FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

makna haid Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

makna haid Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

makna haid

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

makna haid Empty makna haid

Post by keroncong Sun Dec 18, 2011 3:42 pm

1. Makna
Haid



Menurut bahasa,
haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah
darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada
waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu
penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka
darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi
perbedaan yang nyata pada setiap wanita.


2. Hikmah
Haid



Adapun hikmahnya, bahwa
karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana
yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si
ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah
menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai
zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang
sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk
melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik
Pencipta.


Inilah hikmah haid.
Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan
haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit
yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.


USIA DAN MASA HAID

1. Usia
Haid



Usia haid biasanya antara
12 sampai dengan 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu
semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.


Para ulama,
rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi
usia haid, dimana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah
usia tersebut ?


Ad-Darimi, setelah
menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan : "Hal ini semua,
menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah.
Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapa pun,
darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha
Tahu". (Al-Majmu 'Syarhul Muhadzdazb, Juz I, hal. 386)


Pendapat Ad-Darimi inilah
yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun
seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum
mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan
hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan
usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah
yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun
dalil yang menunjukkan hal tersebut.


2. Masa
Haid



Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh
pendapat dalam hal ini.


Ibnu Al-Mundzir
mengatakan : "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai
batasan berapa hari minimal atau maksimalnya".


Pendapat ini seperti
pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah dan logika.


Dalil
pertama



Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah : "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab
itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah
kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci ...". (Al-Baqarah : 222)


Dalam
ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian,
bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal
ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada
tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak
haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.


Dalil
kedua



Diriwayatkan dalam
Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam
bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan
ihram untuk umrah.


"Artinya : Lakukanlah apa yang
dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka'bah sebelum kamu
suci".


Kata
Aisyah : "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".


Dalam Shahih
Al-Bukhari
, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda kepada Aisyah.


"Artinya : Tunggulah. Jika kamu
suci, maka keluarlah ke Tan'im".


Dalam
hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian,
bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan
haid, yakni ada dan tidaknya.


Dalil
ketiga



Bahwa pembatasan dan
rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam
Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal
ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian
tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah
kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang
berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya.
Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah
bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis
hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang
puasa: waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan
tentang etiket makan, minum, tidur, jima' (hubungan suami istri), duduk,
masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci
dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar,
yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah
kepada kaum Mu'minin.


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : ..... Dan kami turunkan
kepadamu Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu ....". (An-Nahl :
89)


"Artinya : ..... Al-Qur'an itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi mebenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ....". (Yusuf : 111)


Oleh
karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan
Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa hal itu
tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah
keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara' menurut ada atau
tidaknya.


Dalil ini -yakni suatu
hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna
bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena
hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari
Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam atau
ijma' yang diketahui, atau qiyas yang shahih.


Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan : "Di antara
sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah,
yaitu sebuah haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun
masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang
menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan dengan
batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini,
berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah". (Risalah fil asmaa' allati
'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 35
)


Dalil
keempat



Logika atau qiyas yang
benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan)
haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak
ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan
hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari
kelima belas, atau antara hari kedelapan belas dengan hari ketujuh belas. Haid
adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat
'illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum
diantara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam 'illat ? Bukankah
hal ini bertentangan dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas yang benar
bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam
'illat ?


Dalil
kelima



Adanya perbedaan dan
silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkan bahwa
dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu
merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada
satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan
bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur'an dan Sunnah.


Jika ternyata pendapat
yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang
kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita
melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah
haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu
terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua
hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan
dijelaskan, Inysa Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.


Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan : "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim
adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu
istihadhah". (Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama
bihaa. hal. 36
)


Kata beliau pula : "Maka
darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau
karena luka". (Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama
bihaa. hal. 38
)


Pendapat ini sebagaimana
merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang
paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan
daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat
inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama
Islam, yaitu : mudah dan gampang.


Firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Dan Dia (Allah)
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". (Al-Hajj
: 78)


Sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


"Artinya : Sungguh agama (Islam)
itu mudah. Dan tidak seorangpun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya
kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampui
batas) dan sebarkan kabar gembira". (Hadits Riwayat Al-Bukhari)


Dan
diantara ahlak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa jika beliau
diminta memilih antara dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak
merupakan perbuatan dosa.


3. Haid Wanita
Hamil



Pada umumnya, seorang
wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam
Ahmad, rahimahullah, "Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan
dengan berhentinya haid".


Apabila wanita hamil
mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai
rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh
hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka
darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang
berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya
tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama
dalam masalah ini.


Dan pendapat yang benar,
bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan
waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah
darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak
ada keterangan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya
haid pada wanita hamil.


Inilah madzhab Imam Malik
dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan
dalam kitab Al-Ikhtiyarat (hal.30) : "Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi
menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan
bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini".


Dengan demikian,
berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak
hamil, kecuali dalam dua masalah :


1. Talak.
Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak
diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap
wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta'ala.


"Artinya : ....Apabila kamu
menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ....". (Ath-Thalaaq : 1)


Adapun
mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab,
siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat
menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa
iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita
hamil sekalipun setelah melakukan jima' (senggama), dan berbeda hukumnya
dengan wanita tidak hamil.


2. Iddah. Bagi
wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil
ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta'ala.


"Artinya : Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya".
(Ath-Thalaaq : 4)


Disalin
dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa'. Penulis Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita
hal. 9-20. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq
Jakarta
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik