FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Demokrasi dan sekularisme Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Demokrasi dan sekularisme Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Demokrasi dan sekularisme

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

Demokrasi dan sekularisme Empty Demokrasi dan sekularisme

Post by keroncong Thu Sep 01, 2016 2:08 am

PRESIDEN Abdurrahman Wahid mengatakan, jika sebuah masyarakat atau negara ingin demokratis, tak ada cara lain selain mensekularisasikan kehidupan. "Saya mengutip dari ilmuwan India bahwa kalau ingin demokratis, maka kita harus mensekulerkan semua kehidupan. Tidak ada cara lain," kata Kepala Negara ketika bersama Presiden Jerman Johannes Rau menjadi pembicara utama dalam diskusi bertema Kebudayaan dan Agama di Bina Graha Jakarta, kemarin (Media Indonesia Online, 21/02/2001).
Artinya, benar bahwa satu-satunya jalan menuju masyarakat demokratis adalah dengan cara mensekulerkan semua kehidupan. Namun, benarkah seorang muslim atau masyarakat kaum muslimin menempuh jalan mensekulerkan seluruh kehidupan mereka? Benarkah sekularisme adalah jalan hidup yang harus ditempuh kaum muslimin? Darimanakah asal-usul sekularisme dan demokrasi itu?
Sekularisme lahir dari masa kegelapan gereja di Eropa pada abad pertengahan dimana para agamawan yang bersaing dengan para kaisar dalam upaya menguasai negara dan tidak jarang juga mereka berkolusi dalam mengendalikan kehidupan masyarakat Eropa, melahirkan berbagai kesengsaraan rakyat bawah. Maka muncullah para intelektual yang setelah melihat realitas empirik kesengsaraan masyarakat, berkesimpulan bahwa sumber petaka bangsa Eropa adalah gereja dan agama Nasrani yang mereka bawa. Para ilmuwan yang bersikap keras bahkan mencap agama sebagai candu bagi rakyat. Mereka menyerukan bahwa Tuhan telah mati. Mereka menjadi atheis. Mereka menuntut penghapusan agama dan institusinya. Konflik yang panjang antara para intelektual dan gerejawan pun terjadi. Sampai akhirnya disepakati suatu kompromi bahwa bangsa Eropa mengakui keberadaan Tuhan dan agama Nasrani, namun mereka membatasi peranan Tuhan mereka hanya di gereja saja. Masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah wilayah gereja, melainkan urusan manusia, dalam hal ini kaisar. Mereka berdalih Tuhan telah menghendaki demikian. Mereka mengutip salah satu ayat dalam Injil, "Berikanlah hak Tuhan kepada Tuhan & hak Kaisar kepada kaisar". Inilah asal mula munculnya faham sekularisme, mereka memisahkan agama dari kehidupan & itu berarti memisahkan agama dari negara.
Lalu dengan apa mereka bernegara? Dengan dasar pemikiran kompromi (jalan tengah) tersebut, mereka mengembangkan konsep demokrasi (demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan cratos yang berarti kekuasaan pemerintahan) yang cikal bakalnya ada kehidupan negara kota di masa para filosof Yunani di Athena. Maka muncullah para ahli ketatanegaraan pengembang konsep demokrasi seperti Voltaire, Montersque, Jhon Locke dan lain-lain. Satu hal yang esensial dari pandangan mereka adalah bahwa demokrasi yang dilandasi oleh prinsip jalan tengah tersebut, adalah menjauhkan segala hal yang berbau gereja atau agama Nasrani dari kehidupan bernegara. Itulah yang tampak dalam slogan revolusi Perancis: "Gantunglah Kaisar terakhir dengan usus pendeta terakhir!". Itulah hakikat demokrasi.
Celakanya, tatkala bangsa-bangsa Barat pengusung konsep hidup demokrasi ini menduduki negeri-negeri Islam sejak abad 19, mereka melakukan generalisasi yang salah, yakni menyamaratakan agama Islam yang dianut penduduknya dengan agama Nasrani yang ada di Eropa. Mereka pun menanamkan benih-benih sekularisme di dunia Islam tatkala mereka mencabut berlakukanya hukum-hukum Islam dan menganggantikannya dengan hukum-hukum sekuler yang mereka adopsi. Mereka pun memaksakan kurikulum pendidikan sekuler di sekolah-sekolah yang mereka bangun sehingga muncullah generasi baru anak-anak bangsa muslim yang telah tersekularkan. Mereka inilah yg menerima tongkat estafet kepemimpinan negara dan birokrasi pemerintahan ketika para penjajah kafir sekuler itu angkat kaki dari negeri-negeri Islam.
Tentu saja, menyamakan agama Nasrani dengan agama Islam adalah naif sekali. Agama Nasrani hanya membahas masalah ketuhanan, peribadatan, dan budi pekerti. Mereka mengajarkan masalah-masalah ekonomi, politik, dan ketatanegaraan. Sementara Islam, sebagai agama yang telah disempurnakan Allah SWT justru mengajarkan hukum-hukum sebagai petunjuk dan rahmat Allah SWT buat seluruh aspek kehidupan manusia. Nabi Muhammad saw. bukanlah semata-mata Nabi yang membawa risalah petunjuk Tuhan Pencipta seluruh alam semesta ini, tapi juga sekaligus memberikan contoh bagaimana melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum tersebut dalam kehidupan bernegara sejak beliau hijrah ke kota Madinah. Beliau membangun masyarakat dan interaksi-intekasinya dengan dasar aqidah Islam, kalimat tauhid, Lailaha illah Muhammadurrasulullah. Beliau menjadikan halal-dan haramnya Allah SWT sebagai standar umum bagi interaksi kehidupan di masyarakat. Beliau menjadikan ridla Allah SWT sebagai perkara yang harus digapai oleh setiap muslim sebagai soko guru utama masyarakat tersebut. Beliau membuat perjanjian-perjanjian bertetangga baik dengan komunitas Yahudi yang ada di sekitar Madinah. Beliau membangun angkatan bersenjata sebagai kelaziman sebuah negara. Beliau mengangkat para hakim untuk memutuskan perkara. Dengan demikian jelas berbeda antara agama Nasrani dengan agama Islam.

KETERLIBATAN ULAMA DALAM BERPOLITIK
Ulama berpolitik. Ini adalah fenomena yang perlu disambut dengan kegembiraan dan harapan. Mengapa? Sebab, sudah sejak lama ada semacam pemahaman, bahkan keyakinan, bahwa ulama harus tetap seteril atau jauh dari politik. Ulama harus tetap konsisten untuk bergerak dalam tataran kultural (baca: pendidikan), tidak perlu—bahkan tidak boleh—ikut-ikutan berpolitik, apalagi sekadar terlibat dalam pertarungan perebutan kekuasaan.
Karena itu, ketika sebagian ulama secara pribadi mulai bersentuhan dengan ranah politik, tentu ini patut disambut gembira. Sebab, bagaimanapun politik sebetulnya adalah bagian dari Islam. Bagaimana tidak? Bukankah Nabi Muhammad saw. sendiri adalah seorang politisi? Bahkan, sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarahwan Islam yang kredibel, selama hidupnya di Madinah, Rasulullah saw. sekaligus juga sebagai kepala negara. Demikian juga para sahabatnya yang terdekat—Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; semuanya pernah menjabat sebagai khalifah (kepala negara), yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin. Dengan demikian, ketika ulama dalam kedudukannya sebagai waratsatul anbiya' (pewaris para nabi) terjun (kembali) ke dalam kancah politik, itu tidak bisa dipandang sebagai kemunduran, tetapi justru sebuah kemajuan. Sebab, dengan begitu, ulama kembali di jalurnya yang benar dan ‘habitat'-nya yang asli, yakni sebagai pengayom umat. Sebab, politik dalam Islam sejatinya adalah aktivitas mengayomi masyarakat atau mengurus urusan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:
Bani Israil pernah diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, maka nabi yang lain menggantikannya. Akan tetapi, tidak ada nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah yang kemudian berjumlah banyak. (HR al-Bukhari).
Dengan demikian, dalam Islam, siyâsah— yang sering dipadankan dengan kata politik —pada dasarnya adalah pengurusan (masyarakat); dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan praktik perebutan kekuasaan yang boleh dilakukan dengan segala cara, sebagaimana yang dipahami dalam konteks politik Barat. Politik dalam Islam justru merupakan aktivitas agung yang disyariatkan Islam. Karena itu, ulama sudah selayaknya berada dalam barisan terdepan di dunia politik. Sebab, sejatinya ulamalah yang lebih mengerti masalah-masalah politik—dalam arti pengurusan atau pengaturan masyarakat—berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Bukankah munculnya jargon ‘politik itu kotor' adalah konsekuensi logis akibat dunia politik dikendalikan bahkan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengerti ketentuan-ketentuan Islam dalam berpolitik?
Namun, di sisi lain, terdapat ulama yang dalam menjalankan aktivitas politiknya tidak jarang mengabaikan nilai-nilai Islam. Mereka berpolitik bukan dilandasi syariat Islam, tetapi lebih diniatkan untuk mencapai kepentingan sesaat dan cenderung pragmatis. Dalam batas-batas tertentu, syariat Islam hanya sekadar dijadikan alat untuk melegitimasi aktivitas politik mereka, yang tidak jarang justru berada di luar koridor syariat Islam. Sebagai contoh, keharaman kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan yang sudah jelas berdasarkan sunah Rasulullah saw. dan pendapat empat mazhab [Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali]), dengan mudah diabaikan hanya karena alasan demi ‘kemaslahatan'. Keharaman untuk berkoalisi atau berlaborasi dengan partai-partai sekular—yang notabene memperjuangkan ide-ide kufur—juga dengan mudah dilanggar hanya karena demi kemaslahatan yang lebih besar (menurut mereka); karena alasan prularisme. Sebaliknya, isu penegakan syariat Islam ataupun formalisasi syariat Islam dalam aspek pemerintahan tidak lagi menjadi agenda politik ulama. Mereka sekadar memperjuangkan nilai-nilai umum yang tidak jelas parameternya (seperti kejujuran, keadilan, kesejahteraan, supremasi hukum, dll) sebagai ‘dagangan utama' politik mereka. Alasannya, lagi-lagi demi ‘kemaslahatan', yakni agar mereka bisa diterima oleh semua kalangan. Bahkan, ada semacam ungkapan yang kemudian menjadi pemahaman, bahwa siapapun yang ingin menang dalam percaturan politik di negeri ini maka jangan menjadikan syariat Islam sebagai menu utama dalam kampanye, karena pasti tidak akan laku.
Walhasil, kita tidak bisa mengerti, mengapa hingga detik ini tidak ada suara-suara lantang dari kalangan ulama yang mengkampanyekan penegakan syariat Islam, Tidak ada tawaran dari para ulama untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya landasan dalam mengatur seluruh aktivitas bermasyarakat dan bernegara, sekaligus solusi untuk memecahkan seluruh persoalan bangsa. Sebagian dari ulama tersebut malah lebih tertarik untuk mengusung ide-ide batil dari Barat, seperti demokrasi dan HAM, yang notabene lahir dari akidah sekularisme. Ironinya, semua perilaku politik yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam tersebut kemudian dijustifikasi oleh sejumlah kaidah syariat berikut:
Jika tidak bisa meraih semuanya, jangan tinggalkan semuanya.
Mengambil kemadaratan terkecil di antara dua kemadaratan yang ada dan mengambil keburukan yang paling ringan dari dua keburukan yang ada.
Memang, tidak ada yang salah dari kaidah-kaidah syariat di atas. Yang salah adalah dalam penempatannya, yakni sering di luar dari konteksnya.
Bahaya Terselubung
Sikap dan perilaku politik ulama yang cenderung pragmatis di atas, disadari ataupun tidak, sesungguhnya dapat mengundang sejumlah bahaya.
Pertama, pembusukan ideologi Islam. Ini terjadi ketika syariat Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan setiap persoalan masyarakat dipinggirkan. Dengan kata lain, Islam justru disudutkan dan dikecilkan peranannya hanya dalam konteks ibadah ritual dan individual semata. Kalaupun ada kesadaran bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari politik, itu sebatas dipahami dari sisi nilai-nilai moralitasnya semata. Asal jujur dan bersih, misalnya, tidak mengapa ulama bersanding dengan kepala negara perempuan atau berkolaborasi dengan partai secular; tidak peduli apakah mereka memperjuangkan syariat Islam atau tidak.
Kedua, pembodohan umat secara politik. Akibat pemahaman ulama yang kabur tentang politik, yang diperkuat dengan langkah-langkah politik yang cenderung pragmatis, maka umat pun kemudian mendapati ‘contoh nyata' berpolitik yang salah. Akibatnya, secara tidak langsung sesungguhnya telah terjadi proses ‘pembodohan politik' atas umat, terutama pada level masyarakat yang tipikal cenderung berlebihan dalam bertaklid kepada ulamanya.
Ketiga, umat terpecah belah. Tidak bisa dipungkiri, pelaksanaan Pemilu tahun 1999 telah memakan banyak ‘korban' di kalangan umat Islam sendiri. Hanya karena beda partai, umat yang berada di level akar rumput rela mencaci-maki atau bentrokan fisik dengan saudaranya. Pemilu 2004 pun tak jauh beda.
Walaupun aktivitas ini tidak secara langsung dicontohkan oleh ulama sebagai panutan mereka, sikap pragmatisme ulama sebetulnya turut mendorong mereka yang berbuat seperti itu. Yang berbeda hanyalah bentuknya saja. Ditingkat atas, tampaknya cukup sulit menyatukan sikap politik ulama. Buktinya, tidaklah mudah bagi partai-partai Islam—yang notabene di dalamnya banyak para ulama—untuk bersinergi dan bekerjasama. Ironisnya, mereka begitu mudah untuk berkoalisi dan berkolaborasi dengan partai-partai sekular.
Singkatnya, umat terpecah-belah menurut afiliasi ulamanya. Umat kemudian tidak lagi bersatu-padu dan berjuang bersama menegakkan syariat Islam. Yang ada, mereka justru saling melemahkan perjuangan masing-masing, kalau tidak mau dikatakan saling menjegal. Padahal, Allah SWT berfirman:
Berpegangteguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai. (QS Ali Imran [3]: 103).
Keempat, memperkuat politik sekular. Jika para ulama dalam berpolitik tidak lagi memperhatikan rambu-rambu syariat Islam dan tidak mau lagi menyerukan syariat Islam, maka bisa dipastikan perjuangan politik ulama hanya akan semakin menguatkan politik sekular. Politik sekular yang ditopang oleh ide-ide demokrasi dan nilai-nilai Barat akan semakin kokoh tertancap dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ide-ide demokrasi dan nilai-nilai Barat tersebut pada akhirnya dijadikan sebagai landasan hukum atas setiap perkara menggantikan syariat Islam. Padahal Allah SWT telah berfirman:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia adalah Pemberi keputusan yang paling baik. (QS al-An‘am [6]: 57).

Tugas Politik Ulama
Dengan melihat kenyataan di atas, sudah selayaknya ulama kembali pada tugas-tugas politik Islam yang seharusnya. Tugas-tugas politik tersebut antara lain adalah:
Pertama, memahamkan umat dengan pemahaman Islam yang utuh. Umat jangan lagi dipahamkan dengan Islam yang sekadar sebagai agama ritual dan spiritual semata, tetapi sebagai sebuah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Karena itu, dalam berpolitik, ide-ide yang diperjuangkan haruslah murni ide-ide Islam yang dikerucutkan dalam agenda penegakan syariat Islam.
Kedua, membangun kesadaran politik umat. Umat harus disadarkan bahwa aktivitas politik secara i‘tiqadi adalah disyariatkan oleh Islam. Karena itu, dalam Islam, politik adalah aktivitas agung lagi mulia. Sebab, dalam Islam, politik adalah aktivitas mengurusi umat dengan syariat Islam. Karena itu pula, pengajian-pengajian, seminar-seminar, atau pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sudah seharusnya tidak hanya diarahkan untuk sekadar meningkatan kesadaran spiritual umat semata, tetapi sekaligus kesadaran politik umat.
Ketiga, menjadi politisi Islam panutan masyarakat yang konsisten dalam memperjuangkan syariat Islam. Ulama secara praktis haruslah melakukan aktivitas a sy-syirâ‘ al-fikri (pergolakan pemikiran) dalam rangka menentang keyakinan, ideologi, pemikiran, dan aturan-aturan kufur; dengan cara mengungkapkan kepalsuan, kekeliruan, dan pertentangannya dengan Islam. Ulama juga harus melakukan aktivitas al-kifâh as-siyâsi (perjuangan politik) dalam bentuk menyingkapkan makar negara-negara kafir imperialis yang menguasai negeri-negeri Islam; menghadapi segala bentuk penjajahan (baik secara pemikiran, politik, ekonomi, maupun militer); serta mengungkapkan taktik/strategi dan membongkar persekongkolan negara-negara kafir untuk membebaskan umat dari segala bentuk pengaruh kekuasaannya. Ulama juga harus berani menentang kezaliman para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya; mengungkapkan kejahatan mereka; menasihati dan mengkritik mereka; mengubah perilaku mereka setiap kali mereka memperkosa hak-hak umat, atau pada saat mereka tidak melaksanakan kewajiban mereka terhadap umat, atau ketika mereka melalaikan salah satu urusan umat, atau setiap kali mereka menyalahi hukum-hukum Islam; bahkan para ulama harus berusaha menghapuskan kekuasaan mereka, kemudian menggantikannya dengan kekuasaan yang berlandaskan pada hukum-hukum Islam.
Keempat, senantiasa menyerukan kesatuan dan persatuan umat. Jika umat bersatu, mereka tidak akan mudah dikalahkan oleh musuh-musuh Islam. Sebab, bagaimanapun musuh-musuh Islam tidak akan tinggal diam untuk terus memerangi Islam dan kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
Mereka (musuh Islam) tidak henti-hentinya memerangi kalian (umat Islam) sampai mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekufuran) jika mereka mampu. (QS al-Baqarah [2]: 217).
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik