FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

mari membela ulama Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

mari membela ulama Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

mari membela ulama

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

mari membela ulama Empty mari membela ulama

Post by keroncong Wed May 31, 2017 11:46 am

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Ketika itu masa yang panjang telah merentangkan jarak antara Bani Israil dengan para nabinya. Lambat laun hati mereka menjadi keras. Klimaksnya, mereka membuat kitab yang menyeleweng dari ajaran Nabinya. Kitab tersebut mereka buat berdasarkan nafsu dan lisannya. Di antara mereka lalu berkata, "Mari kita ajak Bani Israil menjadikan kitab-kitab ini sebagai pedoman. Siapa yang menerima, kita biarkan dan siapa yang menolak, kita bunuh."
Tersebutlah di antara Bani Israel itu seorang fakih. Melihat perilaku kaumnya itu, ia kemudian menuliskan apa yang ia ketahui dari kitab Allah yang asli dalam barang yang halus, kemudian ia lipat dan dimasukkan ke dalam sebuah qarn(tanduk), lalu digantungkan di atas lehernya.

Upaya Bani Israil untuk mempropagandakan kitab palsu tersebut terus berjalan. Kian hari korban yang jatuh karena menolak beriman kepada kitab tersebut kian bertambah. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka berkata, "Hai Bani Israil, sungguh kalian telah menyebarkan maut di kalangan kaummu sendiri. Panggilah seorang fakih, lalu tunjukkan kitab kalian kepadanya. Bila fakih tersebut beriman kepada kitab kalian, niscaya yang lain akan mengikutinya. Tapi, bila ia menolak, bunuhlah."

Maka, fakih tadi kemudian dipanggil. Lalu ia ditanya, "Apakah engkau beriman kepada apa yang ada dalam kitab kami ini?"

Fakih bertanya, "Apa isinya?"

"Tunjukkan kepadaku," tambahnya.

Mereka kemudian menunjukkan kepada fakih tersebut apa yang terkandung dalam kitab itu.

Mereka kemudian berkata kembali, "Apakah engkau beriman kepada kitab ini?"

Fakih menjawab, "Ya, saya beriman kepada apa yang ada disini." Sambil menunjuk kepada tanduk yang menggantung di lehernya.
Mereka akhirnya pergi meninggalkan fakih. Ketika fakih wafat, mereka memeriksa isi tanduk itu. Setelah mengetahui isinya, sebagian mereka berkata kepada yang lain, "Hai Bani Israil, kita tidak pernah mendengar kitab(Allah) ini karena fitnah."

Maka terpecahlah Bani Isra'il menjadi 72 golongan. Yang terbaik di antara mereka adalah golongan dziiqorni (pemilik tanduk)

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Kisah diatas adalah keterangan dari surat Al-Hadiid ayat 16 yang artinya, "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hatinya mengingat Allah dan kepada Al-Haq yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya. Telah diturunkan al-Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang fasiq"

Firman Allah SWT yang artinya, "Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka" itulah yang dikuatkan oleh kisah di atas.

Kita bisa mengerti bahwa masa yang panjang yang memisahkan mereka dengan para nabinya merupakan salah satu sebab yang menjadikan mereka menyeleweng dan kemudian mengeraskan hatinya.

Abul Faraj Jamaluddin Abdur Rahman al-Jauzy menafsirkan bahwa kata "masa yang panjang" dalam ayat di atas, maksudnya adalah masa yang panjang yang memisahkan mereka (ahli kitab) dengan nabinya.

Kisah di atas memunculkan pertanyaan dalam diri kita, bila masa panjang yang memisahkan Bani Israil dengan nabinya mengakibatkan penyimpangan dari ajaran nabinya yang lurus, lalu bagaimanakan dengan keadaan kita hari ini? Bukankah rentang 14 abad telah membentangkan jarak yang sedemikian jauh?

Dan, akhirnya kita menyadari bahwa kondisi yang dahulu menimpa ahli kitab, sekarang telah menimpa kita, dengan sebab yang sama pula.

Sekian jauhnya jarak antara kita dengan Rasulullah dan generasi sahabat serta tabi'in, membuat kita sedikit demi sedikit meninggalkan ajaran Islam yang beliau sampaikan. Penyelewengan ajaran Islam secara tidak sadar telah kita saksikan dan bahkan kita konsumsi sehari-hari.

Kita lihat masih sedikit kaum muslimin yang aktif menjalankan salat. Ini baru salat, belum zakat, puasa, haji, jihad dan amalan wajib lainnya. Lihatlah pula nasib jilbab yang kini seolah hanya menjadi alat untuk memperanggun diri. Celakanya lagi, ada yang sampai mengatakan jilbab tidak wajib, jilbab hanya kebudayaan Arab, dan seterusnya.

Begitu juga banyak dari golongan yang sebenarnya awam tentang Islam, namun mencoba tampil sebagai seorang ustadz. Hal ini bisa kita ketahui pada bulan Ramadhan, betapa mereka yang pada kesehariannya bergelimang dengan irama-irama syetan kemudian berfatwa atas nama Islam. Dan, bila mereka ditanya sesuatu, mereka akan menjawab, "Menurut saya, saya kira, " dan sebagainya. Subhaanallah sudah sedemikian rendahkah nilai islam, sehingga pelawak, penyanyi, dan sejenisnya mudah berfatwa atas nama Islam? Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah saw. 14 abad silam, "Kalian akan menemui golongan-golongan yang mengaku mengajak kalian kepada kitabullah (Alquran), padahal mereka menaruh (Alquran tersebut) di belakang punggung mereka. Maka kalian harus berilmu, dan jangan sampai kalian berbuat bid'ah. Awas, janganlah kalian berlebih-lebihan dan jangan sampai kalian lewatkan, dan kalian harus berpegang teguh kepada al-'Atiq (Alquran dan sunnah)." (HR ad Darimy dan al Laalika'iy).

Dalam hadis di atas Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Maka kalian harus berilmu, " sebenarnya ini adalah jalan keluar untuk menyelamatkan kita dari bahaya yang sangat mungkin timbul akibat mudahnya seseorang dalam berfatwa.

"Kalian harus berilmu," Ini berarti kita diperintah untuk menuntut ilmu, mempelajari dan mendalaminya lalu kemudian kita amalkan. Tentu saja, bukan sembarang orang yang bisa kita jadikan sumber untuk menimba ilmu. Tapi, ulama (yang bisa dipertanggungjawabkan ilmu dan amalnya) yang bisa kita jadikan sebagai sumber menimba ilmu.

Ketika semua orang mudah berfatwa, maka ketika itulah kita sangat membutuhkan seorang ulama yang betul-betul faham tentang Islam, yang menjelaskan kepada kita hakekat din yang lurus ini dan bukannya seorang penyanyi atau pelawak.

Semua menjadi gamblang bahwa rentang jarak kita dengan sumber Islam(rasulullah, sahabat dan tabiin) yang semakin jauh, semakin memperkuat alasan mengapa kita membutuhkan ulama. Karena hanya ulamalah yang mampu menuntun kita menuju jalan yang pernah ditempuh oleh Rasulullah, sahabat dan tabiin, disampin gmerek adalah satu - satunya pewaris para anbiya' (nabi-nabi).

Dari Abu Darda' r.a. Rasulullah saw. bersabda, yan artinya, "Barang siapa meniti jalan untuk mencari ilmu, Allah akan menunjukkan kepadanya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya, sebagai tanda ridho terhadap pencari ilmu. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi, bahkan (demikian pula) ikan yang ada di laut. Keutamaan seorang alim dengan abid (ahli ibadah) bagaikan keutamaan rembulan atas bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi, dan para nabi tidak meninggalkan dinar maupun dirham. Para nabi hanya meninggalkan ilmu. Maka barangsiapa mengambil ilmu (sebagai warisannya), maka dia telah mengambil (bagian) yang banyak."

Rasulullah tidak pernah memberi isyarat bahwa ada sosok lain selain ulama yang mewarisi ilmu, yang menjadi satu-satunya peninggalan para nabi. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa hanya ulama sajalah yang mampu menjelaskan berbagai persoalan yang telah dirumuskan oleh para nabi.

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Uraian di atas juga mengisyaratkan bahwa ulama adalah pemegang kunci penyelesaian atas problematika yang menimpa umat Islam. Ini dikuatkan dengan fenomena bahwa munculnya persoalan umat bersumber dari ketidaktahuan umat Islam terhadap ajarannya sendiri.

Di sinilah letak betapa pentingya kaum muslimin terutama yang awam untuk kembali kepada para ulama. Menjadikannya sebagai tempat menimba sekaligus menambah cakrawala keislaman kita.

Islam sangat menekankan agar kaum awam kembali kepada ulama. Bahkan untuk mereka yang tingkat pemahamannya tentang Islam begitu minim, sehingga tidak mampu mendalami masalah din secara detail, mereka diperbolehkan untuk taklid kepada ulama. Yang dimaksud dengan taklid di sini adalah menerima perkataan seseorang tanpa tahu darimana sumber/dalilnya.

Contohnya adalah salat. Seorang muslim diwajibkan mengetahhui dalil mengapa ketika ruku harus begini, mengapa sujud begitu dan seterusnya. Namun, bila seseorang tidak mampu memahami dalil di atas, yaitu orang awam, ia diperbolehkan untuk ruku dan sujud tanpa harus mengetahui dalilnya yaitu dengan cara melihat ruku dan sujudnya ulama.

Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar, setelah menguraikan pendapat ulama tentang taklid dimana di antara mereka ada yang mewajibkan, ada yang mengharamkan, serta ada pula yang berdiri di antara dua pendapat. Beliau berkomentar, "Orang yang mengharamkan taklid adalah orang yang ghuluw (berlebihan) dan tidak melihat realita. Bagaimana mungkin, setiap muslim mempunyai waktu dan kemampuan yang cukup untuk mencari atau menentukan dalil-dalil, lalu berijtihad?"

Ia juga mengatakan, "Demikian pula, tidak mungkin pula untuk mewajibkan taklid kepada setiap orang sampai kepada seorang ulama sekalipun, dalam menutup pintu ijtihad serta mewajibkan seseorang untuk berpegang teguh kepada satu mazhab tertentu. Yang paling sesuai adalah pendapat yang ketiga. Yaitu, mewajibkan seseorang berijtihad bila menjumpai permasalahan dan melakukan taklid apabila ia tidak mampu.

Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk menentukan hukum syar'i. Orang yang berilmu tapi belum memenuhi syarat untuk berijtihad, dibolehkan untuk taklid (kepada yang memenuhi syarat untuk berijtihad). Demikian juga orang yang mempunyai syarat berijtihad tetapi tidak mempunyai waktu untuk berijtihad, diperbolehkan taklid.

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Kita memang diperbolehkan taklid, namun taklid itu ada tata caranya. Sebagai contoh, si A mempunyai permasalahan yang tidak sanggup dipecahkan, maka seyogyanya A mencari orang yang mengerti dan Alquran dan sunnah, sebut saja B.

Jika dalil-dalil yang diterangkan B merupakan dalil yang sharih atau qath'i (jelas) dan tidak memerlukan tafsiran lain, maka masalah selesai. Namun bila dalil yang disampaikan B adalah dalil yang bukan qat'i (butuh penafsiran) atau bertentangan dengan dalil lain atau bahkan tidak ada dalil untuk permasalahan A, maka A meminta pendapat atau ijtihad B. Jika A merasa puas dan yakin terhadap jawaban B, permasalahan selesai.

Di lain pihak, apabila A menemui beberapa pendapat ulama yang saling berbeda atau bertentangan, A harus mengikuti pendapat yang ia nilai paling kuat dan benar, serta dirinya merasa puas dalam melaksanakan pendapat tersebut. Tentunya pengaruh hawa nafsu dalam memilih ini harus dibuang jauh-jauh.

Maasyiral muslimin rahimakumullah!
Dengan demikian, anggapan sebagian orang bahwa taklid dilarang secara mutlak adalah tidak benar. Ada saat seseorang dilarang taklid, jika ia mampu (memenuhi syarat dan mempunyai waktu). Namun bila ia tidak mampu, terlebih bagi muslim yang awam, diperintahkan baginya untuk taklid. Hal ini dimaksudkan agar ia tidak terperosok ke dalam lubang bidah yang menyesetkan.

Tentu saja, tidak taklid kepada sembarang ulama, tetapi kepada ulama yang tsiqqah yang berfahaman salafus saleh. BErikut ini adalah beberapa kriteria untuk menentukan apakan seseorang itu ulama atau bukan.

1. Faqih dalam ilmu din.
Syarat ini ditetapkan oleh Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kalian." (An-Nisaa':59)
Beliau menerangkan bahwa ulil amri yang boleh ditaati hanyalah mereka yang faqih dam alim, menguasai din Islam dan mengajarkan ilmunya kepada manusia.

2. Hanya takut kepada Allah
Inilah salah satu titik tonjol yang membedakan ulama sejati dengan mereka yang mengaku (atau diembel-embeli sebutan) ulama. Adabnya terhadap Allah sedemikian tingginya, sehingga semua cobaan dan penderitaan bahkan siksaan yang dialami dalam membawa risalah islam ini tidak sedikitpun menggoyahkan keyakinan mereka. Mereka hanya takut kepada Allah SWT. Lihatlah Imam Ahmad bin Hambal yang tetap teguh pendirian, menolak statemen Al-Ma'mun, khalifah ketika itu, yang mengatakan bahwa Alquran adalah makhluq. Takut kepada Allah merupakan ciri khas yang tidak dimiliki semua hamba Allah kecuali oleh ulama.
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Faathir:28)

3. Menyebarkan ilmu.
Termasuk dalam hal ini adalah mendakwahkan, mengajarkan dan sama sekali tidak menyembunyikan bagian dari ilmu yang dimilikinya karena maksud tertentu, misalnya takut ancaman manusia atau mengharapkan ridho dan upah dari mereka. Na'uudzubillaahi min dzaalik.
Abu Dzar al-Ghifari r.a. berkata, "Seandainya kalian (para raja) meletakkan pedang di mulut ini agar aku menyembunyikan satu perkara yang aku dengar dari Rasulullah, maka pasti akan aku sampaikan urusan itu meskipun kalian tidak mengizinkan."

Hal yang sama, dikatakan oleh Adnan Salim ar-Rumi dan Ali Shaleh as-Shorro' dalam Ad-Dalaail An-Nurainiyah bahwa seorang ulama harus memilki sifat atau karakter Nabi Ibrahim sebagaimana yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 120 yang artinya,
"Sesungguhnya Ibrahim adalah imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus."

Dalam ayat di atas, nabi Ibrahmim memiliki 4 sifat.
1. Ummah (imam) yang dapat dijadikan qudwah (panutan).
Figur ini menuntut adanya kesempurnaan ilmu dan amal dalam pribadi seseorang yang boleh dijadikan sebagai panutan.
2. Qoonitan lillah. Artinya, seorang ulama mestinya tunduk dan taat terhadap perintah Allah. Ia harus menerima segala ketentuan hukum Allah. Tanpa berusaha mengutak atik atau menyelaraskan dengan kemauan dan nafsunya.
3. Hanif. Dalam kitab Ad-Dalaail An-Nurainiyah tersebut, kata hanif diartikan dengan kecondongan yang hanya ditujukan kepada Allah. Kecondongan tersebut membawa dampak ikhlas yang mengiringi langkah dakwahnya.
4. Syaakir lian'umih. Bersyukur atas nikmat yang Allah limpahkan pada-Nya. Dalam bagian kitab tersebut juga terdapat istilah ulama Rabbani.

Menurut Ibnul Arabi, seseorang bisa disebut ulama rabbani, bila ia adalah seorang alim (mempunyai ilmu) sekaligus 'amil (mengamalkan ilmunya) serta mu'allim (mengajarkan atau menyebarkan ilmunya).
Demikianlah beberapa kriteria yang dapat dijadikan standar layak atau tidaknya seseorang yang berpredikat sebagai ulama diikuti dan dijadikan narasumber dalam Islam. Wallaahu a'lam bish-showab.

keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik