FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

islam, pluralisme dan klaim kebenaran Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

islam, pluralisme dan klaim kebenaran Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

islam, pluralisme dan klaim kebenaran

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

islam, pluralisme dan klaim kebenaran Empty islam, pluralisme dan klaim kebenaran

Post by keroncong Tue Jan 31, 2012 9:56 pm

Kemajemukan (pluralitas) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dinafikan. Itu memang benar. Di dalamnya ada kaum pria dan wanita, tua dan muda, yang berkulit hitam dan putih, dengan beragam agama dan kepercayaan. Demikian seterusnya. Akan tetapi, menarik garis lurus, bahwa kemajemukan itu identik dengan pluralisme, tentu merupakan kesalahan, kalau tidak mau dianggap penyesatan. Memang, pluralisme adalah paham yang berangkat dari konteks pluralitas. Akan tetapi, sebagai paham, pluralisme jelas berbeda dengan pluralitas (kemajemukan) itu sendiri.
Dalam konteks pluralitas (kemajemukan), al-Quran bahkan telah menyatakannya dengan jelas, sebagai sebuah keniscayaan:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian terdiri dari pria dan wanita, serta telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian bisa saling mengenal (satu sama lain). Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. (QS al-Hujurat [49]: 13).
Pluralitas ini tidak hanya terjadi dalam konteks fisik, tetapi juga non-fisik. Banyaknya pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi, misalnya, jelas merupakan kenyataan yang tidak dapat dilepaskan dari fenomena pluralitas di atas.
Hanya saja, dalam konteks pluralitas yang pertama, ia umumnya dapat diterima sebagai keniscayaan, seperti apa adanya. Ini berbeda dengan konteks pluralitas yang kedua karena yang terakhir ini melibatkan pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi yang menjadi anutan. Dianut, karena diyakini oleh penganutnya benar. Nah, di sinilah kemudian muncul persoalan seputar klaim kebenaran, yang sering dilontarkan oleh kelompok liberal. Sebab, dalam bayangan mereka, kalau masing-masing penganut paham tersebut mengklaim dirinya benar, dan yang lain salah, pasti akan terjadi pemaksaan kebenaran yang dianutnya kepada orang lain; sesuatu yang-menurut bayangan mereka-akan menyebabkan hilangnya pluralitas dan kebebasan. Karena itu, untuk mencegah terjadinya hal itu, tidak boleh ada klaim kebenaran. Kebenaran harus direlatifkan. Dengan begitu, masing-masing pihak tidak akan merasa terancam dengan pihak lain, yang mengklaim benar. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya paham pluralisme, yang intinya menyatakan bahwa semua pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi itu sama-sama benar. Mengapa semuanya harus disamadudukkan dan disamabenarkan? Karena, menurut mereka, hanya dengan cara itulah pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi lain tidak akan saling merasa terancam. Dengan cara seperti itu pula, kehidupan yang plural bisa tetap dipertahankan dalam keharmonisan. Akan tetapi, apa memang demikian?
Pluralisme dan Klaim Kebenaran
Paham seperti itu justru utopis. Ia jelas mengingkari kebenaran yang diyakini oleh masing-masing penganut pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi yang memang plural tersebut. Sebab, betatapun tolerannya penganut paham tertentu, dia tetap berkeyakinan, bahwa apa yang dianutnya adalah benar. Baginya, kebenaran yang dianutnya itu bukanlah klaim. Karena itu, orang Kristen, Hindu, atau yang lain pasti akan marah, kalau kebenaran yang mereka yakini itu dianggap klaim. Apa lagi kemudian masing-masing disuruh melakukan kompromi, dengan merelatifkan kebenaran yang mereka yakini, itu pasti tidak akan mereka terima. Itulah yang ditunjukkan oleh Magnis Suseno. Karena itu, dengan keras Magnis Suseno menolak pluralisme. Jadi, paham pluralisme dengan gagasan klaim kebenarannya itu jelas utopis, tidak membumi, dan justru bertentangan dengan fitrah keyakinan manusia.
Nah, masalahnya adalah, apakah ketika klaim kebenaran itu dibiarkan, masing-masing orang-dengan latar belakang pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi tersebut-tidak saling mengalami benturan, yang meniscayakan terjadinya disharmonisasi dalam komunitas sosial?
Harus diakui, bahwa terjadinya benturan dalam komunitas yang majemuk (plural) jelas merupakan keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Karena itu, menghindari benturan, dengan mengingkari perbedaan atau pluralitas, jelas merupakan pengingkaran terhadap fakta. Demikian halnya menghindari benturan dengan mengingkari klaim kebenaran, juga bertentangan dengan kenyataan. Karena itu pula, sebagai keniscayaan, benturan tersebut pasti akan terjadi sebagai konsekuensi dari kemajemukan. Akan tetapi, bagaimana caranya agar benturan tersebut tidak menyebabkan terjadinya disharmonisasi dalam komunitas sosial? Itulah, yang sesungguhnya harus diatur.
Caranya, benturan itu harus diwadahi dalam batas-batas non-fisik, atau bersifat pemikiran dan intelektual semata. Karena itu, benturan yang terjadi sebagai konsekuensi dari kemajemukan tersebut tidak boleh mengarah pada konflik fisik. Nah, dengan cara seperti itulah, pluralitas yang ada justru bisa diselesaikan dengan baik. Inilah yang sesungguhnya diajarkan oleh Islam. Islam tidak memaksa orang non-Muslim untuk memeluk dan meyakini Islam (QS al-baqarah [2]: 256). Orang non-Muslim, baik Ahli Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, maupun musyrik, seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya juga tetap bisa hidup di dalam Daulah Islam; mereka bebas memeluk keyakinan mereka dan mengklaim kebenaran atas keyakinan mereka. Hanya saja, melalui proses dakwah yang dilakukan secara argumentatif (bi al-hikmah), dan debat terbuka dengan menampilkan argumen yang lebih unggul (wa jadilhum billati hiya ahsan) (QS an-Nahl [16]: 125), ditopang dengan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, maka orang-orang non-Muslim itu pun akhirnya bisa meyakini, bahwa Islamlah satu-satunya agama dan ideologi yang benar. Pada akhirnya, mereka pun akan berbondong-bondong memeluk Islam; bukan karena terpaksa, tetapi dengan sukarela. Dengan begitu, kebenaran yang sebelumnya mereka klaim pun akhirnya mereka tinggalkan, setelah menyaksikan kebenaran Islam. Akan tetapi, semuanya itu ditampilkan oleh Islam secara elegan dan rasional. Kisah masuk Islamnya ribuan orang Kristen di Irak di tangan Abu Hudzail al-'Allaf, tokoh Mu'tazilah, setelah melalui debat intelektual adalah sedikit bukti yang bisa dipaparkan di sini.
Coba kita membandingkannya dengan cara kapitalis maupun sosialis. Kapitalisme, dengan pluralismenya, memaksa agar masing-masing penganut keyakinan tertentu merelatifkan kebenaran yang dianutnya. Dengan kata lain, mereka tidak boleh mengklaim benar sendiri. Setelah itu, mereka dipaksa untuk menerima sebagian kebenarannya sendiri, dan kebenaran orang lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan sinkretisme. Adapun Sosialisme justru memberangus setiap paham yang berbeda dengannya. Karena itu, baik solusi yang ditawarkan oleh Kapitalisme maupun Sosialisme jelas bukan merupakan solusi yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia.
Kompromi dan Kekalahan Intelektual
Perang Salib yang dilakukan oleh Dunia Barat terhadap Islam telah melahirkan kesimpulan bahwa Islam dan umatnya tidak bisa dikalahkan secara fisik, melalui perang. Mereka harus dikalahkan dengan pemikiran. Pada abad ke-14 M, mereka mendirikan kajian ketimuran (oriental studies), yang kemudian melahirkan Orientalisme. Akan tetapi, sayang, kajian mereka tidak berangkat dari argumentasi yang logis, melainkan berakar dari kebencian terhadap Islam sehingga upaya untuk mengalahkan klaim kebenaran Islam itu tidak pernah mereka lakukan dengan jujur dan obyektif. Di sisi lain, mereka juga tidak berani berhadapan dengan Islam secara terbuka. Karena itu, mereka pun menempuh langkah penyesatan. Apa yang bukan dari Islam, mereka katakan Islam, bersumber dari Islam, atau bahkan dikatakan sebagai inti dari ajaran Islam. Inilah yang terjadi dalam kasus sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, misalnya. Sayang, ketika itu, umat Islam sudah mengalami kemunduran intelektual yang luar biasa sehingga dengan justifikasi fatwa Syaikh al-Islam, apa saja yang bukan dari Islam tersebut dengan mudah mereka terima. Dengan demikian, pemikiran yang mereka gunakan untuk mengalahkan Islam sejatinya bukan pemikiran argumentatif yang logis, melainkan tikaman dan penyesatan terhadap Islam.
Karena itu, bisa kita simpulkan, bahwa senjata yang dihunus oleh Barat, khususnya dalam menghadapi Islam, bukanlah logika dan argumentasi. Mereka menikam Islam dengan tuduhan teroris, barbar, terbelakang, dan sebagainya; kemudian mereka pun melakukan penyesatan dengan mengatas-namakan Islam untuk apa yang sesungguhnya bukan dari Islam. Senjata yang pertama mereka gunakan untuk menghasut bangsa mereka agar senantiasa membenci Islam dan umatnya. Lihatlah kasus pengrusakan masjid dan penodaan wanita Muslimah di London dan Australia pasca ledakan 7 Juli 2005 yang lalu. Itulah yang juga menjadi justifikasi mereka untuk menyerang Dunia Islam. Setelah itu, muncul perlawanan, baik secara fisik maupun non-fisik, terhadap mereka. Anehnya, mereka ini kemudian dituduh menghasut orang Islam untuk memusuhi Barat. Adapun senjata yang kedua mereka gunakan untuk meninabobokan umat Islam agar tetap bisa menerima apa yang sesungguhnya bertentangan dengan keyakinan mereka.
Cara-cara seperti ini sebenarnya menunjukkan kekalahan intelektual mereka. Cara-cara seperti ini juga tidak akan bertahan lama. Sebab, begitu kedok dan kebohongannya terbongkar, justru mereka akan berbalik. Hanya saja, Barat pun tahu bagaimana caranya mempertahankan cara-cara mereka. Dari sinilah, kita mengerti mengapa mereka yang mengklaim demokrat, liberal, toleran, dan sebagainya itu ternyata tidak toleran terhadap kelompok Islam yang bisa membongkar kedok dan kebohongan mereka kepada publik, baik publik Islam maupun Barat. Itu tidak lain sebagai upaya mereka untuk mempertahankan cara-cara mereka.

Kesimpulan
Karena itu, bisa ditarik kesimpulan, bahwa penolakan terhadap klaim kebenaran, termasuk penolakan terhadap adanya hukum Allah, direlatifkannya kebenaran, serta kompromi antara keyakinan satu dan yang lainnya sesungguhnya merupakan produk dari paham pluralisme. Fakta di atas membuktikan, bahwa paham seperti ini merupakan paham yang utopis, dan bertentangan dengan kenyataan.
Sebaliknya, Islam memandang pluralitas (kemajemukan) tersebut berangkat dari kenyataan. Sama ketika Islam memandang klaim kebenaran yang diusung oleh setiap penganut keyakinan tertentu, juga berangkat dari kenyataan yang tidak dapat dinafikan. Karena itu, untuk membuktikan klaim siapakah yang lebih benar, Islam memberi jalan, yaitu debat intelektual (mujâdalah billati hiya ahsan). Dengan cara seperti itu, Islamlah yang akan tampil sebagai satu-satunya paham, agama, dan ideologi yang bisa dibuktikan kebenarannya. Sayang, tidak banyak kalangan Islam yang bisa melakukannya. Wallâhu a'lam.

keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik