FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

makna ketaatan bagi muslimah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

makna ketaatan bagi muslimah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

makna ketaatan bagi muslimah

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

makna ketaatan bagi muslimah Empty makna ketaatan bagi muslimah

Post by keroncong Fri Jan 20, 2012 12:39 am

Seorang ibu muda pernah mengeluhkan suaminya yang melarang ia mengenakan jilbab. Suaminya bahkan mengancam menceraikan jika ia aktif di berbagai pengajian. Ibu muda ini kebingungan, apakah ia harus mentaati suaminya agar perkawinannya selamat. Ia ingat kisah shahabiyah yang dilarang suaminya menengok orang tuanya yang sakit dan akhirnya meninggal. Ternyata ketika ia mematuhi larangan suami walaupun dengan hati pilu, ketaatan tersebut berbuah pada ampunan dosa bagi orang tuanya. Ia berpikir apakah sama kondisinya?
Jika ia berjilbab, artinya mentaati Allah dan RasulNya, namun mendurhakai suaminya. Jika ia menuruti suami untuk tidak berjilbab, berarti ia telah mendurhakai Allah dan RasulNya. Ia berada dalam kebimbangan memutuskan pilihan-pilihan tersebut.
Seorang umahat pernah juga mengeluhkan suaminya yang melarang ia mengisi pengajian di sebuah tempat yang jauh, padahal itu merupakan tugas dari pimpinan organisasi dakwah yang diikutinya. Umahat ini sudah menyatakan kesanggupan untuk mengisi pengajian di luar kota tersebut asalkan dijemput dengan mobil. Pihak panitia sudah menyanggupi untuk menjemput. Tetapi akhirnya umahat ini kebingungan karena ternyata suaminya tidak mengizinkan ia berangkat.
Muncullah pertentangan dalam batinnya, antara taat kepada pemimpin organisasi dakwah yang diikuti dengan taat kepada suami. Jika tidak berangkat, ia merasa mendurhakai putusan pimpinan organisasi dakwah yang diikutinya, yang telah menugaskan hal itu kepadanya, dan ia pun telah menyatakan kesanggupan. Jika berangkat, ia merasa mendurhakai suami yang dicintainya. Sang suami menghendaki agar ia tidak banyak keluar rumah, dan tidak mengizinkannya melaksanakan kegiatan dakwah di luar rumah.

Urgensi Ketaatan
Dalam kehidupan keseharian, ada dua hal yang akan membawa masyarakat pada keteraturan. Pertama adalah adanya seperangkat sistem, tata tertib, atau ketentuan yang mengatur kehidupan manusia. Kedua adanya sikap ketaatan manusia ataus sistem atau ketentuan tersebut. Dua hal tersebut sesungguhnya merupakan persyaratan umum agar tercipta keteraturan dalam berkehidupan.
Sebuah sistem sekuat dan sebagus apapun tidak pernah memberikan pengaruh apabila tidak ada kedisiplinan untuk mentaatinya. Rambu-rambu lalu lintas baru akan membawa maslahat apabila ditaati oleh pengguna jalan. Peraturan sekolah baru akan bermanfaat bila ditaati oleh seluruh masyarakat sekolah. Aturan perekonomian di pasar atau dalam dunia usaha pada umumnya baru akan bermanfaat apabila dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Akan tetapi sebuah aturan baru layak dipatuhi, apabila aturan tersebut membawa kemaslahatan bagi kehidupan secara umum. Jika aturan tersebut cenderung menguntungkan satu kelompok yang sempit, dengan memberikan kemudharatan atau bahkan memunculkan kezhaliman bagi sebagian besar masyarakat, aturan tersebut tidak layak ditaati. Itulah sebabnya beberapa aturan pemerintah Orde Baru banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas karena dianggap merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan sekelompok kecil konglomerat.
Dalam Islam, tata aturan yang harus ditaati adalah keseluruhan ajaran Islam itu sendiri yang bersumber dari Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Aturan yang sangat memperhatikan segala sisi kemanusiaan karena dibuat oleh Sang Maha Pencipta manusia. Aturan yang tidak akan kontradiktif dalam aplikasinya manakala dilaksanakan dengan benar sesuai ketentuan yang dikehendaki Sang pembuat Aturan, Allah Ta’ala.

Tuntutan Ketaatan bagi Setiap Muslim
Setiap muslim dan mulimah dituntut untuk memiliki sejumlah ketaatan sebagai konsekuensi dari keimanannya. Allah Ta’ala telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu” (An Nisa’: 59).
Dalam konteks ayat ini, ada tiga macam ketaatan yang diperintahkan yaitu taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan taat kepada Allah adalah mengikuti Al Qur’an, taat kepada Rasul adalah mengikuti sunnah, adapun taat kepada ulil amri adalah ketaatan kepada para ulama dan pemimpin.
Dalam kaitan dengan wanita muslimah, ada beberapa bentuk ketaatan yang harus dipenuhi.
1. Ketaatan kepada Allah
2. Ketaatan kepada Rasul
3. Ketaatan kepada Ulil Amri
Ketiganya merupakan tuntutan ketaatan yang harus dipenuhi para wanoiita muslimah dengan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya. Berikut akan dibahas satu per satu.
1. Ketaatan kepada Allah
Setiap mukmin laki-laki maupun perempuan berkewajiban mentaati seluruh aturan Allah yang dikandung dalam Al Qur’an. Sifat ketaatan kepada Allah adalah mutlak, tanpa persyaratan. Sebab segala apa yang Allah wajibkan bagi manusia untuk menunaikan adalah kebaikan semata-mata, dan apa yang Allah larang dari manusia adalah keburukan yang akan menimbulkan mudharat bagi manusia.
Dalam banyak ayat-ayat Al Qur’an, Allah telah memerintahkan kepada kaum beriman agar mentaati Allah. Ayat berikut mewajibkan orang-orang beriman untuk taat kepada Allah dan tidak berpaling dari aturan-aturanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)” (Al Anfal: 20).
Demikian pula ayat berikut memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar senantiasa memenuhi seruan Allah dan RasulNya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupaan kepada kamu” (Al Anfal: 24).
Dalam beberapa ayat yang lain, Allah telah menjanjikan balasan bagi orang-orang yang mentaati Allah dan Rasul. Di antaranta, Allah menjanjikan keberuntungan bagi mereka yang taat kepada Allah dan RasulNya:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar rasul menhukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: Kami mendengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (An Nur: 51).
Taat kepada Allah juga merupakan salah satu syarat mendapatkan kemenangan. Allah telah menjanjikan kemenangan bagi orang-orang yang taat kepadaNya:
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan” (An Nur: 52).
Ketaatan kepada Allah merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan rahmat dariNya. Manusia yang tidak mentaati Allah tidak akan mendapatkan rahmat. Allah menjanjikan memberikan rahmat kepada mereka yang taat:
“Dan ta’atlah kaepada Allah dan Rasul supaya kamu diberi rahmat” (Ali Imran: 132).
Taat kepada Allah merupakan suatu kewajiban yang mengikat setiap muslim dan muslimah, sedangkan ketidaktaatan merupakan penyimpangan yang melahirkan adzab. Allah Ta’ala memberikan gambaran bahwa ketidaktaatan kepadaNya adalah bentuk kekafiran yang dibenci:
“Katakanlah: Ta’atilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling ,maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (Alin Imran: 32).
Tidak layak bagi manusia beriman untuk memiliki pilihan-pilihan sikap jika Allah telah menetapkan sesuatu kepada mereka. Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan rtidak (pula) bagi perempuan beriman, apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai allah dan rasulNya maka sungyuhlah dia te,kah sesat dengan kesesatan yang nyata” (Al Ahzab: 36).

2. Ketaatan Kepada Rasul
Ayat-ayat di atas memberikan sebuah pengertian tentang kewajiban taat kepada Allah dan RasulNya. Berbagai janji yang Allah berikan terhadap orang-orang yang taat kepada Allah juga diberikan kepada mereka yang taat kepada RasulNya. Allah menggambarkan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah konsekuensi dari kecintaan seseorang kepada Allah:
“Katakanlah: Jika (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (Ali Imran: 31).
Dari abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang mendurhakai aku maka ia telah mendurhakai Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang mendurhakai pemimpin maka berarti mendurhakai aku” (riwayat Bukhari dan Muslim).
Ketaatan kepada Rasulullah merupakan konsekuensi dari keimanan dan ikrar syahadat, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dengan demikian setiap muslimah dituntut untuk mentaati ajaran-ajaran kenabian, dalam berbagai macam aspek kehidupan.
4. Ketaatan Kepada Ulil Amri
Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang melaksanakan atau menangani urusan kita. Misalnya pemerintah, dimana pemerintah bertanggung jawab terhadap berbagai urusan kehidupan masyarakat. Demikian juga pemimpin suatu organisasi dakwah, karena ia mengelola berbagai urusan para anggota organisasi yang dipimpinnya. Bagi para akhwat muslimah, suami termasuk kategori ulil amri karena bertangung jawab terhadap berbagai urusan kehidupan dirinya.
a. Pemerintah
Pemerintah adalah salah satu representasi ulil amri di kalangan kaum muslimah. Allah Ta’ala memerintahkan orang yang beriman agar mentaati pemerintahan Islam, yaitu pemerintahan yang melandaskan diri kepada aturan Allah dan RasulNya.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu” (An Nisa’: 59).
Kewajiban mentaati pemerintah adalah selama pemerintah tersebut berada dalam keadaan mentaati Allah dan RasulNya. Tidak ada kewajiban bagi kaum muslimin untuk mentaati pemerintah yang mendurhakai Allah dan RasulNya. Hal ini disebabkan oleh karena pemerintah telah kehilangan legitimasi dan sebab untuk diberikan kepercayaan kepada mereka.
Representasi dari pemerintahan Islam di zaman kenabian adalah sebuah sistem kekuasaan yang dipimpin oleh Nabi saw, sedangkan sepeninggal Nabi pemerintahan Islam diwujudkan dalam bentuk kekhilafahan yang dipimpin oleh seorang khalifah atau Amirul Mukminin.Di zaman sekarang, pemerintah yang mengurusi kepentingan kaum muslimin wajib ditaati selama pemimpin tersebut taat kepada Allah dan rasulNya.
b. Pemimpin
Yang dimaksud dengan pemimpin di sini tidak mesti pada level yang paling tinggi, akan tetapi menyangkut semua level kepemimpinan. Di zaman Nabi saw, biasa beliau menugaskan sebagian kaum muslimin dalam suatu kafilah tugas dengan dipimpin oleh seorang pemimpin. Misalnya, pada bulan Muharam tahun ke 6 hijrah, Rasul saw mengutus 30 pasukan Islam di bawah pimpinan Muhammad bin Maslamah Al Anshari menuju komunitas Banu Bakr bin Kilab.
Rasul saw pernah mengutus Zaid bin Haritsah memimpin 15 orang pasukan Islam menuju Banu Tsa’labah di tahun Jumadil Akhir tahun 6 hijrah. Abdurrahman bin Auf pernah ditunjuk menjadi pemimpin rombongan yang terdiri dari 700 kaum muslimin menuju Daumatul Jandal tempat Banu Kalb berada pada tahun yang sama. Masih banyak contoh kepemimpinan di bawah seorang sahabat, yang diutus Nabi saw melaksanakan tugas atau misi tertentu. Kepemimpinan sektoral sebagaimana diemban oleh para sahabat yang memimipin sekelompok kaum muslimin tersebut, wajib ditaati oleh rombongan yang berada di dalam tangung jawabnya.
Ibnu Umar ra menceritakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
“Setiap muslim wajib mendengar dan taat pada pemimpinnya dalam hal yang disenangi maupun tidak disenangi, kecuali jika diperintah untuk maksiat. Apabila diperintah melakukan maksiat maka tidak ada mendengardan taat” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Anas ra mengatakan bahwa Rasulullah bsaw telah bersabda:
“Dengar dan taatlah meskipun yang terpilih menjadi pemimpinmu adalah seorang budak Habsyi yang kepalanya bagaikan kismis” (riwayat Muslim).
Dalam aplikasi di zaman sekarang, kepemimpinan tersebut bisa dalam bentuk kepemimpinan organisasi Islam, atau partai Islam, atau harakah Islamiyah yang melandaskan diri pada aturan Allah dan RasulNya. Pemimpin sektoral seperti ini wajib ditaati, selama berada dalam kebenaran sesuai petunjuk Al Qur’an dan sunnah RasulNya.
c. Suami
Ini adalah sesuatu yang khas pada wanita, yang tidak terjadi pada laki-laki. Akhwat muslimah memiliki kewajiban untuk taat terhadap suaminya, karena suami ditunjuk oleh Allah sebagai pemimpin dalam rumah tangga:
“Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita” (An Nisa’: )
Dalam kehidupan keseharian, seorang akhwat muslimah terikat oleh ketaatan kepada banyak pihak. Selain ketaatan pokok dan mutlak kepada Allah dan RasulNya, para akhwat wajib mentaati pemerintah Islam, pemimpin organisasi dakwah yang diikuti, juga kepada suami. Jika permasalahan ini tidak didudukkan secara tepat, akan bisa membawa dampak yang tidak positif bagi akhwat yang bersangkutan, bagi keluarganya maupun bagi dakwah secara keeluruhan.
Menurut Yusuf Qardhawi, ayat di atas berlaku dalam konteks rumah tangga. Demikian pula sebuah hadits Rasulullah menyatakan dengan jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga. Suami adalah pemimpin rumah tangga. Suami punya kewajiban memberi nafkah dan menjaga keluarganya dari api neraka . dengan kewajiban itu, ia punya hak untuk ditaati oleh istri dan anak-anaknya. Sejauh manakah kethaatan istri pada suami ?
Sebagaimana prasyarat ketaatan pada pemimpin pada umumnya, suami hanya layak ditaati selama tidak memerintah pada ma’shiyat. Selama aturan dan perintahnya selaras dengan ketentuan Allah dan RasulNya. Dalam mengelola masalah kehidupan dan rencana masa depan yang kompleks, sebaiknya ada musyawarah diantara suami istri untuk menentukan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya. Selama telah ada kesepakatan prinsip ,maka akan lebih mudah dalam mengelola masalah teknis. Misalnya ada sebuah pertanyaan tentang izin wanita pada suaminya ketika harus keluar rumah, apakah setiap keluar rumah harus izin ? Apakah izin itu kewajiban ataukah hanya adab ?
Betapa merepotkan jika harus selalu minta izin. Membayangkan mau ke warung izin, mau ke kampus izin dan seterusnya. Bukankah ‘Aisyah pernah juga diam-diam menguntit Rasulullah yang hendak keluar untuk shalat malam lantaran diliput rasa cemburu ?
Lebih baik menyepakati bahwa pada prinsipnya istri punya hak untuk beraktivitas keseharian seperti menunaikan sumua kebutuhan rumah tangga seperti belanja dan lain-lain, menunaikan kebutuhannya untuk memenuhi hak-hak akalnya seperti mendatangi majlis taklim, kuliah dan lain-lain. Adapun adabnya seorang istri jika akan keluar rumah berpamitan pada suami, sebagaimana seorang suami juga selayaknya berpamitan pada istrinya. Kalau perginya keluar kota atau menginap atau ke rumah orang tua yang cukup jauh letaknya, harus meminta izin, sebab sangat terkain dengan keamanan selama bepergian dan hak-hak suami yang terkurangi selama istri pergi.
Dalam contoh di depan , ketika suami melarang beribadah seperti berjilbab atau melarang menunaikan puasa Ramadhan, maka istri tidak harus menthaatinya. Namun sebaiknya dilakukan proses penyadaran pada suami untuk lebih memahami masalah dien, entah melalui ustadz, orang lain atau istrinya sendiri. Pemahaman suami tentang agama adalah masalah penting yang berdampak jangka panjang. Selama tak ada kesamaan pemahaman, akan senantiasa timbul masalah-masalah yang pokok maupun yang sepele.
Dalam aplikasi dakwah, suami istri hendaknya memusyawarahkan tentang peran masing-masing. Istri yang memilih dunia dakwah sebagai bagian dari aktivitasnya, membicarakan dengan suami bentuk dan porsi perannya dalam waktu yang dimilikinya. Jika kedua belah pihak menyadari akan besarnya tanggung jawab dakwah untuk melakukan perbaikan umat, tidak selayaknya mengkonfrontasikan antara tugas dakwah di luar rumah denga tugas mengelola rumah tangga.
Seorang istri aktivis dalam dakwah pernah mengeluhkan lantarannya suaminya seperti tak rela ketika ia akan pergi mengisi sebuah seminar. Suaminya tidak berbicara untuk melarangnya, hanya ia melihat muka masam sang suami. Ia lalu duduk dihadapan suaminya dengan santun, mencium tangan suaminya dan berkata :” Mas, bukankah engkau pernah mengizinkan aku untuk keluar mengurus umat, sekarang mengapa engkau seperti tidak ridlo ?Kalau engkau merubah keputusanmu, aku akan tinggalkan semua dan kembali hanya mengurus rumah tangga kita. Tak ada yang kucari selain ridlomu setelah Ridlo Allah dan Rasulnya....” suaminya kemudian tersadar dan tersenyum merelakan kepergian
Suami hendaknya memahami bahwa dakwah Islam memerlukan keterlibatan aktif isterinya untuk menunaikan berbagai amanah bukan hanya di dalam rumah tangganya, akan tetapi juga di luar rumah. Hendaknya suami bisa memberikan porsi yang memadai bagi sang isteri untuk berkiprah di dunia dakwah, dan tidak menggunakan “kekuasaannya” untuk banyak melarang isteri yang mengemban amanah dakwah ke luar rumah.
Apabila pemimpin dalam organisasi dakwah memberikan penugasan kepada seorang wanita muslimah, akan tetapi tidak mendapatkan keizinan dari suami untuk melaksanakannya, jalan keluarnaya adalah dengan musyawarah. Hendaknya pimpinan organisasi dakwah bisa arif dalam memahami posisi wanita muslimah yang dipimpinnya ketika wanita tersebut telah berumah tangga. Apabila ada amanah yang hendak dibebanlkan kepada seorang wanita muslimah, bisa mempertimbangkan berbagai hal untuk kemaslahatan semua pihak.
Musyawarah yang baik antara pemimpin organisasi dakwah dengan suami merupakan langkah tepat untuk bisa terlaksananya berbagai amanah dakwah, agar semua pihak bisa merelakan kepergian wanita muslimah tersebut dalam rangka menunaikan amanah dakwah. Tidak perlu terjadi pertentangan dan persaingan kekuasaan, dimana pemimpin merasa memiliki hak untuk memberikan perintah, sementara suamipun memiliki hak yang sama. Jika dipertentangkan, tidak ada yang akan menang. Akan tetapi jika dimusyawarahkan., semua pihak bisa dimenangkan.
Wallahu a’lam.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik