FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

peranan dua golongan manusia Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

peranan dua golongan manusia Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

peranan dua golongan manusia

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

peranan dua golongan manusia Empty peranan dua golongan manusia

Post by keroncong Sat Jan 28, 2012 5:26 am

Baik buruknya moral masyarakat banyak ditentukan oleh moral para pemimpinnya, yaitu para ulama dan penguasa. Rasulullah saw. bersabda:
ِصنْفَانِ مِنَ النَّاسِ إِذاَ صَلُحَا صَلُحَا النَّاسُ وَ إِذَا فَسَدَا فَسََدَ النَّاسُ: اَلْعُلَمَاءُ وَ الْعُمَرَاءُ
“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tetapi bila keduanya rusak, maka akan rusaklah manusia itu. Kedua golongan manusia tersebut yaitu ulama dan penguasa” (HR. Abu Naim).

Manusia juga ada dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang mengikuti jejak ulama, patuh kepada ajaran-ajaran yang dibawakannya, serta merasa terikat dengan hukum dan peraturan Islam. Mereka bekerja membantu ulama dalam memerangi musuh-musuh Islam, memberantas segala kemaksiatan, demi tercapaianya kebaikan dan kemakmuran bersama. Kelompok kedua, adalah kelompok orang yang tunduk di bawah perintah para penguasa, takut untuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan, sekalipunn itu hak. Mereka selalu mencari perlindungan penguasa dan menyuruh manusia untuk mematuhi peraturan yang berlaku.
Di antara ulama ada yang patut diteladani, karena hatinya baik, sopan santun dan berakhlak luhur, cinta keadilan dan benci kezaliman, berlaku jujur dan benar sekalipun atas dirinya sendiri. Segala permasalahan yang ditimbulkan oleh penguasa zalim selalu dihadapinya dengan hati penuh iman, dengan keyakinan yang didasarkan alasan-alasan syariat yang kuat dan mantap. Bila melihat penguasa yang angkuh dan melanggar batas-batas kemanusiaan, ulama itu memberinya nasihat agar dia kembali ke jalan yang benar.
Ada pula penguasa yang adil, bertakwa kepada Allah, imannya kuat dan teguh. Dia menghabiskan waktunya siang dan malam untuk berkhidmat kepada rakyat dengan memperhatikan segala keluhan dan kebutuhan mereka. Penguasa yang selalu tegak membela Islam, sangat marah apabila kehormatan Islam diinjak-injak dan sedih bila syiar-syiar Islam dinodai. Dia merasa senang bila keadilan ditegakkan, dan sangat tersinggung bila terrjadi suatu penganiayaan (kezaliman). Semua itu karena dia merasa memikul tanggung jawab terhadap rakyatnya. Dia selalu ingat kepada sabda Rasulullah yang berbunyi:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِِ فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah penggembala dan semua akan ditanya tentang penggembalaannya, dan seorang Imam (kepala negara) dia akan ditanya tentang gembalaannya” (HR. Al Bukhari).

Bagi penguasa seperti ini, orang tua di antara umat Islam dianggap sebagai orang tuanya, yang muda dianggap sebagai saudaranya, dan yang kecil dianggapnya sebagai anaknya. Dengan demikian maka hakikat pembangunan dalam semua lapangan baik fisik maupun mental, dapat dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat.

Tetapi tidak jarang terjadi kedua golongan manusia ini, yakni ulama dan penguasa, kondisinya bertolak belakang dengan sifat-sifat yang telah disebutkan di atas. Para ulama hanya pasif, berdiam diri dan menutup mata atas segala apa yang diperbuat oleh penguasa yang zalim. Sedangkan para penguasa cenderung untuk berbuat berbuat fasik, bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, dan mengikuti hawa nafsunya.

Menurut pemikiran sebagian ulama, kemungkaran yang sudah demikian hebatnya sudah sulit untuk dicegah. Nasihat dan teguran sudah tidak ada harganya lagi. Oleh karena itu, sikap diam adalah satu-satunya jalan untuk mencari selamat. Padahal akibat dari sikap diam itu justru menjadikan dekadensi moral alias kemerosotan akhlak masyarakat semakin bertambah luas. Masyarakat semakin tuli terhadap nasihat, buta terhadap kebenaran, dan hatinya semakin terkunci untuk menerima keadilan. Para ulama semakin tidak berdaya menahan lajunya pergaulan bebas yang merangsang manusia untuk lebih berani berbuat kezaliman, kerusakan dan kemungkaran. Tentu saja sikap berdiam diri itu tidak dibenarkan karena para ulama itu adalah penerus amanat risalah Nabi Muhammad saw. Seolah mereka lupa akan firman Allah SWT yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa". (QS. Al A’raf 164).

Justru ayat tersebut menjelaskan sikap para ulama sekaligus misi mulia mereka yakni menjadikan masyarakat bertaqwa.
Memang dewasa ini, akibat modernisasi yang tidak berlandaskan Islam, kubu kezaliman dalam segala corak dan bentuknya telah mendominasi negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga kerusakan moral melanda seluruh segi-segi kehidupan manusia, kemungkaran dilakukan secara terang-terangan bahkan orang merasa bangga melakukan perbuatan yang terkutuk. Para ulama merasa kewalahan menghadapi situasi yang serba sulit ini, sehingga mereka mengambil sikap sendiri-sendiri. Ada yang tinggal diam melepaskan tanggung jawabnya sebagai ulama, merasa cukup dengan hanya melaksanakan ibadah formal, namun apa yang terjadi di massyarakat tidak dihiraukannya. Ada juga para ulama yang menjadi penyambung lidah para penguasa, mendukung dan membenarkan segala tindakan mereka. Ulama yang lain ada yang hanya pandai berceramah tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan ibadah formal seperti sholat, zakat dan sebagainya. Namun tidak berani menyinggung situasi yang sedang terjadi sebagai akibat dari kebijakan dan langkah penguasa yang zalim. Bahkan ada yang lebih parah lagi, sebagian ulama ada yang menganut paham sosialis atau kapitalis ala Barat dan mendukungnya dengan mencari-cari dalil dari ajaran Islam yang dipaksa-paksakan, seolah-olah paham tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Sikap dan tindakan para ulama tersebut tidak bisa dibenarkan. Sebagai pewaris dan pelanjut risalah dakwah Nabi Muhammad, seharusnya mereka melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan tetap bertawakal kepada Allah. Kondisi ini perlu kita cermati mengingat Rasulullah saw. bersabda:
سَيَكُوْنُ أُمَرَاءُ فَسَقَةٌ جَوَرَةٌ فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَاَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّيْ وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَنْ يَرِدَ عَلَى الْحَوْضِ
“Akan datang penguasa-penguasa yang fasik dan jahat. Siapa saja yang percaya dengan kebohongannya dan membantu kezalimannya, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak akan masuk ke telagaku di surga”. (HR. Tirmidzi).

Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata: “Rasanya tulang-tulang punggungku hancur karena dua orang, yang satu orang alim bermuka tebal, dan yang satu lagi seorang jahil yang berpura-pura menjadi ahli ibadah. Yang pertama menipu manusia dengan ilmunya, dan yang kedua menipu manusia dengan ibadahnya”.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan: “Ulama itu ada tiga macam. (1) Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan dunia. (2) Ulama yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru manusia untuk berbakti kepada Allah SWT secara lahir dan batin. (3) Dan ulama yang membinasakan dirinya tetapi menyelamatkan orang lain. Pada lahirnya dia memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan, tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar-ngejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia. Maka hendaklah kita mengoreksi diri masing-masing, termasuk ke dalam golongan manakah kita di antara tiga macam ulama itu”.

Sejarah perjuangan dan keberhasilan para ulama terdahulu terukir karena mereka benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap umat di hadapan Allah SWT. Mereka berjuang menegakkan amar makruf nahi mungkar serta tidak gentar menghadapi segala macam tantangan dan ancaman yang dilancarkan oleh para penguasa yang zalim dan bengis. Mereka percaya dan bertawakal, bahwa hanyalah Allah SWT satu-satunya penolong dan pelindung. Mereka rela menerima takdir ilahi dan senantiasa memohon agar kelak kembali ke sisi-Nya dalam keadaan syahid. Mereka mengikhlaskan niat dan amal ibadahnya semata-mata hanya untuk Allah. Ucapan dan perkataan mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka, sehingga benar-benar dapat meninggalkan bekas yang baik dalam hati para penguasa dan mempengaruhi hati itu untuk meninggalkan kezaliman dalam kekuasaannya.
Tetapi di zaman dimana kerakusan hawa nafsu sangat menonjol dalam hati para penguasa, mereka telah berhasil mengunci dan membisukan mulut para ulama. Akibatnya ucapan para ulama itu sudah tidak sesuai lagi dengan amal perbuatannya. Itulah sebabnya para ulama menjadi gagal dalam membawa misinya. Seandainya para ulama berdiri tegak dan benar-benar melaksanakan tugas dan kewajibannya, sudah barang tentu mereka akan berhasil. Karena harapan umat senantiasa digantungkan kepada para ulama dan penguasanya. Bila kedua-duanya rusak, tentu umat akan rusak pula.
Untuk mengetahui apakah seorang ulama itu baik atau tidak, begitu pula apakah seorang penguasa itu adil atau zalim, akan tampak pada pengamalannya terhadap hukum-hukum syariah. Segala sikap, perilaku, dan amal para ulama dan penguasa harus diukur dengan takaran syariah Islam, dan harus dilihat dengan kacamata Islam. Dengan itu dapat diketahui baik buruknya sifat dan sikap mereka terhadap Islam; dan bagaimana cara mereka menerapkan hukum-hukum syariah serta tanggung jawab mereka dalam mengemban dakwah Islam di kalangan umat. Dengan demikian akan terciptalah suatu kehidupan masyarakat yang baik, aman dan teratur. Sebaliknya, jika para ulama dan penguasa mengingkari sifat-sifat kebaikan tersebut, maka yang akan terjadi justru sebaliknya, yaitu kerusakan, kemungkaran, kebodohan, dan kezaliman.
Dalam hiruk pikuk kampanye pemilihan kepala negara yang melibatkan para penguasa dan ulama di negeri ini, kita berharap agar semua rakyat muslim di negeri ini merenungkan petunjuk ajaran Islam yang berkaitan dengan ulama dan penguasa di atas, dan menjadikan syariah Islam sebagai standar dalam memilih kepala negara. Para ulama, dengan segenap ilmu syariahnya, khususnya fiqh siyasah, hendaknya tampil memberikan rambu-rambu kepada umat maupun calon kepala negara, bukan tampil gegap gempita hanya untuk dukung-mendukung capres-cawapres secara pragmatis, lebih-lebih bila tampak kehilangan nuansa ideologis. Jika tidak, maka jangan heran bila kondisi kita ke depan bakal jauh lebih buruk dari hari ini, Na’udzbillahi mindzalik!
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik