padepokan pandito ratu
Halaman 1 dari 1 • Share
padepokan pandito ratu
Diam-diam, mungkin Emha Ainun Nadjib benar ketika mengatakan
bahwa pada dasarnya tiap-tiap orang melihat dunia cuma dari
pojok di mana dia berdiri. Dunia yang kita lihat dari pojok
kita itu jadinya tampak cuma kecil. Cara pandang semacam ini
menyebabkan terjadinya proses penyederhanaan atas persoalan
yang sebenarnya kompleks. Bagaimanapun, dari sudut tempat
kita berdiri itu tidak semua persoalan dapat kita lihat.
Tapi bukan itu saja. Melihat dunia "cuma dari pojok di mana
kita berdiri" bisa juga berarti bahwa kita melihat
kompleksitas persoalan semata dari kepentingan kita sendiri.
Kendala-kendala seperti ini bisa membuat kita tidak bebas
melihat dunia yang lebih luas.
Begitu jugalah reaksi-reaksi atas lontaran pemikiran
Jenderal (Purn) Soemitro mengenai perlunya ABRI mengambil
jarak dari kekuasaan itu. Berbagai pihak yang kemudian
berbicara soal itu, juga orang-orang yang saya ajak bicara
tentang itu, kurang menarik dilihat dari perspektif
pemikiran teoretis.
Tetapi, pemikiran Soemitro sendiri sebenarnya juga belum
jelas, apakah ia ingin mengacu pada tradisi kekuasaan Jawa
ataukah ingin menciptakan tradisi baru. Jika yang kedua ini
yang dimaksud, penjelasan yang ia berikan kepada wartawan
pun tidak memberikan gambaran mengenai bagaimana seharusnya
posisi politis ABRI sekarang dan di masa mendatang.
Kita pun tidak tahu pasti adakah Soemitro bicara begitu
semata karena ia tak lagi aktif di dunia kemiliteran dan
politik. Dengan kata lain, bisakah ia bicara begitu ketika
masih seorang jenderal dengan kekuasaan Pangkopkamtib di
tangan pada 1970-an yang lalu?
Kalau ia menginginkan terjadinya transformasi kelembagaan
dalam dunia politik ABRI, mestinya pemikiran ini dikemukakan
dulu ketika masih berkuasa. Sebab ketika berkuasa, ia punya
kekuasaan real untuk mengambil langkah tertentu.
Sebaliknya, kalau ia sekadar mengimbau kesadaran moral orang
per orang, imbauan semacam itu mungkin cuma akan didengar
mereka yang tak lagi terkait dengan struktur kekuasaan resmi
Dan kita tahu, jarang sebuah imbauan moral bisa langsung
menimbulkan transformasi sosio-kultural dalam masyarakat.
Dilihat dari kepentingan praktis, dan mungkin yang mendesak,
orang lantas bisa bertanya: buat apa gagasan seperti itu
dikemukakan?
Bagi saya, gagasan itu memang tidak punya kegunaan praktis
apa pun. Dengan kata lain, ia baru berarti buat proses
pendidikan untuk memetik buah di masa yang masih jauh di
depan. Kalau ini harapan di belakang pernyataan Soemitro,
saya hormati prinsipnya.
Dalam tradisi politik Jawa, raja adalah pusat segala
kekuasaan. Prajurit (tentara) tidak punya kekuasaan politis
apa pun karena ia hanya merupakan ubo rampe (pelengkapan)
dan pendukung kekuasaan sang raja. Meskipun begitu, mungkin
tidak bisa kita mengatakan bahwa tentara mengambil jarak
dari kekuasaan. Bagaimanapun, posisi tentara lekat pada, dan
memang bagian dari, kekuasaan itu sendiri.
Satu-satunya kekuatan yang jelas mengambil jarak dari
kekuasaan cuma pandito. Strukturnya menjadi jelas: ratu
(raja) berumah di kraton, sedangkan pandito (empu, resi)
berumah di angin, di luar struktur kekuasaan raja. Dalam
batas tertentu, pandito merupakan ratu (raja) dalam bentuk
dan struktur kekuasaan yang lain.
Oleh karena itu, mereka ogah dikratonkan. Sebab, mereka
sudah punya kraton sendiri, yakni padepokan kecil yang
dihuni bersama para cantrik. Dengan kata lain, sebagai
subordinasi kraton (pusat), padepokan memperoleh porsi
kekuasaan justru karena pandito tidak berkuasa secara real.
Wilayah kekuasaan pandito adalah dunia moral.
Sebagai sebuah sistem tersendiri, padepokan punya otonomi
penuh. Bagaimana strategi dan cara-cara sang resi memerintah
wilayahnya, raja tak bisa campur tangan. Pendek kata,
pandito merdeka. Bahkan untuk urusan moral, ia adalah raja
(anutan) bagi sang raja. Bila kedaulatan pandito dilanggar,
suara pandito tak lagi didengar raja, ini pertanda bahwa
kraton berada dalam ambang kehancuran.
Dengan kata lain, dunia pandito dan ratu berbeda. Corak
kekuasaan pandito tidak sama dengan kekuasaan ratu.
Pemisahan kekuasaan pandito-ratu adalah ibarat pemisahan
badan dari roh. Raja adalah badan. Pandito roh.
Dalam kaitan ini, orang tak bisa mengatakan yang satu lebih
penting daripada yang lain. Benar bahwa peran pandito-ratu
bisa saja hadir dalam satu sosok pribadi yang sama. Namun
peran itu harus dijalankan pada waktu yang berbeda. Dalam
tradisi Jawa, umumnya penggeseran itu dimulai dari ratu ke
pandito. Tidak pernah ada presendence yang sebaliknya:
seorang pandito kemudian menjadi ratu.
Yang ada ialah ratu yang lengser kalenggahan (meninggalkan
alam ramai) untuk mandito (menjadi pandito), dan tinggal di
lereng-lereng gunung, bersama para cantrik seperti
disebutkan di atas. Resi Begawan Abiyoso, pandito sakti yang
membuka padepokan di Sapta Arga, itu dulunya seorang raja
agung binatara di Astina.
Transformasi dari ratu ke pandito bukan transformasi
psikologis. Ia, dengan kata lain, merupakan sebuah laku
batin, ketika kebutuhan untuk hidup asketik dirasa telah
tiba saatnya untuk dipenuhi.
Laku batin seperti ini lebih merupakan kecenderungan
pribadi. Artinya, ia tidak bisa diprogramkan, tidak bisa
dimassalkan. Dengan kata lain, ia merupakan sebuah panggilan
hati.
Dan panggilan seperti itu datangnya selalu kelak, setelah
orang menjadi tua, setelah berhenti dari jabatan, setelah
jenuh dengan kekuasaan. Atau setelah tak lagi tahan
menghadapi kerasnya benturan dalam dunia politik dan
kemiliteran.
Ada jadinya motif-motif melarikan diri dari kenyataan itu
untuk mencoba hidup dengan selubung roh dan jubah panjang.
Namun banyak pula orang yang menempuh hidup asketik sebagai
pandito dengan kesadaran bahwa mandito adalah pilihan
terbaik. Dan bahwa dengan mandito ia bisa memberikan
sumbangan lebih besar bagi masyarakat, bangsa, dan
negaranya.
Sekali lagi, saya belum tahu secara pasti, apa maksud
Soemitro mengatakan agar ABRI mengambil jarak dari
kekuasaan: untuk menyarankan perubahan kelembagaan, untuk
mengimbau orang per orang, agar para mantan bersedia mandito
ataukah untuk kepentingannya sendiri?
---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 2 Februari 1992
bahwa pada dasarnya tiap-tiap orang melihat dunia cuma dari
pojok di mana dia berdiri. Dunia yang kita lihat dari pojok
kita itu jadinya tampak cuma kecil. Cara pandang semacam ini
menyebabkan terjadinya proses penyederhanaan atas persoalan
yang sebenarnya kompleks. Bagaimanapun, dari sudut tempat
kita berdiri itu tidak semua persoalan dapat kita lihat.
Tapi bukan itu saja. Melihat dunia "cuma dari pojok di mana
kita berdiri" bisa juga berarti bahwa kita melihat
kompleksitas persoalan semata dari kepentingan kita sendiri.
Kendala-kendala seperti ini bisa membuat kita tidak bebas
melihat dunia yang lebih luas.
Begitu jugalah reaksi-reaksi atas lontaran pemikiran
Jenderal (Purn) Soemitro mengenai perlunya ABRI mengambil
jarak dari kekuasaan itu. Berbagai pihak yang kemudian
berbicara soal itu, juga orang-orang yang saya ajak bicara
tentang itu, kurang menarik dilihat dari perspektif
pemikiran teoretis.
Tetapi, pemikiran Soemitro sendiri sebenarnya juga belum
jelas, apakah ia ingin mengacu pada tradisi kekuasaan Jawa
ataukah ingin menciptakan tradisi baru. Jika yang kedua ini
yang dimaksud, penjelasan yang ia berikan kepada wartawan
pun tidak memberikan gambaran mengenai bagaimana seharusnya
posisi politis ABRI sekarang dan di masa mendatang.
Kita pun tidak tahu pasti adakah Soemitro bicara begitu
semata karena ia tak lagi aktif di dunia kemiliteran dan
politik. Dengan kata lain, bisakah ia bicara begitu ketika
masih seorang jenderal dengan kekuasaan Pangkopkamtib di
tangan pada 1970-an yang lalu?
Kalau ia menginginkan terjadinya transformasi kelembagaan
dalam dunia politik ABRI, mestinya pemikiran ini dikemukakan
dulu ketika masih berkuasa. Sebab ketika berkuasa, ia punya
kekuasaan real untuk mengambil langkah tertentu.
Sebaliknya, kalau ia sekadar mengimbau kesadaran moral orang
per orang, imbauan semacam itu mungkin cuma akan didengar
mereka yang tak lagi terkait dengan struktur kekuasaan resmi
Dan kita tahu, jarang sebuah imbauan moral bisa langsung
menimbulkan transformasi sosio-kultural dalam masyarakat.
Dilihat dari kepentingan praktis, dan mungkin yang mendesak,
orang lantas bisa bertanya: buat apa gagasan seperti itu
dikemukakan?
Bagi saya, gagasan itu memang tidak punya kegunaan praktis
apa pun. Dengan kata lain, ia baru berarti buat proses
pendidikan untuk memetik buah di masa yang masih jauh di
depan. Kalau ini harapan di belakang pernyataan Soemitro,
saya hormati prinsipnya.
Dalam tradisi politik Jawa, raja adalah pusat segala
kekuasaan. Prajurit (tentara) tidak punya kekuasaan politis
apa pun karena ia hanya merupakan ubo rampe (pelengkapan)
dan pendukung kekuasaan sang raja. Meskipun begitu, mungkin
tidak bisa kita mengatakan bahwa tentara mengambil jarak
dari kekuasaan. Bagaimanapun, posisi tentara lekat pada, dan
memang bagian dari, kekuasaan itu sendiri.
Satu-satunya kekuatan yang jelas mengambil jarak dari
kekuasaan cuma pandito. Strukturnya menjadi jelas: ratu
(raja) berumah di kraton, sedangkan pandito (empu, resi)
berumah di angin, di luar struktur kekuasaan raja. Dalam
batas tertentu, pandito merupakan ratu (raja) dalam bentuk
dan struktur kekuasaan yang lain.
Oleh karena itu, mereka ogah dikratonkan. Sebab, mereka
sudah punya kraton sendiri, yakni padepokan kecil yang
dihuni bersama para cantrik. Dengan kata lain, sebagai
subordinasi kraton (pusat), padepokan memperoleh porsi
kekuasaan justru karena pandito tidak berkuasa secara real.
Wilayah kekuasaan pandito adalah dunia moral.
Sebagai sebuah sistem tersendiri, padepokan punya otonomi
penuh. Bagaimana strategi dan cara-cara sang resi memerintah
wilayahnya, raja tak bisa campur tangan. Pendek kata,
pandito merdeka. Bahkan untuk urusan moral, ia adalah raja
(anutan) bagi sang raja. Bila kedaulatan pandito dilanggar,
suara pandito tak lagi didengar raja, ini pertanda bahwa
kraton berada dalam ambang kehancuran.
Dengan kata lain, dunia pandito dan ratu berbeda. Corak
kekuasaan pandito tidak sama dengan kekuasaan ratu.
Pemisahan kekuasaan pandito-ratu adalah ibarat pemisahan
badan dari roh. Raja adalah badan. Pandito roh.
Dalam kaitan ini, orang tak bisa mengatakan yang satu lebih
penting daripada yang lain. Benar bahwa peran pandito-ratu
bisa saja hadir dalam satu sosok pribadi yang sama. Namun
peran itu harus dijalankan pada waktu yang berbeda. Dalam
tradisi Jawa, umumnya penggeseran itu dimulai dari ratu ke
pandito. Tidak pernah ada presendence yang sebaliknya:
seorang pandito kemudian menjadi ratu.
Yang ada ialah ratu yang lengser kalenggahan (meninggalkan
alam ramai) untuk mandito (menjadi pandito), dan tinggal di
lereng-lereng gunung, bersama para cantrik seperti
disebutkan di atas. Resi Begawan Abiyoso, pandito sakti yang
membuka padepokan di Sapta Arga, itu dulunya seorang raja
agung binatara di Astina.
Transformasi dari ratu ke pandito bukan transformasi
psikologis. Ia, dengan kata lain, merupakan sebuah laku
batin, ketika kebutuhan untuk hidup asketik dirasa telah
tiba saatnya untuk dipenuhi.
Laku batin seperti ini lebih merupakan kecenderungan
pribadi. Artinya, ia tidak bisa diprogramkan, tidak bisa
dimassalkan. Dengan kata lain, ia merupakan sebuah panggilan
hati.
Dan panggilan seperti itu datangnya selalu kelak, setelah
orang menjadi tua, setelah berhenti dari jabatan, setelah
jenuh dengan kekuasaan. Atau setelah tak lagi tahan
menghadapi kerasnya benturan dalam dunia politik dan
kemiliteran.
Ada jadinya motif-motif melarikan diri dari kenyataan itu
untuk mencoba hidup dengan selubung roh dan jubah panjang.
Namun banyak pula orang yang menempuh hidup asketik sebagai
pandito dengan kesadaran bahwa mandito adalah pilihan
terbaik. Dan bahwa dengan mandito ia bisa memberikan
sumbangan lebih besar bagi masyarakat, bangsa, dan
negaranya.
Sekali lagi, saya belum tahu secara pasti, apa maksud
Soemitro mengatakan agar ABRI mengambil jarak dari
kekuasaan: untuk menyarankan perubahan kelembagaan, untuk
mengimbau orang per orang, agar para mantan bersedia mandito
ataukah untuk kepentingannya sendiri?
---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, 2 Februari 1992
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: padepokan pandito ratu
padepokan ini apa yang biasa disebut lemhanas?atow parpol?
abu hanan- GLOBAL MODERATOR
-
Age : 90
Posts : 7999
Kepercayaan : Islam
Location : soerabaia
Join date : 06.10.11
Reputation : 224
Similar topics
» [angel face][pancaran pesona seorang ratu] hande
» Malala Diundang ke Istana Buckingham untuk Bertemu Ratu Elizabeth II
» ELLA & NIKE ARDILLA RATU ROCK MALINDO I FULL ALBUM
» kalau bunda maria ratu sorga, siapakah yang menjadi rajanya?
» Seorang Lelaki Berdakwah Langsung Dihadapan Ratu dan Pejabat Tinggi Negara Belanda
» Malala Diundang ke Istana Buckingham untuk Bertemu Ratu Elizabeth II
» ELLA & NIKE ARDILLA RATU ROCK MALINDO I FULL ALBUM
» kalau bunda maria ratu sorga, siapakah yang menjadi rajanya?
» Seorang Lelaki Berdakwah Langsung Dihadapan Ratu dan Pejabat Tinggi Negara Belanda
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik