FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

muktazilah VS jabariyah VS Ahlus sunnah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

muktazilah VS jabariyah VS Ahlus sunnah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

muktazilah VS jabariyah VS Ahlus sunnah

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

muktazilah VS jabariyah VS Ahlus sunnah Empty muktazilah VS jabariyah VS Ahlus sunnah

Post by keroncong Sat Jan 28, 2012 5:36 am

Ketika kejayaan Islam sudah sampai pada puncak kemegahannya, maka bersamaan dengan itu kejayaan ilmu pengetahuan pun sudah sangat mendalam. Penerjemahan buku secara besar-besaran, baik dari buku yang berbahasa Arab ke bahasa Yunani maupun sebaliknya, merupakan bukti dari jaman keemasan Islam pada abad ke-2 Hijriyah itu.

Akibat dari transformasi pengetahuan Yunani itu terjadi perubahan arah berpikir yang dimiliki umai Islam. Salah satu perubahan itu adalah berkaitan dengan persoalan Aktivitas Manusia. Ilmuwan Yunani terpecah menjadi dua kelompok besar dalam menyikapi persoalan tersebut; yaitu kelompok Al-Abiqariyun dan Ar-Ruwaqiyun([1]).

Al-Abiqariyun berpendapat bahwa manusia berkehendak bebas tanpa paksaan, sedangkan Ar-Ruqaqiyun berpendapat sebaliknya([2]). Dari perbedaan pendapat tersebut lahir istilah-istilah baru -yang tidak dikenal pada masa awal Islam - seperti Al-Jibr dan Al-Ikhtiyar. Istilah itu kemudian berkembang ketika diserap oleh ulama Islam dengan istilah Qodlo’ dan Qodar, dengan perluasan pembahasan pada kekuasaan Alloh dan keadilan-Nya. Artinya, pembahasan mengenai aktivitas manusia - ketika pembahasan itu masuk pada belantika pergolakana pemikiran Islam- dikait-kaitkan dengan persoalan keadilan dan kekuasaan Alloh.

Dengan demikian, sejak abad ke-2 Hijriyyah berkembang pula kelompok-kelompok teologis dalam Islam. Kelompok-kelompok ini terus-menerus berdebat atau ber-jidal, sehingga mereka biasa pula dengan istilah Ahli Kalam, Al-Mutakallimun, orang-orang yang suka ngomong([3]).

Perbuatan Manusia dan Aliran-aliran Teologis

Sebelum dijelaskan lebih terperinci mengenai konsep aktivitas manusia dalam kajian teologis, akan lebih baik jika penulios memaparkan terlebih dajulu madzab teologis dan pemikirannya mengenai perbuatan manusia. Penulis hanya akan mengangkat 3 aliran teologis, karena - menurut penulis - hanya 3 aliran teologis itulah yang representatif untuk dikaji secara mendalam tentang konsep pemikirannya.

A. Mu’tazilah

Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, yang berarti menyendiri, karena memang menyendiri dari kelompok ngajinya Hasan Al-Basyri([4]); di mana tokohnya yang bernama Abi Hudzaifah Wasil bin ‘Atho’ Al-Ghozzal (80 - 131 H), yang hidup pada masa ‘Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin ‘Abdul Malik, memang pernah menjadi murid Hasan Al-Basyri.

Kelompok Mu’tazilah biasa disebut dengan Ash-habul ‘Adl & Ash-habul Tauhid; dan diberi gelar dengan Qodariyah & ‘Adliyah([5]). Kelompok / aliran ini dalam kitab Al-Milal Wa An-Nihal dicaci dengan hadits RasuluLlah SAW :

“ Al-Qodariyah, Majusi-nya ini ummat”.

Pemikiran-pemikiran Aliran Mu’tazilah Mengenai Perbuatan Manusia

Kelompok ini memiliki banyak pemikiran mengenai teologis. Namun penulis membatasi hanya pada persoalan yang berkaitan dengan topik; yaitu perbuatan manusia.

Mereka berpendapat bahwa seorang hamba itu berkuasa (qodirun) dan mencipta (kholiqun) atas aktivitas-aktivitas / perbuatan - perbuatannya sendiri, baik jelek maupun baik. Ia berhak atas aktivitas itu pahala atau siksaan. Adapun Tuhan sangat suci dari kejelekan dan kezholiman, karena seandainya Allah yang menciptakan kedholiman, maka ia Zholim, sebagaimana ia menciptakan keadilan, maka ia ‘Adil([6]). Konsep di atas biasanya mereka kaitkan dengan konsep Keadilan Allah; artinya, bahwa Keadilan Allah tidak mungkin berma’na kecuali memberikan kebebasan pada manusia untuk berbuat. Apabila manusia berbuat atas kehendaknya, kemudian dibalas oleh Allah, maka balasan itu logis([7]).

Bahkan manusialah yang mengetahui serta mewujudkan segala yang diamalkannya itu; semuanya dengan qudrat manusia sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan di dalam membuktikan amalan-amalan itu([8])

Dengan demikian -- masih menurut mereka -- buat apa Allah menciptakan neraka dan syurga serta mengutus Rasul-rasulNya, kalau kemudian aktivitas-aktivitas manusia sudah dicipta oleh Allah. Dan sungguh dholim bagi Allah -- yang ia dzat yang tidak pernah zholim -- jika ia memasukkan seseorang ke dalam neraka sedangkan ia sendiri yang mencipta dan memaksa seseorang itu untuk berbuat sesuatu sehingga ia masuk neraka. Dan sangatlah sia-sia bagi Rasul-rasul-Nya untuk berda’wah, karena mereka berda’wah kepada robot-robot yang sudah di-stel untuk berbuat baik ataupun jelek. Ini semua tidak mungkin terjadi pada diri Allah, karena ia sangat suci dari sifat-sifat yang tercela dan zholim.

Demikianlah Mu’tazillah / Qodariyah mempertahankan konsepnya dengan menggunakan kaidah ‘aqliyah (rasional). Untuk memperkuat pendapatnya dan menyakinkan akan kebenaran konsep-konsepnya, mereka menggunakan dalil-dalil naqliy, yaitu : QS. Al-An’am 148, QS. Al-Ghofir 31, QS. Az-Zumar 7 dan lain-lain.

Mereka berusaha untuk men-ta’wil-kan ayat-ayat yang bertentangan dengan konsep mereka, seperti : QS. Al-Baqarah 6-7, QS. Ash-Shoffat 96 dan lain-lain.

Adapun mengenai hal-hal yang lahir dari aktivitas manusia, seperti : rasa sakit, manis, pahit, panas, dan lain-lain diciptakan oleh manusia pula, karena manusialah yang mewujudkan hal itu([9]).

Dari sini bisa disimpulkan bahwa menurut Mu’tazilah :

a. Perbuatan manusia adalah atas dasar kehendak dan kekuasaan manusia

b. Hal-hal yang lahir dari aktivitas manusia, seperti : rasa sakit, manis, pahit, keberanian dan lain-lain diwujudkan pula oleh manusia

B. Jabariyah

Jabariyah berasal dari kata Al-Jabr, yaitu menafikan aktivitas pada hamba([10]). Tokoh dari kelompok ini adalah Jaham bin Shofwan, yang oleh karenanya kelompok ini biasa disebut Jahamiyah([11]).

Pemikiran-pemikiran Jabariyah mengenai perbuatan manusia secara ringkas sebagaimana di bawah ini.

Manusia tidak mempunyai daya upaya / ikhtiyar. Bahkan sekalian hasil perbuatan manusia dijadikan oleh Allah, bukan oleh manusia([12])

Jabariyah yang juga disebut dengan Fatalism atau Predestination berpendapat bahwa memang sejak semula, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Perbuatan-perbuatan bukanlah timbul dari daya dan kemauan yang bebas dari manusia. Manusia dalam aliran ini tidak mempunyai kemerdekaan, tidak ubahnya sebagai wayang yang tidak akan bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang([13])

Mereka berpendapat jika manusia mampu mewujudkan perbuatannya serta sekaligus menciptakannya maka manusia telah membatasi kekuasaan Allah. Hal itu tidaklah mungkin, karena Allah-lah penguasa yang memiliki kekuasaan tunggal dan tidak akan bisa dibatasi oleh makhlik apapun. Untuk memperkuat pendapat itu. Jabariyah berargumen dengan ayat-ayat Al-qur’an seperti : QS. Al-Qashash 56, Qs. Al-Insan 30 dan lain-lain. Mereka juga men-ta’wilkan ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan dengan konsep mereka.

Adapun mengenai hal-hal yang lahir dari perbuatan manusia dan benda-benda seperti : rasa takut, manis, pahit dan sebagainya, itu semua semata-mata dicipta oleh Allah, bukan oleh manusia([14]).

C. Ahlu As-Sunnah Wa al-Jama’ah

Kelompok Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah biasanya di-nisbath-kan pada Abu Al-Hasan Ali bin Al-Isma’il Al-Asy’ary([15]), karena berkat dirinyalah kelompok ini sangat dikenal dengan istilah “Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah”; yaitu kelompok tengah-tengah (moderat antara Mu’tazilah dan Jabariyah).([16])

Aliran ini berusaha untuk mengkompromikan antara pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah. Mereka berpendapat bahwa :

“Allah ta’ala yang menciptakan segala sesuatu, sedangkan hamba yang berusaha”.

“Perbuatan itu ditentukan oleh Allah dari sisi mewujudkan dan ditentukan oleh manusia dari sisi usaha”([17])

Artinya manusia mempunyai iradah yang dengan iradah itu manusia dapat menuju suatu tujuan untuk membuktikan suatu perbuatan. Manusia juga mempunyai qudrat yang dengannya dapat melaksanakan suatu perbuatan.

Demikian pula Allah mempunya iradah yang menghendaki agar manusia mempunyai kehendak untuk membuktikan perbuatannya. Allah menghendaki hal itu disertai dengan kekuasaaa-Nya untuk mewujudkan.

Akan tetapi perjalanan qudrat manusia dan qudrat Allah terhadap suatu perbuatan itu berlainan caranya, sebab kekuasaan Allah tertuju untuk membuktikan dan mewujudkan perbuatan, sedangkan kekuasaan manusia hanyalah berlaku untuk menerima kekuasaan Allah semata.

Artinya, ketika Allah mewujudkan pekrbuatan tadi, kepada manusia diberikan sesuai sesuai dengan hasrat yang dikandungnya untuk melakukan perbuatan tadi.([18])

Untuk memperkuat pendapat yang dibangun, mereka menggunakan dalil-dalil seperti uang digunakan Mu'tazilah dalam membuktikan bahwa manusia mempunyai usaha dan dalil-dalil yang digunakan Jabariyah dalam membuktikan bahwa Allah yang mewujudkan perbuatan itu pada manusia melalui perwujudan perbuatan sesuai dengan hasrat manusia.

Belum Bisa Mengurai Benang Yang Kusut

Apa yang dilakukan oleh kelompok Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah belum bisa mengurai benang yang semrawut dan rumit, bahkan mereka masih terjebak pada paham Jabariyah, karena masih “memberikan” kekuasaan pada Tuhan secara mutlak. Hal ini bisa dilihat dari indikator bahwa ketika Tuhan mewujudkan kekuasaan pada kekuasaan manusia, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa manusia tidak bisa berusaha (kasb) ketika Allah tidak mewujudkan kekuasaan-Nya pada manusia. Indikator ini nampak sangat jelas dilihat pada kitab Jauharatut Tauhid :

Artinya :

“ Menurut Kami (Ahlu Sunnah), manusia itu harus berusaha dan usaha itu tidak akan memberikan pengaruh, ketahuilah akan hal itu”

Maksudnya, usaha manusia itu tidak berarti apa-apa tanpa perwujudan kekuasaan Tuhan pada diri manusia. Dan semakin membingungkan jika ada seseorang yang berzina dan ia melegalkan hal dengan bukti : akhirnya si pezina ber-kasb, yaitu melakukan perbuatan itu, sebab tidak mengkin pezina melakukan perzinaan kalau Tuhan tidak mewujudkan kekuasaan-Nya pada’azzamnya.

Dari uraian di atas, sangat jelas sekali bahwa kelompok yang menamakan dirinya dengan Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah – baik secara teoritis maupun relaistas – tidaklah dianggap sebagai kelompok tengah-tengah, karena justru realitasnya banyak kelompok thariqat muncul dari Al-Asy’ariyah dan mereka berpegang teguh dengan kitab-kitab dari kelompok itu, seperti : Jauharatut Tauhid, ‘Aqidatul ‘Awwam dan lain-lain.

Mengurai Benang Kusut :

Sebagai Kajian Kritis Yang Alternatif

Demikianlah pemaparan mengenai masalah perbuatan manusia yang lebih dikenal di kalangan mutakallimin dengan istilah Qadla’ dan Qadar; yang tidak pernah mencapai “ pencerahan ” dalam persoalan itu.

Kalau kita kaji secara kritis pada pemikiran-pemikiran mereka (aliran-aliran teolegis) ternyata mereka selalu mengkait-kaitkan dengan sifat keadilan atau kekuasaan Allah sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Mereka membuat hujjah dengan landasan keadilan Tuhan. Sedangkan Jabariyah mengkaitkan hujjah mereka dengan sifat kekuasaan Allah yang mutlak. Kemudian Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama'ah bahkan mengkaitkan pula dengan kekuasaan dan kehendak Allah dalam membahas aktivitas manusia.

Jadi, dari sinilah berawal persoalan yang tidak kunjung selesai itu, karena topik utama yaitu aktivitas / perbuatan manusia dicampur-aduk dengan topik-topik lain seperti sifat-sifat Allah. Padahal kita semua mengetahui bahwa sangat sulit kita memikirkan hal-hal yang di luar jangkauan akal manusia, seperti sifat keadilan dan kekuasaan Tuhan; kecuali jika kita membahasnya dari sisi Imanen, yaitu etik kemanusiaan. Bagaimana manusia mampu bersifat adil dan tidak sok kuasa pada manusia lain. Pembahasan dalam persoalan seperti itu adalah sah-sah saja. Namun jika pembahasan sifat-sifat Allah dikaji hakekat/esensinya dari sudut pandang teologis ketuhanan tentu tidak akan bisa, karena akal manusia sangat terbatas pada hal-hal semacam itu. Dan jika hal itu dikaitkan dengan perbuatan manusia, tentu sangatlah rumit untuk dipahami. Nah, hal seperti itulah yang terjadi pada kalangan mutakallimin.

Oleh karena itu, dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia hendaknya tidak dikaitkan dengan topik pembahasan yang lain, seperti : keadilan Tuhan, Lauhul Mahfudz, ilmu Allah, dan sebagainya. Namun pembahsan itu harus disendirikan pada dua hal :

a. Perbuatan manusia :apakah terbatas atau bebas

b. Hal-hal yang lahir dari aktivitas/perbuatan manusia atau benda-benda

Perbuatan Manusia dan Hal-hal Yang Lahir dari Perbuatan Manusia atau Benda-Benda

Jadi dari uraian di atas konsentrasi kajian ini seharusnya hanya pada perbuatan manusia, bukan aktivitas Allah (seperti : sifat-Nya, Al-Kalam, dan lain-lain). Dan kalau diteliti, perbuatan manusia itu dibagi menjadi dua wilayah([19])

a. Ad-Dairah al-Lati Tusaithiru ‘Alaihi (Wilayah Yang Menguasai Manusia)

Dalam wilayah ini, aktivitas manusia dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Yang berhubungan dengan hukum alam secara langsung.

Artinya, manusia harus tunduk terhadap hukum alam yang dibuat oleh Allah. Manusia tidak mampu menentukan kehendaknya. Manusia tidak dapat berkehendak untuk lahir dalam keadaan putih atau lahir di Malang . Manusia tidak dapat terbang kecuali dengan alat bantu. Dalam wilayah ini, manusia tidakl mukhayyar, namun mujbir, dipaksa untuk mengikuti aturan yang telah dibuat.

2. Yang berhubungan dengan hukum alam secara tidak langsung

Artinya, manusia harus tunduk pada kelemahan yang ada pada dirinya atau tunduk pada kekuatan orang lain.

Contoh : Apabila tertimpa oleh sebuah batu besar dari atas tebing dan tidak mampu untuk menghindarinya atau jika pemburu yang lagi membidikkan senapannya pada semak-semak yang bergoyang, karena ia mengira ada kijang di balik semak-semak itu, tetapi setelah ditembak ternyata yang terkena adalah manusia, maka keduanya, yang menembak dan yang ditembak tidak berdaya, alias tidak berkehendak untuk berbuat itu.

Dalam wilayah ini manusia tidak bebas dan tidak memiliki kekeuatan untuk mengatur kehendaknya. Oleh karena itu tidak ada kaitannya dengan siksa dan pahala. Hal inilah yang disebut Qadla’. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Qadla’ tidak ada kaitan sama sekali dengan siksa dan pahala.

b. Ad-Dairah al-Lati Yusaithiru ‘Alaiha al-Insan (Wilayah Yang Dikuasa Manusia )

Pada wilayah ini, manusia memiliki kuasa atau kemapuan mengatur kehendaknya untuk berbuat sesuatu, baik dalam masalah ibadah maupun kehidupan sehari-hari ; seperti : sholat, puasa, zakat, perbuatan buruk : zina, merampok, dan sebagainya, ataupun perbuatan seperti : makan, minum, tidur, dan sebagainya. Semua itu manusia yang berkehendak untuk berbuat. Oleh karena itu, mereka nantinya akan dibalas/disiksa apabila perbuatan tersebut salah dan mendapatkan pahala apabila benar (menurut syara’). Pada wilayah ini jangan kita menyebut Qadla’, misalnya : “Sholat itu qadla’ Allah atau saya makan ini qadla’ Allah”.

Adapun yang disebut Qadar adalah aktivitas-aktivitas yang dapat terjadi pada wilayah pertama maupun kedua, karena qadar itu terjadi pada benda-benda, baik itu alam, manusia atau kehidupan. Jika diteliti, maka bisa dilihat bahwa seluruh benda-benda (termasuk manusia) yang ada di alam ini memiliki kekhasan tersendiri dan itu dicipta oleh Allah, bukan oleh benda-benda atau manusia. Misalnya : biji apel memiliki kekhasan akan tumbuh menjadi pohon apel dan bebuah apel, manusia bisa sakit karena pada tubuh manusia ada kekhasan tertentu yang jika tidak terjadi keseimbangan akan menimbulkan rasa sakit.

Itu semua dicipta atau di qadar (takar) oleh Allah, bukan manusia. Adapun dalil bahwa bukan manusia yang mencipta adalah karena manusia tidak sanggup membuat dirinya sakit sesuai dengan kehendaknya, namun manusia hanya bisa membuat kondisinya saja. Manusia tidak bisa mengubah biji apel tumbuh menjadi pohon sawo dan berbuah duren.

Namun, manusia dengan akalnya mampu mengetahui qadar pada dirinya, pada benda-benda di sekitarnya, sehingga manusia bisa memprediksi secara ilmiah macam-macam penyakit dan cara mengobatinya. Manusia dapat mengetahui kejadian-kejadian di alam semesta, seperti : munculnya gerhana, hilal atau pun tubrukan komet jauh sebelum kejadiannya.

Adapun yang dimaksud Qadla’ dan Qadar di sini adalah Qadla’ dan Qadar dalam perdebatan mutakallimin. Jadi dari pembahasan diatas jika yang dimaksud Qadla’ adalah perbuatan manusia dalam wilayah yang tidak ada kehendak dan Qadar adalah kekhasan yang tercipta, maka Qadla’ dan Qadar itu adalah dari Allah.

Studi Kasus :

Perdebatan tentang Muhammad menjadi Rasul

Berkaitan dengan pembahasan mengenai aktivitas manusia, maka perdebatan tentang bagaimana Muhammad menjadi Rasulullah adalah suatu kajian yang menarik untuk diikuti. Perdebatan itu bisa dirangkai dalam suatu pertanyaan : Allah memilih Muhammad sebagai seorang Rasul terakhir itu apakah karena beliau memang memiliki sifat-sifat yang memenuhi kriteria sebagai seorang Rasul ataukah semata-mata karena ketentuan Allah ? Apakah sifat-sifat Rasul itu – dengan demikian – dibangun oleh Allah ?

Adalah sangat masuk akal jika Muhammad terpilih menjadi seorang pembawa risalah terakhir kepada umat manusia, mengingat sifat-sifat yang dimiliki beliau tidak dimiliki oleh banyak orang; sehingga memang layak bagi beliau untuk menjadi seorang Rasul. Sebagaimana kita tahu, bahkan sejak kecil beliau telah terkenal kebaikannya sehingga mendapatkan gelar Al-Amin. Beliau memiliki sifat jujur, amanah, cerdik, dan penyampai (yaitu menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya); dimana kita mengenalnya sebagai sifat wajib Nabi.

Namun, apakah “hanya” karena itulah Muhammad dipilih menjadi Rasul ? Apakah karena kejujuran Muhammad tersebut sehingga beliau diangkat menjadi seorang Nabi ? Kalau kriteria dipilihnya Muhammad menjadi seorang Rasul karena sifat kejujurannya, mengapa sahabat beliau Abu Bakar tidak menjadi Nabi pula ? Bukankah Abu Bakar terkenal juga kejujurannya sehingga beliau diberi gelar Ash-Shiddiq ? Atau mengapa Allah tidak memilih Abu Dzar Al-Ghiffary menjadi seorang Rasul ? Kita tahu bahwa Abu Dzar adalah seorang yang telah bertauhid dan mengajak kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Satu jauh sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul.

Dengan demikian, maka dapat ditarik satu benang merah bahwa ketika Allah memilih Muhammad menjadi seorang Rasul, maka pemilihan itu tidak ada keterkaitannya dengan sifat-sifat beliau. Kalau hanya sifat-sifat beliau yang menjadi kriteria, maka banyak sahabat lain yang “seharusnya” menjadi Nabi pula karena sifat-sifat yang dimilikinya. Oleh karena itu, Muhammad dipilih menjadi seorang Rasulullah sepenuhnya merupakan Haq Allah.

Permasalahannya sekarang, apabila pemilihan Muhammad sebagai seorang Rasul sepenuhnya menjadi Haq atau ketentuan Allah, apakah memang sifat-sifat yang dimiliki Muhammad merupakan manifestasi dari ketentuan itu ?

Kalau dikaji secara lebih mendalam, lepas dari sisi kema’shuman Rasulullah, sifat-sifat yang dimiliki Muhammad dibangun oleh beliau sendiri dilihat dari sisi beliau sebagai seorang manusia biasa sebagaimana yang lain. Muhammad sendiri tidak pernah merasa sebelumnya bahwa pada suatu saat beliau akan diangkat menjadi seorang Rasul, sehingga wajar saja jika beliau sudah mempersiapkan dirinya lahir batin sejak awal. Semua sifat yang dimilikinya semata-mata hadir dari pasang surut proses perjalanan hidupnya sebagaimana manusia biasa. Beliau pernah menggembalakan kambing, berdagang ke negeri Syam, menikah dengan Siti Khadijah, dan aktivitas-aktivitas sebagaimana dilakukan orang lain; yang kesemuanya itu menempa kepribadiannya sedemikian rupa sehingga memiliki sifat-sifat yang sedemikian agung. Hingga pada suatu saat beliau sering ber-uzlah ke Gua Hira’, memikirkan masyarakat beliau yang penuh dengan kedhaliman dan kebodohan; pada akhirnya diangkatlah beliau menjadi seorang Rasul.

Dengan demikian, sebenarnya sifat-sifat wajib Nabi sebagaimana kita kenal selama ini “wajib” juga dimiliki oleh seluruh manusia sebagai makhluk yang paling mulia, bukan hanya para Nabi. Hal ini merupakan refleksi dari kesadaran ‘aqliyah yang telah diberikan kepada manusia sebagai konsekuensi dianugerahinya akal bagi dirinya; bahwa untuk mencapai ridho-Nya maka manusia wajib memiliki sifat-sifat sebagaimana dimiliki para Rasul. Apakah kemudian setiap manusia bisa menvapai derajat seperti Nabi atau tidak, itu persoalan lain.

Dari sini bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa :

1. Muhammad dipilih menjadi Nabi itu semata-maa merupakan haq Allah

2. Allah memilih Muhammad menjadi Nabi tidak ada keterkaitan dengan sifat-sifat yang beliau memiliki

3. Sifat wajib Nabi yang kita kenal selama ini sebenarnya dibangun oleh Nabi sendiri dari proses perjalanan sepanjang hidupnya

4. Sifat wajib Nabi itu, dengan demikian, sebenarnya “wajib” juga dimiliki oleh sekalian manusia sebagai manifestasi dari kesadaran ‘aqliyah yang dimilikinya.

Penutup

Demikianlah kajian kritis mengenai perbuatan manusia ini dibuat dengan sesederhana mungkin, karena masih banyak persoalan lain yang sebenarnya perlu dibahas dan dikaji secara kritis, misalnya : istilah Qadla’ dan Qadar pada jaman Rasul hingga jaman mutakallimin. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu sehingga persoalan di atas tidak ikut dibahas. Namun penulis berharap suatu waktu dapat membahasnya secara detail.

Wa Allahu A’lamu bi ash-Showaab


[1] Taqiyyuddin An-Nabhany, Asy-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah, Lebanon, TT, hal49

[2] Ibid

[3] Dr. Muhammad Al-Maliky, Mafahim Yajibu An Tushohhah,1995, hal 82

[4] loc.cit

[5] Asy-Syihritani, Al-Milal Wa an-Nihal, 1967, jilid I, hal. 43

[6] Ibid. hal. 45

[7] Taqiyyuddin An-Nabany,-----------, hal. 50

[8], hal. 238

[9] op cit, hal. 52

[10] Asy-Syihritani, Al-Milal Wa an-Nihal, 1967, jilid I, hal. 85

[11] Prof. KH. M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya : Jakarta , hal. 101

[12] KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah, Pustaka Tarbiyah : Jakarta, 1988, hal. 245

[13] Dr. Harun Nasution, Falsafah Agama, Bulan Bintang : Jakarta, 1975, hal. 86-87

[14] opcit. , hal. 53

[15] Asy-Syihritani, Al-Milal Wa an-Nihal, 1967, jilid I, hal. 43

[16] Prof. KH. M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya : Jakarta , hal. 255-256

[17] opcit., hal. 54

[18] Prof. KH. M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya : Jakarta , hal. 256



[19] Taqiyyuddin An-Nabany, An-Nizhom al-Islam, TT, hal. 13
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

muktazilah VS jabariyah VS Ahlus sunnah Empty Re: muktazilah VS jabariyah VS Ahlus sunnah

Post by njlajahweb Wed Feb 14, 2018 11:28 pm

lebih baik lagi kalau semua islam merampungkan kitabnya masing-masing, supaya nggak gampang terpengaruh aliran yang tidak sehat.
njlajahweb
njlajahweb
BANNED
BANNED

Female
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik