FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Syiah ditinjau dari Al Qur'an Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Syiah ditinjau dari Al Qur'an Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Syiah ditinjau dari Al Qur'an

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

Syiah ditinjau dari Al Qur'an Empty Syiah ditinjau dari Al Qur'an

Post by Orang_Pinggiran Fri Apr 27, 2012 11:08 am

Artikel ini menyelidiki penggunaan perkataan “Imam” di dalam al-Qur’an untuk melihat apakah al-Qur’an menyediakan dukungan yang cukup pada konsep Imamah Syi’ah Duabelas Imam (SDI).

Uraian ini pertama kali memberikan penjelasan mengenai Imamah sebagaimana yang dipahami oleh SDI, dan kemudian diikuti dengan suatu penelitian dengan cermat dan terperinci dari setiap tempat di dalam al-Qur’an di mana perkataan “Imam” atau bentuk jamaknya “A’immah” telah digunakan oleh Allah Ta‘ala.

Tidak ada yang menyangkal bahwa dari semua perbedaan yang ada antara Ahl as-Sunnah dan Syi’ah, isu Imamah adalah betul-betul yang paling serius. Hal ini pada kenyataannya cukup rasional dan logis untuk mengatakan bahwa mempertanyakan Imamah adalah akar dari semua perbedaan Sunni-Syi’ah; semua perbedaan lainnya akan dapat ditemukan sebagai akibat dari perbedaan yang ada pada titik pusat ini.

Oleh karena itu, tidak ada seseorang atau organisasi yang berusaha secara sungguh-sungguh untuk mendekatkan Syi’ah dan Sunni dengan mengabaikan doktrin Imamah. Semua usaha yang diarahkan untuk memindahkan penghalang yang memisahkan antara Ahl as-Sunnah dari Syi’ah harus dimulai dari titik ini. Memulai dari mengkaji perbedaan yang lainnya akan sama dengan mengobati gejala suatu penyakit, dan bukan penyebabnya. Untuk sementara mungkin gejalanya dapat menghilang, namun akan aktif lagi pada kesempatan berikutnya oleh penyebab latent tersebut.

Demikian juga, mencoba untuk memecahkan perbedaan Sunni-Syi’ah dari perspektif apapun selain dari akarnya, yaitu Imamah, hanyalah menciptakan kesan menghilangkan rintangan persatuan Muslimin secara sementara. Pada kenyataannya rintangan yang sesungguhnya tersebut akan kembali, segera setelah kegembiraan sementara terhadap terciptanya persatuan tersebut.

Sebagai muslim, kita berkewajiban untuk mengembalikan perbedaan yang ada di antara kita dengan merujuk kepada Allah dan RasulNya. Dalam rangkaian artikel ini kita membahas doktrin Imamah pada al-Qur’an, dengan tujuan untuk memastikan apakah doktrin ini – sebagaimana yang dipahami dan yang dipercayai oleh SDI – dibenarkan oleh wahyu atau tidak.

Doktrin Imamah SDI

Sebelum masuk lebih jauh, akan lebih baik demi kepentingan mereka yang mungkin tidak sadar atau belum paham tentang apa yang dimaksud dengan Imamah versi SDI, akan diuraian sedikit lebih detil tentang isu tersebut. Sekali pembaca fokus pada apa makna Imamah bagi seorang SDI, dan posisi Imamah pada struktur kepercayaan SDI, kita akan melanjutkan diskusi kita menyangkut doktrin tersebut ditinjau dari sudut al-Qur’an.

Esensi utama Imamah adalah mengenai kepemimpinan Ummah setelah meninggalnya Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. SDI percaya bahwa sebagaimana halnya Allah telah memilih Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam sebagai RasulNya bagi umat manusia, ia juga memilih dan menetapkan sebaris 12 (duabelas) orang pengganti Beliau sebagai para pemimpin Ummah dalam semua hal, baik secara rohani maupun duniawi. Yang pertama dari para pemimpin ini, atau Imam sebagaimana mereka menyebutnya, adalah ‘Ali ibn Abi Talib radiyallahu ‘anhu. Ia digantikan oleh anak sulungnya Hasan, yang kemudian ia digantikan oleh saudaranya Husayn. Setelah Husayn, Imamah dilanjutkan oleh keturunannya sampai tahun 260 AH, ketika Imam yang ke-12, yaitu seorang anak berumur lima tahun, menghilang pada saat bapaknya meninggal (Note: tentu saja dengan mengabaikan keturunan Hasan). Ia dipercaya sebagai Mahdi yang ditunggu yang akan kembali dari keghoiban untuk menegakkan keadilan di atas bumi. Keduabelas belas orang dari keluarga Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam sendiri mempunyai hak kepemimpinan Ummah.

Ada dua aspek Imamah yang perlu dilihat dengan penuh perhatian. Yang pertama adalah sifat dasar penunjukan Imam, dan yang kedua adalah sifat dasar jabatan mereka.

Sifat dasar penunjukan Duabelas Imam

Sifat dasar penunjukan mereka ini merupakan suatu konsensus di antara SDI bahwa hak keduabelas Imam mereka untuk memimpin Ummah adalah dianugerahkan oleh Allah Ta‘ala sendiri. Tidak ada perbedaan yang terjadi antara penunjukan Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam sebagai Pesuruh Allah dan penunjukan keduabelas Imam sebagai para penggantinya. Menggarisbawahi hal penting dari aspek Imamah ini, ‘Allamah Muhammad Husayn Kashif al-Ghita, seorang ulama salaf Syi’ah yang paling terkemuka di Najaf Iraq selama tujuhpuluh, menulis di dalam bukunya Asl ash-Syi’ah wa-Usuluha:

Imamah adalah suatu posisi Ilahiah, seperti halnya Nubuwwah. Sama halnya Allah memilih siapa saja yang Ia kehendaki untuk Nubuwwah dan Risalah… yang dengan cara yang sama, untuk Imamah juga, Ia memilih siapa saja yang Ia kehendaki. (1)

Adalah menarik untuk dicatat bahwa buku yang darinya statemen ini diambil, ditulis dengan tujuan untuk mengoreksi kesalahan pemahaman tentang Syi’ah pada zamannya. Karena Imamah dalam semua tujuan secara praktis sama persis sebagaimana Nubuwwah dan Risalah, maka secara konsisten akan dinyatakan bahwa penolakan terhadap Imamah akan dicela sama parahnya dengan penolakan terhadap Nubuwwah dan Risalah. Jika penolakan terhadap Nubuwwah Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam menjadikan seseorang mirip dengan Abu Jahl dan Abu Lahab yang di luar kelompok Islam, maka sangatlah logis bahwa penolakan terhadap Imamah Ali ibn Abi Talib radiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr, ‘Umar dan Sahabah radiyallahu ‘anhum lainnya akan dianggap keluar dari kelompok Islam. Karena itu orang yang memandang masalah dari perspektif ini, dengan begitu tidak akan terkejut ketika menemukan Syi’ah yang menceriterakan dari Imam mereka bahwa “semua orang menjadi murtad setelah meninggalnya Rasulullah, kecuali 3” (2) karena konsisten dengan prinsip yang menyamakan Imamah dengan Nubuwwah dalam pengertian bahwa masing-masing mereka adalah merupakan posisi yang ditugaskan oleh Allah.

Apa yang mengejutkan adalah pendapat SDI hari ini yang menyatakan tentang Ahl as-Sunnah secara umum. Orang akan berharap kepada mereka untuk mengatakan tentang Ahl as-Sunnah sebagaimana mereka sudah berkata tentang Sahabah: bahwa mereka adalah tidak beriman, keluar dari kelompok Islam. Betapapun, ada banyak orang non-Muslim yang percaya pada keesaan Allah, tetapi tidak percaya pada kenabian Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam, dan untuk alasan itu kita semua -menurut mereka- sebagai orang yang tidak beriman. Jika Imamah kemudian adalah suatu “posisi Ilahiah, sebagaimana Nubuwwah,” maka siapapun Sunni yang tidak percaya pada Imamah dari Duabelas Imam, harus pula sebagai orang yang tidak beriman. Terdapat banyak ‘ulama salaf SDI yang sudah memperlihatkan konsistensi mereka mengenai hal ini dan mengumumkan bahwa mereka yang menyangkal Imamah dari Duabelas Imam – seperti Ahl as-Sunnah – merupakan orang yang tidak beriman. Sebagai contoh, Ibn Babawayh al-Qummi (meninggal 381AH), pengarang salah satu dari empat koleksi hadith Syi’ah, Man La Yahduruhu al-Faqih, menyatakan di dalam risalah tersebut di mana ia menguraikan secara terperinci keyakinan SDI:

Kepercayaan kami mengenai orang yang menolak Imamah Amir Al-Mu’minin Sayyiduna ‘Ali dan Imam setelah dia, bahwa ia adalah sama sebagaimana orang yang menolak Nubuwwah para Nabi.

Kepercayaan kami mengenai seseorang yang menerima Imamah Amir Al-Mu’minin tetapi menolak setiap Imam setelah dia, ia adalah serupa dengan orang yang percaya pada semua Nabi tetapi menolak Nubuwwah Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam berkata: “Imam setelah aku adalah duabelas. Yang pertama adalah Amir Al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Talib dan yang terakhir adalah Qa’im Mahdi. Ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada saya, dan penentangan kepada mereka adalah penentangan kepada saya. Seperti itulah, siapapun yang menolak salah satu dari mereka telah menolak aku.”

Siapapun yang secara salah mengklaim Imamah, adalah seorang penindas terkutuk. Siapapun yang menempatkan Imamah pada seseorang selain pada tempatnya yang syah adalah seorang penindas terkutuk. Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam berkata: “Siapapun yang menyangkal ‘Ali dan Imamahnya setelah aku, telah menolak Nubuwwah-ku, dan siapapun menyangkal aku perihal Nubuwwah-ku telah menolak Allah Tuhanan-Nya.” Imam Ja‘far as-Sadiq berkata: “Siapapun meragukan kufr dari musuh kami menjadikan dirinya seorang kafir.” (3).

Muridnya Shaykh Mufid (meninggal 413 AH) menulis:

Ada konsensus di antara SDI bahwa siapapun menyangkal Imamah seseorang Imam, dan menyangkal kewajiban ketaatan kepada mereka yang Allah telah putuskan, maka orang seperti itu adalah seorang kafir, sesat, dan bahwa ia layak menerima siksaan kekal di Neraka. (4)

Ulama yang produktif Abu Ja‘far at-Tusi, yang dijuluki Shaykh at-Ta’ifah, (meninggal 460 AH), pengarang dua di antara empat koleksi hadith kanonik, telah mengatakan berikut:

Menolak Imamah adalah kufr, seperti halnya menolak Nubuwwah adalah kufr. (5)

Mujaddid Syi’ah pada abad ke-8 Hijrah, Ibn Mutahhar al-Hilli (meninggal 726 AH) menyatakan perasaan serupa dalam terminologi berikut:

Imamah adalah suatu rahmat universal (lutf ‘amm) sedangkan Nubuwwah adalah suatu rahmat khusus (lutf khass), karena, adalah memungkinkan bahwa suatu periode waktu tertentu dapat kosong dari Nabi yang hidup, sementara hal yang sama tidak benar bagi Imam. Menolak rahmat yang universal adalah lebih buruk dibanding menolak rahmat yang khusus. (6)

Inilah pendapat yang dipegang oleh empat dari sarjana klasik yang paling terkemuka SDI, dan jika dilihat dari sudut konsistensi, ini merupakan suatu posisi yang tentu saja dapat dipuji. Belum lagi, jika seseorang bertanya kepada orang SDI hari ini (terutama yang baru saja pindah paham kepada SDI), baik mereka percaya bahwa Sunni adalah muslim atau tidak, mereka akan menjawab dengan terkejut, dan bahkan mungkin nampak sedih pada pertanyaan seperti itu. Berkaitan dengan orang yang baru saja pindah paham kepada SDI, kejadian ini adalah yang diharapkan, karena demi kepentingan rencana propaganda tertentu bahwa fakta tertentu dijaga kerahasiaannya bagi orang baru.

Bagaimanapun mereka yang lebih banyak mengetahui tentang alasan-alasan teknis paham SDI akan mengetahui bahwa, dalam pandangan SDI ada suatu perbedaan antara seorang Muslim dan seorang Mu’min. Mereka semua yang menyatakan Islam pada lahirnya adalah muslim: Sunni, Zaydi, Mu‘tazili, dan semua sekte lainnya. Seorang Mu’min, bagaimanapun, hanyalah ia yang percaya pada Duabelas Imam tersebut. Dengan tipuan yang pandai inilah para fuqaha Syi’ah tersebut membunuh beberapa burung dengan satu lemparan batu. Dengan diterimanya semua sekte lainnya sebagai muslim, mereka melindungi diri mereka terhadap keganjilan yang bisa mengeluarkan mereka dari kelompok Islam yang penganutnya di atas 90%, dan menjadi sama dengan orang-orang yang membawa panji Islam kepada seluruh pelosok dunia. Pada saat yang sama mereka menghindari pertentangan Sunni dengan orang lain, yang memudahkan menarik dirinya dalam kelompok Islam. Pada sisi lain, dengan ukuran pembeda yang sulit dipisahkan antara Muslim dari Mu’min, mereka secara efektif mengucilkan lawan-lawan mereka. Muslim adalah mereka yang kepadanya hukum Islam berlaku di dunia ini. Maka adalah diizinkan untuk mengawini sanak keluarga dengan mereka, untuk sholat di belakang mereka, untuk makan apa yang mereka sembelih dll., sedangkan Mu’min adalah mereka yang kepadanya keselamatan di alam akhirat khusus bagi mereka, dan itu tergantung pada kepercayaannya pada Duabelas Imam. Pembedaan antara Muslim dan Mu’min tersebur dapat ditemukan sederet literatur Syi’ah klasik. Faqih abad ke-7, Yahya ibn Sa‘id al-Hilli (meninggal 690 AH), sebagai contoh, menulis di dalam pedoman fiqhnya, al-Jami‘ lish-Shara’i‘:

Adalah benar bagi seorang muslim untuk menjadikan suatu anugrah (waqf) atas muslim. Muslim adalah mereka yang mengucapkan dua shahadah, dan anak-anak mereka. Tetapi jika seseorang menjadikan suatu waqf atas Mu’minin, maka akan menjadi eksklusif bagi Imamiyyah yang percaya pada Imamah Duabelas Imam. (7)

Delapan abad kemudian, pandangan yang sama persis dikemukakan oleh Ayatullah Khomeini. Di dalam pedoman fiqh miliknya, Tahrir al-Wasilah, ia menyatakan:

Jika seseorang menjadikan suatu waqf atas muslim, hal ini bagi mereka semua yang mengakui dua shahadah… Jika seorang Imami menjadikan suatu waqf atas Mu’minin, hal ini terbatas bagi Ithna ‘Ashariyyah. (8)

Beberapa di antara pembicara paham SDI zaman dahulu, seperti Kashif al-Ghita, sudah menyadari hal itu, bahkan tipuan ini tidaklah cukup halus. Oleh karena itu Ia memikirkan istilah yang lain. Ia berbicara tentang Mu’min dalam pengertian khusus, dan tentang Mu’min dalam pengertian umum. Siapapun yang percaya pada Imamah dihormati sebagai Mu’min dalam pengertian khusus, sedangkan mereka yang tidak percaya dihormati sebagai Mu’min dalam pengertian umum, sebagai hasilnya semua hukum Islam yang sementara dapat digunakan bagi dia. Hasil dari perbedaan ini, ia berkata, akan menjadi nyata pada Hari Penghakiman, dalam hal derajat dekatnya dengan Tuhan dan penghormatannya yang akan dianugerahkan kepada yang percaya pada Imamah. (9).

Bagi kita, ini mengungkapkan lebih dari apa yang pengarang maksudkan. Hal itu mengungkapkan kepada kita bahwa ketika Syi’ah berkata mereka menghormati Sunni sebagai muslim, hal itu dalam kaitannya dengan berbagai hal yang duniawi. Dalam hal keakheratan, berbagai hal setelah hari kiamat, Sunni yang tidak percaya pada Imamah Duabelas Imam adalah seperti halnya Yahudi, Kristen, Budha, Hindu atau penolak lainnya terhadap Nubuwwah Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Satu-satunya alasan untuk mengatakan bahwa Sunni itu muslim adalah demi kelayakan dan kenyamanan. Tanpa menyatakan pendapat seperti itu, Syi’ah akan mundur ke dalam keterasingan dan menuju pemboikotan dari pergaulan Dunia Islam lainnya. Alasan sperti ini diberikan oleh Sayyid ‘Abdullah Shubbar (meninggal 1232 AH) dalam komentarnya terhadap az-Ziyarat al-Jami‘ah, do‘a yang menyeluruh yang dibaca di kuburan para Imam. Pada suatu titik ziyarah membaca:

Siapapun yang menyangkal engkau adalah seorang kafir,

ia berkomentar mengenai hal itu, sambil berkata:

Ada banyak kisah yang menunjukkan bahwa lawan-lawan adalah kafir. Mendokumentasikan mereka semua akan memerlukan sebuah buku terpisah. Mendamaikan kisah seperti ini dengan yang dikenal mengenai Imam, yaitu bahwa mereka biasa hidup, makan dan bersosialisasi dengan mereka, mendorong ke arah kesimpulan bahwa mereka (lawan-lawan) adalah kafir, dan bahwa mereka akan tinggal di Neraka untuk selamanya, tetapi di dunia ini hukum Islam diberlakukan bagi mereka sebagai sikap kemurahan hati dan kebaikan dari golongan agama yang sebenarnya (SDI), karena mustahil untuk menghindari mereka. (10)

Sifat dasar jabatan Imam.

Pada titik ini akan mencukupi untuk mengatakan bahwa SDI memberikan kepada Imam mereka semua pemenuhan dan kesempurnaan para Nabi, dan bahkan lebih. Mustahil mendokumentasikan di sini semua kisah yang menyetujui status Imam yang seperti itu, tetapi sudah mencukupi sebagai informasi dengan hanya mengutip bab yang mana hal itu telah didokumentasikan di dalam sebuah sumber yang dijelaskan sebagai “encyclopedia yang dijamin kebenarannya tentang pengetahuan para Imam”: Bihar al-Anwar oleh Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi (meninggal 1111 AH) yang secara luas dianggap sebagai ulama Syi’ah yang paling berpengaruh dan yang terbesar pada zaman Safawid. Sepanjang hidupnya ia menduduki kantor Shaykh al-Islam di Isfahan, ibukota Safawid, dan bahkan hingga hari gini hasil kerjanya sangat diperlukan bagi alim ulama Syi’ah danjuga sebagai sandaran masyarakat. Kita kutip di sini nama bab, dan juga jumlah kisahnya yang ia dokumentasikan pada setiap bab:

1. Imam memiliki pengetahuan lebih banyak dibanding para Nabi, terdapat 13 kisah. (11).

2. Imam lebih berilmu daripada para Nabi dan seluruh makhluq. Perjanjian dari para Imam telah diambil dari mereka (para Nabi), Mala’ikah dan seluruh makhluq. Para nabi terkemuka yang disebut ulul-‘Azm (Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa) mencapai status ulul-‘Azm karena mencintai para Imam, terdapat 88 kisah. (12).

3. Do‘a para Nabi dijawab dikarenakan mereka melibatkan wasilah Imam, terdapat 16 kisah. (13).

4. Imam dapat menghidupkan kembali orang mati. Mereka dapat menyembuhkan lepra dan buta. Mereka memiliki semua keajaiban para Nabi, terdapat 4 kisah. (14).

5. Tidak ada pengetahuan apapun mengenai Surga, Bumi, Jannah dan Jahannam yang tersembunyi bagi mereka. Kerajaan langit dan bumi diperlihatkan kepada mereka. Mereka mengetahui semua yang terjadi dan yang akan terjadi hingga Hari Kebangkitan, terdapat 22 kisah. (15).

6. Imam mengetahui kebenaran tentang kemunafikan atau iman seseorang. Mereka memiliki sebuah buku yang berisi nama para penghuni Jannah, nama para pendukung mereka dan musuh-musuh mereka, terdapat 40 kisah. (16).

Judul dari bab ini benar-benar menciptakan kesan yang gamblang mengenai materi yang diceriterakan yang kepadanya Syi’ah mendasarkan iman mereka.

* Jabatan Imamah dengan begitu dapat dilihat lebih dari sekedar kepemimpinan politis Ummah. Para Imam lebih dari sekedar kepala-kepala negara dengan suatu hak Ilahiyah untuk memerintah. Mereka adalah tempat penyimpanan semua cabang pengetahuan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh para Nabi.
* Keberadaan dunia tergantung pada kehadiran mereka.
* Mereka adalah para perantara yang melalui perantaraan mereka do’a dikabulkan bahkan para Nabi-pun bergantung kepada mereka.
* Jabatan mereka adalah seseorang yang mengkombinasikan jabatan politis, religius, ilmiah, supremasi langit dan metafisis di atas seluruh makhluq.

Dengan uraian di atas seseorang dapat memahami alasan dari statemen al-Khomeini di dalam buku al-Hukumat al-Islamiyyah, yang kepadanya keseluruhan filosofi revolusinya disandarkan:

Adalah dari ajaran yang tak dapat dipungkiri dari iman kami bahwa para Imam kami memiliki suatu status dari Allah yang baik Malaikat ataupun Nabi tidak dapat menginginkannya. (17)

Setelah pengenalan terhadap konsep Imamah ini, sifat dasar penunjukan Imam dan sifat dasar jabatan mereka, kita mengajukan pertanyaan: apakah kepercayaan yang seperti ini merupakan suatu konsep yang dibenarkan dan ditegakkan oleh al-Qur’an?

Yang pasti suatu kepercayaan yang sangat penting, suatu bagian dari iman yang menjangkau konsekwensi yang luas, yang bahkan dapat menggantikan kepercayaan kepada para Nabi, harus berakar di dalam al-Qur’an, Kitab yang diwahyukan oleh Allah.

.. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi muslimin. an-Nahl:89

Dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan inilah maka artikel ini ditulis.

Imamah dan Kenabian menurut al-Qur’an

Dalam artikel ini kita menyelidiki dasar yang Qur’ani mengenai konsep Imamah SDI. Dengan analisa penggunaan kata ”imam” dan bentuk jamaknya ”a’immah” di dalam al-Qur’an yang akan kita selidiki, apakah al-Qur’an menyediakan dasar bagi doktrin Imamah sebagaimana yang dirumuskan oleh teologi SDI.

Dalam membatasi penyelidikan kita pada al-Qur’an, bukanlah pendirian kami bahwa Sunnah tidaklah penting berkaitan dengan doktrin yang sedang dipersoalkan. Namun sebaliknya, adalah keluar dari keyakinan bahwa suatu isu doktrinal seperti Imamah, yang ulama Syi’ah menempatkannya di atas Nubuwwah, jika tidak didukung oleh dalil dari al-Qur’an. Betapapun, isu “yang sekunder” tentang Nubuwwah menemukan lebih dari dukungan yang besar di al-Qur’an. Tak seorangpun, setelah membaca dalil al-Qur’an yang jelas dan tidak samar-samar yang mana Allah memberikan penjelasan mengenai para Rasul dan Nabi-Nya, mengenai status mereka,

masing-masingnya kami lebihkan derajatnya di atas umat. al-An‘am: 86

mengenai kisah mereka,

Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Taha: 9

Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. ash-Shu‘ara: 69

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu,.. Yusuf: 3

penyebutan secara eksplisit mengenai nama-nama mereka,

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,

dan Zakaria, Yahaya, ‘Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh,

dan Ismail, Ilyasa’, Yunus, dan Luth masing-masingnya kami lebihkan derajatnya di atas umat

al-An‘am: 83-86

dan pentingnya kepercayaan kepada mereka sebagai suatu bagian integral iman di dalam Islam,

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. an-Nisa’: 136

Bolehkah secara rasional meragukan sesuatu yang al-Qur’an mendukungnya, atau melarang kepercayaan pada Nubuwwah?.

Pertanyaannya sekarang adalah: Adakah pegangan yang sama bagi kebenaran Imamah SDI? Jika Imamah lebih tinggi dari Nubuwwah, sebagaimana yang ulama SDI ajarkan, adalah sangat layak untuk mengharapkan al-Qur’an akan menguraikan terminologi yang sama tegasnya mengenai Imamah; dan jika tidak, paling tidak sebuah penjelasan atau gambaran yang tidak samar-samar mengenai apa itu ”Imamah” dan siapa para Imam tersebut, akan diuraikan oleh al-Qur’an.

Pemakaian kata ”Imam” di dalam Qur’an

Berikutnya kita akan menyelidiki bagaimana kata “Imam” dan jamaknya “A’immah” telah digunakan di dalam al-Qur’an. Dengan cara sebagaimana Allah telah menggunakan kata tersebut di dalam al-Qur’an, akan menjadi kelihatan apakah konsep Imamah SDI yang telah diterangkan di atas, menemukan dukungan yang Qur’ani.

Kata Imam terulang 7 kali di dalam Qur’an, dan ketika dalam bentuk jamaknya, a’immah, muncul 5 kali.

Sebuah Kitab:

Pada 3 dari kasus ini menunjuk dengan tegas kepada sebuah Kitab:

Dan sebelumnya adalah Kitab Musa, suatu pemandu (imaaman) dan rahmat. Hud: 17

Dan sebelumnya adalah Kitab Musa, suatu pemandu (imaaman) dan rahmat. al-Ahqaf: 12

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam sebuah Kitab yang nyata (Imaamin mubiin). Yasin: 12

Para pemuka orang kufr:

Pada 2 kasus lainnya berkaitan dengan para pemuka kufr:

maka perangilah para pemuka (a immatan) orang-orang kafir itu. at-Tawbah: 12

Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin (a immatan) yang menyeru ke neraka. al-Qasas: 41

Sebuah jalan:

Satu ayat yang secara jelas bermakna sebuah jalan yang dapat dilihat:

Dan sesungguhnya kedua kota itu benar-benar terletak di jalan umum yang terang (imaamin mubiin). alHijr: 79

Kepemimpinan Bangsa Israel

Pada sisanya di enam tempat di mana kata tersebut digunakan, kata itu digunakan dalam konteks arti harafiahnya, yaitu kepemimpinan. Di dalam Surah Al-Ambiya’ dinyatakan:

Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.

Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (dari Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh.

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam (a immatan) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, Al-Ambiya’: 71-73.

Pada kutipan ayat di atas, telah sedikit diperluas agar para pembaca dapat melihat konteks yang lengkap penggunaan kata a’immah, yang dengan jelas kata tersebut berkaitan dengan fungsi para Nabi sebagai para pemimpin manusia, yang memandu mereka ke arah Allah. Hal ini tanpa ragu-ragu merupakan identifikasi bahwa a’immah tidak lain adalah para Nabi, yang mendorong kita untuk menyimpulkan bahwa yang disebutkan di dalam Surah as-Sajdah juga dimaksudkan para Nabi Bani Isra’il, dan bukan kategori manusia lainnya:

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat), maka janganlah kamu (Muhammad) ragu-ragu menerima ( al-Qur’an itu) dan Kami jadikan Al-Kitab (Taurat) itu petunjuk bagi Bani Israil.

Dan Kami jadikan di antara mereka itu (bani Israil) imam-imam (a immatan) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. as-Sajdah: 23-24.

Sekalipun lingkup a’immah di dalam ayat ini diperluas yang meliputi orang-orang selain dari para Nabi, tidak ada keterangan apapun untuk membenarkan identifikasi sesuai dengan doktrin Imamah yang rumit sebagaimana yang dipahami oleh SDI.

Pada ayat ketiga Allah berbicara tentang rencanaNya untuk si tertindas Bangsa Israel di Mesir:

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka imam-imam (a immatan) dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi,. al-Qasas: 5

Dalam rangka melihat kepada siapa kata a’immah itu dialamatkan dalam ayat ini, seseorang hanya harus melihat pada orang-orang yang kepadanya kehendak Ilahi ini datang terpenuhi. Yaitu terutama pada Nabi Musa dan Nabi-Raja lainnya dari Bani Isra’il seperti Nabi Dawud dan Nabi Sulayman ‘alayhimus salam yang kepemimpinannya disebutkan dalam ayat ini. Jika kadang-kadang mereka diperintah oleh manusia selain dari para Nabi, status para imam itu tidak pernah dilihat menjadi lebih berilmu dari pada tingkatan para Nabi. Ayat seperti tiga ayat di atas, terlepas dari menguraikan secara rinci tentang para Nabi Bani Isra’il, tidak sedikitpun mengindikasikan adanya suatu tingkatan seperti Imamah sebagaimana yang dipahami oleh SDI.

Kepemimpinan yang saleh

Masih terdapat 3 (tiga) lagi di mana kata imam disebutkan oleh Qur’an. Pada salah satu dari tiga tempat ini Allah berbicara tentang doa dari hamba-hamba Allah Yang Maha pengasih (‘ibaadurrahman):

Dan orang orang (yaitu, pada ayat 63 adalah hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang) yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (imaaman) bagi orang-orang yang bertakwa. al-Furqan: 74.

Ayat ini membicarakan tentang orang-orang biasa yang tidak mempunyai kelas khusus seperti para Nabi, memohon kepada Allah untuk menjadikan mereka imam, dalam pengertian suri teladan kebaikan, seorang yang orang lain akan bekerja keras untuk menandingi. Adalah sangat jelas bahwa kata itu tidak bisa mengacu pada sekelompok “Imam yang ditetapkan”, dengan alasan karena pengangkatan para Imam pada ranking Imamah bukanlah karena doa mereka. Karena penetapan mereka, seperti para Nabi, semestinya telah ditetapkan sejak awal, tidak dapat dicapai melalui suatu usaha atau kebaktian agama.

Adalah menarik untuk memperhatikan bahwa ayat ini membuktikan menjadi sangat tidak menyenangkan bagi Syi’ah awal tertentu di mana mereka mengumumkan bahwa ayat tersebut telah diubah. Kisah berikut nampak di dalam tafsir Ali ibn Ibrahim al-Qummi, guru dari Abu Ja‘far al-Kulayni:

Telah dibacakan kepada Abu ‘Abdillah yaitu Imam Ja‘far as-Sadiq:

Dan jadikan kami Imam-imam muttaqiin.

Ia berkata: “Itu merupakan sesuatu hal yang luar biasa bagi mereka memohon kepada Allah untuk menjadikan mereka Imam muttaqiin.” [Konsep SDI tentang Imam dimaksudkan, tentu saja, sejak Imam ditetapkan, dan tak seorangpun dapat menjadi seorang Imam dengan berdoa untuk itu].

Seseorang bertanya: “Bagaimana ayat itu diwahyukan, wahai putra Rasulullah?”

Ia menjawab: ”Ayat itu diwahyukan:

….dan jadikanlah bagi kami Imam-imam dari antara muttaqiin. (18)

Kisah ini, mendokumentasikan di dalam suatu tafsir yang sangat terkenal di antara tafsir awal Syi’ah, (suatu tafsir, yang pada kenyataannya, diuraikan oleh editornya pada abad ke-20 sebagai “pada kenyataannya komentar dari Imam Al-Baqir dan as-Sadiq,” (19) dan masing-masing dari perawinya dianggap handal dan dapat dipercaya oleh ahli hadith Syi’ah, (20) yang menjamin keasliannya sesuai standard Syi’ah) menyingkirkan perlunya suatu diskusi lebih lanjut sekitar arti dari kata Imam sebagaimana yang nampak pada ayat ini.

(Note: jika kita mengakui al-Quran hari ini masih asli, maka ayat al-Furqan: 74 mengungkapkan secara gamblang bahwa jika Allah mengabulkan do’a tersebut maka Imamah bukan monopoli Nabi Ibrahim dan keturunannya sebagaimana yang sering ditafsirkan oleh SDI terkait dengan ayat al-Baqoroh 124).

Pada Hari Penghakiman

Terdapat satu tempat di dalam Qur’an di mana kata Imam digunakan. Yaitu di Surah al-Isra’ di mana Allah Ta‘ala berfirman:

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan imam mereka (bi imaamihim); al-Isra’: 71.

Imam yang dinyatakan dalam ayat ini dikenali oleh mufassirun Ahl as-Sunnah sebagai Kitab perbuatan atau Nabi yang kepadanya Ummah merujuk. Arti yang pertama lebih disukai oleh Ibn Kathir, (21) yang menyebutkan dukungan pada pilihannya adalah ayat di mana kata Imam digunakan dalam pengertian sebuah Kitab (lihat di atas). Arti seperti ini didukung lebih lanjut oleh ayat sisanya:

dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Arti yang kedua juga menemukan dukungannya di dalam Qur’an. Pada Ayat yang lain Allah berfirman:

Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).? an-Nisa’:41

Pada ayat di atas posisi Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam dibandingkan kepada posisi “para saksi” Ummah lainnya, sehingga kita hanya dapat menyimpulkan bahwa yang dirujuk oleh ayat tersebut adalah para Nabi. Oleh karena itu tiap-tiap Ummah akan dipanggil dengan nama Nabi mereka. Memanggil Ummah masa lalu dengan nama Nabi yang diutus kepada mereka adalah suatu hal yang umum di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kaum ‘Ad, sebagai contoh, biasanya dikenal sebagai “ummah Hud”, demikian juga Banu Isra’il dipanggil “ummah Musa”. Identifikasi Imam pada ayat yang sedang dibicarakan dengan Ambiya’ telah dijustifikasi baik oleh al-Qur’an meupun Sunnah.

Perihal klaim SDI bahwa ”imam” pada ayat itu mengacu pada 12 Imams, (22) maka klaim seperti ini tidak hanya kurang dukungan dari al-Qur’an, namun juga membatasi cakupan yang umum ayat tersebut. Tidakadanya dukungan Qur’ani adalah jelas dari diskusi di atas terutama pada pemakaian perkataan Imam di dalam al-Qur’an. Pembatasan lingkup yang umum dari ayat, muncul dari adanya perbedaan yang terjadi secara kronologis antara pada masa kehidupan 12 Imam, dan periode selama Ummah sebelumnya tumbuh berkembang. Jika kita berkata bahwa semua Ummah akan dipanggil sesuai dengan nama 12 Imam, maka bagaimana nasib Ummah yang hidup sebelum mereka? Dengan nama siapa mereka akan dipanggil? Betapapun, ayat berkata bahwa semua orang-orang akan dipanggil oleh para pemimpin mereka.

Sebagai tambahan, bilamana demi argumentasi yang kita berasumsi bahwa yang dimasud adalah kepada 12 Imam, maka kita mengalami suatu situasi yang agak ganjil. Sayyiduna ‘Ali, yang pertama dari 12 Imam, meninggal pada tahun 40 H. Putranya Sayyiduna Hasan meninggal sembilan tahun kemudian, pada tahun 49 H. Jika Sayyiduna ‘Ali adalah Imam bagi masyarakat waktu itu, maka ummah Sayyiduna Hasan hanyalah orang-orang yang dilahirkan selama sembilan tahun imamahnya. Semua orang selain waktu tersebut yang hidup selama waktu imamah bapaknya akan membentuk bagian sebagai kelompok bapaknya, dan bukan kelompok Hasan. Masa jabatan Imam ke-3 bertahan selama 22 tahun; Imam ke-4 selama 34 tahun; Imam ke-5 selama 19 tahun; Imam ke-6 selama 34 tahun; Imam ke-7 selama 35 tahun; Imam ke-8 selama 20 tahun; Imam ke-9 selama 17 tahun; Imam ke-10 selama 34 tahun; dan Imam ke-11 selama hanya 6 tahun. Namun tiba-tiba, Imam yang ke-12, Mahdi Yang ditunggu, mempunyai masa jabatan Imamah yang telah menjadi berjalan selama lebih dari 1200 tahun. Kelompok yang semestinya dipanggil dengan nama Imam ke-11, sebagai contoh, akan hanya meliputi orang-orang yang dilahirkan selama Imamahnya yang berjalan mulai dari tahun 254 hingga tahun 260, sedangkan jumlah dari mereka yang akan dipanggil dengan nama Imam ke-12 akan pada kenyataannya tidak dapat dihitung.

Bandingkan skenario yang ganjil ini dengan sitem yang jauh lebih sesuai dengan permintaan Qur’ani yang mempunyai berbagai kellompok Ummah yang dipanggil dengan nama Nabi-nabi mereka pada Hari Qiyamah, dan kemustahilan menggunakan ayah 71 Surah al-Isra’ untuk memperkuat doktrin Imamah sebagaimana yang dipahami oleh SDI akan terlihat nyata. Tidak dapat dipertanyaan lagi bahwa kata Imam dalam ayat ini tidak mengacu pada Duabelas Imam.

RINGKASAN

Kita sudah membahas di sini masing-masing dan tiap-tiap tempat di dalam al-Qur’an di mana kata Imam dan jamaknya A’immah digunakan oleh al-Qur’an. Hal itu menunjukkan bagaimana Allah Ta‘ala menggunakan kata ini merujuk kepada berbagai hal, yaitu

1. Sebuah kitab (3 kali)

2. Pemuka Kufr (2 kali)

3. Sebuah jalan (1 kali)

4. Para pemimpin Bangsa Israel

5. Para pemimpin muttaqiin

6. Para Nabi atau Kitab perbuatan

Usaha apapun oleh Syi’ah untuk mengidentifikasi dugaan Imamah mereka yang istimewa dengan Imamah Qur’an, secara total adalah aneh. Yang paling dekat dengan pendapat mereka adalah dengan menarik kesimpulan adanya suatu persamaan antara Imamah mereka dengan kepemimpinan Bangsa Israel. Bagaimanapun, persamaan seperti itu dengan seketika dapat ditolak ketika orang menganggap bahwa kepemimpinan Bangsa Israel ini dengan jelas dikenali di dalam al-Qur’an sebagai para Nabi Bani Isra’il. Al-Qur’an tidak menyediakan alasan apapun juga untuk mengidentifikasi kepemimpinan Bangsa Israel ini dengan seseorang kecuali para Nabi. Adalah tidak luar biasa menemukan SDI yang mengutip ayat-ayat seperti ayat 5 Surah al-Qasas untuk memperkuat kepercayaan Imamah mereka. Jika mereka hanya menjumpai masalah ketika membaca ayat ini sesuai konteknya yang sesuai, tanpa menambahkan terhadapnya teologi mereka sendiri, maka mereka akan melihat betapa identifikasi mereka tentang Imamah Qur’an dengan Imamah SDI benar-benar dibuat-buat. Pada al-Qasas:5 sebagai contoh, acuan dengan jelas kepada Musa dan ummahnya. Betapa mengherankan, ayat itu diperluas kepada Ali ibn Abi Talib dan sebelas Imam dari keturunannya?

Usaha untuk menarik suatu perbandingan antara Kepemimpinan Qur’ani bagi Muttaqiin dan Imamah SDI, juga penuh dengan permasalahan. Telah dapat dilihat di atas bagaimana bentuk kepemimpinan ini adalah suatu kebaikan yang dicari dari Allah oleh para hamba ideal-Nya (’ibaadurrahman). Imamah SDI, pada sisi lain, sebagaimana Nubuwwah, merupakan karunia Ilahiah, dan tidak bisa diinginkan oleh siapapun. Tidakadanya keselarasan antara bentuk kepemimpinan ini dan Imamah SDI adalah tidak adanya keterangan yang lebih jelas dibanding kandungan perkataan yang dinisbatkan kepada Imam Ja‘far as-Sadiq yang memberitahukan adanya perubahan teks Qur’an yang dilakukan oleh Sahabah radiyallahu ‘anhum sebagai penyebab perbedaan.

Satu-satunya arti lain al-Qur’an perihal kata Imam yang masih ada pada Syi’ah adalah yang mengacu pada Hari Qiyamah, ketika bangsa-bangsa akan dipanggil oleh “Imam” mereka. Mungkinkah bahwa kata “Imam” di sini dimaksudkan sebagai konsep Imamah Syi’ah? Sungguh sial bagi Syi’ah, sekali lagi ternyata juga tidak mungkin. Hal itu tidak mungkin karena dua pertimbangan :

Pertama, dengan membaca secara menyeluruh dengan mengikutkan ayat yang berikutnya, demikian juga ayat-ayat yang lain dari al-Qur’an, menekankan tanpa diraguklan lagi pada fakta bahwa Imamah yang dinyatakan di sini merujuk baik kepada para Nabi, dengan nama bangsanya tidak hanya dipanggil di hari kiamat, tetapi juga disebut di dalam al-Qur’an dan juga Sunnah, atau kepada Kitab catatan perbuatan mereka yang mana mereka akan dimintai pertanggung jawaban.

Kedua, mengidentifikasi ayat tersebut sebagai konsep Imamah Syi’ah mendorong ke arah suatu distribusi bangsa-bangsa ke dalam berbagai Imam yang sangat problematik.

Kesimpulan :

Penggunaan kata “Imam” di dalam Al-Qur’an tidak ada satupun yang mendukung kepercayaan Imamah sebagaimana yang dipahami oleh SDI.



ACUAN

1. Asl ash-Syi’ah wa-Usuluha hal. 58 (Mu’ssasat al-A‘lami, Beirut).
2. Al-Kafi vol. 8 (Rawdat al-Kafi) hal. 167 (Dar al-Adwa’, Beirut, 1992).
3. Risalat al-I‘tiqad hal. 111-114, dikutip oleh al-Majlisi: Bihar al-Anwar vol 27 hal. 62 (Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Tehran, 1387).
4. Al-Masa’il, dikutip di dalam Bihar al-Anwar vol. 8 hal. 366.
5. Talkhis ash-Shafi vol. 4 hal. 131 (Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Qum, 3rd ed. 1394).
6. Al-Alfayn hal. 3 (al-Maktabah al-Haydariyyah, Najaf, 3rd ed. 1388).
7. Al-Jami‘ lish-Shara’i‘ hal. 371 (Mu’assasat Sayyid ash-Shuhada’ al-‘Ilmiyyah, Qum, 1405)
8. Tahrir al-Wasilah vol. 2 hal. 72 (Mu’assasat Isma‘iliyan, Qum 1408).
9. Asl ash-Syi’ah wa-Usuluha hal. 58-59.
10. Al-Anwar al-Lami‘ah Sharh az-Ziyarat al-Jami‘ah hal. 176 (Mu‘assasat al-Bi‘thah, Mashhad, 1st ed. 1457).
11. Bihar al-Anwar vol. 26 hal. 194-200.
12. ibid. vol. 26 hal. 267-318.
13. ibid. vol. 26 hal. 319-332.
14. ibid. vol. 27 hal. 29-31.
15. ibid. vol. 26 hal. 109-107.
16. ibid. vol. 26 hal. 117-132.
17. Al-Hukumat al-Islamiyyah hal. 52 (Kementerian Bimbingan, Iran).
18. Tafsir (‘Ali ibn Ibrahim) al-Qummi vol.1 hal. 10 (ed. Sayyid Tayyib al-Musawi, 2nd edition, Kitabfarosh ‘Allameh, Qum 1968).
19. ibid., introduksi oleh editor.
20. Abu Talib at-Tajlil at-Tabrizi: Mu‘jam ath-Thiqat hal. 224 (Mu’assasat an-Nashr al-Islami, Qum 1404 AH). Dalam buku ini pengarang telah menghimpun daftar semua perawi hadith yang dapat dipercaya oleh Syi’ah. Salah satu dari sumbernya adalah tafsir al-Qummi. Pada bab ketiga dari buku ini, ia memberikan daftar perawi yang kepadanya al-Qummi telah bersandar dalam menceriterakan material yang terdapat dalam tafsirnya, mengutip statemen al-Qummi dalam introduksi bukunya, yang “kami akan menyebutkan dan menginformasikan tentang itu yang mencapai kita, yang penasihat kami dan para perawi yang dapat dipercaya telah menceriterakan”. Ia kemudian mengutip pengarang Wasa’il ash-Syi’ah yang menyatakan bahwa “‘Ali ibn Ibrahim al-Qummi telah bersaksi bahwa tafsirnya diceriterakan dari Imam oleh perawi yang dapat dipercaya.” (Wasa’il vol. 3 hal. 524).
21. Tafsir Ibn Kathir vol. 3 hal. 52 (Maktabah Dar at-Turath, Cairo n.d.)
22. Pada Al-Kafi volume yang pertama ayat ini digunakan tiga kali dalam kaitannya dengan Imam.
Orang_Pinggiran
Orang_Pinggiran
LETNAN SATU
LETNAN SATU

Male
Posts : 1862
Kepercayaan : Islam
Location : Jawa Tengah
Join date : 12.03.12
Reputation : 18

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik