FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Islam dan Pancasila Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Islam dan Pancasila Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Islam dan Pancasila

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

Islam dan Pancasila Empty Islam dan Pancasila

Post by isaku Thu Dec 29, 2016 4:44 pm

http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2013/04/06/2494/jangan-pertentangkan-islam-dan-pancasila.html

Jangan Pertentangkan Islam dan Pancasila

oleh: Nuim Hidayat (Sabtu, 6 April 2013)

MANTAN Perdana Manteri RI Mohammad Natsir mengingatkan,” Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”

Entah apa maksud DPR kembali membuka luka lama umat Islam di masa Orde Baru dan Orde Lama. Mempertentangkan Pancasila dan Islam. Dalam draft RUU Ormas yang ingin digolkan DPR tahun ini, kembali masalah asas tunggal dimunculkan. Dalam RUU itu  pasal 2 disebutkan; Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta (Ormas) dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

RUU Ormas ini tentu mundur dari Orpol. Bila dalam UU Orpol sebuah organisasi membolehkan Islam dicantumkan sebagai asasnya –dan ini perjuangan panjang puluhan tahun- kenapa kini dalam ormas dinafikan adanya Islam sebagai asas dan harus Pancasila?

Karena itu, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin sangat menyesalkan hal ini. “Janganlah kita kembali membuka luka lama. Betapa lelah dan energi terkuras ketika Undang Undang Ormas tahun 1985 dulu diajukan dan ada pendesakan untuk menerapkan asas tunggal Pancasila. Muhammadiyah sampai mengundurkan muktamarnya dan apalagi waktu itu muncul upaya mempertentangkan Pancasila dengan Islam,” kata Din di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat.

Kita ingat bagaimana tahun 1985 itu –ketika masa awal pemerintahan Soeharto dibackup oleh kelompok think tank Katolik CSIS—umat Islam ditekan terus menerus hingga harus menerima asas tunggal Pancasila. Selain itu pemerintah saat itu juga melarang tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem kembali berpolitik. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menjadi mata ajaran wajib di seluruh tingkatan sekolah dan seterusnya.

Ketika asas tunggal Pancasila dipaksakan, HMI menjadi terpecah dua. HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan HMI Dipo. Begitu pula partai politik Islam PPP juga terpecah. Beberapa tokohnya mengundurkan diri ketika Orba memaksa asas tunggal saat itu. Karena saat itu PPP menjadi simbol persatuan umat Islam, dengan Islam sebagai asasnya, yang membedakan dengan Golkar dan PDI.

Sejarah Ringkas Piagam Jakarta dan Pancasila

Kita tentu memahami bahwa isi Pancasila yang tertera dalam Pembukaan UUD 45 (plus amandemen) saat ini adalah hasil dari konsensus tokoh-tokoh pendiri republik ini. Dan ada 4 tokoh Islam di sana. Pancasila yang ada sekarang ini dirumuskan dari Piagam Jakarta dan hanya sila pertama yang diubah. Dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Empat sila lainnya tetap. Pancasila ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Panitia kecil yang dibentuk menjelang kemerdekaan RI 1945 yang diambil dari anggota-anggota BPUPKI. Anggota Panitia Sembilan ini meliputi wakil kalangan nasionalis sekuler, Kristen dan nasionalis Islam.

Mereka adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin dan Ahmad Soebardjo.  Kahar Muzakkir, Abikusno, Agus Salim dan Wahid Hasyim adalah empat tokoh Islam yang berjuang ‘mati-matian’ saat itu sehingga teks Pancasila saat ini penuh dengan nafas Keislaman. Sayangnya ahali-ahli hukum kita kemudian membelokkan Pancasila ini menjadi sekuler.

Memang istilah Pancasila mungkin dari Soekarno atau Yamin. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusywaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler saat itu. Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) pembahasan atau notulen secara rinci perumusan Pancasila itu. Dari 30 anggota BPUPKI yang berbicara, Yamin hanya menuliskan tiga orang saja dalam bukunya.

Kalau kita lihat naskah dari Yamin, yang dipidatokan 29 Mei 1945, naskah Pancasilanya adalah 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat. Pada 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan 5 rumusan dasar negara, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan social 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Setelah rapat berhari-hari tentang dasar negara itu  –Soekarno menyebutnya ‘berkeringat-keringat’—akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta disahkan bersama. Dalam persidangan itu –baca buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, terbitan GIP—debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain.  Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila I berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.

Piagam Jakarta yang dikawal empat tokoh Islam ini bila kita cermati beda dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin.  Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam 4, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.

Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat  yang berlangsung tidak sampai tiga jam,  hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya.  Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu,  empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman dan Ki Bagus, Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan NurNya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.”

Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 Piagam Jakarta dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena itu, secara prinsip tidak boleh lahir satu undang-undangpun di negeri ini yang bertentangan dengan Islam. Dan itu wajar saja, karena memang negeri ini lahir dari pengorbanan mayoritas jiwa dan raga ulama-umat Islam.

Karena itu Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: “Nah Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.”

Meski Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 45, tapi pihak Kristen sepanjang sejarah kemerdekaan selalu memprotesnya. Cornelius D Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia) seperti dikutip Tabloid Reformata (16-31 Maret 2009) menyatakan bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas Keindonesiaan melalui Perda (Syariah) dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya.

Dalam pengantar redaksinya, Tabloid Reformata menulis: “Hal ini perlu terus kita ingatkan bahwa akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (Perda) yang diberlakukan diberbagai tempat sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpestapora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu.”

Alim Ulama

Melihat posisi Pancasila yang terkait erat dengan Piagam Jakarta itu, maka pada 21 Desember 1983, Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yaitu:



1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

4.  Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

5. Sebagai konsekuensi dan sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Tahun 1985, menanggapi asas tunggal yang diharuskan pemerintah ke orpol dan ormas saat itu, Mohammad Natsir yang saat itu memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menerbitkan risalah kecil berjudul “Tempatkan Kembali Pancasila Pada Kedudukannya yang Konstitusional”. Ulama besar ini mengatakan: “Dalam suasana derasnya arus pemikiran dalam masyarakat menyangkut hal-hal yang sedemikian fundamental, pihak pemerintah ternyata tidak bersedia mengatasi persoalan secara mendasar dengan meneliti masalah dari segi sebab dan akibat, melainkan lebih banyak mencari-cari kesalahan pihak lain, seolah-olah masih ada golongan-golongan “anti Pancasila” (tanda kutip), ditujukan ke tiap golongan dan siapa saja yang tidak menyetujui cara menafsirkan dan menfungsikan Pancasila, sebagaimana yang sekarang diinginkan oleh pihak penguasa. Diseru-serukan,”Demi Kesatuan dan Persatuan.” Yang kita alami: Gejala-gejala Islamo-phobi terus meningkat dari mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di lain pihak. “Demi stabilitas dan kemantapan!” Yang kita alami: stabilitas semu, diliputi rasa takut di satu pihak dan sikap masa bodoh di lain pihak. “Demi Pengamalan Pancasila! Yang kita alami: terisngkirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI yang melahirkannya di tahun 1945.” (lihat Adian Husaini, Pancasila bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, GIP).

Karena itu mantan Perdana Menteri RI Mohammad Natsir mengingatkan,” Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”

Karena itu, biarlah organisasi politik dan organisasi massa Islam, yang ingin mencantumkan Islam sebagai asasnya. Karena mereka menganggap Islam adalah induk serba sila. Pancasila hanya ‘sebagian kecil’ dari prinsip Islam. Juga, biarlah organisasi lain di luar Islam atau organisasi sekuler sekalipun,  mencantumkan Pancasila sebagai asasnya, mungkin karena mereka kurang atau tidak yakin dengan agamanya. Wallahu a’lam.*

Penulis Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Kota Depok  
avatar
isaku
KAPTEN
KAPTEN

Male
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141

Kembali Ke Atas Go down

Islam dan Pancasila Empty Re: Islam dan Pancasila

Post by dee-nee Sat Dec 31, 2016 2:23 pm

isaku wrote:Entah apa maksud DPR kembali membuka luka lama umat Islam di masa Orde Baru dan Orde Lama. Mempertentangkan Pancasila dan Islam. Dalam draft RUU Ormas yang ingin digolkan DPR tahun ini, kembali masalah asas tunggal dimunculkan. Dalam RUU itu  pasal 2 disebutkan; Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta (Ormas) dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

apa masalahnya dengan yang bold ?? ... bener2 aja kan ??

dee-nee
dee-nee
LETNAN KOLONEL
LETNAN KOLONEL

Female
Posts : 8645
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 02.08.12
Reputation : 182

Kembali Ke Atas Go down

Islam dan Pancasila Empty Re: Islam dan Pancasila

Post by isaku Tue Jan 03, 2017 1:00 pm

Kayanya emang g ada masalah piss
Mungkin si penulis menanggapi sesuatu di tahun tersebut (2013).





lanjut...

http://radenkholis.blogspot.com.tr/2013/03/islam-dan-pancasila.html

ISLAM DAN PANCASILA

Oleh Akmal Sjafril, ST., M.Pd.I

Setiap bulan Juni, bangsa Indonesia mengenang lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI). Meskipun demikian, dalam sejarah RI, sebenarnya ada beberapa titik kontroversial penting yang berkaitan denga sejarah kelahiran Pancasila.
Salah satu masalah yang selalu mengemuka dari masa ke masa adalah tentang relasi antara Islam dan Pancasila. Di titik ekstrem yang satu, ada sebagian kalangan dari umat Muslim menganggap bahwa Pancasila adalah thaghut atau berhala, dan menerimanya sebagai dasar negara adalah sebuah kemusyrikan. Di titik ekstrem lainnya ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa Pancasila berada pada posisi yang superior dibandingkan semua agama dan karenanya, Islam di Indonesia pun harus tunduk pada Pancasila. Pihak kedua ini berhaluan sekuler-liberal. Di antara kedua kelompok tersebut, ada golongan yang tidak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila.

Haruskan Dipertentangkan?

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab dalam mendudukkan posisi Islam dan Pancasila adalah; apakah keduanya mesti dipertentangkan? Baik untuk jawaban “ya” atau “tidak”. Kita memerlukan dasar pemikiran yang kuat.
Pada kenyataannya, gerakan Islam di Indonesia kerap kali ditekan dengan menggunakan Pancasila sebagai dalihnya. Para aktivis dan pergerakan Islam biasa disebut ‘Islamis’, sementara posisi seberangan ada golongan ‘nasionalis’ atau ‘pancasilais’.

Buya Hamka, sebagai ulama-penulis yang sangat produktif banyak mengekspresikan keprihatinannya pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ketika Pancasila selalu dijadikan alasan untuk mengebiri hak-hak umat Muslim. Simaklah, misalnya, kenjengkelan beliau dengan mengekspresikan dengan penuh amarah (padahal Hamka dikenal dalam bertutur kata) dalam artikel yang berjudul “Pancasilais Munafik”:
“Bertahun-tahun lamanya dasar negara Pancasila itu dipermainkan di ujung bibir dan telah dmuntahkan dari hati. Menjadi isi dari pidato untuk orang banyak, tetapi dilanggar dalam tindakan hidup sehari-hari, dipandang khianat orang lain yang dituduh tidak setia kepada Pancasila, dan orang yang tidak berdaya itu tidak diberi kesempatan membuktikan bahwa si penuduh itulah sebenarnya yang menjadikan Pancasila itu hanya permainan bibir.”
Dalam artikelnya, Buya Hamka tengah mengkritik keras Orde Lama, yang waktu itu baru saja diruntuhkan dengan dibubarkannya Soekarno dari tampuk kekuasaan, ketika itu, dua orang tokoh Orde Lama, yaitu Soebandrio dan Ysusf Muda Dalam, tengah menjalani persidangan dan menghadapi tuntutan hukuman mati. Hamka sendiri adalah tokoh yang secara langsung mengecap pahitnya kezaliman Orde Lama. Sebagao seorang sastrawan Musliam, beliau merasakan langsung diskriminasi dan permusuahan yang begitu keras dilancarkan oleh Lambaga Kesenian Rakyat (Lekra). Sebagai tokoh ulama, beliau bahkan sempat mendekam di balik jeruji penjara selama dua tahun dan mengikuti serangkaian interogasi yang panjang tanpa persidangan sama sekali; semua karena tuduhan makar yang tidak ada buktinya sama sekali.
Pada masa Orde Baru, ironisnya Buya Hamka kembali menjadi ‘tokoh utama’ dalam pergerakan Islam yang meresakan langsung kezaliman rejim berkuasa. Jika di awal masa pemerintahannya Soeharto nampak begitu akomodatif dengan aspirasi umat Muslim – salah satunya dengan mendirikan Majelis Ulama Indonesia dan secara langsung meminta Hamka untuk menjadi ketua pertamanya – namun keadaan berubah begitu cepat dengan munculnya seruan di instansi-instansi pemerintah untuk merayakan Natal dan Idu Fitri secara berbarengan. MUI merespon tegas dengan mengeluarkan fatwa haramnya perayaan Natal bersama. Akibatnya fatwa tersebut, Buya Hamka ditekan habis-habisan dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dan menarik fatwa tersebut dari peredaran. Hanya saja, menurut Hamka, dengan ditariknya fatwanya tidak berlaku lagi. Hamka malah menegaskan pendapat pribadinya bahwa fatwa itu sebenarnya masih sangat ringan. Sebab, mengikuti perayaan Natal, tapi juga menyebabkan pelakunya menjadi murtad. Demikianlah pendapat Buya Hamka.
Dengan meilhat sejarah yang demikian, memang tidak mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa Islam dan Pancasila bisa hidup berdampingan. Akan tetapi, sementara Islam adalah ajaran yang diyakini komprehensif dan dapat dipastikan kemurnian ajarannya, nampaknya Pancasila justru ‘pasrah’ di tangan para penafsirnya. Orde Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan Pancasila untuk menekan pergerakan Islam, namun keduanya memaknai Pancasila dengan cara yang berbeda.


Memaknai Pancasila

Debat mengenai dasar negara dalam Sidang Kontituante pada tahun 1957 cukup menarik untk disimak. Dalam sidang tersebut, Masyumi kembali mengajak bangsa Indonesia untuk mempertimbangkan Islam dan bukan Pancasila – sebagai dasar negara.

Penolakan Masyumi terhadap Pancasila sebagai dasar negara telah dikemukakan dengan sangat baik oleh Muhammad Natsir. Dalam orasinya, Natsir menjelaskan bahwa Pancasila tidaklah mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia, sebab jauh sebelum Pancasila itu lahir, agama telah mewarnai isi hati sanubari bangsa. Pada kesempatan itu Natsir menegaskan:
“Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah kabur dan tidak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan memiliki satu ideologi yang tegas, terang dan lengkap dan hidup dalam rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni Islam”.
Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vakum, tak berhawa.”
Kata-kata di atas diungkapkan oleh Natsir setelah menggambarkan kontrasnya Pancasila dengan kondisi negara pada saat itu, di mana Pancasila tidak memiliki sikap yang tegas pada aliran komunisme yang anti-Tuhan, meskipun sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila hendak dijadikan ‘netral’, sehingga akomodatif terhadap agama dan komunisme sekaligus, padahal yang demikian itu tidaklah mungkin, dan kenyataannya memang tidak pernah terwujud.
Meski demikian, Natsir tidak serta-merta menolak Pancasila. Sebab dalam lanjutan orasinya, beliau menyatakan pula:
Tidak ada satu pun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu yang akan terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara.
Dalam Islam terdapat kaidah-kaidah yang pasti, di mana pure concepts dari sila yang lima itu mendapat subtansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak.”
Dengan kata lain, Natsir hendak mengatakan bahwa Pancasila pada hakikatnya adalah sebuah konsep yang kosong belaka., yang bahkan tidak mampu menjelaskan dirinya sendiri. Makna Pancasila dapat dipermainkan oleh siapa saja, sebab ia memang tidak memiliki kelengkapan konseptual yang mapan. Tidak seperti Islam yang memiliki pandangan yang jelas soal ketuhanan, misalnya, Pancasila justru dapat dimanfaatkan untuk ideologi anti-Tuhan sebagaimana terjadi dalam masa Orde Lama terdahulu.
Dalam beberapa karya tulisnya, Buya Hamka pernah menggarisbawahi masalah pemaknaan ini. Beliau mengingatkan bahwasannya Soekarno pernah mengatakan bahwa jika Pancasila itu ‘diperas’, maka akhirnya dia menjadi satu prinsip saja, yakni ‘gotong royong’. Hamka sendiri menentang pendapat yang demikian. Sebagai balasannya, beliau mengemukakan opini bahwa Pancasila tidak perlu ‘diperas’, namun jika dicari urat tunggangnya, maka ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itulah yang akan diemukan. Hal ini, menurut Buya Hamka, sejalan dengan logika berpikir umat Muslim yang memahami segala sesuatunya dengan mengembalikannya pada sumbernya, yaitu konsep ketuhanan.
M. Naquib al-Alatas, cendekiawan Muslim asal Malaysia, menyatakan hal yang sama ketika membicarakan the Worldview of Islam (pandangan alam Islam), meskipun ia tidak sedang membicarakan Pancasila. Bagi seorang Muslim, segala konsep yang dikenal dalam hidupnya (konsep agama, kenabian, wahyyu, manusia, dan kemanusiaan, keadilan, dan sebagainya) bersumber dari konsep ketuhanan. Oleh karena itu, konsep kemanusiaan dalam pandangan orang sekuler atau ateis sangat berbeda dengan konsep kemanusiaan dalam pandangan seorang Muslim yang taat dengan agamanya.
Maka tidaklah mengherankan jika Soekarno merasa mampu ‘memeras’ Pancasila menjadi ‘gotong royong’, sedangkan Hamka tidak menggunakan istilah yang sama (yaitu “memeras”) namun memahami sila pertama sebagai ‘akar tunggang’ dari Pancasila itu sendiri. Semuanya bersumber dari Worldview yang dijadikan pegangan oleh masing-masing. Fenomena ini menguatkan pendapat Natsir di atas, melainkan justru dapat ditafsirkan dengan cara berlawanan, tergantung menafsirkan siapa penafsirnya.

Pancasila dalam Pandangan Islam

Para pemimpin Masyumi yang berdebat alot dalam Sidang Konstituate 1957 tidaklah menyatakan Pancasila sebagai thaghut (kecuali jika memang ada yang memposisikan demikian), tidak pula memberi saran untuk menghapuskannya. Pancasila adalah kesepakatan antarelemen bangsa, meski demikian, Pancasila tidaklah mampu menjelaskan kandungan maknanya sendiri, sebab ia hanya terdiri atas lima sila yang begitu singkat.
Islam, sebaliknya adalah seperangkat konsep dan tata nilai yang komprehensif. Tidak seperti Pancasila yang sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa saja, Islam tidak dapat dimaknai semaunya. Meskipun ada ruang untuk perbedaan pendapat, namun ada hal-hal yang prinsip tidak ada perdebatan. Oleh karena itu, Islam memiliki kemampuan untuk menafsirkan Pancasila, dan tidak sebaliknya. Itulah yang dimaksud Natsir ketika mengatakan bahwa Pancasila justru akan mendapatkan ruh penggerak dari Islam. Dengan cara itu, Pancasila akan benar-benar yang dapat dijabarkan dengan baik dalam tataran praktis.
Dalam sila pertama, yaitu “ketuhanan Yang Maha Esa”, terdapat konsep tauhid yang dapat dengan mudah dipahami oleh umat Muslim. Menurut Buya Hamka, umat Muslimlah yang paling siap untuk menerima sila pertama ini, dan mereka tak mungkin menentangnya. Segala-galanya didasari oleh keyakinan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemerdekaan negeri ini pun sebagian besarnya berasal dari kontribusi para mujahid yang berjuang atas seruan agama; para ulama menyuruh mereka berjuang mengusir penjajah, semangat jihad dikobarkan, dan yang mereka teriakkan dalam perjuangan itu tidak lain adalah pekik takbir. Bangsa Indonesia sadar sepenuhnya bahwa negeri ini berdaulat karenanya, mereka tak bisa dipaksa-paksa untuk mengabaikan Tuhannya.
Sila kedua, yaitu “Kemanusian yang Adil dan Beradab”, sanglah problematis. Bagi para penganut Hak Asasi Manusia (HAM) ala Barat, homoseksualitas, aborsi tanpa syarat, berzina, mengkonsumsi minuman keras, euthanasia, semuanya adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dilarang-larang. Akan tetapi bagi seorang Muslim, hak-hak manusia adalah sepanjang yang dibolehkan oleh agama. Demikian juga bagi rakyat Indonesia yang menyakini bahwa Sila kedua ini hanya dapat dipahami dengan merujuk pada ‘akar tunggangnya’, yaitu Sila pertama. Maka, kemanusiaan yang benar adalah kemanusiaan yang berketuhanan, bukan yang mengabaikan Tuhan. Kata ‘adil’ dan ‘beradab’ pun sangat multitafsir. Bagi kaum feminis, pembagian harta warisan yang setara itulah yang adil. Bagi George W. Bush, invasi ke Irak dan Afghanistan tidak lain untuk mengajari rakyat kedua negeri itu untuk beradab. Islam pun memiliki konsep tersendiri soal keadilan dan adab, bahkan kedua istilah ini terambil dari kosa kata Islam dalam bahasa Arab.
Selanjutnya, sila-sila yang lain pun dapat dimaknai dengan baik jika menggunakan ‘kacamata islam’. Islam telah memiliki konsep yang jelas tenatng persatuan dan nasionalisme, sehingga terhindar dari fanatisme kebangsaan yang sempit. Islam juga mengajarkan caranya bermusyawarah yang baik, juga menjelaskan hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan hal-hal yang harus dirujuk pada aturan agama; dengan kata lain, musyawarah yang berketuhanan. Tentu saja, Islam pun dapat memberikan gambaran yang jelas tentang keadilan sosial.
Permasalahan konseptual yang dimiliki oleh Pancasila bisa menjadi bara dalam sekam, sehingga sejarah sangat mungkin berulang. Dari waktu ke waktu, ada saja yang berusaha mempertentangkan antara Islam dengan Pancasila. Ada yang membela Lady Gaga dengan alasan Indonesia bukan negara agama, padahal tidak sedikit yang menolak artis yang sama dengan berpegang teguh pada Pancasila yang justru mengakui otoritas agama sebagai smuber nilai dalam kehidupan bernegara.
Tentunya, kita tidak mengharapkan bangsa Indonesia terus larut dalam perdebatan ini. Seharusnya semua orang bisa menjadi Muslim yang baik sekaligus Pancasilais yang baik. Sudah semestinya Pancasila tidak mengambil posisi berseberangan dengan islam yang menjadi agama mayoritas di negeri ini. Dengan Islam, Pancasila tidaklah mati, melainkan justru semakin hidup.

Sumber : Majalah Al Intima'
avatar
isaku
KAPTEN
KAPTEN

Male
Posts : 3590
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 17.09.12
Reputation : 141

Kembali Ke Atas Go down

Islam dan Pancasila Empty Re: Islam dan Pancasila

Post by dee-nee Tue Jan 03, 2017 3:54 pm

isaku wrote:Kayanya emang g ada masalah piss
Mungkin si penulis menanggapi sesuatu di tahun tersebut (2013).

sip ... jadi RUU ormas memang tidak ada masalah

2 good

------------------------------------------

isaku wrote:lanjut...

http://radenkholis.blogspot.com.tr/2013/03/islam-dan-pancasila.html

ISLAM DAN PANCASILA

Oleh Akmal Sjafril, ST., M.Pd.I

Setiap bulan Juni, bangsa Indonesia mengenang lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI). Meskipun demikian, dalam sejarah RI, sebenarnya ada beberapa titik kontroversial penting yang berkaitan denga sejarah kelahiran Pancasila.

Salah satu masalah yang selalu mengemuka dari masa ke masa adalah tentang relasi antara Islam dan Pancasila. Di titik ekstrem yang satu, ada sebagian kalangan dari umat Muslim menganggap bahwa Pancasila adalah thaghut atau berhala, dan menerimanya sebagai dasar negara adalah sebuah kemusyrikan. Di titik ekstrem lainnya ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa Pancasila berada pada posisi yang superior dibandingkan semua agama dan karenanya, Islam di Indonesia pun harus tunduk pada Pancasila. Pihak kedua ini berhaluan sekuler-liberal. Di antara kedua kelompok tersebut, ada golongan yang tidak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila.

supaya clear tentang warna2 diatas .... jadi fakta di lapangan adalah :

dua warna merah dan biru jelas adalah kelompok ekstrem yang jumlahnya minoritas ... sementara yang mayoritas di negara ini justru yang ungu

-----------------------------------------------------------------------------------------

artikel wrote:Haruskan Dipertentangkan?

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab dalam mendudukkan posisi Islam dan Pancasila adalah; apakah keduanya mesti dipertentangkan? Baik untuk jawaban “ya” atau “tidak”. Kita memerlukan dasar pemikiran yang kuat.

Pada kenyataannya, gerakan Islam di Indonesia kerap kali ditekan dengan menggunakan Pancasila sebagai dalihnya. Para aktivis dan pergerakan Islam biasa disebut ‘Islamis’, sementara posisi seberangan ada golongan ‘nasionalis’ atau ‘pancasilais’.

karena yang mempertentangkan pancasila dan Islam jumlahnya juga sedikit (alias minoritas) .... seperti saya sebut diatas ... jadi agak bingung juga kenapa penulis harus menulis tentang mereka2 yang minoritas ini ??

tapi okelah ... karena sudah masuk dalam thread (forum) ... saya jadi ikut2an tertarik bahas artikel tersebut ... hehehehehe

yang merah ini keluar dari isi kepala dan "opini" penulis ... karena dia berpikir pancasila berbeda dengan Islam

jadi ... kalau kalimat merah itu ditulis pakai opini ala saya (misalnya) .... saya akan tulis begini .... "Para aktivis dan pergerakan Piagam Jakarta ... biasa disebut ‘fundamentalis Islam’ ..... sementara posisi seberangan yang mengusung Pancasila yang berlaku sekarang ... adalah golongan "moderat Islam atau Islam pertengahan"

------------------------------------------------------------

artikel wrote:Buya Hamka, sebagai ulama-penulis yang sangat produktif banyak mengekspresikan keprihatinannya pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ketika Pancasila selalu dijadikan alasan untuk mengebiri hak-hak umat Muslim. Simaklah, misalnya, kenjengkelan beliau dengan mengekspresikan dengan penuh amarah (padahal Hamka dikenal dalam bertutur kata) dalam artikel yang berjudul “Pancasilais Munafik”:

menurut saya yang dikatakan Buya Hamka tentang Orla dan Orba sebagai “Pancasilais Munafik” .... ga jauh beda bila saya mengatakan tentang ormas atau ulama tertentu sebagai "Islamis Munafik"

intinya ... yang dikatakan Buya Hamka dan saya merujuk pada manusia-nya ... bukan pada pancasila-nya (dalam kasus Buya Hamka) ... atau pada Islam-nya (dalam kasus saya)

so ... benar2 saja kan ya bicara yang hijau ??

--------------------------------------------------

artikel wrote:“Bertahun-tahun lamanya dasar negara Pancasila itu dipermainkan di ujung bibir dan telah dmuntahkan dari hati. Menjadi isi dari pidato untuk orang banyak, tetapi dilanggar dalam tindakan hidup sehari-hari, dipandang khianat orang lain yang dituduh tidak setia kepada Pancasila, dan orang yang tidak berdaya itu tidak diberi kesempatan membuktikan bahwa si penuduh itulah sebenarnya yang menjadikan Pancasila itu hanya permainan bibir.”

Dalam artikelnya, Buya Hamka tengah mengkritik keras Orde Lama, yang waktu itu baru saja diruntuhkan dengan dibubarkannya Soekarno dari tampuk kekuasaan, ketika itu, dua orang tokoh Orde Lama, yaitu Soebandrio dan Ysusf Muda Dalam, tengah menjalani persidangan dan menghadapi tuntutan hukuman mati. Hamka sendiri adalah tokoh yang secara langsung mengecap pahitnya kezaliman Orde Lama. Sebagao seorang sastrawan Musliam, beliau merasakan langsung diskriminasi dan permusuahan yang begitu keras dilancarkan oleh Lambaga Kesenian Rakyat (Lekra). Sebagai tokoh ulama, beliau bahkan sempat mendekam di balik jeruji penjara selama dua tahun dan mengikuti serangkaian interogasi yang panjang tanpa persidangan sama sekali; semua karena tuduhan makar yang tidak ada buktinya sama sekali.

Pada masa Orde Baru, ironisnya Buya Hamka kembali menjadi ‘tokoh utama’ dalam pergerakan Islam yang meresakan langsung kezaliman rejim berkuasa. Jika di awal masa pemerintahannya Soeharto nampak begitu akomodatif dengan aspirasi umat Muslim – salah satunya dengan mendirikan Majelis Ulama Indonesia dan secara langsung meminta Hamka untuk menjadi ketua pertamanya – namun keadaan berubah begitu cepat dengan munculnya seruan di instansi-instansi pemerintah untuk merayakan Natal dan Idu Fitri secara berbarengan. MUI merespon tegas dengan mengeluarkan fatwa haramnya perayaan Natal bersama. Akibatnya fatwa tersebut, Buya Hamka ditekan habis-habisan dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dan menarik fatwa tersebut dari peredaran. Hanya saja, menurut Hamka, dengan ditariknya fatwanya tidak berlaku lagi. Hamka malah menegaskan pendapat pribadinya bahwa fatwa itu sebenarnya masih sangat ringan. Sebab, mengikuti perayaan Natal, tapi juga menyebabkan pelakunya menjadi murtad. Demikianlah pendapat Buya Hamka.

Ya ... jadi ini intinya bicara tentang sejarah dari perilaku manusia2 itu sendiri toh ya .... balik ke hijau diatas

so what ?? .... wong nyatanya muslim2 (atau bahkan ulama) di Indonesia juga pernah kok "dibohongi" propaganda Amerika untuk membantai PKI karena masalah politik  (yang jelas2 tidak ada hubungannya dengan agama dan Al Quran)

tentang perilaku manusia itu sendiri ... yang "melenceng" dari sesuatu yang benar ... karena sengaja atau tidak sengaja ... bukannya sudah menjadi fakta dimana2

-----------------------------------------------------

artikel wrote:Dengan meilhat sejarah yang demikian, memang tidak mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa Islam dan Pancasila bisa hidup berdampingan. Akan tetapi, sementara Islam adalah ajaran yang diyakini komprehensif dan dapat dipastikan kemurnian ajarannya, nampaknya Pancasila justru ‘pasrah’ di tangan para penafsirnya. Orde Lama dan Orde Baru sama-sama menggunakan Pancasila untuk menekan pergerakan Islam, namun keduanya memaknai Pancasila dengan cara yang berbeda.

merah : Pancasila itu sejalan dengan Islam >>>> basic-nya adalah ajaran Islam ... lalu berdasarkan basic-nya ini ... dibuatlah dasar negara yang disebut Pancasila >>> Pancasila bukan muncul ujug2 menjadi ideologi yang berlainan dengan Islam ... sehingga penulis bisa menulis yang merah seolah2 Islam dan Pancasila adalah dua hal yang berbeda sama sekali (tapi hidup berdampingan)

---------------------------------------------------------

artikel wrote:Memaknai Pancasila

Debat mengenai dasar negara dalam Sidang Kontituante pada tahun 1957 cukup menarik untk disimak. Dalam sidang tersebut, Masyumi kembali mengajak bangsa Indonesia untuk mempertimbangkan Islam dan bukan Pancasila – sebagai dasar negara.

Penolakan Masyumi terhadap Pancasila sebagai dasar negara telah dikemukakan dengan sangat baik oleh Muhammad Natsir. Dalam orasinya, Natsir menjelaskan bahwa Pancasila tidaklah mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia, sebab jauh sebelum Pancasila itu lahir, agama telah mewarnai isi hati sanubari bangsa. Pada kesempatan itu Natsir menegaskan:

“Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah kabur dan tidak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai dan memiliki satu ideologi yang tegas, terang dan lengkap dan hidup dalam rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni Islam”.

Dari ideologi Islam ke Pancasila bagi umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vakum, tak berhawa.”

Yah ... setiap orang boleh saja berpendapat demikian (termasuk Muhammad Natsir sekitar 60 tahun yang lalu) .... toh nyatanya sekarang ini ... ulama2 NU dan Muhammadiyah juga santai2 saja dengan Pancasila .... mereka (khususnya NU) mengakui Pancasila adalah kesepakatan dalam bernegara ... dan kesepakatan itu sendiri toh nyatanya sejalan dengan jiwa dan kehidupan umat Islam di Indonesia itu sendiri

--------------------------------------------------------------

artikel wrote:Kata-kata di atas diungkapkan oleh Natsir setelah menggambarkan kontrasnya Pancasila dengan kondisi negara pada saat itu, di mana Pancasila tidak memiliki sikap yang tegas pada aliran komunisme yang anti-Tuhan, meskipun sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila hendak dijadikan ‘netral’, sehingga akomodatif terhadap agama dan komunisme sekaligus, padahal yang demikian itu tidaklah mungkin, dan kenyataannya memang tidak pernah terwujud.

yaelah ... urusan PKI vs Masyumi lagi dong balik2-nya .... urusan politik langsung dibuat "opini"-nya antara benar dan salah

lah mau gimana ?? .... kalau nyatanya PKI oke2 aja dengan sila pertama .... kalau nyatanya tokoh2 PKI bilang mereka manusia yang ber-Tuhan ... kalau nyatanya kelompok komunis waktu itu lahir dari pecahan Sarekat Islam .... mau apa ?? .... balik2-nya kan tergantung opini masing2

Semaun disebut membelot dari Sarekat Islam .... lalu dianggap oleh "lawan politik" -nya sebagai manusia tak ber-Tuhan .... ya sah2 saja wong namanya juga politik .... toh nyatanya Aidit juga bisa bikin statement ga jauh beda dengan Natsir

Aidit wrote:”bahwa Nabi Muhammad Saw. bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang, ia menyatakan: “ Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masjumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masjumi. Memilih Masjumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masjumi itu haram dan masuk PKI itu halal!”ujarnya seperti dikutip oleh Remy Madinier dalam Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral.

urusan PKI ... silahkan sambung dengan thread ini http://www.laskarislam.com/t9345p25-jagal-the-act-of-killing-full-movie

--------------------------------------------------------------------------------

artikel wrote:Meski demikian, Natsir tidak serta-merta menolak Pancasila. Sebab dalam lanjutan orasinya, beliau menyatakan pula:

Tidak ada satu pun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu yang akan terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara.

Dalam Islam terdapat kaidah-kaidah yang pasti, di mana pure concepts dari sila yang lima itu mendapat subtansi yang riil, mendapat jiwa dan roh penggerak.”

Dengan kata lain, Natsir hendak mengatakan bahwa Pancasila pada hakikatnya adalah sebuah konsep yang kosong belaka., yang bahkan tidak mampu menjelaskan dirinya sendiri. Makna Pancasila dapat dipermainkan oleh siapa saja, sebab ia memang tidak memiliki kelengkapan konseptual yang mapan. Tidak seperti Islam yang memiliki pandangan yang jelas soal ketuhanan, misalnya, Pancasila justru dapat dimanfaatkan untuk ideologi anti-Tuhan sebagaimana terjadi dalam masa Orde Lama terdahulu.

Dalam beberapa karya tulisnya, Buya Hamka pernah menggarisbawahi masalah pemaknaan ini. Beliau mengingatkan bahwasannya Soekarno pernah mengatakan bahwa jika Pancasila itu ‘diperas’, maka akhirnya dia menjadi satu prinsip saja, yakni ‘gotong royong’. Hamka sendiri menentang pendapat yang demikian. Sebagai balasannya, beliau mengemukakan opini bahwa Pancasila tidak perlu ‘diperas’, namun jika dicari urat tunggangnya, maka ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itulah yang akan diemukan. Hal ini, menurut Buya Hamka, sejalan dengan logika berpikir umat Muslim yang memahami segala sesuatunya dengan mengembalikannya pada sumbernya, yaitu konsep ketuhanan.

M. Naquib al-Alatas, cendekiawan Muslim asal Malaysia, menyatakan hal yang sama ketika membicarakan the Worldview of Islam (pandangan alam Islam), meskipun ia tidak sedang membicarakan Pancasila. Bagi seorang Muslim, segala konsep yang dikenal dalam hidupnya (konsep agama, kenabian, wahyyu, manusia, dan kemanusiaan, keadilan, dan sebagainya) bersumber dari konsep ketuhanan. Oleh karena itu, konsep kemanusiaan dalam pandangan orang sekuler atau ateis sangat berbeda dengan konsep kemanusiaan dalam pandangan seorang Muslim yang taat dengan agamanya.

Maka tidaklah mengherankan jika Soekarno merasa mampu ‘memeras’ Pancasila menjadi ‘gotong royong’, sedangkan Hamka tidak menggunakan istilah yang sama (yaitu “memeras”) namun memahami sila pertama sebagai ‘akar tunggang’ dari Pancasila itu sendiri. Semuanya bersumber dari Worldview yang dijadikan pegangan oleh masing-masing. Fenomena ini menguatkan pendapat Natsir di atas, melainkan justru dapat ditafsirkan dengan cara berlawanan, tergantung menafsirkan siapa penafsirnya.

ungu : saya pikir .... Natsir memang ga pernah menolak Pancasila .... karena yang dilakukan Natsir adalah mengkritik Sukarno (manusia-nya dan bukan ideologi Pancasila-nya)

merah : coba bawa kalimat Natsir yang seperti merah ini .... buktikan bahwa artikel ini bukan berdasarkan "opini" penulis sendiri .... yang lahir dari cara berpikir penulis bahwa "pancasila dan Islam adalah dua hal yang berbeda" >>>> padahal kenyataan-nya ... baca yang coklat diatas

kalau saya baca2 .... cara penulis menuliskan opini-nya .... ga jauh beda lah dengan isi kepala komunitas bumi datar >>>> mereka bikin teori sendiri ... mengatasnamakan seseorang ... lalu bikin opini seolah2 teori-nya sejalan dengan orang tersebut

piss

-----------------------------------------------------------------------------------------

artikel wrote:Pancasila dalam Pandangan Islam

Para pemimpin Masyumi yang berdebat alot dalam Sidang Konstituate 1957 tidaklah menyatakan Pancasila sebagai thaghut (kecuali jika memang ada yang memposisikan demikian), tidak pula memberi saran untuk menghapuskannya. Pancasila adalah kesepakatan antarelemen bangsa, meski demikian, Pancasila tidaklah mampu menjelaskan kandungan maknanya sendiri, sebab ia hanya terdiri atas lima sila yang begitu singkat.

Islam, sebaliknya adalah seperangkat konsep dan tata nilai yang komprehensif. Tidak seperti Pancasila yang sangat terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa saja, Islam tidak dapat dimaknai semaunya. Meskipun ada ruang untuk perbedaan pendapat, namun ada hal-hal yang prinsip tidak ada perdebatan. Oleh karena itu, Islam memiliki kemampuan untuk menafsirkan Pancasila, dan tidak sebaliknya. Itulah yang dimaksud Natsir ketika mengatakan bahwa Pancasila justru akan mendapatkan ruh penggerak dari Islam. Dengan cara itu, Pancasila akan benar-benar yang dapat dijabarkan dengan baik dalam tataran praktis.

merah : yang dimaksud Natsir ... Pancasila memang datang dari ruh Islam ... seperti saya tulis diatas yang warna coklat

jadi mungkin ... ga usah dibolak balik juga kalimat coklat diatas menjadi yang biru .... menjadi Islam menafsirkan Pancasila (seolah2 pancasila dan Islam adalah dua hal yang berbeda) >>> padahal yang dimaksud Natsir .... pancasila adalah hasil dari tafsir (ruh) Islam itu sendiri

---------------------------------------------------

artikel wrote:Dalam sila pertama, yaitu “ketuhanan Yang Maha Esa”, terdapat konsep tauhid  yang dapat dengan mudah dipahami oleh umat Muslim. Menurut Buya Hamka, umat Muslimlah yang paling siap untuk menerima sila pertama ini, dan mereka tak mungkin menentangnya. Segala-galanya didasari oleh keyakinan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemerdekaan negeri ini pun sebagian besarnya berasal dari kontribusi para mujahid yang berjuang atas seruan agama; para ulama menyuruh mereka berjuang mengusir penjajah, semangat jihad dikobarkan, dan yang mereka teriakkan dalam perjuangan itu tidak lain adalah pekik takbir. Bangsa Indonesia sadar sepenuhnya bahwa negeri ini berdaulat karenanya, mereka tak bisa dipaksa-paksa untuk mengabaikan Tuhannya.

secara garis besar saya setuju dengan kalimat ini ..... tapi misalnya kalimat merah ... ya itu kan yang ngomong Buya Hamka karena beliau memang melakukan itu ... beliau memang tinggal di wilayah yang mayoritas para mujahid

lah kalau yang ngomong I Gusti Ngurah Rai atau Wolter Monginsidi misalnya >>> ya beda lagi statement-nya .... mungkin mereka tidak menggunakan kata2 mujahid (atau pejuang Islam) ... tapi menggunakan kata2 seperti pejuang hindu di bali atau pejuang kristen di minahasa

beda orang ... beda wilayah ... beda statement >>> walaupun tujuan mereka sama dalam memperoleh kemerdekaan

---------------------------------------------------------

artikel wrote:Sila kedua, yaitu “Kemanusian yang Adil dan Beradab”, sanglah problematis. Bagi para penganut Hak Asasi Manusia (HAM) ala Barat, homoseksualitas, aborsi tanpa syarat, berzina, mengkonsumsi minuman keras, euthanasia, semuanya adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dilarang-larang. Akan tetapi bagi seorang Muslim, hak-hak manusia adalah sepanjang yang dibolehkan oleh agama. Demikian juga bagi rakyat Indonesia yang menyakini bahwa Sila kedua ini hanya dapat dipahami dengan merujuk pada ‘akar tunggangnya’, yaitu Sila pertama. Maka, kemanusiaan yang benar adalah kemanusiaan yang berketuhanan, bukan yang mengabaikan Tuhan. Kata ‘adil’ dan ‘beradab’ pun sangat multitafsir. Bagi kaum feminis, pembagian harta warisan yang setara itulah yang adil. Bagi George W. Bush, invasi ke Irak dan Afghanistan tidak lain untuk mengajari rakyat kedua negeri itu untuk beradab. Islam pun memiliki konsep tersendiri soal keadilan dan adab, bahkan kedua istilah ini terambil dari kosa kata Islam dalam bahasa Arab.

kalimat ini lagi2 datang dari isi kepala ala "komunitas bumi datar" .... yang awalnya bawa2 Natsir dan Buya Hamka supaya kesannya punya dalil kuat ... ujug2 dilanjut-kan dengan isi kepala sendiri yang cuma berisi "opini" berdasarkan asumsi (kalau ga mau disebut ghibah)

----------------------------------------------------------

artikel wrote:Selanjutnya, sila-sila yang lain pun dapat dimaknai dengan baik jika menggunakan ‘kacamata islam’. Islam telah memiliki konsep yang jelas tenatng persatuan dan nasionalisme, sehingga terhindar dari fanatisme kebangsaan yang sempit. Islam juga mengajarkan caranya bermusyawarah yang baik, juga menjelaskan hal-hal yang boleh dimusyawarahkan dan hal-hal yang harus dirujuk pada aturan agama; dengan kata lain, musyawarah yang berketuhanan. Tentu saja, Islam pun dapat memberikan gambaran yang jelas tentang keadilan sosial.

biru : Lah ya udah ... oke2 saja kan pancasila itu ... dari sila pertama sampai kelima dalam pancasila ... semua sudah sesuai Islam

sementara untuk yang merah .... Islam juga mengajarkan nilai2 yang benar kok dalam berbangsa dan bernegara sehingga terhindar dari fanatisme keagamaan yang sempit ... dan menurut saya dalam pancasila juga ada nilai2 Islam yang bold underline ini

---------------------------------

artikel wrote:Permasalahan konseptual yang dimiliki oleh Pancasila bisa menjadi bara dalam sekam, sehingga sejarah sangat mungkin berulang. Dari waktu ke waktu, ada saja yang berusaha mempertentangkan antara Islam dengan Pancasila. Ada yang membela Lady Gaga dengan alasan Indonesia bukan negara agama, padahal tidak sedikit yang menolak artis yang sama dengan berpegang teguh pada Pancasila yang justru mengakui otoritas agama sebagai smuber nilai dalam kehidupan bernegara.

Tentunya, kita tidak mengharapkan bangsa Indonesia terus larut dalam perdebatan ini. Seharusnya semua orang bisa menjadi Muslim yang baik sekaligus Pancasilais yang baik. Sudah semestinya Pancasila tidak mengambil posisi berseberangan dengan islam yang menjadi agama mayoritas di negeri ini. Dengan Islam, Pancasila tidaklah mati, melainkan justru semakin hidup.

Sumber : Majalah Al Intima'

merah : sebetulnya .... ga usah pancasila .... apapun (ideologi dan agama manapun) bisa saja menjadi bara dalam sekam ..... bahkan termasuk Islam atau Al Quran itu sendiri bila umat-nya tidak punya kemampuan untuk memahami nilai, ajaran, dan ruh Al Quran serta perilaku Rasulullah itu sendiri

>>> fakta munculnya fenomena muslim radikal, muslim dangkal, dan muslim liberal .... adalah hasil dari ketidak mampuan yang bold underline ini ... jadi bukan masalah ideologi atau agama-nya ... TAPI TERGANTUNG DARI MANUSIA-nya

biru : mereka yang dikit2 bilang "Indonesia bukan negara agama" ... adalah lawan dari mereka yang dikit2 bilang "Indonesia harus jadi negara agama ala timur tengah"

>>>> kedua mereka ini ... ya silahkan saja adu panco berdua .... toh nyatanya pendapat keduanya memang tidak sesuai dengan sejarah, falsafah, dan ideologi pancasila (yang berdasarkan ruh Islam itu sendiri)

kondisinya tuh seperti ini loh :

Islam fundamentalis bilang : Sila Pertama isinya : "Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"

Islam moderat bilang : Sila Pertama Isinya : "Ke-Tuhanan Yang Maha Esa"

Islam liberal bilang : Kalau bisa jangan ada sila pertama

Faktanya di Indonesia ... mayoritas adalah yang coklat ini .... mereka tidak ada masalah dengan pancasila yang ada sekarang .... mereka juga tidak mau sila pertama hilang dari dasar negara

sementara antara yang ungu dan hijau .... selalu ada di negara manapun (walaupun tidak harus merujuk pada Islam) .... bahkan di amerika pun ... dua kelompok ungu dan hijau ini benar2 dibuka secara terang2an antara dua parpol yang berseberangan dan hanya sibuk adu panco

kalau saya sih ya .... tugas saya sebagai warga negara ... pada pokoknya hanya mengamalkan sila ke 3 .... siapapun dari yang adu panco ini ... bila ada yang coba2 melanggar sila ke 3 (ntah karena lahir dari isi kepala-nya atau karena termakan oleh propaganda pihak luar) .... akan saya lawan argumentasi mereka

jadi .... kalau balik ke RUU ormas diatas .... ya salah satu usaha pemerintah dalam menghadapi mereka2 yang adu panco ini ... caranya dengan membuat aturan tentang ormas itu sendiri

setuju ??

2 good
dee-nee
dee-nee
LETNAN KOLONEL
LETNAN KOLONEL

Female
Posts : 8645
Kepercayaan : Islam
Location : Jakarta
Join date : 02.08.12
Reputation : 182

Kembali Ke Atas Go down

Islam dan Pancasila Empty Re: Islam dan Pancasila

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik