiri sebagai pelaksana, milik orang-orang
yang perlu disadarkan hatinya, milik orang-orang yang
tertindas? Orang-orang yang tertindih hutang, untuk
kesejahteraan bersama, dan juga untuk anak jalanan. Itulah
ketentuan Allah, dan Allah sungguh maha mengetahui lagi maha
bijaksana" (QS. al-Taubat: 60).

Sedangkan untuk persoalan kedua, bagaimana golongan lemah
dapat mengembangkan usahanya sendiri, strategi pemecahannya
tentulah dengan mendekatkan kembali sumber-sumber permodalan
kepada mereka - tanpa mengabaikan faktor pendidikan yang
membebaskan. Bila ini dilakukan, ketergantungan golongan lemah
kepada negara (baca: dana pajak), yang mereka sendiri
sebenarnya tidak menyukainya, pada akhirnya bisa dikurangi.
Strategi mendekatkan sumber-sumber permodalan kepada golongan
kapitalisme dalam pranata riba. Pertama-tama riba (nasi'ah)
harus dibuang dari sistem permodalan, baik yang diterapkan
oleh lembaga bank maupun lembaga sejenis lainnya.

Yang dimaksud dengan "riba" di sini tidaklah mencakup seluruh
apa yang umumnya disebut sebagai bunga pinjaman, seperti
banyak orang mengira. Karena apabila seseorang meminjam uang
rupiah satu juta selama setahun, padahal dalam satu tahun itu
telah terjadi penurunan nilai (inflasi) atas rupiah sebesar 9
persen, maka pembayaran kembali 1 juta rupiah plus 9 persennya
tentulah pengembalian yang seutuhnya. Tidak dikurangi dan
tidak dilebihi. Maka, seperti dikatakan dalam surat al-Baqarah
279, riba yang dimaksudkan untuk "uang" adalah pembayaran
pinjaman yang dipersyaratkan melebihi nilai nominal (ra's-u
'l-mal)-nya. Dalam bahasa ekonominya, riba adalah bunga
pinjaman yang melebihi rate inflasinya. [24]

Dengan dihapusnya unsur riba - dalam pengertian tersebut di
atas - tidak perlu ada pihak yang dirugikan, kalau tidak malah
diuntungkan. Pihak debitur, yang umumnya pengusaha, akan
dikurangi tekanan mental dan fisiknya, karena beban mental
untuk mengejar keuntungan (surplus value) berlipat ganda bisa
diturunkan. Dan jika ini terjadi, masyarakat luas juga akan
merasakan sawab-nya: di satu pihak, harga jual barang yang
diproduksi para pengusaha bisa diturunkan, dan di lain pihak
harga jual bahan baku yang dihasilkan oleh kerja keras
masyarakat, juga bisa diperbaiki. Juga dalam sistem ekonomi
bebas riba, seleksi lapangan kerja bisa dikendorkan.
Sektor-sektor industri dan kegiatan-kegiatan ekonomi lain yang
bersifat padat karya kembali dimungkinkan. Sehingga yang bisa
ditampung dalam dunia usaha tidak lagi terbatas hanya
orang-orang yang sangat ahli dan berpendidikan tinggi.
Orang-orang yang kurang ahli dengan pendidikan menengah,
bahkan rendah pun, tidak perlu terlalu risau karena langkanya
lowongan kerja. Tingginya angka kesempatan kerja yang berarti
rendahnya angka pengangguran, apalagi dengan kemungkinan upah
yang lebih baik (lagi-lagi karena perusahaan tidak dibebani
riba) pada gilirannya akan memperkuat daya beli masyarakat.
Dan daya beli masyarakat yang kuat, di mana-mana, adalah
landasan mutlak bagi jalannya perekonomian itu sendiri, secara
berkesinambungan.

Tidak kalah penting dari keuntungan masyarakat luas dengan
hilangnya riba adalah dipulihkannya akses golongan masyarakat
lemah terhadap modal. Tidak seperti sekarang, akses itu hanya
dinikmati oleh golongan yang kuat saja, minimal menengah. Ini
berarti kesempatan bagi golongan ekonomi lemah untuk ikut
memiliki alat produksi dan atau menjalankan sendiri usahanya
kembali dibuka. Atau, jika usaha sendiri tidak dimungkinkan,
misalnya karena alasan keahlian atau minat, mereka bisa
menawarkan tenaganya kepada orang lain tanpa harus menjadi
korban eksploitasi oleh perusahaan yang mempekerjakannya.

Juga lembaga permodalan bank itu sendiri, tidak perlu harus
merugi. Memang, dalam sistem ekonomi non-riba ini bank tidak
berhak mengeruk untung, tapi harus bisa berkembang sebagai
lembaga sosial atau "bait-u 'l-mal" atas tanggungan masyarakat
seluruhnya, baik sebagai penyimpan maupun peminjam. Karena,
keberadaannya memang merupakan kepentingan bagi semua. [25]
Yang punya duit berkepentingan dengan bank non-riba atau
"bait-u 'l-mal" karena dengan jasanya ia bisa menyimpan
duitnya dengan jaminan inflasi dan sekaligus pengamanan dari
kemungkinan pencuri. Bahkan, jika yang bersangkutan, sebagai
deposan, adalah orang yang terpanggil oleh anjuran al-Qur'an,
maka keuntungan lain yang tidak kalah besarnya adalah bahwa
dengan lembaga bank tersebut, di satu pihak, mereka dapat
mentasaruf-kan (meminjamkan) uangnya kepada orang lain secara
terjamin, dan di pihak lain, dapat terhindar dari ancaman
Tuhan atas orang-orang yang gemar menyimpan kekayaan, dengan
memutuskan fungsi sosialnya.

Dalam surat al-Taubat yang dikenal sangat keras kutukannya
terhadap kekufuran, Tuhan berfirman, yang artinya, "Dan
orang-orang yang gemar menyimpan emas perak dan tidak
mendayagunakannya untuk kebaikan, berikan kepada mereka kabar
gembira perihal siksa yang amat pedih: pada hari dipanaskan
emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (seraya
dikatakan) kepada mereka: inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang apa yang
kamu simpan itu" (QS. al-Taubat: 34,35).

Dalam konteks sekarang, di mana penyimpanan kekayaan untuk
diri sendiri tidak lagi hanya dalam bentuk emas atau perak,
tapi juga dalam bentuk uang, ayat tersebut menunjuk dengan
jelas akan haramnya menyimpan duit di bawah bantal seperti
yang telah mentradisi di masyarakat. Tradisi seperti itu bukan
saja bodoh dilihat dari kacamata ekonomi, karena membiarkan
uang digerogoti inflasi dan dengan mudah dapat tercuri, tapi
juga bodoh secara moral karena memutuskan fungsi sosial dari
kekayaan yang notabene adalah amanat Tuhan untuk kemaslahatan
semua orang. Dengan bantuan bank sebagai bait-u 'l-mal, setiap
orang dapat menyimpan uangnya sekaligus mengfungsikannya
(secara positif) bagi kepentingan sosial.

Sementara itu, kepentingan orang-orang yang memerlukan duit
terhadap keberadaan lembaga bank non-riba adalah jelas. Dengan
lembaga itu, mereka dapat memenuhi keperluannya tanpa
kemungkinan diperas dan memeras. Memang perlu ada pembatasan,
bahwa yang berhak memperoleh uluran tangan lembaga bank sosial
ini adalah mereka yang hendak menggunakan dana itu untuk
tujuan-tujuan produktif yang berdampak positif bagi kehidupan
masyarakat banyak, atau untuk kepentingan konsumtif yang
non-kemewahan.

Memang, dengan hilangnya riba, golongan punya yang
kapitalistik akan kurang berminat mendepositokan uangnya di
bank, tapi lebih suka menggunakannya untuk membeayai usaha
sendiri. Kalau kekhawatiran ini benar, tentunya hal itu hanya
bisa terjadi pada sebagian orang saja. Orang yang tidak punya
waktu untuk membuka usaha, atau merasa kurang mampu
menjalankan usaha, tidak akan ikut-ikutan terbawa arus itu.
Dan kalau saja kaum kapitalis itu merasa terdesak untuk
menginvetasikan uangnya, itulah lebih bermaslahat bagi dirinya
dan masyarakatnya. Semakin tinggi dan meluas kegiatan usaha
suatu masyarakat, akan semakin tinggi pula daya tahan
ekonominya. Dan dalam masyarakat modern yang daya tahan
ekonominya tinggi, keberadaan lembaga bank, sekalipun tanpa
riba, tetap kokoh adanya.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik